Kartini dan Feminisme  

Jika kita lihat, salah satu optimisme Kartini terkait feminisme dan emansipasi terekam dalam kutipan berikut:

“Akan datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia Bumiputera; kalau bukan karena kami, tentu karena orang lain.. kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di udara”[1]

Ia berpendapat, dan pendapat tersebut ia perjuangkan melalui tulisan-tulisannya, bahwa perempuan harus cerdas. Meskipun begitu, ia tidak pernah mengharapkan atau mengajarkan tentang emansipasi perempuan yang dimaknai sebagai: perempuan bebas keluar, berebut karir, dan menjadi pesaing para laki-laki di berbagai lapangan kehidupan untuk kemudian membiarkan anak-anak dan rumah tangganya terbengkalai. Kartini menginginkan perempuan cerdas dan mampu menjalani hidup dan kodratnya sebagai perempuan.[2]

Jadi dapat dikatakan bahwa Kartini memang menginginkan perbaikan dan keadilan bagi segala aspek kehidupan perempuan, namun tidak sampai titik ekstrim feminis yang menentang keras segala bentuk patriarkisme.

Kartini dan keluarga. Sumber foto: koleksi digital Tropenmuseum

Bibit feminisme sudah sejak masa penjajahan ditanamkan kepada bangsa Indonesia. Salah satunya dengan pembentukan karakter Kartini yang disetir sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Padahal, tidak ada alasan bangsa Indonesia mengikuti langkah gerakan feminis perempuan Eropa, karena latar belakang sejarah keduanya pun jauh berbeda. Dari sejarahnya, menurut McKay, dekade 1560 dan 1648 merupakan penurunan status perempuan di masyarakat Eropa, pada masa itu perempuan hanya dianggap sebagai makhluk kelas dua di dunia, makhluk inferior, yang bahkan dalam pernikahan pun, perempuan tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun.[3]

Berangkat dari penvrienden Kartini di Eropa, maka kita kembali lagi ke Eropa. Pemikiran Barat yang filsafat ilmunya sangat mengenyampingkan wahyu, akan selalu menjadikan peperangan perennial antara rasionalisme dan empirisme. Akhirnya, feminis akan terjebak ke dalam empirisme, yaitu menjadikan pengalaman perempuan sebagai paradigma (worldview-pen). Padahal, konsep akal dalam Islam tidak dimaknai sebatas rasio atau logika saja sebagaimana pemikiran Barat.

Akal dalam Islam berdimensi dan merupakan satu kesatuan dengan qalb, ruh, dan nafs. Dikarenakan akal berdimensi spiritual, maka perempuan dalam Islam barang tentu tidak dianggap sebagai agen moral yang lebih rendah dari laki-laki, karena orang yang paling bermoral adalah orang yang paling bertakwa, dan kapasitas perempuan sama dengan laki-laki untuk mengejar derajat takwa.

Sebuah Kenyataan, Kartini dan Ajaran Teosofis[4]

Terlepas dari isu feminis, isu lain yang marak diperbincangkan dan dikaitkan dengan Kartini adalah isu teosofisme. Pada tahun 1901 Masyarakat Teeosofi Internasional berdiri di Indonesia secara resmi, meskipun sebelumnya pada 1881 sudah berdiri The Theosophical Society di Pekalongan. Teosofi dapat diterima oleh kalangan elit Jawa karena coraknya yang bersifat kebatinan dan ritual-ritual mistis (okultisme-pen) antara teosofi dan kejawen memiliki kesamaan.[5]

Surat-surat Kartini, jika dicermati lebih dalam, ternyata kental akan nuansa teosofisnya. Kartini sendiri bahkan pernah melakukan ritual pemanggilan roh seperti yang dilakukan oleh kelompok teosofi, dalam korespondensinya kepada Tn. van Kol pada 30 April 1902, Kartini bercerita bahwa ia berhasil memanggil roh sesuai cara yang diajarkan Tn. van Kol

“…Kami telah mengikuti saran Anda, mengikat pensil ke sepotong bambu yang ringan. Juffrow Glaser dan aku memeganginya, kemudian ini (pensil-pen) mulai bergerak. Ada seseorang di sana, dan itu adalah roh penjagaku. Kami mengajukan pertanyaan kepadanya, tongkat itu bergerak tanpa arah hingga tiba-tiba bergerak maju dan menuliskan jawaban pertanyaan kami, ia menulis kata ‘baik’ 3x”[6]

Henri Hubertus van Kol. Sumber foto: wikipedia

Kartini juga kerap mendapat kiriman buku-buku dari Ny Abendanon, di antaranya adalah buku tentang humanisme, paham yang lekat dengan teosofi dan freemasonry. Buku-buku tersebut di antaranya adalah, Karaktervorming der Vrouw (Pembentukan Akhlak Perempuan-pen) karya Hélène Mercier, Modern Maagden (Gadis Modern-pen) karya Marcel Prevost, De Vrouwen an Socialisme (Wanita dan Sosialisme-pen) karya August Bebel dan Berthold Meryan karya seorang sosialis bernama Cornelie Huygens.[7]

Berikut surat-surat Kartini yang sangat kental dengan doktrin-doktrin teosofi:

“Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah.”[8] 

“…Seorang malaikat Tuhan telah turun langsung dari langit kepada kami untuk memberikan karunia Tuhan yang paling indah, yang hampir mati, kalau tidak sudah mati dalam diri kami: kepercayaan akan Kebaikan, keindahan yang abadi, harapan aka masa depan yang baik dan cinta akan kemanusiaan dan kehidupan”[9]

“Mengenai spiritisme yang dianutnya (Tn. van Kol-pen) dengan setia, sudah diceritakan Annie kepada Nyonya, bukan? Saya senang sekali bahwa diperkenalkan dengan kepercayaan itu, tidak untuk memanggil rohnya tetapi mengenai indahnya kepercayaan itu. Ajaran itu mendamaikan kami banyak hal, yang tampaknya ketidakadilan berat dan memberikan hiburan, bahwa kegagalan kami sekarang adalah penebusan dosa dalam kehidupan sebelumnya… kami sungguh-sungguh tercengang. Tn. van Kol mengatakan bahwa dia dan istrinya melalui spiritisme memperoleh banyak nasihat dari dunia arwah.” [10]

”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.”[11]

Begitulah, kutipan-kutipan di atas sangat sarat maknanya dengan motto Masyarakat Teosofi, “There Is No Religion Higher Than Truth”atau dalam bahasa Sangsekerta Satyan Nasti Paroh Darma yang artinya “Tidak ada Agama yang Lebih Tinggi dari Kebenaran.” Doktrin yang terkandung dalam motto Teosofi inilah yang juga menjadi landasan dan asas bagi kelompok yang mengusung sinkretisme,[12] atau saat ini lebih dikenal dengan pluralisme agama.[13]

Helena Blavatsky, tokoh aliran teosofi. Sumber foto: Wikipedia

Mengenai keterkaitan dan hubungannya dengan teosofi, Kartini mengatakan:

“Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Teosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Teosofi.”[14]

“…Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.” [15]

“Kebaikan dan Tuhan adalah satu.” [16]

Alam spiritual Kartini tidak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan akan mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat. Inilah yang oleh kelompok Teosofi disebut sebagai upaya menyatukan antara ”Timur dan Barat”. Sebuah upaya yang banyak memikat para elit Jawa, terutama mereka yang sudah terbaratkan secara pemikiran.[17]

Pemikiran dan perjuangan Kartini sebangun dengan apa yang menjadi pemikiran kelompok teosofi. Inilah yang kemudian, banyak menarik para humanis untuk menjadi sahabat karib Kartini. Jadi, di saat yang hampir bersamaan dengan momentum pertemuan Kartini dengan agama Islam, Kartini sudah lebih awal terwarnai/terpengaruh ajaran teosofis.

Siapa yang berperan penting merekatkan hubungan Kartini dengan para elit Belanda? adalah Christian Snouck Hurgronje orang yang mendorong Tn. Abendanon agar memberikan perhatian lebih kepada Kartini bersaudara. Hurgronje adalah sahabat Abendanon yang dianggap Kartini mengerti soal hukum agama Islam.[18] Atas rencana Hurgronje, terlaksalalah skenario De Hollandshe Lelie hingga pertemuan antara Kartini dengan Abendanon[19] seperti di awal cerita.

Snouck Hurgronje. Sumber: Leiden University Digital Libraries (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Sebagai seorang orientalis, pendeta, aktivis Gerakan Politik Etis, sekaligus penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh perhatian kepada kepada anak-anak dari keluarga priyai Jawa lainnya. Hurgronje berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka untuk mengikuti sistem pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan lancar.[20]

Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan Freemasonry lewat lembaga Dienaren van Indie (Abdi Hindia-pen) di Batavia yang menjaring anak-anak muda yang mempunyai bakat dan minat untuk memperoleh beasiswa. Kader-kader dari Dienaren van Indie kemudian banyak yang menjadi anggota Teosofi dan Freemasonry.[21]

Sebenarnya, Kartini sudah mengetahui siapa sosok Snouck-sang Orientalis, dalam suratnya kepada Stella tanggal 23 Agustus 1900,  ia menceritakan bahwa ia gusar terhadap Snouck yang berpura-pura menjadi mualaf agar dapat masuk ke Mekah.

“…Kamu pasti sudah pernah mendengar tentang dia; pria yang demi studinya menghabiskan satu tahun menyamar sebagai orang Arab di Mekah dan yang meninggalkan tempat itu hampir dengan biaya hidupnya ketika diketahui bahwa dia adalah orang Kristen. Seperti yang telah saya dengar, ia kemudian masuk Islam dan menikahi seorang putri Penghulu yang berpendidikan tinggi”[22]

Walaupun telah mengetahui hal tersebut, disebabkan keluguannya, ia masih melanjutkan korespondensi dengan sahabat-sahabat Eropanya.

Ada satu kisah di mana Kartini merasa dipojokkan karena ia atau salah satu dari saudarinya dianggap ingin menikah dengan Oom Piet (Piet Sijthoff-pen)[23] Padahal, kenyataannya mereka sama sekali tidak menaksir Oom Piet, Kartini mengatakan “..Kita berbeda dengan perempun lainnya!”[24] Untuk mencari dukungan, maka ia mencoba bertanya pada Hurgronje,  ia menganggap Hurgronje orang yang tepat dan mumpuni untuk ditanyai tentang Islam “…Apakah dalam Islam ada ayat tentang umur dewasa seseorang, sebagaimana di kalangan Anda? Saya ingin sekali mengetahui ayat tentang hak dan kewajiban perempuan dalam Islam.[25]

Alih-alih menguatkan pendirian Kartini untuk mendukung argumennya agar tidak buru-buru menikah, Hurgronje malah mengatakan “…gadis Islam tidak pernah dewasa. Jika dia ingin bebas (dewasa-pen), dia harus menikah dahulu. Setelah itu boleh cerai lagi”[26] dan sebagaimana yang dituliskan dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tanggal 22 April 1902, terlihat bahwa Kartini kecewa terhadap orientalis itu. “…Masih bisakah kemudian mereka berkata-kata dengan darah dingin setelah apa yang telah mereka nyatakan?..”[27]

Hurgronje dianggapnya bertentangan dengan cara pandang Kartini dalam memandang situasi perempuan di Jawa yang dianggap tertindas. Hal tersebut membuat Kartini pada akhirnya kecewa dan kehilangan rasa hormatnya terhadap Hurgronje.
EPILOG

Jika diamati dari kutipan-kutipan korespondensi yang sudah terangkum dalam tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa Door Duisternis Tot Licht ataupun buku-buku yang menjadikan karya Abendanon tersebut sebagai acuan/referensinya, memperlihatkan bahwa Abendanon telah memilah dan menyingkat korespondensi Kartini sedemikian rupa. Sedangkan Coté kebalikannya, ia dengan gamblang dan jelas menyalin korespondensi yang ada.

Prof. Harsja W. Bachtiar mengatakan bahwa Kartini adalah sosok yang sengaja diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia. Atau setidaknya, bahwa proses asimiliasi yang dilakukan kelompok humanis Belanda yang mengusung Gerakan Politik Etis pada masa kolonial, telah sukses melahirkan sosok yang “tercerahkan”.[28]

Tulisan Kartini terutama terkait sisi keislamannya telah banyak dihilangkan dalam buku Door Duisternis Tot Licht sehingga citra Kartini yang ditangkap oleh pembaca adalah sosok perempuan yang feminis, dan jauh dari agamanya- Islam. Padahal gambaran tersebut tidak sepenuhnya benar. Sudah terjadi rekonstruksi yang berbeda bermakna pada pemikiran Kartini. Jika diibaratkan, terdapat qaul qadim dan qaul jadid dari pemikiran-pemikirannya di masa muda, dibandingkan dengan saat ia memasuki usia dewasa. Pemikiran tersebut terutama terkait kehadirat agama Islam, yang berimplikasi pada cara pandangnya terhadap wanita dan feminisme. Namun, walaupun sudah lebih mengenal Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa Kartini juga telah terpengaruh ajaran teosofis.

Luar biasa bagaimana kekuatan sebuah karya dapat mengaburkan pandangan kita tentang Kartini. Ada banyak hal yang hilang dan keliru jika kita hanya menganggap buku Door Duisternis Tot Licht atau terjemahannya Habis Gelap Terbitlah Terang sebagai sumber sejarah yang layak untuk memahami Kartini secara utuh. Ada baiknya kita menilik karya yang lebih netral namun tentunya otoritatif untuk mengetahui siapa sosok Kartini yang digadang-gadang sebagai Ibu Kebanggaan Perempuan Indonesia. Wallahualam.

Oleh: Ilma Asharina – Peserta kelas literasi “Memaknai Indonesia” Kerjasama JIB dan CADIK


[1] Surat Kartini kepada Stella, 9 Januari 1901. Lihat Pane Armijn, 2008, Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 95.

[2] Suparman, 2019, Getar-Getar Jiwa Si Trinil Dari Mayong-Jepara, Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, hlm. 48.

[3] John P. McKay, Bennet D. Hill and John Buckler, 1983, A History of Western Society, Second Edition, Boston: Houghton Mifflin Company, hlm. 436-541.

[4] Theosophy is a religious system of thought that tries to know God by means of meditation, prayer, etc. Diakses dari https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/theosophy pada 10 April pukul 20.02 WIB.

[5] Artawijaya, 2010, Gerakan Theosofis di Indonesia, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, hlm. 221.

[6] Coté J., 2014,  Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 360-1.

[7] Artawijaya, 2010, Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, hlm. 222.

[8] Surat Kartini kepada Dr. Adriani 24 September 1902. Lihat Ibid, hlm. 44.

[9] Kata kebaikan dengan “K” besar memang asli dari buku Kartini Surat Menyurat Kepada Ny. R M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, bukan dari penulis. Lihat Ibid.

[10]  Surat Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902. Lihat Ibid.

[11] Surat Kartini kepada Tn. E.C. Abendanon 31 Januari 1903. Lihat Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 562.

[12] Artawijaya, 2010, Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hlm. 43.

[13] Pluralisme agama menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh  karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Terkait pluralisme agama, MUI telah mengeluarkan Fatwa Haram pada 13 Oktober 2008. Lihat Sjafril A., 2017, Buya Hamka Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme, Bogor: Afnan Publishing, hlm. 32.

[14] Surat Kartini kepada Ny. Abendanon 24 Agustus 1902. Lihat Artawijaya, 2010, Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hlm. 227 dan Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 448.

[15] Surat Kartini kepada Tn. E.C Abendanon 15 Agustus 1902. Lihat Artawijaya, 2010, Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 69.

[16] Surat Kartini kepada Ny. Nellie van  Kol 20 Agustus 1902. Lihat Pane Armijn, 2008, Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 192.

[17] Artawijaya, 2010, Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hlm. 228-229.

[18] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 137. Untuk lebih mengetahui sosok Snouck Hurgronje, lihat artikel Kontroversi R.A. Kartini Pahlawan Wanita Hasil Rekayasa Belanda pada laman http://www.indonesiamedia.com/kontroversi-ra-kartini-pahlawan-wanita-hasil-rekayasa-belanda/

[19] Artawijaya, 2010, Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hlm. 218.

[20] Ibid.

[21] Ibid, hlm. 219. Teosofi dan Freemansonry adalah cikal bakal Pluralisme Agama, lihat artikel Dari Teosofi ke Pluralisme Agama pada laman  https://insists.id/dari-teosofi-ke-pluralisme-agama/

[22] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 137.

[23] Sijthoff, 22 tahun di atas Kartini, belum menikah dan tinggal dengan ibu dan saudara perempuan serta keponakannya. Keluarga itu mula-mula ramah terhadap Kartini, namun kemudian berubah karena mengira kalau putri bupati itu menaksir Sijthoff sebagai calon suami. Diakses dari https://historia.id/politik/articles/ketika-kartini-menggugat-snouck-hurgronje-vxGnJ pada 17 April 2020 pukul 10.10 WIB

[24] Surat Kartini kepada Ny. Abendanon 18 Februari 1902. Lihat Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 324

[25] Diakses dari https://historia.id/politik/articles/ketika-kartini-menggugat-snouck-hurgronje-vxGnJ pada 17 April 2020 pukul 10.10 WIB

[26] Disarikan dari surat Kartini kepada Ny. Abendanon 27 Maret 1902. Lihat Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 339-44

[27] Ibid, hlm. 354

[28] Artawijaya, 2010, Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, hlm. 232.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here