Dikenal sebagai pahlawan nasional yang berpenampilan cukup nyentrik dengan jenggot khasnya, Haji Agus Salim masih memiliki banyak sisi lain dalam kehidupannya yang jarang diketahui. Selain dikenal sebagai diplomat ulung yang menguasai berbagai bahasa dan intelektual muslim yang membina aktivis Jong Islamieten Bond seperti Mohammad Natsir hingga Mohammad Roem, pria yang sejak lahir diberi nama Masyudul Haq ini juga banyak berperan dalam perjuangan gerakan buruh di Hindia Belanda. Kiprahnya ini terjadi pada masa ketika ia aktif di Sarekat Islam (SI) bersama HOS. Tjokroaminoto.
Sebagai petinggi SI, Agus Salim dan Tjokroaminoto yang dikenal sebagai Dwi Tunggal itu dianggap sebagai figur utama anti faksi Semarang dengan tokohnya seperti Semaun, Darsono, Bergsma, dan Sneevliet yang berhaluan komunis. Sebagaimana disebutkan oleh Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia(2017: 132), kedua tokoh ini sibuk dengan reorganisasi Sarekat Islam yang membuat pihak komunis tidak senang sehingga dianggap sebagai musuh yang paling berbahaya. Keduanya mengunjungi SI dari berbagai cabang yang belum terpengaruh dengan komunisme dan membuat mereka semakin bersemangat untuk mendepak faksi Semarang.
Persaingan antara pimpinan SI yang berhaluan Islam dengan SI yang berhaluan komunisme ini juga menjalar ke dalam gerakan buruh pada masa itu. Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (2005: 300-301), menyebutkan bahwa setelah Kongres Nasional CSI tahun 1919, Agus Salim bersama dengan Hasan Djajadiningrat mencoba membangun koalisi anti PKI/SI Semarang dengan Tjokroaminoto sebagai tokoh utama dan membimbing SI dengan basis Islam. Dalam kongres CSI itu juga disepakati pembentukan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) sebagai federasi persatuan organisasi buruh di Hindia Belanda.
Pada awalnya, Sosrokardono yang saat itu dipenjara diangkat menjadi ketuanya, sedangkan Semaun sebagai wakilnya. Semaun bersama Bergsma akhirnya membentuk komite sentral yang berpusat di Semarang. Namun Suryopranoto, Ketua Personeel Fabriek Bond (PFB), organisasi buruh terbesar yang tergabung dalam PPKB, terus menyabotase setiap pergerakan Semaun sehingga federasi ini tidak berfungsi apa-apa. Suryopranoto adalah kakak dari Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang mana keduanya juga priyayi keturunan dari Paku Alaman. Ia juga sempat menjadi Ketua Umum SI Yogyakarta, juga masuk ke dalam jajaran pengurus pusat SI.
Karena kepengurusan Semaun dan Bergsma ini tak berjalan lancar, akhirnya kongres PPKB yang pertama diadakan pada 1920 dan terbentuklah susunan kepengurusan yang baru. Semaun sebagai ketua, Suryopranoto sebagai wakil ketua, Agus Salim sebagai sekretaris, Bergsma sebagai bendahara, dan Alimin serta Tedjomartojo sebagai komisaris. Namun dengan kepengurusan yang baru ini pun PPKB juga tidak berjalan baik akibat perbedaan pandangan dan ideologi para pemimpinnya.
Konflik di tubuh PPKB ini berlanjut hingga pada tahun 1921 dalam sebuah pertemuan di Yogyakarta, Suryopranoto bersama Agus Salim berhasil menyingkirkan Semaun dan Bergsma dan merebut kepemimpinan PPKB. Kantor pusat organisasi kemudian dipindahkan ke Yogyakarta. Semaun dan Bergsma yang tak menerima hal tersebut memilih hengkang dari PPKB. Mereka bersama beberapa organisasi buruh yang masih setia kepada faksi komunis kemudian mendirikan Revolutionare Vakcentrale (RVC) sebagai federasi organisasi buruh tandingandan berkantor pusat di Semarang (Shiraishi, 2005: 315).
Meski dikenal sebagai tokoh yang anti terhadap komunisme, bukan berarti lantas Agus Salim membela dan mendukung kapitalisme. Justru dia adalah orang yang sangat anti terhadap kapitalisme yang dianggapnya sebagai sumber kesengsaraan rakyat. Pandangannya ini bisa kita lihat dalam berbagai tulisan dan pidatonya. Misalnya di dalam surat kabar Persatoean Hindia edisi Sabtu 24 Juni 1920, melaporkan sebuah perkumpulan umum yang diselenggarakan oleh organisasi buruh Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) dan Apostel. Dalam acara tersebut, Agus Salim hadir bersama beberapa petinggi pergerakan lain di antaranya Tjokroaminoto, Abdul Muis, dan Alimin. Dalam laporan pertemuan itu disebutkan apa saja yang dibicarakan oleh Agus Salim:
“Sekarang toean Salim membitjarakan keadaan dalam doenia kaoem boeroeh. Diperkatakan tingkah lakoe kaoem oeang akan mentjari oentoeng sebanjak banjaknja dengan onkost jang sedikit dikitnja. Gadjih kaoem boeroeh ketjil, waktoenja bekerdja lama. Tentang waktoe berkerdja itoe toean Salim menerangkan bahwa diloear kota masih ada kaoem boeroeh bekerdja 11-12-13 djam sehari.
Pagi-pagi boeta mereka keloear, sore, malam hari mereka itoe baru poelang. Sekarang diperkatakan perbedaan-perbedaan golongan kaoem oeang dan boeroeh. Golongan pertama: tjari oeang banjak-banjak karena menoeroet timbangannja kalau banjak oeang besar poela kekoeasaan. Golongan kedoea tjari makan tjoekoep, soepaja djangan djadi mampoes.
Kaoem oeang seperti telah dikatakan tadi selaloe berichtiar menggadji koeli moerah, melamakan waktoenja bekerdja.
Kaoem boeroeh, jang biarpoen ia lama bekerdja tetapi tidak berpendapatan tjoekoep, terpaksa menjoeroeh perempuannja berkerdja. Kalau beloem djoega itoe sampai anak kaoem tani toeroet bekerdja poela. Lihatlah di drukkerij di Betawi dimana banjak perempoean-perempoean bekerdja djadi bindater dan anak-anak djadi pelipat-pelipat kertas dan koran-koran. Tapi apa balasannja semoea itoe, makanan kaoem boeroeh itoe ta tjoekoep, roemah ta sederhana dll kesoesahan. Dan mereka itoe kadang-kadang kedatangan poela pendita-pendita Islam, kata toean Salim. Pendita-pendita itoe mentjegah mereka djangan masoek SI karena perkoempoelan itoe maoe oebrak abrik dll jang tidak baik antaranja djoega maoe meroesak Islam.”
Dalam pertemuan itu Agus Salim menjabarkan bagaimana kapitalisme membuat para buruh tersiksa kehidupannya. Bahkan sampai para wanita dan anak-anak turut bekerja demi menghidupi keluarga. Meski sudah bersusah payah dan berkerja keras, namun bayaran yang mereka dapati sangat tidak layak. Hanya saja, sebagaimana khas para pimpinan SI yang non-komunis, Agus Salim memandang bahwa tidak semua kapitalisme itu jahat. Kapitalisme yang jahat saat itu ialah para pemilik modal dari kalangan bangsa Eropa serta menghisap dan mengeksploitasi para buruh.
Perbedaan pandangan mengenai perjuangan melawan kapitalisme ini juga terjadi dalam Kongres Nasional CSI VI di Surabaya tahun 1921, antara pihak Semaun dan Tan Malaka dengan pihak Agus Salim dan Abdul Muis yang anti komunis. Sebagaimana ditulis oleh Budiawan dalam Anak Bangsawan Bertukar Jalan (2006: 143-144), “Tentang anti kaptalis, duet Salim-Muis menempatkannya sebagai anti kapitalis asing. Di mata mereka, kapitalisme asing inilah yang sebenarnya telah membuat rakyat sengsara. Bagi Semaun, yang duet bersama Tan Malaka, anti kapitalis adalah anti terhadap semua kelas kapitalis baik asing maupun pribumi.”
Pemahaman Agus Salim mengenai kapitalisme ini sama halnya sebagaimana yang dipahami oleh Suryopranoto, Ketua PFB. Dalam media terbitannya Boeroeh Bergerak edisi 1 Juni 1919, dia menyatakan “Maksoed perhimpoenan kaoem boeroeh atau PFB jaitoe menoeloeng kaoem boeroeh soepaja mengoewatkan kaoem boeroeh jang lembek melawan tingkah kaoem wang jang djahat (djadi waktoe ini kapitaal jang tida djahat tida di lawan).”
Dari sini kita dapat melihat pandangan para pemimpin SI seperti Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto hingga Tjokroaminoto dalam memimpin gerakan buruh tidaklah mengambil dari teori Karl Marx sebagaimana dilakukan para tokoh komunis. Bagi pemimpin SI itu masih ada kaum pemilik modal yang baik, khususnya para pemilik modal dari kalangan pribumi, yang memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya dan tidak sewenang-wenang. Hal ini berbeda dengan pandangan Karl Marx yang diadopsi oleh kaum komunis, bahwa selama masih ada kaum pemilik modal maka buruh tidak akan sejahtera, dan tugas kaum buruh adalah bersatu dan berjuang untuk merebut modal itu dan menjalankannya bersama-sama. Karena itu kelompok komunis dalam pergerakannya lebih bersifat revolusioner, sebab tujuan akhir mereka pun adalah politik, karena bagi mereka pemerintah telah bekerja sama dengan para pemilik modal.
Perhatian Agus Salim terhadap buruh dan perlawanannya terhadap kapitalisme ini ia lakukan dengan konsisten. Kustiniyati Mochtar dalam tulisannya, “Agus Salim Manusia Bebas” untuk buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984: 73-74) menuliskan pula beberapa peranan besar yang dilakukan Agus Salim dalam perjuangan membela kaum buruh. Ketika Agus Salim bersama Tjokroaminoto menerbitkan surat kabar Fadjar Asia, sebagai pimpinan dia harus turun ke lapangan sendiri, masuk ke daerah-daerah perkebunan di pedalaman Pulau Jawa, Sumatera, maupun Kalimantan. Kemudian ia melaporkan keadaan buruh-buruh di sana yang tenaganya diperas dan dieksploitasi dengan bayaran yang sangat minim sesuai dengan apa yang ia saksikan sendiri. Laporan dan pemberitaan Agus Salim ini tersiar luas bahkan hingga keluar Hindia Belanda.
Himpunan Serikat Buruh Belanda (Nederlands Verbond van Vakverenigingen) bahkan sampai mengangkat Agus Salim sebagai penasehat mereka dalam Konferensi Buruh se-Dunia di Jenewa, Swiss. Di Jenewa inilah Agus Salim memberikan pidatonya mengenai kondisi para buruh di tanah jajahan Hindia Belanda. Pidatonya ini telah membuka mata banyak negara lain seperti Amerika Serikat (AS) yang kemudian meninjau kembali politik perdagangan mereka dengan Belanda. AS tidak mau lagi membeli hasil perkebunan dari Hindia Belanda. Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda kemudian mengubah politik kolonialismenya dengan menghapus peraturan kerja paksa poenale sanctie(memperkerjakan kuli kontrak dengan bayaran yang kecil)dan erfpacht (Merangsang perusahaan dari Eropa untuk membangun usahanya di tanah jajahan dengan memberikan sewa tanah selama 75 tahun).
Bentuk penyiksaan lain yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda yakni yang dikenal dengan heerendienst atau kerja paksa. Rakyat di Sumatera Selatan misalnya, dilaporkan bahwa mereka dipaksa bekerja keras untuk membangun jala raya, mulai dari mengumpulkan batu kerikil, pasir, tanah, menggali, hingga mengecor aspal. Mereka diharuskan bekerja seharian penuh tanpa diberi makan ataupun minum, apalagi upah. Praktik ini telah berjalan bertahun-tahun lamanya. Bahkan hal ini juga berlaku di hari Jum’at siang di mana seharusnya pekerja laki-laki yang beragam Islam harus melaksanakan shalat Jum’at, hal ini disebut oleh Agus Salim juga sebagai sebuah penghinaan terhadap agama Islam.
Maka sepulangnya dari Jenewa, Agus Salim menyampaikan laporan. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) segera mengambil langkah untuk mengadakan aksi menuntut dihapuskannya sistem heerendienst ini. Pada 4 Mei 1930, rakyat dari berbagai pelosok baik di desa maupun kota turun aksi. Pimpinan PSII juga turut terjun langsung, Agus Salim memimpin di Sumatera, Sangadji di Sulawesi, sedangkan Tjokroaminoto, Kartosoewirjo, dan Suryopranoto di Jawa (Mochtar, 1984: 75-76).
Gerakan buruh pada masa kolonialisme Hindia Belanda memang menjadi ujung tombak perjuangan rakyat. Sebab mereka, para buruh dan para petani yang berasal dari pedesaan dan kalangan rakyat miskin adalah orang-orang yang benar-benar terdampak dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang merugikan. Maka tidak heran apabila para pemimpin dari organiasi Islam seperti Sarekat Islam pada masa itu turut andil berjuang demi kesejahteraan kaum buruh, sebab Islam pun mengajarkan untuk menolak dan melawan ketidakadilan dan penindasan. Jadi, gerakan buruh bukan hanya milik kelompok komunis saja sebagaimana yang selama ini mereka pahami sebagai perjuangan kelas buruh melawan kelas pemilik modal.
Oleh:
Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber Pustaka
“Dari Doenia Kaoem Boeroeh”. Persatoean Hindia. Edisi Sabtu 24 Juni 1920.
“Pidato President PFB dalam Congres di Soekaradja pada tanggal 13 April 1919”. Boeroeh Bergerak. Edisi 1 Juni 1919.
Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan. Yogyakarta: LKiS.
McVey, Ruth T. 2017. Kemunculan Komunisme Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Mochtar, Kustiniyati. 1984. “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan.
Shiraishi, Takashi. 2005. Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.