Titik Balik Kartini

Kartini pada mulanya memang mencaci agama dan adat istiadatnya, wajahnya selamanya ia hadapkan ke arah Barat. Eropa baginya adalah jawaban segala permasalahan. Tiada arah yang lebih baik dibandingkan Barat. Namun entah dari mana hidayah itu datang, Kartini akhirnya berubah juga. Ia memandang bahwa adat dan agamanya menyimpan kebaikan. Rupanya segala kegamangan dan keresahan Kartini selama 6 tahun masa pingitan dan kurang lebih 5 tahun masa korespondensi telah banyak membuatnya perlahan-lahan menjadi pribadi yang berbeda, lebih matang secara emosi, dan lebih arif.

Perlahan tapi pasti, proses pertaubatan Kartini terjadi. Kehausan batin akan agama memang sulit terpenuhi, mengingat kebijakan yang ditetapkan pihak penjajah, seperti melarang al-Quran diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa (bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat di Pulau Jawa saat itu-pen)[1] sehingga umat Islam di masa itu banyak yang tidak memahami agamanya dengan baik. Al-Quran hanya dibaca dalam khath Arab, namun tidak dipahami maknanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Kartini muda batinnya mudah bergejolak, konsep-konsep filosofis dalam al-Quran belum pernah menyentuh dirinya.

Satu momentum yang mengawali hijrah seorang Kartini adalah pertemuannya dengan seorang guru, yakni KH. Shaleh Darat. Beliau menyampaikan tafsir Quran surat al-Fatihah dalam Bahasa Jawa di acara pengajian yang diselenggarakan pamannya (Bupati Demak-pen).[2] Kartini kemudian meminta bantuan kepada K.H. Shaleh Darat melalui pamannya, untuk menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa, sebab menurut Kartini tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak dimengerti arti/maknanya.

K.H. Shaleh Darat, beliau memiliki nama lengkap Muhammad Shalih ibn Umar, lahir di Desa Kedung, Jumbleng, Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820. KH. Saleh Darat bukanlah ulama sembarangan, beliau adalah murid dari nama-nama besar seperti Sayyid Muhammad ibn Zaini Dahlan dan Sayyid Muhammad Salih az-Zawawi al-Makki, kepada keduanya, beliau mempelajari kitab Ihya ‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali.[3] Selepas pertemuannya dengan Kartini, K.H. Shaleh Darat menyusun kitab tafsir Faid al-Rahman, beliau menulis kitab tersebut dalam bahasa Jawa menggunakan huruf Arab Pegon agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak Belanda.[4]

Jiwa Kartini yang pada mulanya berontak, dan keras hati memegang teguh cita-citanya kian lama hilang seiring berjalannya waktu. Ia bahkan meyakini bahwa cukuplah dirinya membuka jalan perjuangan ini.

“Janganlah kami coba dengan paksa mengubah adat kebiasaan negeri kami….kemerdekaan perempuan pasti akan datang jua, hanyalah tiada dapat dipercepat datangnya.”[5]

Kartini juga pernah mengirim surat kepada Ny. Ovink-Soer yang berisi bahwa ada hal yang telah berubah dalam dirinya.

   “…Aku hanya bisa memberi tahumu, betapa sunyi, betapa damai rasanya sekarang di dalam diri ini; betapa tenang dan leganya aku: tidak ada rasa cemas, dan tidak ada rasa takut lagi. Aku merasa aman, damai! Ada Dzat yang menjaga kita. Ada Dzat yang terus-menerus bersama kita dan Dzat yang menghibur kita, tempat aku berlindung dalam sisa hidup ini. Itulah yang aku rasakan…”[6]

“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai…”[7]

Bahkan suratnya kepada Tuan E.C. Abendanon di tahun 1902 menunjukkan titik balik Kartini:

Tahun berganti tahun… Kami namanya orang Muslimin, karena kami turunan orang muslim, dan kami cuma namanya saja muslim, lain daripada itu tidak. Tuhan Allah, bagi kami hanya semata-mata kata seruan, sepatah kata, bunyi yang tiada artinya dan rasanya… Demikianlah kami hidup – hingga tibalah hari yang membawa perubahan dalam keadaan jiwa kami. Sudah kami dapatlah Dia, yang bertahun-tahun lamanya didahagakan oleh jiwa kami dengan setahu diri..”[8]

J.H.C. Abendanon dan Rosa Manuela Abendanon. Sumber foto: ahttp://angelsofhistory.weebly.com/abendanonmandri.html

Begitulah hingga akhirnya Kartini mengenal Islam. Ia bersyukur, karena pingitan yang ia jalani, ia memiliki banyak waktu luang untuk belajar. Kartini rutin mendapat kiriman buku dari kakaknya, Raden Mas Sosrokartono yang bersekolah di Belanda[9] buku-buku tersebut ia baca dan ia pahami betul isinya. Bahkan dari informasi yang ia dapatkan lewat buku-buku dan majalah asing tersebut, Kartini dapat menggerakkan roda perekonomian warga Jepara yang pada saat itu sedang melemah. Kartini berhasil membangun kembali industri seni ukir di kawasan Jepara.

Kartini juga berhasil menularkan semangat perjuangan kepada adik-adiknya. Semangat belajar dan menjadi perempuan mandiri yang tetap taat pada agama.

“..Sekarang kami berpegang teguh pada tangan-Nya, mata kami dengan tiada putus-putusnya kami tunjukkan kepada Dia—Dia akan mengemudikan dan menimang dengan kasih sayangnya… Dan lihatlah, gelap menjadi terang, angin ribut menjadi angin sepoi-sepoi.”

“Semuanya yang ada di sekeliling kami tetap seperti sediakala, memang tiada yang berubah, tetapi bagi kami, kami sudah berubah. Yang berubah itu sebenarnya dalam diri kami, maka disinarinyalah segala yang ada dengan cahaya-Nya. Alangkah tenang dan damainya di dalam rohani kami.”[10]

Tidak hanya soal spiritualitas, beberapa pemikiran Kartini pun mengalami perubahan pasca mendapat “hidayah”. Kartini menyadari bahwa segala bentuk keburukan atau kezaliman bukan datang dari Allah SWT, melainkan dari manusia itu sendiri. Pada dasarnya segala sesuatu adalah baik dan indah, namun manusia sendiri yang membuatnya buruk dengan mengejawantahkan pola pikir sempit mereka, beberapa melakukannya dengan sengaja, beberapa karena mendahulukan egoisme dan/atau kesombongan.[11]

Untuk urusan pernikahan, Kartini sama sekali tidak melarang perempuan untuk menikah. Bahkan menikah dipandang Kartini sebagai pelabuhan yang paling banyak memberi bahagia kepadanya. Jadi belajar vak itu cuma perlu supaya jangan dapat dipaksa kawin dengan orang yang tidak disukainya, dan juga supaya jangan merasa wajib takluk kepada suaminya. Jika perempuan itu berpelajaran, lebih cakaplah ia mendidik anaknya, dan lebih cakaplah ia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya. Itulah cita-cita Kartini sebenar-benarnya.[12]

Sebelum tutup usia, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, Djojodiningrat sebagai istri keempat pada 8 November 1903. Walaupun menjadi selir, dari suratnya di bulan Maret 1903 kepada Ny. van Kol, ia masih menganggap poligami sebagai musuh bersama, “…Mereka tidak akan pernah tahu siapa musuh mereka sebenarnya. Kata terlarang itu adalah: Poligami!” [13] sehingga menjadi pukulan telak saat Stella mendengar keputusan Kartini untuk menikah dengan lelaki yang telah beristri.[14]

Pasca menikah, Kartini masih berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya

“…Oh, kalau saja aku bisa memelukmu, aku ingin memberitahumu bagaimana kebahagiaanku saat ini, rahasia besar! hadiah berharga menungguku! Ya.. September nanti aku akan menjadi seorang Ibu! Aku akan dipanggil ‘Moeder’… kau akan dipanggil nenek! Moedertje… Maukah kau berkunjung menjenguk cucumu nanti…?[15]

“…Semua yang aku bayangkan dulu, kini menjadi kenyataan.. aku bisa mewujudkannya, suamiku mendukung keinginanku untuk membela hak dan perintis jalan kebebasan bagi kaum perempuan Jawa.. dan kini sekolahku dan adik-adikku sudah memiliki 22 murid, Ya.. kebahagiaan itu akan semakin lengkap nanti saat anakku lahir, bahagia rasanya membayangkan suara mungil memanggil-manggil ‘mama di mana?’…”[16]

Kartini bersama Raden Adipati Djojoadiningrat. Sumber foto: KITLV DIgital Media Library (http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/10?q_searchfield=kartini)

Meski masih berkirim surat dengan gembira setelah menikah, Kartini tak pernah mengungkap alasan sesungguhnya mengapa ia mau menempuh pernikahan poligami tersebut.[17]

Frekuensi korespondensi Kartini memang berkurang pasca menikah sehingga tidak banyak surat yang dapat didokumentasikan. Selain itu, surat-surat Kartini terasa ganjil, di satu surat ia mengungkapkan kebahagiaannya, tapi kemudian kebalikan pada surat lainnya. Apa yang dituliskannya seperti multitafsir.[18]

Ny. Abendanon pernah berkunjung ke Rembang (setelah tidak menghadiri pernikahan Kartini di Jepara-pen), dan dalam kunjungan tersebut ia merasakan tatapan yang mengintervensi dari suami Kartini. Berikut adalah kutipan surat yang ditulisnya (Kartini-pen), pernyataan yang digarisbawahi oleh Kartini seolah menunjukkan sisi gelap kehidupannya di Rembang

“… Tidak.. aku tidak dapat berbicara padamu soal itu.. Moedertje yang paling tahu cerita masa laluku. Kita saling memahami tanpa kata-kata, kan, Moedertje?”[19]

“… Kau dapat melihat kehidupan baruku sekarang.. Apakah masih banyak waktu yang tersisa untuk berkorespondensi?”[20]

Berikutnya: Feminismie, Teosofi, dan Snouck Hurgronje

Oleh: Ilma Asharina – Peserta kelas literasi “Memaknai Indonesia” Kerjasama JIB dan CADIK


[1] M. Masrur, Kyai Sholeh Darat, Tafsir Faid al-Rahman dan RA Kartini (Semarang: Jurnal at-Taqaddum, Vol. 4 no.1, Juli 2012) hlm. 33.

[2] Amatullah R, 2017, Kartini dan Muslimah dalam Rahim Sejarah: Menyingkap Peran Muslimah dalam Rentang Sejarah Kemerdekaan, Solo: Indiva, hlm. 84.

[3] Ibid. 86-88.

[4] Ibid, hlm. 84.

[5] Surat Kartini kepada Ny. van Kol, 1 Agustus 1903. Lihat Pane Armijn, 2008, Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 27-8.

[6] Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer 21 Juli 1902. Lihat Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 298.

[7] Surat Kartini kepada Ny. van Kol 21 Juli 1902. Lihat Amatullah R, 2017, Kartini dan Muslimah dalam Rahim Sejarah: Menyingkap Peran Muslimah dalam Rentang Sejarah Kemerdekaan, Solo: Indiva, hlm. 85.

[8] Surat Kartini kepada Tn. E.C Abendanon 15 Agustus 1902. Lihat Pane Armijn, 2008, Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 186.

[9] Chudori LS, 2017, Gelap-Terang Hidup Kartini dalam Seri Buku Saku Tempo, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 62.

[10] Surat Kartini terhadap Ny. Ovink-Soer, Oktober 1900. Lihat Pane Armijn, 2008, Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 92-93.

[11] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 470.

[12] Pane Armijn, 2008, Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 19-20.

[13] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 581.

[14] Chudori LS, 2017, Gelap-Terang Hidup Kartini dalam Seri Buku Saku Tempo, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 25.

[15] Surat Kartini kepada Ny. Abendanon 6 Maret 1904. Lihat Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 668.

[16] Surat Kartini kepada Ny. Anton 17 April 1904. Lihat Ibid, hlm. 670-672.

[17] Chudori LS, 2017, Gelap-Terang Hidup Kartini dalam Seri Buku Saku Tempo, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 25..

[18] Coté J., 2014, Kartini- The Complete Writings 1898–1904, Clayton: Monash University Publishing, hlm. 666.

[19] Surat Kartini kepada Ny. Abendanon 17 April 1904. Lihat Ibid, hlm. 666.

[20] Surat Kartini kepada Tuan dan Ny. Anton 8 Juni 1904. Lihat Ibid.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here