Setelah tersiarnya kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia, para pemuda Indonesia di Mesir yang hampir semuanya adalah pelajar itu berbondong-bondong membakar paspor yang mereka dapatkan dari pemerintah Belanda. Mengetahui hal tersebut, duta besar Belanda di Mesir geram, juga mengancam akan menghentikan segala bantuan biaya kepada para pemuda Indonesia itu. Para pemuda Indonesia itu tak tinggal diam. Segera mereka memberitahukan pemerintah Mesir atas kondisi mereka. Pemerintah Mesir setuju untuk menolong, mereka diberi bantuan meskipun hanya setengah biaya dari yang pernah diberikan oleh Belanda. Para pemuda Indonesia itu pun tak ragu lagi untuk memutus hubungan mereka dengan Belanda, bahkan mereka membuat paspor Indonesia sendiri.
Kisah pembakaran paspor Belanda oleh para pemuda Indonesia di Mesir itu dikisahan oleh Harun Nasution dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Daliar Noer, dkk., 1986). Saat itu memang Harun sudah menetap di Mesir sejak 1938 untuk menempuh pendidikan. Ia bergabung dengan Perhimpunan Pemuda Indonesia-Malaya (Perpindom), sebuah perkumpulan para pemuda dan pelajar Indonesia di Mesir.
H. M. Nur Asyik, salah satu pengurus Perpindom kala itu menuturkan awalnya organisasi itu bernama Al Jam’iyyah Al Hairiyyah Al Jawiyyah. Tepatnya pada tanggal 14 September 1923 Pemerintah Mesir memberikan surat izin resmi No. 323 kepada para pelajar Indonesia untuk mendirikan sebuah perhimpunan yang bergerak di bidang sosial dan politik itu. Mereka juga diperbolehkan menerbitkan majalah politik sendiri, antara lain Seruan Al-Azhar, Pilihan Timur, Merdeka, dan Usaha Pemuda (Sulistiyono, 1996).
Pers memang menjadi salah satu ujung tombak perjuangan Perpindom. Melalui media cetak ini mereka menyebarkan informasi tentang perjuangan rakyat Indonesia ke masyarakat Mesir, juga memberitahukan kabar seputar Timur Tengah kepada masyarakat Indonesia. Harun menuturkan:
“Maka di Perpindom itu kami membentuk seksi politik, di mana kami bisa bicara soal memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di antara usaha kami adalah memperkenalkan Indonesia kepada rakyat Mesir, terutama para pemimpinnya. Sedangkan untuk Indonesia kami membuat karangan tentang perkembangan politik dan pendidikan di Mesir, kami kirimkan ke surat-surat kabar Indonesia. Aku memang mulai memikirkan cara politik yang tidak melalui partai.
Surat kabar terbitan Jakarta, Surabaya, Medan, selalu sampai di Mesir. Misalnya, Sinar Deli, mereka selalu meminta berita dari kami. Aku pun mengirimkannya. Namaku di situ bukan Harun Nasution, melainkan H.A. Jabbar. Singkatan dari Harun Abdul Jabbar. Berita kukirimkan setiap minggu. Kukirimkan informasi ke surat kabar, tentang politik Mesir, atau tentang Indonesia yang disiarkan di luar negeri. Aku pun memasuki politik. Karena itu, aku harus mengikuti berita-berita politik yang dimuat surat-surat kabar Indonesia, lalu memberikan tanggapan.”
Agar lebih meraih simpati dan dukungan lebih dari masyarakat Mesir, mereka juga menggaungkan solidaritas keislaman atau ukhwah Islamiyah dalam tiap kampanye mereka. Untuk itu mereka biasa menonjolkan sisi keislaman para tokoh pemimpin Indonesia, misalnya dari nama. “Nama Presiden Soekarno kami tambah dengan Ahmad didepannya. Jadi Soekarno kami sebut Ahmad Soekarno, baik untuk berita dalam bahasa Arab dan Inggris. Kemudian nama M-nya Hatta kami penuhkan menjadi Muhammad Hatta. Jadi, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah orang Islam. Karena ada nama Ahmad dan Muhammad-nya. Itulah nama lengkap mereka yang kami berikan di Mesir,” jelas Harun (Deliar Noer, dkk., 1986: 23).
Para pemuda Indonesia di Mesir juga aktif berhubungan dan berjejaring dengan para pemuda Indonesia di belahan negara lainnya seperti di India hingga Eropa. Menurut Muhammad Zain Hassan yang juga salah seorang aktivis Perpindom, menuturkan pada tahun 1926 Ketua Al Jam’iyyah Al Hairiyyah Al Jawiyyah saat itu yakni Janan Thalib, telah diutus ke negeri Belanda menemui Muhammad Hatta yang saat itu menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia untuk koordinasi gerakan perjuangan Indonesia di luar negeri. Lebih lanjut Zain Hassan menulis, “Dengan usaha mereka, pada tahun 1926 Indonesia diundang ke Konferensi Islam di Kairo yang diwakili oleh Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Dr. Abdullah Ahmad. Lalu pada tahun 1929 pada Konferensi Buraq di Palestina diwakili oleh Abdulkahar Muzakkir dan Abubakar Asy’ari (Malaya). Dalam konferensi Islam internasional inilah diperkenalkan bangsa dan aspirasi nasional Indonesia,” (M. Zain Hassan, 1980: 27).
Pada tahun 1944 para pemuda Indonesia itu juga mengirim utusan dalam Kongres Pan Arab di Iskandariah, Mesir, sebuah forum yang kemudian menjadi Liga Arab. Zain Hassan dan Ismail Banda diutus ke dalam kongres tersebut untuk memberikan aspirasi mengenai pengakuan kemerdekaan Indonesia, kesatuan Indonesia yang tak dapat dibagi-bagi, dan keterlibatan Indonesia dalam forum atau konferensi perdamaian di dunia setelah perang. Inilah yang menjadi tonggak utama gerakan pemuda Indonesia tersiar lebih luas. Zain Hassan menerangkan, “Tuntutan Indonesia di atas itu disiarkan di media massa di Timur Tengah dan semenjak itu gerakan kami telah lahir terang-terangan. Maka kira-kira setahun sebelum proklamasi, gerakan pemuda dari Indonesia di Timur Tengah telah menuntut pengakuan kemerdekaan Indonesia dan telah dapat mengadakan hubungan-hubungan langsung dengan pemimpin resmi di negara-negara Arab itu.” (M. Zain Hassan, 1978: 28).
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Perpindom membentuk Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Menurut penuturan H. M. Nur Asyik, Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia semula hanyalah bagian dari Perpindom yang menangani persoalan politik (Sulistiono, 1996: 15). Susunan pengurus pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia ini antara lain:
- Muhammad Zein Hassan (Ketua)
- Abduljalil Hassan (Wakil Ketua)
- Ahmad Hasyim Amak (Sekretaris)
- Salahuddin M. Nur (Sekretaris)
- H. M. Nur Asyik (Bendahara)
- Ismail Banda (Anggota)
- Fouad Fakhruddin (Anggota)
- Abdulrahman Ismail (Anggota)
- Abdulgani Bek (Anggota)
Selain itu juga dibentuk kepanitiaan cabang Saudi Arabia dan Iraq. Untuk Saudi Arabia susunan kepantiannya sebagai berikut:
- H. M. Zafar Zaenuddin (Ketua)
- Muhammad Taib Saman (Wakil Ketua)
- Kgs Nuri Encik (Sekretaris I)
- Nurdin Hanafi (Sekretaris II)
Sedangkan cabang Iraq antara lain:
- Imron Rosyadi (Ketua)
- M. Rasyid Bayuni (Sekretaris)
- Zaidan Abdul Samad (Bendahara)
Berdasarkan penuturan Zain Hassan pula, pada musim pertama haji setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, momentum tersebut mereka manfaatkan untuk mengalang dukungan dari para jama’ah haji yang berasal dari berbagai negara. “Kami gunakan sebaik-baiknya buat menghubungi para haji dari seluruh dunia supaya mereka menjadi penghubung di negeri mereka masng-masing dalam menyokong perjoangan Indonesia dan mendorong pemerintah mereka supaya mengakui Republik Indonesia,” tulis Zain Hassan.
Mereka juga menyebarkan brosur-brosur kepada para jama’ah haji yang berisi informasi mengenai kondisi Indonesia juga himbauan dan seruan agar mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada bagian penutup brosur tersebut dituliskan:
“Apabila kaum penjajah telah bersatu padu mempertahankan kejahatan (batil) dan kerjasama dalam menindas bangsa-bangsa Muslim dan merampas hak-hak mereka, apakah tidak lebih patut kita Kaum Muslimin bahu-membahu guna mempertahankan kemerdekaan negara-negara kita. Maka adalah menjadi kewajiban saudara-saudara Muslimin, di saat Indonesia Muslim menghadapi situasi yang sesulit-sulitnya dalam sejarahnya, untuk mengambil langkah-langkah yang positif buat membantu negara pejoang yang sedang berlumur darah itu, dan tindakan-tindakan yang menentukan untuk:
a. mendesak negara-negara Arab dan Islam supaya mengakui RI
b. menuntut semua negara di dunia supaya mengakui RI dan mengertikan mereka bahwa campur tangan mereka di Indonesia dengan maksud menyokong Belanda, membangkitkan kemarahan Kaum Muslimin dan menghilangkan kepercayaan terhadap piagam-piagam internasional yang baru
c. mengutuk segala macam bantuan yang diberikan kepada Belanda dalam agresinya yang tercela di Indonesia, dan
d. membangkitkan semangat solidaritas sesama umat Islam.” (Zain Hassan, 1980: 60)
Hal ini selaras sebagaimana penuturan Harun pula, bahwa mereka aktif menyebarkan berita tentang kemerdekaan Indonesia dari Mesir, bahkan juga menghubungi Sekertaris Jenderal Azzam Pasha untuk ikut menyebarkan beritanya. “Kami sebarluaskan berita bahwa Indonesia sudah merdeka. Juga meminta bantuan dari dunia Arab untuk menyokong gerakan kemerdekaan Indonesia.
Kami menghubungi Abdurrahman Azzam Pasha, Sekjen Liga Arab. Kalau Liga Arab telah kita hubungi, maka beritanya akan lebih mudah tersebar ke seluruh negara Arab,” lanjutnya, “Liga Arab langsung menolong kita. Dia meminta informasi dari kami. Berita yang kami dengar dari radio Bandung dan Yogya, kami terjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris. Lalu diberikan kepada Azzam. Kami juga mengirimkannya ke surat-surat kabar yang suka menolong kita. Jam’iyah Al-Ikhwanul Muslimin, misalnya, serratus persen mendukung kita. Apa saja yang kami dapatkan dari Indonesia, mereka memuatnya sempurna. Kadang di halaman pertama. Kadang di halaman kedua. Dari sinilah dunia Arab mengetahui Indonesia telah merdeka (Deliar Noer, dkk., 1989: 223).
Jadi melalui gerakan para pemuda dan pelajar Indonesia di Timur Tengah ini, masyarakat dan pemerintah negara-negara Arab mengetahui kondisi Indonesia dan bersimpati hingga mendukung perjuangan Indonesia untuk merdeka dari penjajahan. Bahkan menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia.
Pada 15 Maret 1947, utusan dari Mesir dan Liga Arab datang bertemu dengan Presiden Soekarno untuk menyampaikan hasil keputusan sidang Dewan Liga Arab pada 18 November 1946 yang berisi anjuran agar negara-negara anggota Liga Arab mengakui Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka.
Abdul Mun’im, nama utusan itu, juga meminta kepada pemerintah Indonesia agar segara mengirimkan delegasinya ke Mesir untuk menjalin dan menandatangani perjanjian persahabatan. Dipilihlah beberapa delegasi Indonesia diantaranya yakni Haji Agus Salim sebagai ketua, lalu A. R. Baswedan, H. M. Rasjidi, dan Mr. Nazir St. Pamoentjak (Baswedan, 1978: 51).
Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, UIN Syarif Hidayatullah dan Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Daftar Pustaka
Baswedan, A. R. (1978). “Catatan dan Kenangan”. dalam Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir Tahun 1947 (pp. 49–59). Jakarta: Panitia Peringatan HUT Ke-32 Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir.
Hassan, M. Zain. (1980). Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: Bulan Bintang.
Hassan, M. Zain. (1978). “Hubungan Indonesia-Mesir dan Negara-Negara Liga Arab”. Dalam Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir Tahun 1947. Jakarta: Panitia Peringatan HUT Ke-32 Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir.
Noer, Deliar, dkk. (1989). Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Sulistiono, Budi. (1996). Laporan Penelitian Peranan Pemuda Indonesia dalam Gerakan Diplomasi Revolusi di Mesir: Studi Kasus Prof. H. M. Nur Asyik, M.A. Jakarta: LP2M IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.