Memperingati Hari Lahir Kota Jakarta, Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), berbincang dengan salah seorang ulama Betawi, K.H. Cholil Ridwan, Lc., Ketua MUI Pusat, yang juga Pimpinan Pesantren Husnayain. Kepadanya, kami bertanya tentang Islam dan Betawi, tradisi keilmuan di masyarakat Betawi, ulama Betawi dan pandangannya terhadap masyarakat Betawi saat ini. Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), Andi Ryansyah menemuinya pada Sabtu (13/6/2015) di Kantor Pusat Pesantren Husnayain, Cijantung, Jakarta Timur.
Bagaimana hubungan Betawi dengan Islam?
Secara bahasa, Betawi bukan berasal dari bahasa Arab. Namun, Betawi dalam pengertian Jakarta, memang terkait dengan Islam secara historis. Dulu, ketika pelabuhan Sunda Kelapa dijajah oleh Portugis, ada seorang ulama yang sadar dan mewarisi kepemimpinan Rasulullah saw di bidang militer dan pemerintahan. Namanya Fatahillah. Ia mengumpulkan dan melatih pemuda-pemuda Islam di Cirebon. Setelah itu, mereka ke Sunda Kelapa dan menyerang penjajah Portugis. Alhamdulillah penjajah Portugis kalah. Setelah Sunda Kelapa berhasil direbut, didirikanlah sebuah kota yang namanya berasal dari Al-Qur’an: “Inna fatahna laka fathammubina.” Terjemahan fathammubina saat itu adalah Jayakarta. Belakangan, Jayakarta disingkat menjadi Jakarta. Karena orang Betawi kan suka nyingkat. Abdulloh jadi duloh. Muhammad jadi mamat. Ahmad Thoha, jadi mat tohe. Maka terabadikanlah nama Jakarta. Jadi Jakarta ini sebenarnya mutlak murni 100 % milik umat Islam. Umat Islam lah yang merebut Jakarta dengan darah dan senjata. Fatahillah yang pertama kali mendirikan Jakarta. Waktu itu, Islam sangat berpengaruh hingga meresap ke dalam kebudayaan Jakarta. Seperti budaya mengucap “Assalamu’alaikum” ketika masuk ke rumah orang. Tidak ada satu suku pun di Indonesia yang punya budaya seperti itu, kecuali Betawi. Kalau Sunda, “Punten” Kalau Jawa, “Kulonuwun” dan suku-suku lain punya ucapan yang beda dengan Betawi. Lalu Islam juga meresap dalam pakaian adat Betawi. Celana laki-laki di bawah lutut dan rambut perempuan ditutupi kerudung dan pakai kebaya panjang. Artinya, Islam memperkaya budaya Betawi dan Islam sudah mendarah daging di dalam suku Betawi. Jadi agama Betawi itu Islam. Kalau ada orang Betawi bukan Islam, tidak sah jadi orang Betawi. Nenek moyang Betawi itu agamanya Islam. Hari Ulang Tahun DKI Jakarta sendiri adalah hari ketika Fatahillah mendirikan Jayakarta.
Seperti apa dulu anak-anak Betawi dididik?
Betawi ini sangat fanatik dengan Islam. Sampai para ulama Betawi mengharamkan anak-anak Betawi sekolah di sekolah Belanda karena khawatir bisa jadi kafir atau murtad. Orang Betawi membangun madrasah -semuanya swasta, tidak ada yang negeri-. Madrasah ini dikenal dengan sebutan sekolah Arab. Di Tanah Abang ada Madrasah Jami’at Khair yang didirikan oleh para habib sejak tahun 20. Anak kelas 3,4,dan 5 di sana sudah bisa bahasa Arab. Ada juga anak-anak Betawi yang dikirim ke pesantren yang berada di Jawa dan Sunda (Tasikmalaya, Sukabumi). Di Betawi sebenarnya juga ada pesantren, Tuan Guru Marzuki yang membangun pesantren di Cipinang Muara. Kemudian, keluarga Tuan Guru Mughni juga terus memelihara tarbiyah dan majelis ta’lim untuk warga Kuningan di masjid Baitul Mughni, Gatot Subroto. Di kampung-kampung juga ada pengajian modelling. Contohnya ustadzah datang ke rumah warga, lalu warga disuruh menghafal surat Al Fatihah dengan mengikuti apa yang diucapkan ustadzah. Setelah ustadzah mengucapkan alhamdulillahirabbil ‘alamin, warga juga mengucapkan alhamdulillahirabbil ‘alamin. Hal itu terus dilakukan sampai warga hafal. Jadi menuntut ilmu sudah menjadi tradisi Betawi.
Apa bedanya pesantren dan madrasah saat itu?
Kalau pesantren, anak-anaknya menetap dan yang dipelajari kitab kuning, sedangkan madrasah anak-anaknya pulang-pergi, pembelajarannya menggunakan papan tulis, dan yang dipelajari bukan kitab kuning. Madrasah itu duplikasi sekolah, kalau sekolah itu Belanda, Madrasah itu Arab.
Mengapa sekarang Betawi belum punya lagi ulama besar seperti Syaikh Junayd Al-Batawy, Guru Marzuki, Syaikh Mujitaba, Guru Mirshad?
Sebenarnya ulama-ulama Betawi banyak, tapi tidak sebesar yang disebutkan. Mungkin mereka tidak mewarisi jiwa kepemimpinan para kiai zaman dahulu. Sekarang, setelah telah tamat sekolah, mereka lanjut kuliah S1, S2, dan S3, setelah itu, mereka hanya jadi dosen. Kegiatan mereka hanya mengajar, ceramah, dan khutbah, lalu meninggal dunia. Mereka hanya berada di pusaran keilmuan, tidak terjun langsung ke ladang amal. Dulu, tuan guru-tuan guru membangun pesantren dan majelis ta’lim yang berpengaruh. Orientasi generasi muda Betawi sekarang itu setelah tamat pesantren, menetap di Mekah, Madinah, atau Al-Azhar Mesir, pulang jadi dosen, kemudian habis umurnya untuk ceramah. Mereka tidak mengembangkan majelis ta’lim dan pesantren yang bermutu.
Apa tantangan warga Betawi saat ini?
Sekarang warga Betawi dipengaruhi oleh media, teknologi dan informasi seperti TV dan Handphone. Ada anak perempuan pakai pakaian yang ketat (jeans), ada juga yang (maaf), hamil di luar nikah, ada yang murtad karena kristenisasi. Di mana-mana Betawi dianggap mudur dan kalah bersaing dalam pendidikan dan intelektualitas. Kemudian mungkin sudah menjadi peradaban dunia bahwa penduduk asli akan tersingkirkan oleh pendatang. Penduduk asli merasa tidak perlu bekerja keras, sedangkan semangat pendatang tinggi. Misalnya di Amerika, suku Indian tersingkir. Di Australia, suku Aborigin tersingkir. Di Kalimantan, suku Dayak tersingkir. Di Jakarta, suku Betawi mungkin juga tersingkir. Karena suku Betawi tidak bekerja keras dan merasa aman punya tanah, kekayaan, keturunan dan keluarga, lama-lama mereka tidak mendapat warisan lagi dari orang tua mereka dan mereka akhirnya tersingkirkan. Tanah mereka jual dan mereka tinggal di pinggiran. Jakarata bisa jadi seperti Singapura nanti. Selanjutnya ada anggapan bahwa kiai tidak pantas berpolitik karena politik urusan dunia. Ada juga fanatisme mazhab tertentu, sehingga ustadz yang tidak qunutan, tahlilan, mauludan tidak diterima dalam komunitas ustadz. Ada masjid-masjid Betawi yang tidak mau punya manajemen. Ada warga Betawi yang tidak melek politik.
Terakhir, apa pesan Pak Kiai untuk warga Betawi?
Warga Betawi harus kembali pada agamanya, yaitu Islam, bahwa Jakarta bisa jaya karena Islam, kemudian para ulama harus giat berdakwah kepada umat, lulusan pesantren harus ada yang melanjutkan studi hukum, ekonomi, dan bidang-bidang umum lainnya demi tegaknya agama ini, lulusan-lulusan timur tengah jangan lagi hanya dalam pusaran ilmu, tapi juga terjun dalam ladang amal di tengah-tengah masyarakat, warga Betawi harus melek politik agar kekuasaan berada di tangan orang yang ideloginya Islam sehingga berpihak pada umat Islam.