“Hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dengan perempuan bukanlah berarti bahwa pekerjaan yang hanya bahu laki-laki yang kuat memikulnya perempun disuruh pula memikulnya.” – Hamka.
Topik tentang perempuan memang selalu asyik untuk dibahas. Membicarakan kedudukan perempuan tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan kedudukan laki-laki. Kedudukan perempuan yang dibahas juga tidak sebatas pada bahasan terkait hak-haknya saja, namun juga kewajiban-kewajiban yang ditanggungnya. Begitu juga ketika dihadapkan dengan kedudukan laki-laki. Maka, ketika membahas tentang perempuan, kita sejatinya membahas tentang permasalahan manusia secara keseluruhan.
Pembicaraan tentang perempuan juga tidak habis dimakan masa. Sejak terciptanya Adam sebagai manusia pertama, keberadaan perempuan sudah menjadi perbincangan. Seiring berjalannya waktu, permasalahan perempuan pun ikut berkembang mengikuti zamannya. Ihwal perempuan yang diangkat pada abad pertengahan berbeda dengan ihwal yang diangkat pada tahun 1970an. Berbeda pula dengan perkara perempuan yang disuarakan pada masa sekarang. Kenyataannya, persoalan perempuan memiliki benang merah yang bisa dihubungkan dari waktu ke waktu. Jawabannya pun sebenarnya sudah ada sejak 14 abad silam, sejak Muhammad menerima wahyu berupa Islam dari Sang Maha Pencipta.
Cerita Perempuan dari Masa ke Masa
Kedudukan perempuan mengalami naik turun dari masa ke masa. Ada era dimana kedudukan perempuan lebih baik dibanding sekarang, namun ada era sebaliknya pula. Pada masa 1600an S.M di Babilonia ketika Hammurabi berkuasa misalnya, perempuan masa itu didukung landasan hukum yang kuat. Mereka berhak memiliki, mewarisi, dan memindahtangankan hartanya tanpa perlu mendapat persetujuan suaminya. Malah, jauh sebelum itu, Romawi kuno pada tahun 200-an S.M mengagungkan dengan memberikan nama perempuan pada dewa mereka. Mereka pun membuat undang-undang untuk memajukan kedudukan sosial kaum perempuan.[1]
Mesir pada tahun 1550 S.M juga mendudukan perempuan bernama Hatshepur sebagai ratu. Perempuan Mesir juga berhak atas hartanya sendiri seperti para perempuan di Babilonia. Tidak ada paksaan menikah untuk para gadis maupun janda. Perempuan bisa mengajukan gugatan cerai, hampir sama dengan laki-laki. Walaupun tidak banyak perempuan yang tampil sebagai pemegang kekuasaan, istri-istri pejabat menjadi sorotan dan memegang peranan penting. Bisa dikatakan kalau kedudukan perempuan Mesir saat itu lebih bebas dibandingkan perempuan Barat saat ini.[2]
Sayangnya, Yunani kuno yang terkenal atas lahirnya pemikiran filsafat barat tidak berlaku baik kepada perempuan. Perempuan Yunani kuno tidak berhak mendapat pendidikan formal, memegang jabatan, dan memiliki hartanya sendiri. Bangsa Romawi setelah keruntuhannya pun berlaku sama, jauh berbeda dengan masa keemasannya. Perempuan tak lebih hanya sebagai pelampiasan nafsu lelaki saja dan bisa ditindas.[3] Bahkan ada aturan yang melarang perempuan berbicara di dalam gereja.[4]
Di jazirah Arab, kedudukan perempuan pada zaman jahiliyah sangat direndahkan. Perdagangan perempuan sudah menjadi hal yang lumrah.[5]Lain halnya dengan perempuan, posisi laki-laki pada saat itu memiliki derajat yang tinggi dan diunggulkan. Laki-laki bebas berkehendak semaunya dan tidak ada yang membatasi. Bahkan, mereka rela menghujamkan pedang kepada siapa saja yang berani menghalangi jalannya.[6]
Keluarga Arab pada zaman jahiliyah begitu mendamba anak laki-laki sebagai keturunannya untuk membentengi diri dari serangan musuh.[7] Tapi, kehadiran anak perempuan justru mendatangkan aib.Anak perempuan dianggap tidak membawa untung sama sekali sebab tidak bisa membantu keluarga.Setiap ada kelahiran anak perempuan, laki-laki Arab pada zaman jahiliyah merasa malu dan murka. [8]
Anak perempuan yang lahir pada masa itu memiliki dua pilihan: dibiarkan hidup dengan menanggung hina atau ditimbun dalam tanah. Jika dibiarkan hidup, maka anak perempuan akan dijadikan tawanan rumah dengan dipaksa untuk melakukan pekerjaan berat. Mereka dianggap tidak ada, tidak dihitung sebagai anggota keluarga. Malang lagi nasib anak perempuan jika dia harus dikubur hidup-hidup tepat setelah lahir. Ayah nya akan menggalikan lubang untuk menimbunnya atau mencari sumur tua untuk ditinggalkan disana dan ditindih dengan batu.[9]
Ketika Islam datang, tabiat buruk mengubur anak perempuan dihapuskan. Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah yang mencela dan mengecam perbuatan keji itu. Turunnya wahyu Ilahi yang melindungi kaum perempuan, memberi pengaruh besar pada masyarakat Arab. Beberapa ayat lain juga menjelaskan bahwa kedudukan perempuan sama dengan laki-laki di hadapan Allah dan bermacam peranan perempuan yang tak kalah pentingnya dengan laki-laki membuat derajat perempuan terangkat.[10]
Di Barat, pandangan rendah terhadap perempuan melahirkan suatu gerakan pembebasan kaum perempuan. Gerakan ini, yang kita kenal sebagai feminisme, secara umum bertujuan untuk mengeliminasi perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Awal kemunculannya di abad ke-18, gerakan feminisme menuntut diberikannya hak pilih kepada perempuan. Kemudian muncul gelombang feminisme kedua pada tahun 1970-an yang menuntut kesamaan dan keadilan gender di ranah sosial hingga kedudukan keluarga.[11]
Feminisme sendiri memiliki beragam cabang. Rosmarie Tong dalam Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (2009) setidaknya menyebutkan ada feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme Marxis, ekofeminisme, hingga feminisme post-modern.[12] Meskipun begitu, perjuangan kaum feminis berfokus kepada usaha perjuangan kesetaraan hak perempuan di segala lini kehidupan.[13]
Sayangnya, feminisme adalah gerakan yang lahir karena nafsu amarah. Paham ini dipaksakan masuk ke seluruh bangsa bahkan agama. Kesetaraan gender, produk utama yang diusung oleh kaum feminis, dimasukkan ke dalam salah satu neraca pembangunan PBB dalam bentuk Gender Development Index (GDI).[14]
Di Indonesia, feminisme diimpor dan dipoles dengan nama “emansipasi wanita”. Menurut KBBI, emansipasi wanita adalah proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.[15]Emansipasi menawarkan persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan. Sayangnya, tidak banyak yang tahu, bahwa sesungguhnya manisnya persamaan hak laki-laki dan perempuan yang disuguhkan itu pada dasarnya merupakan produk dari sekularisme.[16] Agama dianggap terlalu mengekang dan berlaku tidak adil terhadap perempuan.
Al-Qur’an Bias Gender?
Menurut kelompok feminis Islam, salah satu alasan adanya ketimpangan sosial dalam memandang perempuan di masyarakat disebabkan pemahaman dan penafsiran Islam yang distortif dan bias gender. Ada beberapa ayat di Al-Qur’an yang dianggap meletakan perempuan sebagai kaum inferior.[17] Anggapan bahwa perempuan sebagai the second human being bahkan sudah dimulai sejak kisah penciptaan Adam dan Hawa.
Menurut Musdah Mulia, seorang aktivis perempuan Indonesia, ayat ini membawa pada pemahaman bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah. Hawa diciptakan setelahnya dan konon berasal dari tulang rusuk Adam. Makna yang menyebar, menurut kelompok feminis, dalam masyarakat terhadap ayat ini adalah anggapan bahwa perempuan hanyalah kaum kelas dua. Perempuan dianggap sebagai subordinat laki-laki sebab hanya tercipta dari bagian tubuh laki-laki. Kaum feminis memandang bahwa hal ini membawa perempuan pada posisi pelengkap kehidupan laki-laki saja. Perempuan bukanlah makhluk utama sebab itu tidak pantas berada di depan atau sebagai pemimpin.[18]
Tidak cukup didiskreditkan menjadi karena tercipta dari bagian tubuh laki-laki, perempuan disalahkan atas turunnya manusia ke Bumi.Setidaknya anggapan yang berkembang di masyarakat seperti itu menurut. Hawa-lah yang pertama kali terkena bujukan setan untuk memakan buah terlarang. Cerita ini, menurut Musdah, membuat perempuan mendapat stigma sebagai “…makhluk penggoda dan dekat dengan iblis.” Citra buruk tersebut membuat perempuan memiliki keterbatasan ruang gerak dalam menjalankan kehidupan sosial.[19]
Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 34 turut dianggap memojokan kedudukan perempuan. Karena laki-laki yang disebut sebagai pemimpin bagi perempuan, maka perempuan tidak layak untuk memimpin. Ditambah lagi dengan penilaian kalau perempuan memiliki fisik lemah dan akal yang pendek serta perasaan yang halus. Dikhawatirkan, perempuan tidak bisa mengambil keputusan dengan tegas.[20]
Menurut Musdah, ketiga contoh ayat di atas membawa opini bahwa kedudukan perempuan itu rendah. Laki-laki dianggap lebih superior dibanding perempuan. Sayangnya, masih menurut Musdah, pemahaman bias gender dalam Al-Qur’an tersebut dipahami oleh sebagian besar umat Islam.[21] Namun, apakah memang benar bahwa Al-Qur’an menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan?
Tafsir Buya Hamka Terhadap Ayat ‘Bias Gender’
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal luas sebagai Hamka merupakan salah satu buya terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Taufiq Ismail menyebutkan bahwa Buya Hamka merupakan sosok panutan yang berhati mulia “…teladan manusia berjiwa besar, pemaaf, dan berlapang dada.”[22] Jusuf Kalla memuji Buya Hamka sebagai tokoh yang komplit “…tak ada ulama yang selengkap Buya Hamka. Dia ahli agama, sastrawan, juga pemikir.”[23]
Terlahir sebagai putra Haji Abdul Karim Amrullah, ulama masyur dari Minangkabau, Buya Hamka sejak lahir sudah dicita-citakan menjadi seorang ulama oleh ayahnya.[24] Saat kelahirannya, ayahnya mengatakan “sepuluh tahun.” Artinya tak lain jika usia Buya Hamka nanti sudah sepuluh tahun, akan dikirimnya dia ke Mekkah untuk belajar agama dan menjadi alim seperti ayah dan leluhurnya.[25]
Pada kenyataannya, Buya Hamka merantau ke Jawa pada usia 15 tahun terlebih dahulu untuk berguru kepada H.O.S. Cjokroaminoto, Haji Fachroddin, R.M. Surjopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, dan Buya Sutan Mansyur. Tidak hanya ilmu agama saja yang dipelajari, beliau juga mempelajari ilmu sosial dan logika dari guru-gurunya itu. Ketika usianya belum 18 tahun, beliau baru berangkat ke kota Mekkah untuk semakin mendalami agama Islam.[26]
Masa kecil Buya Hamka tidak dilaluinya dengan mulus. Kedua orang tua kandung Buya Hamka bercerai saat usianya baru 12 tahun. Perceraian kedua orang tuanya sempat membuat hidup Buya Hamka goyah. Namun, tekad untuk menjadi manusia berguna tertancap kuat di hatinya. Tekad itu yang membangkitkan lagi semangat hidup Buya Hamka dan berniat untuk terus belajar dan membaca.[27]
Haji Abdul Karim Amrullah sebenarnya memiliki dua istri selain Syafiyah, ibu kandung Buya Hamka, yaitu Hindun dan Rafi’ah. Sebelum itu, istri pertamanya, Raihanah meninggal ketika melahirkan anaknya. Namun, pada tahun 1920 beliau bercerai dengan Syafiyah dan pada 1929 berpisah dengan Rafi’ah. Pada tahun 1944, Hindun meninggal dunia. Syekh Abdul Karim kemudian menikah lagi dengan Dariyah yang menemani selama di pengasingan. Selain itu, beliau pun beberapa kali menikah tetapi tidak lama usia pernikahannya.[28]
Meskipun ayahnya berpoligami, Buya Hamka tidak pernah memandang nista kaum perempuan. Bukan berarti pula beliau pro-feminisme. Posisi beliau jelas, tidak mendukung feminisme. Buya Hamka menyebukan bahwa kaum feminisme mengubah pusaka agamanya yang jelas.[29] Feminisme hanyalah salah satu produk kaum orientalis yang berusaha menjauhkan umat Islam dari agamanya.
Dalam beragam tafsir dan tulisannya tentang perempuan, Buya Hamka menguraikan kemuliaan perempuan dalam Islam menurut dalil dari Al-Qur’an dan hadist. Betapa sempurnanya Islam mengatur hak dan kewajiban umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan, secara adil. Meskipun sudah ditulis beberapa tahun silam, tulisan beliau masih sangat relevan untuk menjawab logika kaum feminis.
Perempuan dan Kisah Buah Terlarang
Salah satu pendapat kelompok feminis bahwa perempuan hanyalah the second human being sebab tercipta dari bagian tubuh laki-laki bisa dengan cermat dijawab oleh Buya Hamka. Sesungguhnya, Buya Hamka menyangsikan pendapat tersebut. Dalam Tafsir Al-Azhar surat An-Nisa ayat 1, beliau menjelaskan memang sebagian ulama tafsir terdahulu, antara lain Ibnu Abbas dan Mujahid, menjelaskan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Ibnul Mundzir dan Abd bin Humaid mendetailkan tulang rusuk Adam yang dimaksud berada di sebelah kiri yang paling bawah. Maka, tak heran jika ahli tafsir selanjutnya mengikuti jejak ahli tafsir sebelumnya. Padahal, dalam ayat tersebut tidak disebutkan sama sekali tentang tulang rusuk.[30]
Pertanyaan yang muncul, dari manakan ahli tafsir terdahulu menyebutkan demikian? Menurut Buya Hamka, memang benar ada sabda Rasulullah S.A.W. yang menyebutkan agar perempuan harus dijaga dengan hati-hati sebab dia diciptakan dari tulang rusuk. Laksana tulang rusuk, jika perempuan dibiarkan begitu saja maka dia akan tetap bengkok dan jika terlalu keras maka dia akan patah. Namun, meskipun hadist ini termasuk shahih, belum dapat dijadikan alasan yang tepat untuk mengatakan bahwa perempuan pertama berasal dari tulang rusuk laki-laki sebelah kiri bagian paling bawah. Setidaknya, pesan yang dapat dipetik dari hadist tersebut ialah tentang tabiat perempuan yang menyerupai tulang rusuk. Jadi, bukan dirinya yang dibuat dari tulang rusuk melainkan tabiatnya saja.[31]
Anggapan Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam sebenarnya berasal dari kaum Yahudi. Cerita ini tertulis dalam kitab Kejadian (pasal II, ayat 21—22), salah satu dari lima kitab yang menurut mereka adalah Taurat.
“2:21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 2:22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.” (Kejadian 2:21—22)
Namun, umat Kristen sendiri menyangsikan apakah benar itu wahyu yang diturunkan kepada Musa atau hanya karangan orang-orang setelahnya? Will Durant, seorang sejarahwan Yahudi, mempunyai anggapan barangkali kitab itu hanya catatan kepercayaan penduduk Babylon dan Mesopotamia yang dikumpulkan dan dijadikan kitab suci olah kaum Yahudi.[32]
Islam adalah satu-satunya agama yang membebaskan ijtihad bagi yang ahli. Suatu hal yang wajar dan tidak salah jika ada perbedaan pendapat dalam penafsiran. Menurut Buya Hamka, tidak dihukum murtad siapapun yang meyakini Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, begitu juga sebaliknya.[33] Maka, tidak ada gunanya pula bagi kaum perempuan merasa rendah diri karena hal yang masih belum pasti sejarahnya.
Lalu, apakah benar bahwa Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi karena kesalahan Hawa yang termakan bujuk rayu setan? Yahudi, Kristen, dan Islam memang memiliki kesamaan dalam kisah asal usul manusia: sama-sama berasal dari surga. Sebab musabab diturunkannya manusia ke dunia juga sama: tipu daya setan. Namun, siapa yang bertanggung jawab atas terusirnya manusia dari surga menjadi pembeda dalam masing-masing kitab suci. Dalam Alkitab dikisahkan,
“3:1 Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” 3:2 Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, 3:3 tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” 3:4 Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, 3:5 tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” 3:6 Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya” (Kejadian 3: 1—6)
Dalam Kitab Kejadian (Perjanjian Lama) Pasal III, dijelaskan bahwa iblis yang memperdaya Adam dan Hawa menumpang dalam mulut ular. Disebutkan pula bahwa yang tertipu lebih dulu adalah Hawa sebab perempuan merupakan makhluk yang lemah dan mudah terperdaya. Dalam ayat selanjutnya juga diceritakan bahwa Adam mengaku kepada Tuhan bahwa dia tidak bersalah, istrinya-lah yang salah karena merayu dan terperdaya lebih dulu.[34]
“3:12 Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” (Kejadian 3: 12)
Persis dengan apa yang dijadikan dalil perjuangan perempuan oleh kelompok feminis, cerita ini membuat perempuan terkungkung dalam stigma kalau perempuan adalah sebab timbulnya dosa, penggoda laki-laki, dan lemah imannya. Anggapan ini melahirkan istilah femina atau feminis yang berasal dari Bahasa Latin fei-minus. Fei artinya iman, dan minus artinya kurang, sehingga feiminus berarti kurang iman.[35] Lalu, apakah Al-Qur’an menyalahkan perempuan?
“Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”.” (QS Al-A’raf (7): 20)
Buya Hamka memerincikan detail kisah ini di Al-Qur’an. Dalam surat Al-Baqarah ayat 36, memang benar bahwa Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga sebab keduanya terjerat tipu daya setan. Begitu juga dalam surat Al-A’raaf ayat 20, keduanya sama-sama diperdayakan oleh setan untuk memakan buah terlarang. Kedua surat ini menjelaskan bahwa keduanya sama-sama bertanggung jawab dan bersalah.[36]
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (QS Thaahaa (20): 115)
“Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (QS Thaahaa (20): 120—121)
Namun, dalam surat Thaahaa dijabarkan lagi bahwa yang bertanggung jawab ialah Adam. Surat Thaahaa ayat 115 memperlihatkan jika laki-laki yang bertanggung jawab dan kepada laki-laki pula dikenai perintah dan janji untuk menjauhi buah terlarang, namun dia lupa dan lalai. Ayat 120 kemudian dengan gamblang menceritakan bahwa Adam yang dibujuk oleh setan langsung, bukan dari rayuan istrinya. Ayat 121 menceritakan bahwa keduanya sama-sama memakan buah terlarang. Namun, di ayat ini pula ditegaskan bahwa Adam yang melanggar perintah Allah karena tidak sangup menahan diri dari tipuan setan dan tidak sanggup mencegah istrinya.[37]
Dari perbandingan ayat-ayat dalam Bibel maupun Al-Qur’an ini, jelas bagaimana Yahudi, Kristen, dan Islam memposisikan perempuan. Sayangnya, diakui oleh Buya Hamka, bahwa pada zaman kemunduran Islam, ada sejumlah tafsir Al-Qur’an yang dibumbui oleh israiliyyat. Israiliyyat merupakan tafsir yang diwarnai dengan kisah atau dongeng yang diterima oleh Ahlul Kitab lalu dimasukan oleh Ahli Tafsir ke dalam tafsir Al-Qur’an. Ahli Tafsir yang seperti itu kebanyakan orang Yahudi yang kemudian memeluk Islam. Karena itu, Buya Hamka tidak heran jika ada pengaruh buruk terhadap pikiran sebagian orang Islam yang berbeda dengan tuntunan Al-Qur’an.[38]
Mengapa Laki-laki yang Memimpin?
Sebenarnya, tidak hanya masalah dongeng manusia turun ke dunia yang dipersengketakan kaum feminis Islam dalam menggaungkan gerakannya. Ada beberapa masalah ketidakadilan lain yang dirasakan oleh kaum feminis seperti laki-laki yang harus menjadi pemimpin, jumlah warisan perempuan yang hanya setengan dari bagian laki-laki, hingga jumlah hewan yang dikorbankan ketika kelahiran bayi perempuan yang lebih sedikit dibandingkan bayi laki-laki.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisaa (4):34)
Memang benar bahwa di surat An-Nisaa’ ayat 34 menyebutkan “Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebagian mereka atas yang sebagian”. Buya Hamka di Tafsir Al Azhar menerangkan kalau di ayat ini jawaban mengapa pembagian warisan laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, mengapa laki-laki yang membayar mahar, hingga mengapa laki-laki yang diizinkan beristri empat bukan sebaliknya? Karena laki-laki yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula setara kedudukannya.[39] Bisa jadi kedudukan yang tidak setara ini yang kemudian akan disanggah oleh kelompok feminis.
Namun, dalam tafsirnya, Buya Hamka mengajak kita untuk kembali menilik ayat tersebut. Ayat tersebut tidak serta-merta memerintahkan laki-laki untuk menjadi pemimpin. Tidak ada kalimat seperti “wahai laki-laki, wajiblah kamu menjadi pemimpin!”. Allah menjelaskan, melalui ayat ini, berupa kenyataan memang naluri laki-laki yang memimpin perempuan. Betapapun primitif ataupun modern rumah tangganya dengan menjunjung tinggi emansipasi wanita, jika ada perampok, secara naluri laki-laki yang akan melindungi keluarganya tanpa ada komando. Entah itu kedudukannya sebagai suami atau anak laki-laki tertua dalam keluarga. Tidak hanya manusia, hewan pun memilih pejantan sebagai pemimpin kelompoknya.[40]
Allah melebihkan sebagian kepada laki-laki daripada perempuan berupa kekuatan fisik dan pikiran sehingga lebih juga tanggung jawab seorang laki-laki. Islam mewajibkan laki-laki membayar mahar kepada perempuan ketika pernikahan. Mahar ini diibaratkan sebuah peraturan tidak tertulis tentang tanggung jawab. Dengan diserahkannya mahar, istri menyerahkan dirinya untuk dipimpin suaminya, bukan lagi orang tuanya. Pun begitu dengan suami, dia siap bertanggung jawab untuk membela dan memimpin istrinya.[41]
Menurut Musdah, gambaran ideal perempuan dalam masyarakat Islam ketika sudah menikah berarti seutuhnya milik suami dan harus memberikan pelayanan seumur hidupnya. Kalau perlu, istri harus menyembah suaminya, tidak bisa keluar rumah tanpa izin suaminya, dan menjaga harta suami ketika tidak berada di rumah.[42]
Buya Hamka dalam tulisannya yang lain menambahkan, laki-laki diberi kelebihan fisik dibanding perempuan, maka laki-laki yang wajib mengembara mencari nafkah sedangkan perempuan bertanggung jawab menjaga harta di rumah. Dengan kelebihan kondisi fisik itu, laki-laki yang bisa bertanggung jawab penuh sebagai pemimpin. Perempuan yang baik, dalam ayat lanjutannya disebutkan, adalah perempuan yang taat dan mampu menjaga rahasia keluarganya.[43]
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS An-Nisaa (4):34)
Kontroversi “Memukul Perempuan”
Meskipun secara fisik perempuan lebih lemah dibanding laki-laki, tidak ada satu pun pembenaran di Al-Qur’an untuk melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Pada lanjutan surat An-Nisaa’ ayat 34 memang ada perintah untuk memukul istri, tapi ayat ini bukan untuk menjadi justifikasi melakukannya.
Jika perempuan tidak taat dan tidak patuh, yang dalam istilahnya disebut nusyuz, baik kepada Allah maupun suaminya, ada tiga cara yang diajarkan dalam ayat ini untuk menuntunnya kembali.
“…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar….” (QS An-Nisaa (4):34)
Tahap yang pertama adalah perintah untuk mengajari dan memberi petunjuk dengan baik serta menyadarkan mereka dari kesalahannya. Dalam tafsirnya, Buya Hamka menegaskan bahwa suami yang baik akan menggunakan kata-kata dan sikap yang patut untuk membimbing istrinya. Pesan lain yang disampaikan Buya Hamka kepada suami sebaiknya tidak boleh jenuh dan nyinyir. Sebab mendirikan dan menegakan ketentraman dalam berumah tangga bisa membutuhkan waktu puluhan tahun.[44]
Untuk perempuan yang susah diajari dengan lisan, maka suami boleh mengambil sikap tegas “dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka”. Bisa jadi, hukuman ini tidak terlalu terasa bagi pasangan suami-istri yang telah menikah belasan hingga puluhan tahun yang telah malah lebih sering menghabiskan malam bersama anak-cucunya. Namun, bagi pasangan yang usia pernikahannya masih muda, suami memisah tempat tidur karena menunjukan hati yang tidak senang merupakan ‘tamparan’ bagi seorang istri.[45]
Namun, saat kedua cara sebelumnya benar-benar tidak mampu menyadarkan mereka, suami dibenarkan untuk memakai cara ketiga “dan pukullah mereka”.Buya Hamka menyadari bahwa ada kelompok perempuan intelektual yang mengecam kebolehan suami memukul istri. Namun, dalam kenyataannya, ada perempuan yang suka membesar-besarkan pertengkaran dengan suaminya dan baru menyadari kesalahannya setelah dipukul. [46]
Meskipun demikian, menurut Buya Hamka para ulama dalam kitab fiqih sudah memberi batasan dan petunjuk memukul istri yang seperti ini. Seorang suami dilarang untuk memukul muka dan bagian badan yang akan merusak. Bahkan, Ibnu Abbas memberi keterangan semata-mata diperbolehkan memukul istri dengan menggunakan sikat gigi atau tongkat kecil dan tidak boleh membuat perempuan menderita. Bukan seperti memukul budak.[47]
Sesungguhnya, memukul istri hanya diperbolehkan oleh Rasulullah S.A.W. kalau sudah sangat terpaksa. Beliau tidak senang jika ada yang memanfaatkan kesempatan memukul istrinya. Singkatnya, memang ada peraturan Allah untuk memukul istri tapi dengan segala catatan yang sudah disebutkan sebelumnya. Maka dari itu, perempuan hendaknya berusaha bertutur kata dan bersikap agar tidak sampai suami menghukum dengan pukulan.[48]
Kecemasan perempuan modern kini sudah lebih dulu ditangkap oleh Buya Hamka. Beliau menasihati untuk tidak usah risaukan perkara-perkara itu. Islam tidak memerintahkan orang sujud kepada selain Allah. Istri tidak diperintahkan sujud kepada suaminya. Jika laki-laki diperintahkan untuk berjihad secara fisik, maka Allah hanya memerintahkan kesetiaan perempuan kepada suaminya sebagai imbalan atas perjuangan suaminya di luar sana. Tanggung jawab keduanya sama-sama besar dalam bidang masing-masing.[49]
Islam Tanpa Feminisme
Islam mengetahui dan menjaga kondisi fisik perempuan maka jangan sampai ia memikul hal yang tak dapat dipikulnya. Rasulullah pernah ditanya oleh seorang perempuan. Jika Allah memerintahkan laki-laki pergi jihad dan mendapat pahala dan kemuliaan dari jihadnya, apa yang akan didapat perempuan kalau selalu berjaga saja di rumah tangga? Rasulullah pun menjawab bahwa taat dan setia kepada suami dan mengakui hak suami sama nilainya dengan perjuangan laki-laki di medan jihad.[50]
Buya Hamka mengingatkan, sesungguhnya, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama melakukan pengorbanan. Laki-laki berkorban tenaga mencari nafkah untuk keluarganya di luar rumah sementara perempuan berkorban tenaga memelihara rumah tangga, melayani suami, dan mengurus anak-anaknya.[51]
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah: 71)
Ayat tersebut menjamin kedudukan yang sama antara mukmin laki-laki dan mukmin perempuan di hadapan Allah. Laki-laki dan perempuan sama-sama memikul kewajiban yang sama dan mendapatkan haknya. Keduanya sama-sama diperintahkan untuk tolong menolong kepada sesama, berbuat ma’ruf dan mencegah hal yang mungkar, menunaikan shalat, membayar zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dengan aturan Islam yang sedemikian rupa ini, tak perlu perempuan menyuarakan persamaan hak dengan laki-laki. Allah sudah memperhitungkan dan menimbang dengan adil hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.Islam sudah sempurna tanpa feminisme
“Apa lagi yang hendak Anda cari untuk membuktikan bahwa perempuan memang mendapat tempat yang istimewa dalam Islam?” –Buya Hamka
Oleh: Priyanka Kusuma Wardhani – Peserta Kelas Literasi “Memaknai Indonesia”, kerjasama JIB dan CADIK
[1] Anwar Harjono, “Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam”, Jakarta, Gema Insani, 1995, h.100-101
[2] Anwar Harjono, ibid, h.100
[3] Anwar Harjono, ibid, h.101
[4] Margaret Walters, “Feminism: A Very Short Introduction”, New York, Oxford Unoversity Press, 2005, h. 9
[5] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, “Ar-Rahiq Al-Makhtum Sirah Nabawiyah”, Penerbit Insan Kami, Sukoharjo, 2017, h.114.
[6] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, ibid, h.107.
[7] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, ibid, h. 112.
[8]Prof. Dr. HAMKA, “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”, Gema Insani, Depok, 2017, h.26-27.
[9]Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 27-28.
[10] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 30.
[11]Elinor Burkett dan Laura Brunell , “Feminism”, diakses dari https://www.britannica.com/topic/feminism#ref216005 para 6 Januari 2020 pukul 9.33 WIB
[12] Rosmarie Tong, “Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction”, Philadelphia, Westview Press, 2009.
[13] Siti Musdah Mulia, “Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender”, Yogyakarta, Kibar Press, 2007, h.38.
[14]Hamid FahmiZarkasyi, “Misykat: Refleks itentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam”, Jakarta, INSISTS-MIUMI, 2012, p. 234-240.
[15]Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Arti Kata Emansipasi”, diakses darihttps://kbbi.web.id/emansipasi pada 8 Januari 2020 pukul 13.04 WIB.
[16] Siti Musdah Mulia, op cit, h. 27
[17] Siti Musdah Mulia, ibid, h.62.
[18] Siti Musdah Mulia, loc cit.
[19]SitiMusdahMulia, loc cit.
[20]SitiMusdahMulia, ibid, h.63
[21] Siti Musdah Mulia, loc cit.
[22] Dalam pengantar buku “Ayahku…”. Lihat, Irfan Hamka, “Ayahku”, Jakarta, Republika, 2014, h. xvii
[23] Dalam sambutan saat peresmian rumah susun dan ruang kelas baru Pesantren Modern Terpadu Prof DR Hamka II di Kota Padang pada 3 September 2019. Lihat, Febrian Fahri, “JK: Sulit Cari Ulama Selengkap Buya Hamka”, diakses dari https://republika.co.id/berita/px91gm335/jk-sulit-cari-ulama-selengkap-buya-hamka pada 10 Januari 2020 pukul 15.40 WIB.
[24] Irfan Hamka, “Ayahku”, Jakarta, Republika, 2014, h. 230.
[25] Prof. Dr. HAMKA, “Kenang-kenangan Hidup”, Depok, Gema Insani, 2018, h.6
[26] Irfan Hamka, op cit, h. 233.
[27] Irfan Hamka, ibid, h. 242.
[28] Prof Dr. HAMKA, “Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera”, Jakarta, Umminda, 1982, h. 262-263.
[29] Prof. Dr. HAMKA, “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”, Depok, Gema Insani, 2017, h. 76.
[30] Prof. Dr. HAMKA, “Tafsir Al-Azhar: Jilid 2”, Depok, Gema Insani, 2015, h. 167.
[31] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 168.
[32] Prof. Dr. HAMKA, loc cit.
[33] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h.169.
[34] Prof. Dr. HAMKA, “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”, op cit, h. 61.
[35] Hamid Fahmi Zarkasyi, opcit, h. 237.
[36] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 63.
[37] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 64-66
[38] Prof. Dr. HAMKA, op cit, 68-70
[39] Prof. Dr. HAMKA, “Tafsir Al-Azhar Juzu’ V-VI”, Jakarta, Panjimas, 1983, h. 46.
[40] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 46-47.
[41] Prof. Dr. HAMKA, loc cit
[42] Siti Musdah Mulia, op cit, h. 15
[43] Prof. Dr. HAMKA, “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”,op cit, h.94-97
[44] Prof. Dr. HAMKA, “Tafsir Al-Azhar Jilid 2”, Depok, Gema Insani, 2015, h.280.
[45] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 280.
[46] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 281.
[47] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 282.
[48] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 282.
[49] Prof. Dr. HAMKA, “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan”,op cit, h. 25.
[50] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 20.
[51] Prof. Dr. HAMKA, ibid, h. 22.