Sempat tersiar berita tentang beberapa sekolah Islam yang menolak upacara bendera [1] dan radio Islam yang menolak menyiarkan lagu kebangsaan[2]. Komentar-komentar bermunculan. Dari perbuatan makar, hingga pengkhianat. Kejadian seperti ini mudah membakar emosi orang-orang yang tak sependapat dengan sekolah atau radio tersebut. Apalagi belakangan memang santer masalah NII, penolakan terhadap pancasila dan sebagainya. Maka tak heran menolak upacara bendera dan menolak menyiarkan lagu kebangsaan dianggap sebagai penolakan terhadap NKRI, tidak nasionalis, yang berujung pada tudingan pengkhianat. Tapi apakah pantas, orang yang menolak upacara bendera disebut pengkhianat? Apakah pantas menolak menyiarkan lagu kebangsaan dituding tidak mencintai Indonesia? Lalu apa tolak ukur rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air? Lebih khusus lagi, apa tolak ukur bagi seorang Muslim mencintai tanah airnya? Apakah harus dengan upacra bendera? Dengan menyanyikan lagu kebangsaan?
Ada baiknya kita lihat pendapat seorang Haji Agus Salim. Salah seorang tokoh besar bangsa ini. Sekaligus seorang tokoh Islam di Indonesia. Kecintaannya pada bangsa ini tentu tidak diragukan lagi. Ialah generasi awal tokoh gerakan modern kemerdekaan Indonesia. Sesungguhnya ia pernah membahas persoalan cinta bangsa dan tanah air puluhan tahun yang lampau. Tepatnya Juli 1928. Ketika ia memulai polemik dengan Soekarno lewat media massa. Polemik tentang cinta tanah air dan bangsa, bahkan ketika sumpah pemuda pun belum di ikrarkan oleh pemuda kita.
Berawal dari perkataan Soekarno pada massa PNI. Soekarno menggambarkan betapa Indonesia, yang ia anggap sebagai ibu, begitu indah, teramat kaya dan ia cintai. Maka, kata Soekarno, tak lebih dari wajibmu apabila kamu menghambakan, membudakkan dirimu kepada Ibumu Indonesia, menjadi putra yang mengikhlaskan setiamu kepadanya.
Haji Agus Salim lalu menulis dalam Fajar Asia, dan menurutnya adalah wajar mencintai tanah air dan bangsanya yang elok dan teramat kaya. Tapi,sebagai muslim, harus dengan asas yang benar, dan tujuan utama yang akan dinilai oleh Allah. Ia mencontohkan betapa banyak, bangsa yang dicintai dan diagungkan kemudian, menjajah bangsa lain. Ia kemudian melanjutkan, “inilah bahayanya, apabila kita ‘menghamba’ dan ‘membudak’ kepada ‘Ibu-dewi yang menjadi tanah air kita karenanya sendiri saja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan baiknya, karena ‘airnya yang kita minum’ atau nasinya yang kita makan.”
Karena menurut Haji Agus Salim, janganlah kita mencintai karena sifat duniawi. Ia mengingatkan, “ atas dasar pehubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka, tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan.” Ia kemudian melanjutkan, “ maka sebagai dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia kita, demikian juga cinta tanah air, mesti kita menunjukkan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak (kebenaran), keadilan dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahuwa Ta’ala. ” Artinya kita sebagai muslim, mencintai tanah air ini, tidak melebihi cinta dan cita kita pada Allah. Dan Allah telah menentukan kadarnya. Bagaimana kadarnya?
Haji Agus Salim mencontohkan kadar cinta Nabi Ibrahim pada tanah airnya. Sebagai mana ia kutip surat Ibrahim ayat ke 37.
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Ia menerangkan bahwa, bahwa men-tanah air-kan semata karena untuk menyembah Allah. “Hanyalah akan tempat untuk menyembah Allah semata-mata”, tulisnya.
Saya yakin, sebagaimana Haji Agus Salim juga yakin pada Soekarno, bahwa kita sama-sama mencintai tanah air dan bangsa ini. Tapi ada perbedaan yang mendasar.
“Sama Haluan : Cinta bangsa dan tanah air. Sama tujuan : Kemuliaan Bangsa dan Tanah air. Tapi berlainan asas dan niat, “ tandas Haji Agus salim. “Asas Kita agama, yaitu Islam. Niat kita Lillahi Ta’aala, ” Lanjutnya.
Maka sebagai seorang muslim, kita mencintai tanah air ini karena Allah. Semata agar menyembah Allah.Tidak menyembah bangsa dan tanah air ini. Apa yang Allah telah gariskan dan tentukan, itulah yang kita jalankan di tanah air kita ini. Toh semata-mata agar tanah air ini mendapat kemuliaan. Kemuliaan dengan ridho Allah.
Itulah kadar cinta bangsa dan tanah air ini untuk seorang muslim. Maka apabila ada teman-teman kita, yang menolak untuk melakukan upacara bendera, menyiarkan lagu kebangsaan, janganlah dituding sebagai pengkhianat atau berbuat makar. Bagi seorang muslim, ia mencintai tanah air dan bangsanya bukan diukur dari upacara bendera, atau menyiarkan lagu kebangsaan. Bukan dari kebendaan atau simbolik semata. Tapi bagaimana di tanah air tersebut, ia menyembah Allah semata. Bagaimana usahanya ditanah air tersebut menegakkan keadilan dan kebenaran sesuai yang di tuntunkan oleh Allah.
Tidakkah lebih baik kita tudingkan kata pengkhianat bagi para wakil rakyat yang mengkhianati rakyatnya sendiri? Bagi para pejabat yang menjual aset dan harta bangsanya sendiri pada pihak asing? Bagi para pimpinan yang menipu bangsanya sendiri? Mereka bisa berupacara dan menyanyi dengan baik, tapi tidak menegakkan kebenaran dan keadilan? Wallahualam.
[1] http://news.okezone.com/read/2011/06/13/340/467589/sd-di-solo-juga-tolak-hormat-bendera
[2] http://www.detiknews.com/read/2011/06/09/105609/1656496/10/sebuah-radio-tolak-putar-indonesia-raya-karena-tak-sesuai-syariat
[3] Kumpulan tulisan Haji Agus Salim, tema cinta bangsa dan tanah air dalam 100 Tahun Haji Agus Salim. 1996. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Oleh : Beggy