“Pak Mahfud orang yang belum pernah menjadi kader NU,” ujar Said Agil Siradj, Ketua PBNU.
Pernyataan tadi menjadi lonceng pupusnya peluang Mahfud M.D. menjadi Calon Wakil Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2019. Jokowi akhirnya lebih memilih K.H. Ma’ruf Amin sebagai calon wakilnya. Apa daya, kemeja putih yang sudah disiapkan Mahfud untuk deklarasi tak jadi dipakai dihari deklarasi Jokowi.
Sepenggal kisah politik yang melibatkan Nadhlatul Ulama (NU) tadi memang menarik perhatian publik. Terkadang penggalan-penggalan kisah politik tadi berujung pada kesimpulan-kesimpulan yang tergesa-gesa tentang NU. NU dianggap sebagai kelompok yang kompromistik, atau bahkan sebagai oportunis. (Mitsuo Nakamura: 1981) Padahal perjalanan politik NU tidak sederhana tak bisa dinilai dari satu dua peristiwa politik.
Langkah Awal Nadhlatul Ulama
Setidaknya kita harus memulai dari awal perjalanan politik NU. Sejak didirikan oleh para ulama tahun 1926. Berdirinya NU memang tak lepas dari dinamika yang terjadi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Kekecewaan terhadap tidak diakomodirnya NU dalam Kongres Al-Islam berujung pada pembentukan Nadhlatul Ulama di tahun 1926.
Perjalanan NU di masa-masa kolonial lebih berorientasi pada konsolidasi organiasi dan pemikiran keagamaan dalam tubuh NU sendiri. Persoalan-persoalan yang terkait fiqh lebih banyak dibahas dalam masa-masa awal Kongres NU sejak tahun 1926 hingga masa berakhirnya kolonialisme di Indonesia. pembahasan itu juga meliputi persoalan ikhtilaf fiqh seperti kurban, boleh atau tidaknya otopsi dan lainnya. (Achmad Farichin Chumaidy: 1977)
Orientasi pada persoalan ibadah dan fiqih bukan berarti membatasi NU bergerak dalam lingkup yang sempit. NU juga membahas pemberdayaan ekonomi umat lewat pembentukan Shirkah Mu’awanah dan pemanfaatan wakaf dalam masyarakat. Sebagai organisasi keagamaan, NU memang tidak bergelut dalam lapangan politik. Namun tetap saja, NU tidak bisa menghindar dari aspek-aspek politik. (Achmad Farichin Chumaidy: 1977)
Penentuan Kongres NU di Semarang misalnya, tak bisa dilepaskan dari upaya NU untuk menandingi hegemoni gerakan kiri yang saat itu sangat kuat pengaruhnya di Semarang. Kehidupan di alam penjajahan Belanda memang membuat persoalan politik menjadi sensitif terutama terkait kekuasan pemerintah kolonial Belanda. Meski demikian NU tetap memiliki perhatian dan bersuara.
Seperti gerakan Islam lain saat itu NU misalnya memprotes ketidaknetralan pemerintah kolonial dalam kehadiran misi zending di tanah Jawa. Secara perlahan NU juga menunjukkan sikap penolakannya terhadap kolonialisme belanda lewat beberapa fatwa yang dikeluarkannya. Ketika Belanda menghadapi Perang Dunia Kedua, K.H. Hasyim Asy’ari memberi fatwa haram untuk ikut berperang bersama Belanda melawan Jepang dan haram berdonor darah untuk kebutuhan pasukan Belanda. (Achmad Farichin Chumaidy: 1977)
Keterlibatan lain NU yang tak bisa dilepaskan dari politik adalah bergabungnya NU ke dalam Majelis Islam A’la Indonesia. Di MIAI bahkan K.H. Wahid Hasyim menjadi penggeraknya. MIAI menjadi wadah yang memperjuangkan penolakan terhadap kasus-kasus penistaan agama yang terjadi kala itu. Begitu pula dengan penolakan terhadap aliran sesat seperti Ahmadiyah. (Achmad Farichin Chumaidy: 1977)
Ikutnya NU dalam MIAI artinya melibatkan pula dalam berbagai isu keumatan, termasuk hubungan MIAI dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menghendaki ‘Indonesia Berparlemen.’ (Choirul Anam : 2010)
Meski MIAI adalah satu federasi ormas-ormas Islam, namun MIAI menjadi salah satu pengusung beberapa wacana soal kepemimpinan di Hindia Belanda (Indonesia) kala itu. Ketika GAPI sedang menyusun rancangan konstitusi negara, MIAI mengusulkan agar “agama mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka sudah semestinya Staatshoofd (kepala negara) Indonesia adalah orang Islam.” (Deliar Noer: 1982)
Diatas semua itu, MIAI menjadi satu wadah persatuan umat Islam yang sebelumnya pernah tercerai-berai. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, eksistensi MIAI segera berakhir. Politik tangan besi Jepang menyebabkan para tokoh Islam berupaya untuk bersiasat mengelabui Jepang.
Menopang Indonesia Merdeka
Amat jelas, Jepang berupaya memperalat para tokoh Islam agar dapat menggalang dukungan rakyat kepada Jepang. Para tokoh Islam misalnya memanfaatkan pelatihan militer dalam rangka pembentukan pasukan Pembela Tanah Air (PETA).
Pada Desember 1944, Hizbullah dibentuk sebagai korps cadangan dari pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Beberapa perwiranya terdiri dari para kiyai yang diberi tugas untuk melatih pasukan-pasukan baru. Hizbullah secara eksplisit menjadi tentara Masyumi. Para kiyai dan ulama, termasuk tokoh-tokoh NU seperti K.H. Wahib Wahab ikut terlibat dalam pelatihan militer tersebut. Kelak pelatihan ini memberi bekal kemampuan militer bagi umat Islam dalam masa-masa revolusi kemerdekaan Indonesia. (Harry J. Benda: 1985 dan K.H. Saifuddin Zuhri: 2013)
Selama masa Jepang, Masyumi mampu mengembangkan jaringannya ke berbagai wilayah di Indonesia dan merekrut milisi bagi organisasi tersebut tanpa halangan berarti dari Jepang. Menurut tokoh NU, K.H. Wahid Hasyim, perang adalah tipu daya untuk memanfaatkan lawan.
“…politik ‘kerja sama’ ini merupakan kesempatan paling baik dan tidak setiap kali bias kita alami, untuk menghidupkan mesin penggerak potensi Islam. Dan untuk cita-cita Indonesia merdeka, kemungkinan-kemungkinan yang mustahil kita capai di zaman penjajah Belanda lebih terbuka…! Ingat, menentang Nippon secara terang-terangan risikonya sangat besar. Bersikap pasif diluar gelanggang sebagai penonton, kecuali akan dicurigai, paling-paling cuma bias menyumpah dan menggerutu. (K.H. Saifuddin Zuhri: 2013)
K.H. Wahab Hasbullah pernah mengatakan bahwa dalam bersiasat melawan Jepang, “ Saudara mesti tetap berjiwa, tetap memiliki roh Islam, agar tak mudah di Nippon kan. Di zaman ini kita harus pandai berdiplomasi dalam menghadapi Nippon.” (K.H. Saifuddin Zuhri: 2013)
Kelak kepandaian diplomasi para tokoh NU ini kembali diuji dalam era Orde Lama di bawah Soekarno. Namun hal itu masih jauh, dan kontribusi NU terutama sekali menempatkan tokohnya yaitu, K.H. Wahid Hasyim sebagai salah satu founding fathers Indonesia, ketika ia tergabung dalam anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),yang membahas persoalan amat penting, yaitu dasar negara Indonesia.
Sejak awal K.H. Wahid Hasyim memang menekankan soal kedudukan agama dalam negara. Dalam satu kesempatan, ia menyoal kedudukan agama ini;
“Sejarah masa lampau kami (demikian katanya) telah menunjukkan bahwa kami belum mencapai kesatuan. Demi kepentingan kesatuan ini, yang kami perlukann secara mendesak dan dalam usaha membangun negara Indonesia kita, di dalam pikiran kami pertanyaan terpenting bukanlah, “Di manakah aK.H.irya tempat Islam (di dalam negara) itu?” Akan tetapi pertanyan yang terpenting adalah, “Dengan jalan manakah akan kami jamin tempat agama (kami) di dalam Indonesia Merdeka?” Karena itu sekali lagi saya ulangi: Yang sangat kita butuhkan saat ini adalah persatuan bangsa yang tak terpecahkan.” (Harry J. Benda: 1985)
Posisi K.H. Wahid Hasyim dalam sidang BPUPKI sangat jelas. Ia menjadi salah satu perwakilan umat Islam bersama tokoh lain seperti Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, A. Kahar Muzakkir dan lainnya. Tokoh-tokoh Islam ini kemudian menjadi para pengusung cita-cita Islam menjadikan Islam sebagai dasar negara.
K.H. Wahid Hasyim bahkan menjadi seorang yang mengusulkan agar UU memuat syarat Presiden Indonesia harus beragama Islam. Meski usul ini kemudian tak diadopsi, namun kehadiran ia dalam panitia sembilan memainkan peran penting sebagai utusan NU yang memperjuangka aspirasi umat Islam. Termasuk di dalamnya Piagam Jakarta
Dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945 tak membuat langkah para tokoh Islam surut. Sejak September 1945, Moh. Roem, K.H.. Wahid Hasyim dan A. Kahar Muzakkir berembuk dan memutuskan agar Masyumi tetap aktif meskipun Indonesia telah merdeka. (Deliar Noer: 1987) Oleh sebab itu ketika pemerintah memutuskan dibukannya keran bagi eksistensi partai politik, maka Umat Islam pun turut dalam gerbang baru perpolitikan di Indonesia tersebut.
Mendayung Bersama Masyumi
Kongres Umat Islam Indonesia yang diadakan pada 7-8 November 1945 menjadi tonggak lahirnya Partai Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik bagi umat Islam. K.H Wahid Hasyim sendiri menjadi Ketua I dalam Masyumi. Sedangkan ayahnya, K.H. Hasyim Asy’ari menjadi Ketua Majelis Syuro Partai tersebut. Majelis Syuro sendiri memastikan agar partai ; “Melaksanakan Dakwah, meratakan amar ma’ruf nahi munkar, memurnikan tauhid, meluruskan ibadah, persatuan umat dan persaudaraannya, dan menegakkan syariat Islam adalah tujuan yang harus dicapai dalam perjuangan.” (K.H. Saifuddin Zuhri: 2013)
Beberapa bulan kemudian, Hadratussyaikh kembali mengungkapkan hal yang senada tentang ideologi politik Islam. Di Solo, 13 Februari 1946, beliau menyatakan,
“Sekarang kita umat Islam Indonesia sudah lepas dari penjajahan, maka menjadi kewajiban bagi kita berusaha setindak demi setindak dengan jalan yang teratur, hingga pemerintahan Indonesia menjadi pemerintahan yang menjalankan syariat Islam. Kita umat Islam Indonesia seperti juga di zaman Nabi Muhammad SAW tidak merebut kedudukan dan pangkat, tidak ingin melanggar hak-hak orang. Sebagai ketika junjungan kita ditawari orang Quraisy: kalau beliau ingin menjadi raja, orang Quraisy semua suka menjadikan beliau raja. Kalau beliau ingin menjadi paling kaya, mereka suka mengumpulkan harta bendanya dan menyerahkannya kepada beliau. Kalau beliau ingin putri yang cantik, maka mereka bersedia mencarikannya guna beliau. Beliau lalu menjawab:
“….Wallâhi lau wadla‘û-s-syamsa fî yamînî wal qamara fî yasârî ‘alâ an atruka hâdza-l-amra, mâ taraktuhu au ahlika dûnahu…”
Artinya: “…Demi Allah, kalau sekiranya mereka menaruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengat syarat supaya saya meninggalkan usaha menyampaikan perintah Allah ini, saya tidak akan meninggalkannya, atau saya dibinasakan, bukannya usaha itu…”
Kita umat Indonesia pun tidak ingin merebut kedudukan atau pimpinan, hanya kita ingin supaya orang yang berkedudukan dan memegang pimpinan menjalankan syariat Islam; sebagaimana perintah Allah SWT. “
Perjalanan Masyumi sendiri tak semulus yang diharapkan. Setelah PSII menyatakan keluar dari Masyumi pada masa kabinet Amir Syarifuddin, perjalanan partai itu juga didera konflik internal yang semakin mengkristal. Ada ketidakpuasan dikalangan Nahdiyyin terhadap peran para tokoh NU di Majelis Syuro yang semakin dibatasi kewenangannya. Pada Muktamar NU tahun 1947 di Madiun, sidang telah meningatkan agar Masyumi diubah menjadi partai yang bersifat federasi. Namun hal ini tak pernah digubris. (Choirul Anam : 2010)
Sikap kurang hormat golongan ‘modernis’ terhadap para kiyai NU yang duduk di Masyumi juga dikeluhkan oleh NU. Persoalan ini memang sesungguhnya persoalan yang mendalam, tak sebatas politik. Para kiyai merasa tokoh modernis ada yang merendahkan kemampuan mereka dalam berpolitik. (Choirul Anam : 2010 dan Greg Fealy : 2003)
Sikap penghormatan di kalangan modernis terhadap Kiyai memang tak seperti di kalangan Nahdiyyin. Meski hal ini tida bisa dipukul rata. Karena sebagian dari tokoh modernis Masyumi juga ada yang mengenyam pendidikan Belanda sambil mengaji pada ulama (misalnya Moh. Natsir), sehingga lebih mengenal adab-adab terhadap para ulama.
Kiyai adalah sental dari segala kehidupan dalam lingkup pesantren dan berperan besar dalam setiap aspek. Sedangkan kelompok modernis di Masyumi-yang sebenarnya juga terpilah-pilah dalam beberapa kelompok (misalnya faksi Natsir dan faksi Dr. Sukiman)- memiliki tradisi yang berbeda. Di lingkungan modernis tentu hal biasa mempertanyakan dalil, atau pendapat kepada siapa pun. Satu hal yang mungkin tabu untuk diterapkan pada kiyai dikalangan NU.
Hal ini merembet mulai dari persoalan ‘rasa’ hingga konsesi politik. Termasuk kursi Menteri Agama yang secara kuantitatif lebih sering dipegang oleh figur dari NU. Pada pembentukan kabinet Wilopo di tahun 1952 hal ini akhirnya meledak. NU yang merasa diabaikan dalam pembentukan kabinet oleh para tokoh modernis di Masyumi akhirnya mengeluarkan pernyataan keluar dari Masyumi. (Choirul Anam : 2010 dan Greg Fealy : 2003)
Terlebih ketika kursi Menteri Agama pada kabinet tersebut diserahkan pada K.H. Faqih Usman, seorang tokoh Muhammadiyah. Menurut Chairul Anam, dalam NU: Pertumbuhan dan Perkembangannya, hal itu adalah satu hal yang lumrah, mengingat jabatan menteri lain dari Masyumi diberikan kepada tokoh-tokoh non-NU. (Choirul Anam : 2010)
NU akhirnya menjadi partai politik berlandaskan prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah. Oleh sebab itu tidak boleh ada kebijakan, tindak tanduk partai yang melanggar prinsip-prinsip ahlussunnah wal Jama’ah. Kedudukan Syuriah menjadi sentral di Partai NU karena syuriah-lah yang mengawasi jalannya partai. (K.H. Saifuddin Zuhri : 2010)
Disinilah peran ulama K.H.ususnya Ra’s am K.H. Wahab Hasbullah sangat sentral di partai NU. Hampir tidak pernah ada dalam sejarah NU, keputusan Rais am tidak dukung syuriah. Itu sebabnya K.H. Wahab Hasbullah dapat dikatakan memiliki hak ‘veto’ yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam. (K.H. Saifuddin Zuhri : 2010) Beliau pula yang akhirnya dapat disebut sebagai pengendali jalannya partai NU.
NU dan Masyumi kemudian menjadi partai yang bersaing. Tidak dapat dipungkiri, terjadi pula friksi, saling cela antara kedua partai Islam tersebut. Persaingan terbuka juga terjadi menjelang Pemilu 1955. Saling ejek di akar rumput menjadi tak terhindarkan selama musim kampanye. Meski demikian, jelang Pemilu 1955, K.H. Wahid Hasyim mengingatkan bahwa, kebanggaan kelompok haruslah disingkirkan demi tercapainya cita-cita umat Islam. Menurutnya,
“Bagi ummat Islam harus mendjadi djelas lebih dulu, bahwa jang penting bukanlah kemenangan Nahdlatoel Oelama’, atau kemenangan Masjumi, atau Partai Sjarikat Islam Indonesia atau Muhammadijah atau sebagainja lagi.Akan tetapi jang penting bagi mereka, ialah kemenangan bagi prinsip-prinsip ke-Islaman dan terpilihnja orang-orang jang betul-betul ingin mendjalankan sjari’at Islam, tidak peduli apakah mereka itu orang N.O., Masjumi, P.S.I, Muhammadijah atau lainnja.” (K.H.Wahid Hasyim dalam H. Aboebakar: 1957)
Sebagai partai yang baru berdiri NU berusaha mengejar ketertinggalan dengan mengembangkan partai. NU mulai menerima pengurus non-santri demi memenuhi kebutuhan pengurus yang berlatar belakang teknokrat. Bahkan NU membuat keputusan membolehkan infaq dan zakat (dalam hal untuk menutup utang partai) disalurkan kepada partai NU. Hasilnya memang tidak mengecewakan, bahkan mengejutkan, NU berada di urutan ke-tiga pemenang pemilu setelah PNI dan Masyumi. Greg Fealy : 2003)
Hasil yang dicapai Partai NU tentu saja mengejutkan Partai Masyumi, yang tak dapat dipungkiri sebagai saingan dalam memperebutkan suara umat Islam. Meski bersaing keras, namun keduanya sejalan dalam dua hal, pertama, memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam sidang konstituante. Kedua, penolakan mereka terhadap komunisme di Indonesia yang diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Komitmen NU untuk menyokong Islam sebagai dasar negara bersama partai-partai Islam lainnya dalam siding konstituante tak dapat diragukan lagi. Para tokoh NU dengan gamblang menjelaskan alasan mereka memperjuangkan Islam sebagai dasar negara seraya mengkritik konsepsi Pancasila yang juga diajukan oleh partai-partai seperti PNI, PKI dan PSI sebagai dasar negara. K.H. Masjkur dari NU misalnya mengatakan bahwa;
“Akan tetapi pada pokoknja Pantja Sila sendiri tidak punja sistim, adjaran demokrasi jang tertentu. Djadi terserah kepada siapa jang akan mengisinja, sedang akibatnja dari matjam-matjam sistim demokrasi itu terhadap kedaulatan rakjat djauh berbeda, mana jang dikatakan adjaran Pantja Sila? Begitulah pula nasibnja daripada sila-sila lainnja.”
Rais Am Partai NU bahkan menekankan bahwa Islam sebagai dasar negara yang diajukan bukan meniru-niru dari negara lain.
“…kita menudju negara kita jang berdasarkan Islam tidak ala negara Saudi Arabia, tetapi adalah orisinil Qur’an dan Hadits, tidak ala Pakistan, kita tidak bisa melihat Mesir dimana agama Islam sebagai agama resmi, bukan dasar negara. Itu tidak bisa. Kita menudju jang eerste klas.”
Bersiasat Di Bawah Bendera Nasakom
Sidang Konstituante akhirnya dibubarkan oleh Soekarno dan ia memberlakukan kembali UUD 1945. NU sendiri memilih untuk tidak berkonfrontasi dengan Soekarno. Pengaruh PKI yang begitu besar pada Soekarno membuat NU memilih untuk berupaya merangkul Soekarno seraya menjauhkannya dari pengaruh PKI.
Disinilah politik NU diuji keluwesannya. Ada banyak hal yang harus dikompromikan oleh NU demi merangkul Soekarno dan mengurangi pengaruh PKI. Konsepsi Nasionalis, Agama, dan Komunis ala Soekarno menjadi ujian yang sulit bagi NU. Kala itu, K.H. Wahab Hasbullah menilai,
“Bung Karno kelewat gandrung persatuan hingga termakan oleh ambisinya mempersatukan partai-partai yang sejak semula mempunyai unsur-unsur yang berbeda, yang mustahil bisa dipersatukan.” (K.H.Saifuddin Zuhri: 2013)
Senada dengan Kiyai Wahab, K.H. M. Dahlan yang juga tokoh NU mempertanyakan, “Bagaimana politik ‘Nasakom’ hendak diwujudkan padahal secara prinsipil nasionalisme bertentangan dengan komunisme, apalagi antaragama (terutama Islam) dengan komunisme yang tidak mungkin bisa dipersatukan.”
Meski demikian NU akhirnya terpaksa memilih tetap berada dalam naungan konsepsi Soekarno. Keikutsertaan NU dalam pemerintahan tak lain untuk mengimbangi pengaruh PKI terhadap Soekarno yang semakin besar. Sekalipun siasat seperti ini di mata sebagain awam malah menampilkan kesan sebaliknya. Sebagian orang menuduh NU bersahabat dengan PKI. Bahkan menjuluki Rais ‘Am NU, K.H. Wahab Hasbullah sebagai ‘Ulama Nasakom.’ Nyatanya hal ini tidak benar. NU di bawah K.H. Wahab Hasbullah memimpin perlawanan terhadap kampanye-kampanye PKI. NU memilih siasat perlawanan lewat organisasi (partai) ketimbang frontal yang mengakibatkan harus berhadap-hadapan dengan Presiden Soekarno.
“Semua orang Nadhlatul Ulama terutama pemimpin-pemimpinnya sejak dari Kiyai Wahab hingga pengurus Ranting mempunyai penilaian sama tentang PKI. Mereka ini tidak pernah percaya akan itikad baik PKI. Mereka menyadari bahwa merekalah yang paling dibenci PKI, di samping ABRI tentu. Mereka adalah orang-orang Nadhlatul Ulama “luar dalamnya” dan oleh sebab itu, tidak akan pernah mencintai PKI, apalagi menjadi komunis. Komunis yang mana pun, dengan segala macam alirannya.” (K.H.Saifuddin Zuhri: 2013)
NU sendiri akhirnya tak mampu mengimbangi pengaruh PKI kepada Soekarno. Sejak tahun 1960-an sudah sulit membedakan antara retorika Soekarno ataupun PKI. Njoto, tokoh PKI menjadi semakin dekat dengan Soekarno dan menjadi salah satu penulis pidato Presiden. Namun bukan berarti NU gagal dengan tujuannya.
Dalam beberapa hal NU masih mampu membentengi umat dari agresi PKI. Salah satunya adalah tekanan untuk membubarkan HMI. Meski HMI bukan organisasi onderbouw NU, namun K.H. Saifuddin Zuhri, yang menjadi Menteri Agama kala itu melindungi HMI dengan mengancam akan mengundurkan diri jika Soekarno membubarkan HMI. (K.H. Saifuddin Zuhri : 2013)
Di akar rumput bentrok massa NU dengan PKI tak terhindari. Praktek reforma agraria di basis-basis NU menjadi arena berdarah antara pendukung PKI dan NU. Aksi sepihak Barisan Tani Indonesia (BTI) di bawah PKI yang mencaplok lahan-lahan milik Nahdiyyin dibalas dengan aksi fisik. Bentrokan ini sendiri menjadi aksi balas dendam berdarah pasca peristiwa 30 September 1965, ketika para para pendukung PKI dihabisi oleh massa NU disebagian wilayah di Jawa Timur.
Berubahnya kondisi politik di tanah air pasca G-30 September tak menyurutkan langkah elit NU untuk tetap mendukung Soekarno. Namun pada tahun 1967 mereka mulai kesulitan membendung gerakan anti-Soekarno, bahkan dalam tubuh NU sendiri. Sikap Soekarno yang menolak menyalahkan PKI membuat NU sulit untuk mempertahankan Soekarno.
Pada bulan Februari 1976, Syuriah NU menyatakan penyesalannya atas keterlibatan Soekarno dalam peristiwa 30 September 1965. K.H.. Wahab Hasbullah bahkan pada pers menyebut bahwa Soekarno selama ini tidak membawa ‘kemajuan’ bagi bangsa. Syuriah NU Jawa Barat pun mencabut gelar Waliyul amri dharuri bissyaukah dari diri Soekarno. (Greg Fealy : 2003)
Muktamar ke-24 tahun 1967 di Bandung menjadi satu titik tolak perubahan haluan NU. Muktamar tersebut diwarnai pertentangan atas jejak para tokoh-tokoh pro Soekarno seperti K.H. Idham Chalid dan K.H. Wahab Hasbullah. Sebaliknya, kubu anti demokrasi terpimpin seperti K.H. Bisri Syansuri, Subchan Z.E, Imron Rosyadi dan lainnya, berada di atas angin. (Greg Fealy : 2003)
K.H. Idham Chalid berhasil mempertahankan posisinya sebagai ketua PBNU dan Subchan Z.E menjadi orang kedua setelah K.H. Idham Chalid. Sedangkan kedudukan Rais ‘am secara mengejutkan berhasil diraih oleh K.H. Bisri Syansuri, ipar dari Kiyai Wahab. Meski demikian, Kiyai Bisri menolak menduduki jabatan Rais ‘am selama sepupu dan sahabatnya tersebut masih hidup. Kiyai Wahab akhirnya tetap dilantik menjadi Rais ’am dan menjabat hingga ia wafat pada tahun 1971. (Greg Fealy : 2003) Di tahun inilah kemudian K.H. Bisri Syansuri menduduki posisi sebagai Rais ‘am dan membawa perubahan haluan di tubuh NU.
K.H. Bisri Syansuri disegani karena ia dikenal sebagai salah satu pendiri NU yang memilki kedalamaan ilmu. Ia, berbeda dengan Kiyai Wahab yang condong lihai berpolitik, dinilai sebagai sosok ulama yang teguh pada prinsip dan sangat berorientasi pada fiqh.
Berdiri Tegak di Hadapan Rezim Orde Baru
Rezim orde baru yang awalnya didukung umat Islam kemudian berbalik menjadi tidak ramah pada umat Islam. Subchan Z.E yang kala itu juga menjabat Wakil Ketua MPRS menjadi pengkritik keras berbagai kebiijakan orde baru. Jika NU di era orde lama menjadi partai yang dikenal kompromistis, maka bersama Subchan Z.E, menjadi partai yang menolak sikap oportunis. Ia juga mengkritik keras Pemilu 1971 yang menurutnya berjalan tidak adil. Hanya takdir yang kemudian menghentikan langkah Subchan. Ia wafat dalam satu musibah kecelakaan di tahun itu. (Choirul Anam : 2010)
Wafatnya Subchan bukan berarti NU menjadi kompromistis. Di bawah kendali K.H. Bisri Syansuri, ulama yang sangat teguh memegang prinsip, NU menjadi salah satu oposisi rezim orde baru. Peleburan partai-partai, termasuk partai Islam yang dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak menyurutkan geliat politik NU. K.H. Bisri Syansuri yang dikenal sebagai pengusul lambang Ka’bah pada PPP menjadi motor oposisi terutama terkait isu-isu yang melibatkan umat Islam.
Satu hal penting yang dapat dipertanyakan adalah: Mengapa rezim Orde baru meminggirkan peran NU dalam kebijakan mereka? Hal ini dapat ditelaah dari kebijakan ekonomi politik yang diusung orde baru. Sebagai pendukung kapitalisme bercorak developmentalisme (berorientasi pada pembangunan), rezim orba membutuhkan sumber daya birokratis-teknokratis dalam menjalankan kebijakan mereka. Sedangkan ciri-ciri sosial dan struktur basis massa NU pada masa itu adalah ‘tradisionalis’, pedesaan dan ekspos terbatas dari pendidikan moderen. Hal ini menyebabkan NU tidak menarik bagi kebijakan ekonomi politik rezim orde baru. (Bahtiar Effendy: 2011)
Satu hal lainnya yang dibutuhkan rezim orba adalah stabilitas politik. Oleh sebab itu rezim orba memberlakukan kebijakan massa mengambang (floating mass) yang memutus partai-partai dari massa akar rumputnya. Hal ini tentu saja menyulitkan NU dalam berhubungan dengan pendukungnya. Cabang-cabang lokal NU juga banyak mendapatkan tekanan dan intimidasi dari aparat setempat. (Andree Feillard: 1999)
Berbagai tekanan rezim orba di lawan oleh NU lewat PPP. Pada pemilu 1977, K.H. Bisri Syansuri mengeluarkan fatwa bagi setiap muslim yang ikut pemilu untuk memilih PPP. PPP memang mendapat hasil yang lumayan di pemilu tersebut. Meski tidak memenangkan Pemilu jumlah kursi yang diraih PPP mampu menjadi batu ganjalan berbagai kebijakan yang coba ditelurkan pemerintah. (Sudarnoto Abdul Hakim : 1993)
Salah satunya terkait upaya pemerintah mengakui eksistensi aliran kepercayaan di Indonesia. Upaya ini ditentang oleh Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP). Menurut K.H. Bisri Syansuri, pengakuan aliran kepercayaan bertentangan dengan akidah dan mereka khawatir pengakuan tersebut berarti pengakuan terhadap kemusyrikan. (Sudarnoto Abdul Hakim : 1993)
PPP juga menolak upaya pemerintah untuk memonopoli makna Pancasila oleh pemerintah lewat satu kebijakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kebijakan ini memaksa semua orang, mulai dari birokrat, pelajar hingga pemuka agama untuk mengikuti program indoktrinasi P4. Puncaknya, pada Sidang Umum MPR 1978, dipimpin oleh K.H. Bisri Syansuri, ulama berusia 91 tahun, Fraksi PP (tepatnya faksi NU) melakukan aksi walkout. (Sudarnoto Abdul Hakim : 1993)
PPP juga bersikap kritis terhadap RUU Pemilihan Umum yang akan dikeluarkan pemerintah. PPP menganggap RUU itu bermasalah. Di antaranya semakin kuatnya pengaruh Golkar dalam RUU tersebut dan ikut sertanya Timor Timur dalam Pemilu 1982. PPP menuntut dilibatkannya partai dalam persiapan pemilu 1982 dan disertakannya simbol ‘Ka’bah’ sebagai lambang PPP. Semua hal ini ditolak pemerintah. Maka pada 29 Februari 1980, PPP menolak menandatangani RUU tersebut dan kembali melakukan aksi walkout. (Sudarnoto Abdul Hakim : 1993)
Hal ini mengundang kemurkaan Presiden Soeharto kala itu. Pada 27 Maret 1980, dihadapan para pimpinan ABRI di Pekanbaru, Soeharto mengancam;
”…dua per tiga daripada anggota (MPR) dapat, jika mereka menghendaki, mengubah konstitusi. (Tetapi) ABRI tidak ingin mengubahnya, dan jika terjadi perubahan, menjadi tugasnya untuk menggunakan senjata… Daripada menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 1945 dan Pancasila, kami lebih baik menculik seorang dari dua per tiga anggota yang menghendaki perubahan, karena dua per tiga minus satu tidak sah menurut UUD 1945.” (David Jenkins : 2010)
Pidato dengan nada ancaman ini jelas ditujukan kepada faksi NU di PPP. Satu faksi yang kala itu dikenal sebagai ‘tradisionalis-radikal.’ Di faksi NU ’radikal’ tersebut nama-nama seperti K.H. Saifuddin Zuhri, K.H. Jusuf Hasjim, Mahbub Djunaidi, Imron Rosyadi dan lainnya dikenal sebagai politisi kawakan NU. Dan tentu saja semua tidak akan bergerak tanpa komando Sang Rais ‘am K.H. Bisri Syansuri. Namun, takdir Allah menentukan pada 25 April 1980, beliau wafat. Hal ini kemudian turut menentukan nasib NU dalam panggung politik tanah air.
Soeharto mulai beraksi. Lewat intervensinya, PPP kemudian dipimpin Jaelani Naro, seorang yang dikenal pro-Soeharto. Para tokoh NU disingkirkan dari PPP. Hal ini memicu gelombang protes dan pengunduran diri, salah satunya K.H. Saifuddin Zuhri pada tahun 1981. Pada Pemilu 1982, PPP sudah pincang dengan pemboikotan yang dilakukan oleh NU dan membuat perolehan suara PPP menurun. (Sudarnoto Abdul Hakim : 1993)
Berubah Haluan Bersama Gus Dur
Dinamika internal dalam NU yang digalang tokoh muda seperti Abdurrahman Wahid mendorong NU untuk mengundurkan diri dari PPP telah bergema sejak tahun 1977. Intervensi pemerintah dengan menyingkirkan NU dari PPP menambah kekecewaan ini. Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 akhirnya menentukan kembali haluan politik NU. (Greg Barton: 2010)
Muktamar ini menjadi salah satu muktamar yang sengit. Kubu Idham Chalid digantikan oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang didukung para kiyai sepuh seperti K.H.. As’ad Syamsul Arifin dan K.H. Mahrus Aly.(Greg Barton: 2010)
Terjunnya NU ke politik sejak tahun 1952 membuat organisasi ini terlalu berfokus pada politik dan melalaikan hal-hal lain termasuk pemberdayaan warga Nahdiyyin itu sendiri. Apalagi sejak masa orde Baru, NU memilih beroposisi pada pemerintah. Hal ini menyebabkan pemerintah kerap menekan NU hingga ke akar rumput.
Gus Dur bersama Rais ’am K.H. Achmad Siddiq, yang 24 tahun lebih tua dari Gus Dur, membawa NU pada haluan baru. NU menyatakan kembali ke K.H.ittah tahun 1926 dan mundur dari panggung politik. NU tidak lagi terlibat dalam politik praktis. Gus Dur sendiri membawa NU berfokus pada pemberdayaan masyarakat. (Greg Barton: 2010)
Satu hal penting yang terjadi dalam Muktamar 1984 adalah sikap NU untuk menerima Pancasila sebagai azas tunggal. Tak dapat dipungkiri berbagai kejadian dan tekanan terhadap umat Islam dapat ditarik kesimpulan sebagai tekanan dari pemerintah pada umat Islam agar menerima Pancasila sebagai Azas tunggal.
NU sendiri memutuskan menerima Pancasila sebagai azas tunggal dengan melandaskan penafsiran Pancasila tidak dapat dilepaskan dari pembukaan UUD 1945 dan keyakinan tauhid. Menurut K.H. As’ad Syamsul Arifin,
”…jangan dipisahkan antara keyakinan tauhid ummat Islam indonesia, isi Mukaddimah UUD 1945 dan Pancasila sendiri. Maka kalau umaat Islam menafsirkan Ketuhanan yang Maha Esa, berlainan dari aqidah tauhid, murtadlah ia.” (Panji Masyarakat No. 418, 1 Januari 1984)
Sikap NU menerima Pancasila dan keluar dari PPP membawa NU pada babak baru. Rezim Orde Baru bersikap ramah pada NU. Bagaimanapun Soeharto mendukung Gus Dur yang membawa NU keluar dari politik.(Greg Barton: 2010) Satu hal yang disenangi Soeharto yang menolak agama terlibat dalam politik.
Di lain sisi, Gus Dur membawa kebijakan pembaruan (liberalisasi) pada NU, menolak peran agama dalam politik dan tak jarang menjadikan dirinya sasaran kritik para kiyai. Gus Dur juga menjalin hubungan dengan Benny Moerdani, Jenderal berpengaruh yang seringkali bersikap agresif terhadap umat Islam.(Greg Barton: 2010)
Praktis semasa dibawah kepemimpinan Gus Dur, NU tak terlibat dalam panggung politik praktis. Baik pada saat hubungan baik Gus Dur dengan Soeharto, maupun ketika memasuki tahun 1990-an ketika Gus Dur menjadi kritis pada rezim orba lewat Forum Demokrasi-nya. (Greg Barton: 2010)
Angin reformasi meruntuhkan rezim Orde Baru. Satu hal penting yang terjadi, mulai bermunculan gagasan para tokoh NU untuk membuat kembali partai bagi Nahdiyyin. Pada Juli 1998 , di rumah Gus Dur yang saat itu menjabat ketua Umum PBNU, PKB dideklarasikan.
Saat itu Gus Dur mengatakan bahwa sesuai keputusan Muktamar Situbondo 1984, NU tidak berpolitik, oleh sebab itu Ketua PKB diserahkan kepada Matori Abdul Jalil, mantan politisi kawakan PPP. (Greg Barton: 2010)
Akan tetapi sulit menerima pernyataan bahwa PKB tidak membawa NU kembali berpolitik, PKB diinisiasi oleh Tim Lima yang diketuai K.H. Ma’ruf Amin. Tim yang dibentuk oleh hasil rapat Dewan Syuro dan Tanfidz NU pada Juni 1998 itu kemudian merancang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. PKB sendiri menyatakan sebagai partai terbuka untuk segala golongan termasuk lintas agama dan suku. (Sri Nuryanti: 2016)
Alih-alih menganggap NU tetap tidak berpolitik, lebih tepat nampaknya jika kita menyimpulkan PKB adalah satu bentuk keputusan NU untuk kembali berpolitik namun dengan landasan baru, meninggalkan landasan lama sebagai partai Ahlussunnah wal Jama’ah, dan bersalin menjadi landasan partai terbuka.
Dari perjalanan panjang politik NU yang dinamis ini kita dapat menyimpulkan bahwa politik NU sejak masa kolonial hingga awal reformasi, politik NU bukanlah politik yang dapat dilabeli kata oportunis atau kompromistis. Terbukti masa kolonial, dan masa awal orde baru justru menunjukkan gejala yang bertolak belakang. Alih-alih, kita dapat menyimpulkan bahwa politik NU sebenarnya sangat bergantung pada figur pemimpinnya. Terutama Rais ’am dan Ketua umum-nya.
Hal ini bukanlah hal yang aneh. Dalam kultur NU, kiyai adalah pusat dari kehidupan di pesantren. Bagi para santri ketaatan pada kiyai tak bisa ditawar lagi. Bagi masyarakat dalam kultur NU, kiyai adalah sosok yang diharapkan kepemimpinan dan teladannya. (ZamaK.H.syari Dhofier: 1982)
Perubahan kehidupan Kiyai dari pedesaan ke panggung politik tidak membuat kedudukan mereka berganti. Kiyai tetap pemimpin baik di pedesaan maupun di panggung politik Nasional. (Muchtar Naim : 1960)
Oleh sebab itu tidak mengherankan jika jalannya politik NU sebenarnya lebih ditentukan oleh gaya kepemimpinan dari Rais ’am dan Ketuanya, seperti dua hal yang ditunjukkan secara bertolak belakang pada masa Kiyai Wahab Hasbullah dan Kiyai Bisri Syansuri. Dinamika politik NU ke depan pun tampaknya tidak akan jauh dari keputusan-keputusan para pemimpinnya.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah (Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa)
Pustaka:
Achmad Farichin Chumaidy. 1977. The Jamiyyah Nahdlatul Ulama: Its rise and early development (1926-1945). Tesis tidak diterbitkan Institut of Islamic Studies, McGill University, Kanada.
Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Grafiti Pers
Anam, Choirul. 2010. Perkembangan dan Pertumbuhan Nadhlatul Ulama. Surabaya: Duta Aksara Mulia.
Fealy, Greg. 2003. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS
Zuhri, K.H. Saifuddin. 2010. Mbah Wahab Chasbullah. Yogyakarta: LKiS
Zuhri, K.H. Saifuddin. 2012. Berangkat Dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS
Atjeh, Aboebakar. 1954. Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasyim.
Sumber Foto featured image: www.nu.or.id