“Pangeran Diponegoro berada tidak jauh dari situ sambil menunggang kuda hitam yang indah dengan perlengkapan berkuda sangat bagus. Ia berbusana seluruhnya putih dengan gaya Arab.”

Kolonialisme di nusantara tidak tak akan bercokol tanpa tangan pribumi yang menghamba pada kekuasaan asing. Termasuk ketika sejarah merekam cengkraman kolonialisme di tanah Jawa pada abad ke-19. Di Jawa, kolonialisme membelah-belah kekuasaan menjadi beberapa keping. Tragedi terus merasuk. Para penguasa Jawa memilih takluk dibawah kekuasaan asing. Rakyat dibuat menderita bukan oleh politik tetapi juga sistem ekonomi yang dipaksakan kepada mereka.

Awal abad ke-19 merupakan satu babak dari salah satu peristiwa besar dalam sejarah tanah air. Berkobarnya perlawanan Pangeran Diponegoro yang dikenal sejarawan sebagai Perang Jawa. Pangeran Diponegoro sendiri meninggalkan satu warisan penting dari hidupnya. Yaitu Babad Diponegoro yang dituturkannya sendiri (kemudian ditulis oleh salah satu keturunannya). Babad ini menjadi semacam otobiografi, perjalanan hidup beliau dan pandangannya tentang Perang Jawa. Babad ini ditulis pada masa pengasingan beliau di Manado, Sulawesi Utara hanya dalam waktu tiga bulan saja.

UNESCO pada tahun 2013 meresmikan Babad Diponegoro sebagai salah satu “Ingatan Dunia (Memory of The World).” Pangeran Diponegoro memang salah satu sosok yang unik. Di satu sisi ia adalah seorang bangsawan Jawa, dekat dengan pusat kekuasaan. Namun ia memilih untuk melakukan perlawanan total terhadap kemungkaran di depan matanya.

Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sultan Hamengku Buwono III. Ibunya, Raden Ayu Mangkorowati adalah selir dari Sang Sultan yang dapat dilacak silsilahnya hingga Sunan Ampel. Tak ada yang menyangka, bayi yang lahir dari Rahim perempuan ini pada bulan Ramadhan, 11 November 1785 di Keraton Yogyakarta ini kelak akan menjadi satu sosok yang mempengaruhi jalannya sejarah.

 

Kehidupan dan Lingkungan Pangeran

Kehidupan Pangeran yang kecilnya bernama Bendoro Raden Mas Mustahar ini lebih banyak dipengaruhi oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng Tegalrejo. Nenek buyutnya bukan saja dikenal sebagai muslimah yang taat, tetapi juga wanita perkasa yang melahirkan Sultan Hamengku Buwono II dalam masa Perang Giyanti, dan menjadi komandan pengawal perempuan elite atau korps prajurit estri. (Peter Carey: 2014)

Ratu Ageng-lah yang mendidik Pangeran kecil dalam didikan relijius dan lebih serius belajar agama ketimbang para bangsawan keraton lainnya. Pangeran Diponegoro kemudian mendapat Pendidikan ala pesantren yang menekankan pada Al-Qur’an dan Hadist. Di Tegalrejo, kehidupan memang lebih lekat dengan para santri. Sebagaimana dituturkan Pangeran Diponegoro dalam Babadnya,

\Cicitnya tidak pernah berpisah sambil diberi pelajaran. Tegalreja sangat makmur, semua orang yang datang mengungsi mencari makan sang santri mencari ilmu, tempat ibadah sangat ramai, begitu juga yang Bertani. (Pangeran Dipanegara: 2016)

Demikianlah kehidupan Pangeran dalam lingkungan Islam yang taat di Tegalrejo memberinya satu celupan yang berbeda dari bangsawan keraton Yogyakarta lainnya pada masa itu. Di sana ia mengenal orang-orang kalangan non-priyayi, termasuk salah satunya Syaikh Abdul Ahmad Abdullah al-Anshari, seorang arab yang kemudian menikahi perempuan keturunan Sultan Hamengku Buwono I. Ada kemungkinan Abdul Ahmad juga turut memberi pengaruh agama terhadap Pangeran Diponegoro. (Peter Carey: 2014)

Selain itu Pangeran juga memiliki minat terhadap kitab-kitab. Sejarawan Peter Carey menyebut, Pangeran Diponegoro memiliki minat terhadap kitab-kitab (fiqih) Hukum Islam seperti : Taqrib, Lubab al-Fiqih, Muharrar dan Taqarrub. Kemungkinan kitab-kitab tersebut adalah kitab fiqih mahzab Syafi’i seperti Al-Ghayah wa at-Taqrib karya ulama besar mahzab Syafi’i, Abu Syuja yang biasa dikenal dengan Matan Abu Syuja.

Kemudian kitab Lubab fi al-Fiqhi As-Syafi’i karya Abu Hasan Ahmad bin Muhammad Al-Mahamili. Lalu Muharrar yang dimaksud adalah kitab Al-Muharrar Fi al-Fiqhi al-Syafi’i karya Syaikh Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim al-Rafi’iy al Qazwini.

Selain itu ada pula kitab tasawuf Al-Tuhfah al Mursalah Ila Ruh an-Nabi. Satu kitab tasawuf yang sangat mahsyur di Nusantara karangan Ulama sufi asal India, Syaikh Fadhlullah al-Burhanpuri. Kitab ini sendiri dianggap kitab yang tidak mudah dipahami orang awam, sehingga Ibrahim al-Kurani, ulama dari abad ke-17 merasa perlu membuat pengantarnya untuk muslim di Jawa. (Oman Fathurrahman: 2001)

Kitab lain yang dibaca oleh Pangeran Diponegoro adalah Serat Anbiya (Sejarah pada nabi), dan Tafsir Qur’an. Ia juga membaca karya politik Islam seperti Sirat as-Salatin dan Taj as-Salatin. Pangeran Diponegoro juga mengaji kitab Nasihat al-Muluk, yang dikenal juga dengan At-Tibru al-Masbuki Nasiha al Mulk karya Imam Ghazali.

Lukisan Diponogor oleh A.J. Bik tahun 1830. Sumber: Memory of The Netherlands/ https://www.geheugenvannederland.nl

Melihat Kebobrokan Dari Dalam Keraton

Di lain sisi, sebagai seorang bangsawan Jawa, dirinya tak bisa lepas dari kebudayaan Jawa yang melekat pada para bangsawan. Ia seringkali menyamakan hidupnya dengan kisah-kisah pewayangan. Sebagai seorang bangsawan, dirinya pun memainkan peran penting dalam Keraton Yogyakarta. Saat Daendels melakukan kunjungan resmi ke Keraton pada 29 Juli 1809, Sang Pangeranlah yang mendapat tugas menyambut Daendels di Kalasan. Ia memimpin Prajurit Kadipaten sebagai utusan ayahnya, Putra Mahkota. Ia pula yang ditunjuk sebagai salah satu dari empat wali dari Sultan Hamengku Buwono IV yang masih balita. (Peter Carey: 2014)

Kedudukan Pangeran sebagai bangsawan membuat kita memahami betapa ia adalah orang penting dalam keraton. Hanya saja, ia turut menyaksikan kebusukan yang terjadi di dalam keraton. Misalnya, ketika pemerintahan Perancis-Belanda yang diwakili Daendels melucuti kewenangan-kewenangan Keraton. Berbagai perjanjian Keraton dengan Daendels membuat wilayah mereka dicaplok satu persatu.

Pangeran Diponegoro juga menyaksikan ketika Inggris di bawah Raffles menginjak-injak martabat Keraton. Tentara Inggris pada Juni 1812 menyerbu Keraton dan menjarah habis-habisan harta mereka. Para pejabat senior Keraton dipaksa menyerahkan keris-keris mereka yang bertahtakan permata. Harta kebudayaan keraton seperti Gamelan, wayang kulit, bahkan arsip-arsip turut diangkut keluar keraton. (Peter Carey: 2014)

Di depan mata Pangeran, ia melihat bagaimana kakeknya, Sultan Hamengku Buwono II, digiring oleh para tentara Inggris dan kemudian Sang Sultan diasingkan, digantikan oleh ayahnya Pangeran, yaitu Sultan Hamengku Buwono III atas petunjuk Inggris. Pangeran Diponegoro sendiri selama ayahnya menjabat, menjadi penasehat bagi ayahnya. Ayahnya kemudian pada Juli 1812 menganugerahkan gelar Pangeran Diponegoro kepadanya, setelah sebelumnya ia dikenal sebagai Raden Ontowiryo. (Peter Carey: 2014)

Yang tak kalah menyakitkan bagi Pangeran Diponegoro, ia melihat bagaimana kewenangan hukum Keraton dipreteli oleh Inggirs. Sejak Februari 1814, Pengadilan Residen dibentuk dan menerapkan norma hukum asing yang berbeda bagi orang Tionghoa, warga asing dan kaum pendatang. Sehingga Pengadilan Surambi yang memakai hukum Islam tak lagi menjadi satu-satunya lembaga pengadilan untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal. Dengan nada pahit, pangeran mengatakan;

“Penguasa [Eropa] di Jawa menjadi pertanda kemalangan besar bagi orang Jawa, sebab rakyat telah dijauhkan dari hukum ilahi yag disampaikan oleh Nabi dan dipaksa tunduk pada hukum Eropa.” (Peter Carey: 2014)

Sebagai muslim sekaligus bangsawan yang mempelajari hukum-hukum Islam, hal ini tentu sangat menyakitkan baginya. Maka tidak heran jika dikemudian hari, memiliki kerinduan terhadap kehadiran hukum pidana Islam menurut Al-Qur’an dan bukan hukum Eropa. Ketika Inggris angkat kaki dan digantikan oleh Belanda ternyata keadaan tidak berubah, bahkan semakin parah.

Residen Yogya asal Belanda, Nahuys van Burgst bukan saja berkuasa atas Keraton, tetapi juga menularkan gaya hidup Belanda pada para penghuninya. Nahuys gemar akan gaya hidup mewah nan boros. Pesta pora ditemani minuman keras yang terus mengalir bersama para orang pribumi (priyayi) menjadi pemandangan yang lazim.

Pangeran Diponegoro juga menilai hal yang sama. Menurutnya, Nahuys,

“Senangnya pesta dan mabuk serta perayaan cara Belanda walau kerabat kerjaaan, yang muda-muda sudah terkena pengaruh, semua halal haram tidak peduli.” (Pangeran Dipanegara: 2016)

Perilaku seks para pejabat senior Belanda juga mengejutkan orang Jawa. Nahuys meniduri istri dari wakilnya sendiri, R.C.N. d’Abo. Para pejabat bawahan bahkan menggoda dan mengambil ibu anak-anak ningrat Jawa. (Peter Carey: 2014)

Pengaruh ini merasuk pada para bangsawan Keraton. Sultan Hamengku Buwono IV yang meninggal usia muda nampaknya terpengaruh gaya hidup pesta pora Nahuys. Ia menjadi Raja pertama yang terpengaruh gaya hidup kebarat-baratan. Anaknya, Sultan Hamengku Buwono V, nantinya, bahkan sudah terkena penyakit sifilis pada usia 20 tahun akibat gaya hidup yang tak terkendali. Gemar minum-minuman keras dan main perempuan. (Peter Carey: 2014)

Willem van Hogendrop, penasehat pemerintah kolonial, akhirnya menilai kebijakan baru Belanda telah mengubah Keraton menjadi rumah Bordil. Maka tak heran jika Pangeran Diponegoro nantinya melihat kebejatan moral Keraton hanya bisa ditumpas dengan penghancuran total dan dibangun kembali dengan naungan hukum Islam. (Peter Carey: 2014)

Nahuys bukan saja membawa virus kebejatan moral, tetapi juga memerintah dengan tangan besi. Penangkapan seorang ulama bernama Kiai Murmo adalah salah satu yang mengecewakan Pangeran Diponegoro. Kiai Murmo, seorang guru agama yang kaya dan terpandang ditangkap tiba-tiba dan diasingkan menurut Diponegoro, hanya karena Belanda ingin menguasai harta benda miliknya dan menjarah Desa Kepundung. (Peter Carey: 2014)

Nahuys meski memahami penangkapan ulama tersebut sangat berdampak buruk di Keraton, namun merasa bangga memerintah dengan tangan besi. Praktek seperti ini dilakukan misalnya tanpa segan menangkap ulama yang sedang mengajar di pesantren.

 

Penjajahan dan Rakyat yang Tercekik

Kedatangan kekuasaan asing bukan saja menjungkirbalikkan tatanan dalam keraton, tetapi juga tatanan dalam masyarakat. Sejak kedatangan Inggris, Raffles memberlakukan skema pajak tanah yang menyebabkan beban hidup semakin berat. Bukan saja pajak yang begitu tinggi tetapi juga Raffles mewajibkan pajak dibayar dalam bentuk uang perak tunai pada para penggarap ladang pertanian. (Peter Carey: 2008)

Persoalannya, para petani kesulitan mengadakan uang tunai, karena ekonomi mereka berbasis pada ekonomi barter. Hal ini memaksa para petani terjerembab dalam perangkap rentenir tionghoa yang juga mengenakan bunga tinggi. (Peter Carey: 2008)

Kedatangan Belanda menggantikan Inggris tidak membuat keadaan semakin baik. Terutama kedudukan Nahuys sebagai Residen Yogyakarta dan Surakarta membuatnnya sangat berkuasa. Ia membujuk Sultan Muda untuk menyewakan tanah-tanah Kesultanan pada petani Eropa yang bermodal besar. (Peter Carey: 2014)

Para pangeran dan priyayi Keraton memang mendapatkan uang atas lahan-lahan yang disewakan, tetapi hubungan batin mereka dengan kaum tani penggarap runtuh dan hilang. Para petani menganggap orang-orang Eropa penyewa lahan sebagai “orang-orang asing penindas.” Lagipula para priyayi dan pangeran tersebut menghamburkan uang hasil sewa untuk kehidupan hedonis seperti meningkatnnya konsumsi minuman alkohol, mengimpor perabot Eropa, kereta kuda hingga bermain judi kartu. (Peter Carey: 2014)

Para petani semakin sulit ketika mereka harus melewati gerbang-gerbang cukai yang dikelola orang-orang tionghoa. Orang-orang Tionghoa di mata rakyat Jawa memang kala itu memang negatif. Pasca 1816, Pemerintah Eropa menempatkan orang-orang tionghoa sebagai pemungut pajak dalam gerbang cukai (bandar) dan Candu.

Kala itu seorang Jawa yang pergi ke pasar terpaksa harus mengantre berjam-jam sebelum barang muatannya diperiksa dan jika kerbaunya selama menunggu, merumput di tanah milik gerbang cukai, ia akan dikenaka denda. Jika ia tak sanggup membayar denda, kerbaunya akan ditahan. Tak jarang seorang petani menyerahkan sebagian besar keuntungan panen padi miliknya untuk menyewa kembali kerbau miliknya sendiri dari bandar setempat. (Peter Carey: 2008)

Lebih mengenaskan lagi, petani yang menunggu antrean panjag di gerbang cukai, sering harus bermalam dan muncul godaan tambahan yang tak kalah gawat dan memperdaya, yaitu ronggeng (gadis-gadis penari), prostitusi, permainan judi kartu, dan candu. Hal ini menguras uang para petani sampai terpaksa menyerahkan pakaian, harta terakhir miliknya. Banyak petani yang berhutang akhirnya menjadi bandit atau kuli panggul di jalan-jalan. (Peter Carey: 2014)

Hal ini menimbulkan dendam di kalangan wong cilik, mereka kemudian meminta bantuan bandit untuk mencuri atau menjarah para bandar. Di mata orang Jawa, orang-orang tionghoa dianggap sebagai penjaga ras pabean (bandar). Bagi pemerintah Eropa hal ini bukan masalah selama pemasukan tinggi yang mereka tuntut dapat dipenuhi oleh orang-orang tionghoa. (Peter Carey: 2014)

Menurut sejarawan Didi Kwartanada, orang-orang tionghoa memang sejak lama dimanfaatkan sebagai “perantara” sekaligus “mesin pencetak uang,” baik oleh penguasa kolonial maupun raja-raja pribumi. Orang-orang tionghoa sebagai perantara. (Didi Kwartanada dalam Peter Carey: 2008)

Keterbatasan sumber daya manusia dimanfaatkan sebagai “perantara” antara mereka dengan golongan pribumi. Oleh sebab itu penguasa kolonial menjual berbagai macam hak (pacht) seperti gerbang cukai, candu, rumah gadai kepada pengusaha tionghoa.

Golongan tionghoa diposisikan sebagai minoritas perantara yang membuat mereka, secara ekonomi cukup mapan, namun secara politik dibenci oleh rakyat. Posisi perantara ini yang memang dinginkan oleh penguasa kolonial, karena jika terjadi kerusuhan, golongan tionghoa inilah yang dijadikan “perisai” atau “kambing hitam.” (Didi Kwartanada dalam Peter Carey: 2008)

Menurut Peter Carey, sebetulnnya tidak semua orang tionghoa itu dipandang penindas oleh penduduk setempat. Di Wirasaba, Jawa Timur, penyewa tanah seperti Lib Sing, yang mengendalikan lebih dari 200 desa, dianggap sebagai “majikan yang baik hati dan pemurah.” (Peter Carey: 2008)

Semua hal ini memicu kemuakan Pangeran Diponegoro pada Keraton dan Penguasa Eropa. Penindasan, kebejadan, kehancuran tatanan keraton hingga kewenangan keraton yang diobok-obok membuatnya perlahan meninggalka kehidupan Keraton. Puncaknya, saat ia menjadi wali Sultan Hamengku Buwono IV yang masih balita, ia merasakan intervensi Penguasa Kolonial yang semakin dalam.

 

Satu Langkah Menuju Perlawanan

Residen baru Yogyakarta pengganti Nahuys, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert bertindak keterlaluan dengan terlibat dalam penunjukkan Sultan pada bulan Juni 1823. Penunjukan itu untuk menggantikan Sultan Hamengku Buwono III yang meninggal mendadak. Smissaert duduk di atas tahta seraya menerima sembah dan bakti para bupati mancanagara dalam lima upacara Garebeg selama 31 bulan masa jabatannya sebagai Residen. Di mata orang Jawa hal ini adalah penghinaan terhadap martabat mereka. (Peter Carey: 2014)

Pangeran Diponegoro memang tetap menerima posisi sebagai Wali Sultan bersama Mangkubumi, Ratu Ageng dan Ratu Kencono (Ibunda Sultan balita). Namun posisi Pangeran semakin tidak dianggap. Smissaert mengabaikan pendapat Pangeran Diponegoro dalam persoalan ganti rugi sewa tanah yang dapat membawa Kesultanan pada kebangkrutan.

Jonkheer Anthony Smissaert. Sumber foto: Peter Carey. 2010. Sexulity and Power. IIAS News letter no: 54 (2010).

Danurejo IV, sang patih di Keraton juga bertindak sewenang-wenang dan korup. Jual-beli jabatan, pemecatan pejabat-pejabat resmi, penggelapan uang keraton terjadi dibawah ketiaknya. Sang Patih Danurejo bahkan bertindak keterlaluan dengan membawa para putri keraton ke tempat peristirahatan di pedesaan untuk berpesta pora dan ‘mencemari’ mereka. (Peter Carey: 2014) Hubungan gelap dan skandal seks yang liar antara para pejabat Eropa, bangsawan dan putri-putri Keraton hanya meneruskan kisah kebejatan moral yang membuat Keraton seperti rumah bordil.

Asisten Residen, P.F. H. Chevallier juga kerap menghina Pangeran Diponegoro. Chevallier yang perilakunya mirip maniak seks bahkan menjadikan saudari perempuan Pangeran sebagai korbannya. Teguran Pangeran dijawab Chevallier dengan mengatakan ia akan melakukan apa yang ia suka dengan perempuan pribumi lalu memukul kepala Pangeran Diponegoro. (Peter Carey: 2014)

Pangeran Diponegoro akhirnya memutus hubungan dengan Keraton sejak Februari 1824. Dalam pengakuannya pada Kiyai Mojo setahun kemudian, Pangeran Diponegoro berkata,

“Paman, saya meninggalkan Yogyakarta karena saya merasa tidak dianggap lagi oleh orang-orang Eropa dan oleh Danurejo [IV].” (Peter Carey: 2014)

Kehidupannya dihabiskan di Tegalrejo. Satu hal yang rutin dilakukannya adalah menyepi ke goa Secang miliknya di Selarong. Dalam sepi di Goa Secang, ia mendapati peristiwa ganjil. Ia melihat penampakan-penampakan gaib yang akan mengubah jalan hidupnya. Penampakan pertama terjadi di Bulan Ramadhan tahun 1824.

 

Dari Diponegoro Menjadi Abdul Hamid

Sesosok haji muncul dihadapannya. Mengaku sebagai utusan Ratu Adil. Utusan ini kemudian membawa Pangeran Diponegoro bertemu dengan Ratu Adil di puncak gunung. Sosok Ratu Adil itu bersurban hijau, berjubah dan bercelana putih, serta memakai selendang merah. Sebagaimana yang diceritakan dalam Babad-nya, sosok ini kemudian menyapa Pangeran Diponegoro;

Berdiri di puncak gunung, menghadap batu pertapaan saja, tidak ada perintangnya, rerumputan terlihat bersih bagai disapu, Kanjeng Pangeran di bawah melihat ke atas, ke arah tenggara menghadapnya. Ratu Adil lalu berkata, “Hei, kau Abdulhamid!”

Karena itu kau kupanggil, prajuritku semua kautolak. Di Jawa nanti rebutlah, seadaianya ada orang bertanya kepadamu, suruhlah mencari pada surat dalam Qur’an.” Kanjeng Abdul Hamid berkata, “Mohon maaf, hamba sudah tidak kuat berperang.”(Pangeran Dipanegara: 2016)

Penampakan ini terjadi berkali-kali, dalam penyepiannya di Goa Secang. Pangeran yang awalnya ragu akhirnya menerima “mandat” ini. Sebagai Muslim terpengaruh kebudayaan Jawa, konsepsi Ratu Adil bukanlah hal yang aneh. Di berbagai tempat di nusantara seperti di Aceh atau Jawa, konspesi Ratu Adil atau dalam istilah lain disebut Imam Mahdi seringkali muncul seiring perlawanan fisik terhadap kolonialisme.

Kita tentu tidak bisa memastikan apakah Pangeran sedang bermimpi atau memang ada sebuah penampakan gaib. Satu hal yang pasti penyepiannya di Goa Secang juga diisi dengan ibadah dan membaca Qur’an. Satu peristiwa di Bulan Ramadhan di tahun 1825, selepas sholat Ashar, Pangeran sedang duduk di kebun sekitar Goa Secang. Ia mendengar suara gaib ini.

Kau Abdul Hamid.
Namamu nanti diberi oleh Allah Rabil alamin menjadi Kanjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra Sayidin Panatagama di Tanah Jawa, Kalifah Rasulullah engkau semata.” Setelah itu hilang suaranya.
(Pangeran Dipanegara: 2016)

Apakah hal ini berarti Pangeran akhirnya mengobarkan perlawanan di tanah Jawa karena mendapat “mandat” dari satu hal yang gaib? Sepertinya tidak demikian. Alih-alih demikian, nampaknya kita dapat menerima bahwa “mandat” ini hanya mendorong Pangeran untuk lebih yakin melakukan perlawanan.

Sebelum penampakan terakhir di Bulan Mei 1825, Pangeran Diponegoro telah membuka ruang diskusi dengan para Pangeran dan pejabat resmi Keraton Yogya yang prihatin dengan situasi ekonomi dan politik yang semakin memburuk. Pertemuan pertama terjadi di Tegalrejo pada 29 November 1824 dan tidak semua yang hadir mendukung pemberontakan. (Peter Carey: 2014)

Pangeran pun telah membicarakan tekadnya berperang pada Rahmanudin, bekas Penghulu Keraton yang dipecat dan tinggal di Tegalrejo. Rahmunin menyatakan dirinya sudah tak sanggup untuk berperang. Menanggapi hal itu, Pangeran Diponegoro kemudian menjawab,

“Saya senang berperang, matinnya syahid!” (Peter Carey: 2014 dan Pangeran Dipanegara: 2016)

 

Meletusnya Perang Jawa

Dua bulan sebelum Pangeran Diponegoro membulatkan tekad melakukan pemberontakan, pada bulan Mei 1825, ia sudah membatalkan pajak-pajak puwasa di tanah miliknya. Hal ini memungkinkan agar para petani penggarap membeli senjata dan makanan. (Peter Carey: 2014)

Satu insiden yang memicu pecahnya pemberontakan lebih awal adalah kebijakan Residen Smissaert untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogya. Salah satunya melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan pada Pangeran Diponegoro, Pada bulan Juni 1825, jalan-jalan ini mulai dipasang patok. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi Pangeran Diponegoro dan orang-orang yang bekerja di tanah miliknya. (Peter Carey: 2014)

Di Bulan Juli 1825, perseteruan ini semakin memuncak. Pangeran memerintahkan untuk mencabut patok-patok tersebut. Pangeran lalu bersiap mengungsikan anak istrinya serta pekerja yang lebih tua ke Selarong dan membawa uang dan barang berharga lainnya untuk membiayai perang. (Peter Carey: 2014)

Antara 18-20 Juli 1825, Residen mengirim utusan ke Tegalrejo seperti Danurejo dan pejabat lain namun mereka menemui kegagalan. Misi terakhir berangkat 20 Juli ke Tegalrejo untuk menciduk Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi. Namun hal ini sudah diketahui Pangeran. Konflik terbuka antara pengikut Pangeran dan misi dari Residen yang didukung pasukan Jawa-Belanda pecah. Kediaman Pangeran Diponegoro yang berhasil dikuasai langsung dibakar. Namun Pangeran Diponegoro dan pengikutnya berhasil melarikan diri.

Komandan regu kavaleri dalam operasi militer yang gagal tersebut, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan sosok pangeran dan pasukannya dalam peristiwa itu;

“Pangeran Diponegoro berada tidak jauh dari situ sambil menunggang kuda hitam yang indah dengan perlengkapan berkuda sangat bagus. Ia berbusana seluruhnya putih dengan gaya Arab. Ujung serbannya melambai-lambai diterpa angin saat itu membuat kudanya berjingkrak. Tali kekang diikatkan ke sabuknya. Ia terlihat seperti menari ditengah pasukan kawalnya yang bersenjatakan tombak.” (Peter Carey: 2014)

Pemerintah kolonial memang hanya berhasil membakar kediaman pangeran, namun tampaknya tidak ada yang menyangka peristiwa tersebut hanyalah awal dari perlawanan yang dahsyat dan berkobar hampir lima tahun lamanya. Belanda harus membayar mahal: 7 ribu serdadu pribuminya tewas, 8 ribu tentaranya juga mati. Biaya perang yang mereka keluarkan 25 juta gulden (setara dengan 2,2 miliar dollar AS), 200 ribu orang Jawa tewas, sepertiga penduduk pulau Jawa terpapar kerusakan perang, seperempat lahan pertanian yang ada rusak. (Peter Carey: 2014)

Sang Pangeran, meski kita tahu bahwa ia berakhir dalam tahanan di pengasingan, ia akan tetap dikenang oleh penduduk di negeri lebih dari 250 juta orang ini. Tekadnya, kepedihannya dan citanya sebagai penata agama dan mendirikan negeri berhukum Islam di tanah Jawa , terkubur bersama jasadnya di Makassar pada 8 Januari 1855.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Pustaka:

Carey, Peter. 2016. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1755-1855. Jakarta: Buku Kompas.

Carey, Peter. 2014. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785 – 1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Carey, Peter. 2008. Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa. Depok: Komunitas Bambu.

Oman Fathurahman. 2012. Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara. Bandung: Mizan Publika.

Pangeran Dipanegara. 2016. Babad Pangeran Dipanegara. Narasi: Yogyakarta

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here