Berbicara mengenai Hari Pahlawan, tiada terlepas dari peran besar umat Islam. Mengurai kisah perjuangan di nusantara oleh para pejuang Islam memang bukan suatu hal yang baru. Motivasi agama menjadi daya juang yang utama, sekalipun sebagian sejarawan seringkali memasungnya menjadi perjuangan bermotif duniawi. Rajutan kisah perjuangan itu terjalin satu demi satu oleh berbagai pengaruh. Salah satu pengaruh yang menyuburkan daya juang itu adalah adanya pengaruh sastra dalam membakar jiwa untuk melakukan jihad di nusantara melawan penjajah.
Sastra memang salah satu media yang digunakan oleh para penyebar Islam di Nusantara. Melalui sastra berbagai pengajaran mengenai sejarah, hukum, serta tasauf tersebar. Bentuk-bentuk sastra yang mereka gunakan antara lain syair, pantun, gurindam, dan dan prosa (termasuk di dalamnya hikayat). Raja Ali Haji dikenal dengan pengajaran adabnya melalui Gurindam dua belas. Di masyarakat Minangkabau, selain pantun dan syair, digunakan sastra Tutur Kaba’. Di tatar Sunda juga tak kalah. Sastra tembang yang berisi pengajaran agama, dari tembang Cianjuran sampai tembang anak-anak di surau dan pesantren berkembang pada zamannya. Di Jawa, Sunan Bonang menggunakan bentuk-bentuk tembang Jawa untuk menyebar dakwah. Salah satunya adalah Suluk Wuragul, yang ditulisnya dalam bentuk tembang Dhandhananggula. [1] Begitu pula di Maluku yang pencatatan sejarahnya dikenal dari Hikayat Hitu, serta di Kalimantan dikenal Hikayat Banjar. Semuanya menyiratkan dekatnya kehidupan umat dengan sastra, yang merentang dari Sumatra hingga timur Indonesia. Namun jika membicarakan sastra dengan jihad di nusantara, maka terdengarlah gaung Hikayat Perang Sabil dari Aceh yang tiada taranya dalam membakar semangat jihad di sana.
Saat berlangsungnya perang Aceh yang berlangsung hingga 40 tahun,[2] banyak sekali di temukan Hikayat Perang Sabil. Hikayat menurut Prof. Sulastin Soetrisno adalah prosa yang ditulis dalam huruf Arab Jawi. Hikayat tergolong sastra melayu klasik, berkembang bersamaan dengan sastra melayu di tahun 1500-an. Penulisan Hikayat biasanya ditulis berulang kali, oleh karena itu seringkali diubah dan ditambah hingga menjadi sempurna menurut penyalinnya. Teks yang disalin seringkali dibuat untuk beragam tujuan.[3] Termasuk juga Hikayat Perang Sabil.
Hikayat Perang Sabil biasanya berisi anjuran untuk berperang sabil dengan menunjukkan pahala, keuntungan dan kebahagiaan yang akan diraih. Dapat pula berisi keadaan suatu tokoh atau situasi perang di sebuah tempat. Atau bahkan mencakup kedua hal tersebut. Ideologi perang sabil memang menjadi poros tegaknya jihad di Aceh. Hikayat Perang Sabil tertua yang dapat ditemukan tercatat berasal dari tahun 11 Sya’ban 1122 H atau 5 Oktober 1710, kini di simpan di Universitas Negeri Leiden. Hikayat Perang Sabil biasanya dibaca di dayah (pesantren) atau meunasah, bahkan di rumah-rumah sebelum orang-orang terjun ke medan pertempuran. Pembacaan hikayat ini mampu menyulut semangat jihad orang aceh menyadarkan keadaan negerinya ;
Waktu kafir menduduki
Semua kita wajib berperang
Jangan diam bersunyi diri
Di dalam negeri bersenang-senang
Diwaktu itu hukum fardhu ‘ain
Harus yakin seperti sembahyang
Wajib dikerjakan setiap waktu
Kalau tak begitu dosa hai abang[4]
Orang-orang yang membacanya menjadi tergerak tak takut meregang nyawa, mempertahankan negeri serta mengusir orang kaphe (kafir) Belanda.
Yang memerangi kafir dalam perang sabil
Niat mempertinggi kebenaran agama
Kalimah Allah agama Islam
Kafir jahanam isi neraka
Sabilillah dinamai perang
Tuhan berikan akhirnya surga
Mengikuti suruhan sampai ajal
Pahala kelak sangat sempurna[5]
Beberapa bait syair bahkan mengajak tidak hanya kaum pria, tetapi juga wanita bahkan anak-anak untuk berjihad.
Baik wanita atau pria
Semuanya, tua dan muda
Akil balig, kanak-kanak
Menurut Ijmak ikut serta
Saleh, fasik, ali, jahil
Wajib semua berperan serta
Raja, rakyat, uleebalang
Wajib berperang sama rata
Kafir yang menyerang Negeri kita
Wajib di sini lawan segera
Haram lari, wajib melawan
Fardhu’ain ke atas kita[6]
Dengan kata-kata yang begitu menggugah tak heran kalau Belanda begitu khawatir dengan keberadaan Hikayat ini. Gubernur Aceh A. H. Phillips dalam memori serah terima jabatannya menyatakan bahwa membaca Hikayat Perang Sabil, yang diadakan di depan umum, dapat merangsang pembaca atau pendengarnya sedemikian rupa hingga hilang keseimbangan jiwa, kemudian membunuh kaphe (kafir). Maka tidak heran, jika penyitaan dan pembakaran Hikayat tersebut menjadi kebijakan pihak Belanda.[7]
Serupa namun tak sama, kita akan menemukan telaga sastra yang menggugah jiwa. Di tanah melayu kita akan bertemu dengan Hikayat Anggun Cik tunggal, yang dipesisir minangkabau dikenal dengan Nan Tongga Megat Jebang. Sebuah hikayat yang menyinggung Raja Badurai Putih. Raja Badurai putih sendiri bermakna penguasa kulit putih. Hikayat tersebut menggambarkan kebencian kepada penajajah Portugis yang tamak. [8]
Di bumi Palembang pun kita akan mendapati sastra yang diwarnai semangat jihad. Syair Perang Menteng, dibuat tak lama setelah serangan tentara kolonial Belanda terhadap kerajaan Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin memimpin perlawanan terhadap serangan itu tahun 1819. Nama Perang Menteng sendiri berasal dari Muningthe, pemimpin penyerangan Belanda, yang kemudian dimelayukan menjadi Menteng.[9] M. O. Woelders dalam buku Het Soeltanaat Palembang : 1811-1825 (1975) memuat syair tersebut. Isinya memuat kisah jihad para haji yang menggugah jiwa.
Haji berteriak Allahu Akbar
Datang mengamuk tak lagi sabar
Dengan tolong Tuhan Malik Al-Jabbar
Serdadu Menteng habislah bubar
Keluar sekalian hulubalang panglima
Menolong haji bersama-sama
Opsirnya mati empat dan lima
Hajipun sampai di kota lama
Haji mengusir kanan dan kiri
Memarangkan pedang ke sana ke mari
Serdadu Holanda habislah lari
Hanya komandan juga terdiri
Haji berteriak sambil memandang
Hai kafir marilah tandang
Syurga bernaung di mata pedang
Bidadari hadir dengan selendang
Di situlah haji lama terdiri
Dikerubungi serdadu Holanda pencuri
Lukanya tidak lagi terperi
Fanalah haji lupakan diri
Datanglah komandan bersungguh hati
Membedil haji tiada berhenti
Pelurunya datang menuju pasti
Di sanalah tempat haji nan mati
Syahidlah haji dua dan tiga
Akan mengisi di dalam syurga
Bidadari pun banyak tiada berhingga
Datang menyambut haji berida
Darahnya mengalir bagai kesturi
Bidadari pun banyak datang menghampiri
Suka dan ramai tepuk dan tari
Merebut mayat haji jauhari.[10]
Senafas dengan Syair Perang Menteng, ada pula Syair Perang Mengkasar. Sebuah syair yang sangat indah, melukiskan jalannya Perang Makassar pada tahun 1666. Perang antara VOC dan Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin ini, dilukiskan dalam syair berbahasa melayu oleh Enci Amin, seorang juru tulis Sang Sultan. Sapuan kata-kata dalam syair yang begitu indah terasa ketika membicarakan berlangsungnya perang tersebut.
Setelah terbitlah nyata matahari
Dipasangnya meriam Seri Negeri
Apinya tersembur seperti syamsu wa’l-qamari
Welanda dan Bugis sangatlah ngeri.
Bunyinya itu seperti halilintar membelah
Kenalah kapal si la’nat Allah
Lantas terus lalu ke sebelah
Berpuluh-puluh kepala terbelah.[11]
Di bagian lain, Enci’ Amin menggambarkan betapa gigihnya mereka berperang.
Berperanglah Sultan di Batu-batu
Keraeng Jaranika datang membantu
Membawa keris seorang sahu
Masuk mengamuk Meluku Hantu
Keraen Jaranika dengan Maharajalela
Mengamuk bagai orang yang gila
Sedikit pun tidak ada bercela
Bertikamkan keris berhela-hela.[12]
Sikap perlawanan dengan sastra juga merambah di tanah Jawa, ditunjukkan oleh Kiyai Ahmad Rifa’I dari Kalisalak, Jawa Tengah. Ia dikenal memiliki sikap anti pemerintah Belanda yang bercokol di tanah Jawa. Kecamannya tak hanya ditujukan kepada penguasa asing saja, tetapi juga kepada penguasa lokal yang bekerja sama dengan mereka.
Peringatan, orang kafir masuk Negara Islam
Menjadi raja Negara Jawa cukup lama
Itu adalah musuhnya orang mukmin
Adalah fardhu a’in untuk diperangi
Melawan raja kafir harus diketahui
Ratu Islam sama menganut raja kafir
Bupati, Demang sama-sama mengabdi
Kepada raja kafir seraya mengikuti perintahnya.[13]
Dalam karyanya yang lain, ia juga menyampaikan,
Diantara orang alim ada yang bersekutu
Kepada raja yang berdosa dan zalim
Dan raja kafir hatinya tidak bisa Islam
Tak menghiraukan pada Al Qur’an al-Azim
Membenci pada orang alim adil yang menjadi panutan.[14]
Perlawanan yang berkobar-kobar dan keindahan bahasa memang seringkali saling terangkai, karena sejatinya jihad dan sastra adalah perpaduan yang menyertai jejak umat Islam di nusantara. Perpaduan yang melahirkan pahlawan yang berjuang di jalan Tuhan.
[1] Tohari, Ahmad. Sastra Pesantren, Sastra Dakwah dalam Sastra dan Budaya Islam Nusantara. SMF Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1998. Yogyakarta.
[2] Menurut Paul Van T. Veer
[3] Alfian, Ibrahim. Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil. Balai Pustaka. 1992. Jakarta
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] HAMKA. Dari Perbendaharaan Lama. Pustaka Panjimas. 1994. Jakarta.
[9] Van Bruinessen, Martin. Tarekat dan Politik : Amalan untuk Dunia atau Akherat? Majalah Pesantren Vol. IX No.1. 1992. Halaman 3-14.
[10] Alfian, Ibrahim.
[11] Skinner, C (ed). Enci’ Amin, Syair Perang Mengkasar. Ininnawa & KITLV-Jakarta. 2008. Makassar-Jakarta.
[12] Ibid.
[13] Djamil, DR. Abdul. Perlawanan Kiai Desa. Pemikiran dan Gerakan Islam KH Ahmad Rifai kalisalak. Lkis. 2001. Yogyakarta.
[14] Ibid
Sumber foto : Alfian, Ibrahim. Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil.
Oleh : Beggy
[…] tulisan kawan saya, salah seorang pendiri dan peneliti Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dalam tulisan Sastra dan Jihad di Nusantara, yang saya coba sarikan. Kita akan lihat, bagaimana jejak Islam itu membekas bukan dalam […]
[…] Dan kini, lebih dari 50.000 orang santri telah siap beri’dad, walau hanya terpilih 500 orang terbaik dari puluhan wilayah se Jawa Madura.Bangunan jaringan Ulama yang disusun rapi oleh walisongo, diwariskan tiap generasi. Ingatan tentang jihad fi sabilillah menembus relung terdalam kalbu, mewujud dalam tindakan, yang direkam dalam Hikayat, senandung, hingga kisah dari mulut ke mulut. Dari para Wali, para Raja, para Pejuang yang kini mewangi menjadi pahlawan Nasional. (baca : Sastra dan Jihad di Nusantara) […]