H.O.S. Tjokroaminoto merupakan pahlawan nasional yang dijuluki sebagai guru bangsa karena banyak mempengaruhi pemikiran para pejuang kemerdekaan. Rumahnya di Gang Peneleh kerap kali menjadi tempat diskusi founding father bangsa ini.[i] Singkat kata, disanalah embrio bangsa Indonesia disemai dan tumbuh. Banyak yang berpendapat bahwa Tjokroaminoto adalah induk semang dari tiga ideologi; nasionalis, komunis, dan Islam, dinisbatkan kepada tiga muridnya yang terkenal: Soekarno, Semaun, dan Kartosoewiryo. Bagi penulis pendapat tersebut dirasa kurang tepat, selain masih banyak murid dan kerabat dekat Pak Tjokro seperti: Agus Salim, Mas Mansur, Ahmad Dahlan, Abdoel Moeis, Hamka, dsb, merupakan hal yang kurang bijak jika kita memotret pemikiran seseorang hanya melalui pemikiran orang lain. Karena tentunya Tjokroaminoto memiliki otentitas pemikirannya tersendiri yang menjadi prinsip dalam perjuangannya.

            Setelah serangkaian penelitian terhadap tulisan-tulisan Tjokroaminoto, penulis berpendapat bahwa beliau adalah seorang muslim yang fundamentalis sekaligus dinamis.[ii] Dengan kata lain, beliau mendorong terciptanya kehidupan yang belandaskan Islam: Pengajaran-pengajaran Qur’an suci itu sudah cukup meliputi segala sesuatu yang menjadi keperluan dan kebutuhan manusia, tegasnya: sudah cukup menjadi asas-asasnya mengatur segala keperluan dan menjadi pedoman untuk memenuhi kebutuhan lahir batin kita[iii], disisi lain Tjokroaminoto juga akomodatif dengan berbagai perbedaan dalam umat Islam yang bersifat furu’iyah dalam koridor ahlussunnah wal jamaah. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya “Api Sejarah”: Beliau (Tjokroaminoto) adalah pejuang yang membangkitkan kesadaran nasional melalui Al-Qur’an dan Sunnah.

            Pasca wafatnya Tjokroaminoto tahun 1934, pemikiran dan perjuangannya diteruskan oleh beberapa orang, termasuk dalam pandangan penulis oleh Mohammad Natsir. Usaha mengaitkan Tjokroaminoto dan Natsir memang belum banyak, atau bahkan mungkin belum ada.  Hal ini dikarenakan intensitas pertemuan keduanya hanya terjadi satu kali secara langsung di salah satu gerbong kereta menuju Batavia.[iv] Disamping itu, Natsir juga bukanlah murid langsung Tjokroaminoto. Padahal, sebagaimana keyakinan penulis; meskipun keduanya hanya bertemu satu kali secara fisik, tetapi secara ide, gagasan, pemikiran, dan perjuangan, Tjokroaminoto dan Natsir bertemu berkali-kali.

Memperjuangkan Ummat melalui Jalur Politik dan Konstitusional

            Perubahan SDI (1905) menjadi SI (1913) dapat diartikan sebagai perubahan landasan perjuangan ummat dari ekonomi menjadi politik demi maslahat dan tujuan yang lebih luas.[v] Sejak awal didirikannya SI menempuh jalur konstitusional melalui persetujuan pemerintah Hindia Belanda, SI juga membentuk Central Sarekat Islam (CSI) sebagai siasat mempersatukan cabang-cabang SI yang sengaja dijadikan otonom oleh pemerintah Hindia Belanda. Tidak sampai disitu, Tjokroaminoto juga masuk ke dalam Volkstraad sebagai langkah konstitusional mendirikan Zelfbestuur atau pemerintahan sendiri.

            Politis dan konstitusional adalah ciri khas perjuangan Tjokroaminoto yang juga menjadi ciri khas Natsir. Memimpin fraksi Masyumi di DPR merupakan langkah yang ditempuh Natsir dalam memperjuangkan ummat. Natsir bahkan memberikan sumbangsih yang sangat besar dengan mengajukan “Mosi Integral Natsir 1950” yang menjadi cikal bakal terciptanya NKRI. melalui mosi ini pak Natsir menjaga Indonesia dari keterpecahan dengan cara yang konstitusional, meskipun bisa saja negara-negara buatan Belanda dalam RIS diperangi, tetapi beliau memilih jalan konstitusional demi kebaikan masa depan Indonesia.[vi] Yang jelas, Natsir tidak pernah berjuang secara inkonstitusional, adapun isu keterlibatannya dengan PRRI sudah banyak ditepis oleh para sejarawan yang mengenal Natsir.[vii]

Berbeda dengan R.S.M. Kartosoewiryo yang memilih jalur inkonstitusional dengan mendirikan DI/TII sebagai respon kekecewaannya kepada pemerintah. Meskipun dikenal sebagai murid Tjokroaminoto, bahkan dikatakan sebagian sejarawan sebagai murid ideologis Tjokroaminoto,[viii] tetapi sikap R.S.M. Kartosoewiryo menunjukan bahwa ia tidaklah benar-benar mengikuti langkah gurunya.  Begitupun dengan Semaun yang sudah sejak awal berbeda ideologi dengan pak Tjokro, kemudian mengikuti langkah Sneevliet. Perjuangan Semaun juga selalu menempuh jalur inkonstitusional melalui kudeta dan pemberontakan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keduanya bukanlah penerus Tjokroaminoto, karena terdapat perbedaan mendasar dalam landasan pemikiran dan perjuangan. Apalagi sebagai alat untuk memotret substansi pemikiran Tjokroaminoto, hal tersebut tidaklah bijak dan tepat.

Menolak Sekularisme: Pemisahan Agama dan Negara

            Dalam buku Cindy Adams yang berjudul Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat, dengan tegas Bung Karno mengatakan: “Tjokroaminoto adalah cermin saya”. Dari pernyataan tersebut banyak yang beranggapan bahwa Bung Karno adalah penerus pemikiran dan perjuangan Tjokroaminoto. Bahkan, ada yang mengganggap bahwa ia lebih hebat dari gurunya itu, karena dikemudian hari bisa mendamaikan tiga ideologi yang bertentangan melalui ide Nasakom.

Sumber foto: Tim Buku Tempo. 2013. Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

            Pendapat di atas adalah hal yang harus dikritisi. Mengingat Tjokroaminoto tidak pernah bersetuju dan berdamai dengan ideologi komunis. Beliau secara tegas menolak komunisme, dan juga ajaran-ajaran marxis menurut beliau bertentangan dengan Islam. Adapun nilai yang terkandung dalam sosialisme, yang juga terkandung di dalam nilai Islam dapat diterima sebagai “Sosialisme Tjara Islam” (Selengkapnya baca: Islam dan Sosialisme).

            Selain itu ada satu hal lagi yang perlu dipertanyakan mengenai pernyataan Bung Karno di atas, juga pernyataan bahwa ia merupakan penerus Tjokroaminoto. Karena dalam perjalannya, Soekarno justru berbeda pandangan dengan Tjokroaminoto mengenai posisi Islam dalam bernegara, hal ini tentunya merupakan sesuatu yang fundamental atau asas. Perbedaan ini dapat kita lihat kemudian dalam tulisan Soekarno maupun Tjokroaminoto dalam menanggapi pemisahan agama dan negara (sekularisasi) yang terjadi di Turki.

            Mengutip perkataan Soekarno:

“Tuan-Tuan barangkali menaja: tidakkah sjari’atul Islam telah mengatakan dengan njata-njata, bahwa agama itu mengatur negara pula, djadi bahwa agama menurut sjari’at itu menjadi satu dengan negara? Ach,-didalam hal inipun sebenarja tidak ada idjmak jang bulat dikalangan kaum ulama. Didalam hal inipun ada satu aliran, jang mengatakan, bahwa agama-agama, urusan negara-urusan negara.”[ix]

“Sekali lagi saja berkata, Kamal Ataturk telah memindahkan satu fi’il maha-haibat jang menpujai arti dalam sedjarah dunia. Ia punya alasan-alasan, sepandjang pengetahuan saja, telah saja uraikan kepada Tuan ….. Negara harus ditangkaskan dan agamapun harus ditangkaskan, sebab baik negara maupun agama, dua duaja menjadi lemah dan tiada-daja-upaja karena terikat erat-erat satu kepada jang lain dalam aturan jang lama. … Ia adalah orang jang riil, ia bentji kepada orang-orang jang selalu melamun di awang-awang sambil mengatakan, bahwa di zaman Nabi atau di zaman kalifah yang empat, agama toch bersatu dengan negara. … Inilah jang membenarkan kehaibatannja ia punja nama: Kamal Pasja diganti dengan Kamal Ataturk,-Ataturk jang berarti Bapak Turji, dan Kamal jang Berarti Benteng!.[x]

            Tulisan Bung Karno diatas jelas memiliki tendensi positif terhadap pemerintahan Turki sekuler dan memuji sikap Kemal Ataturk yang berani memisahkan agama dan negara (Selangkapnya baca: Dibawah Bendera Revolusi: Apa Sebab Turki Memisah Agama dan Negara?). Hal ini tentunya berbeda dengan pandangan sang guru yang secara jelas menolak sekularisasi yang terjadi di Turki:

            “Apabila kita berpikir bahwa sepanjang paham yang umum diakui setiap orang, nasionalisme itu hanya masalah pemikiran, nasionalisme itu dalah sebuah kesepakatan atas kesepahaman untuk jadi satu bangsa, bahwa nasionalisme itu adalah perasaan bersama atas satu Natie (Nation), yang apabila hal itu direalisasikan, mereka memiliki organisasi politik yang disebut staat (state), maka sungguh tersesatlah nasionalisme kaum kemalis (yang memisahkan negara dan agama), karena dengan nasionalisme semacam itu adalah nasionalisme yang telah menyalahi substansinya dan bahkan telah melampaui (keluar) dari makna nasionalisme itu sendiri, dan bahkan telah berubah menjadi penyakit “modernisme” yang hanya mengakui “Kewadagan” (Matrealisme) saja.[xi]

Selanjutnya mengenai posisi Islam dalam sebuah negara Tjokroaminoto mengatakan:

            “Perintah Allah inilah (Surat As-Syura: 38)  menunjukan bahwa dengan nyata-nyata agama Islam menetapkan dasarnya pemerintahan atau government yang bersandar pada kemauan ummat. Dengan jalan mengadakan maajelis as-syura atau parlemen, dan cita-cita itu nyata-nyatalah telah kejadian dalam praktik pada zaman khulafaur rasyidin.”[xii]

            “Ada pula beberapa saudara yang mengaku beragama Islam tetapi dalam ber-Nasionalisme mereka bersikap “Neutraal” terhadap semua agama bahkan kepada agamanya sendiri (Islam)!. Sungguh tersesatlah Nasionalisme yang demikian itu bagi kita sebagai orang muslim.”[xiii]

            Tidak jauh dengan Natsir yang kemudian mengkritik tulisan Soekarno dan para pengagum sekularisasi melalui sebuah sindiran:

            “Kalau kita terangkan bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayangkan sudah di mata; seorang bahlul (bloody fool) duduk diatas singgasana, dikelilingi oleh ‘haremnya’ menonton tari ‘dayang-dayang’. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai ‘kementrian kerajaan’ beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab, memang begitulah gambaran ‘pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa, Khalifah=Harem, Islam=Poligami.”[xiv]

Natsir dalam Kampanye Pemilu 1955_2. Sumber foto: Howard Sochurek, Time Life Indonesia Elections, https://artsandculture.google.com/

Dalam pada itu pemikiran dan sikap Natsir mengenai posisi Islam dalam bernegara cenderung mirip secara substansi dengan Tjokroaminoto. Dalam pidatonya di di depan Majlis Konstituante 1959:

“Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudara-saudara pendukung pancasila. Sila-Sila yang saudara maksud ada terdapat di dalam Islam. Bukan sebagai ‘pure concepts’ yang steril, tetapi sebagian nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang riil dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, |saudara-saudara pembela pancasila sedikitpun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung pancasila atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh satu ‘State Philosophy’ yang hidup, berjiwa, tegas, dan mengandung kekuatan. Tak ada satupun dari lima sila yang terumus dalam pancasila itu yang akan terluput atau gugur, apabila saudar menerima Islam sebagai dasar negara. Dalam Islam terdapat kaidah-kaidah yang tentu-tentu, dimana ‘pure concepts’ dari sila yang lima itu mendapat substansi yang riil, mendapat jiwa dan roh penggerak.”[xv]

            Kesimpulan sederhana dari tulisan ini adalah bahwa baik Tjokroaminoto maupun Natsir keduanya adalah pemikir dan pejuang Islam sejati. Banyak kesamaan dalam stereotip pemikiran dan perjuangan keduanya; contoh kecilnya sebagaimana penulis sampaikan di atas. Kesamaan demi kesamaan ini tentunya didasari oleh kapabilitas keduanya dalam memahami Islam, dan juga  karena keduanya merupakan seorang santri yang terlatih untuk menghayati Islam sebagai peri kehidupan bersosial dan bernegara. Wallahu a’lam bisshawab

Oleh: Mikael Marasabessy – Penulis Buku “H.O.S. Tjokroaminoto: Dari Santri Menjadi Guru Tokoh Bangsa dan Wakil Ketua Umum Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) IIUM


[i] Tempo, 2017, Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa, Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bangsa, Jakarta: KPG, hlm.5.

[ii] Mikael Marasabessy, 2020, H.O.S. Tjokroaminoto dari Santri menjadi Guru Tokoh Bangsa, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hlm. 26.

[iii] H.O.S. Tjokroaminoto , Tafsir Program Asas dan Tandhim, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

[iv] Disampaikan oleh Anies Rasyid Baswedan dalam acara peluncuran buku “Biografi Mohammad Natsir” karya Lukman Hakiem, IIBF, Jakarta, 8 September 2019. Anies menambahkan bahwa pertemuan di gerbong itu dikemudian hari memiliki dampak yang luar biasa ke dalam diri Mohammad Natsir.

[v] Amelz, 1952, Tjokroaminoto: Hidoep dan Perdjoangangja, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 26.

[vi] Disampaikan oleh Lukman Hakiem, penulis buku “Biografi Mohammad Natsir” dalam acara peringatan 51 tahun mosi integral Natsir, DPP Masyumi, Jakarta, 3 April 2021.

[vii] Salah satunya disampaikan oleh sejarawan Taufik Abdullah ketika memberikan keterangan untuk film dokumenter Natsir, “Melawan Lupa: Keteladanan Mohammad Natsir”, di-upload 6 Agustus 2018 oleh Melawan Lupa Metro TV.

[viii] Aji Dedi Mulawarman, Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, Yogyakarta: Galang Pustaka.

[ix] Soekarno, 1965, Dibawah Bendera Revolusi, Cet.4, Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, hlm. 406.

[x] Ibid, hlm. 445.

[xi] Tjokroaminoto, Koran Fadjar Asia, Mei 1924.

[xii] H.O.S. Tjokroaminoto , Tafsir Program Asas dan Tandhim, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

[xiii] Aji Dedi Mulawarman, hlm 36-37.

[xiv] Adian Husaini, 2002, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani,  hlm. 16-17.

[xv] Ibid, hlm. 18

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here