Peluru yang dimuntahkan kapal Citadel van Antwerpen pada bulan Maret menandai pecahnya perang Aceh. Tetapi pertanyaaannya, mengapa Belanda menyerang Aceh? Jawabannya, tentu saja terletak pada keuntungan-keuntungan yang akan didapat dari penguasaan terhadap Aceh.

Sejak 1870, atau 3 tahun sebelum perang Aceh, Terusan Suez telah dibuka. Hubungan dengan Eropa menjadi lebih cepat. Jika sebelumnya memakan waktu empat bulan, kini hanya ditempuh dalam lima minggu. Sejak dibuka terusan Suez, maka pelayaran dari Eropa menuju Asia tak lagi melewati selatan (Selat Sunda), tetapi melewati Aden, Kolombo kemudian menuju Selat Malaka. Disinilah letak strategisnya Aceh.[1] Berikutnya tentu saja bukan sekedar lalu lintas perdagangan. Tetapi perdagangan itu sendiri. Aceh sejak abad ke-16 hingga abad ke-19 dikenal sebagai produsen lada terbesar di dunia. Lada telah membuat para uleebalang dan pemilik lahan tanaman lada menjadi kaya.[2]

Belanda tentu membayangkan bagaimana tunduknya Sultan Deli pada Belanda telah memberikan kekayaaan dari hasil perkebunan yang begitu luar biasa. Pihak swasta mengeruk untung yang berlipat-lipat dari kebun-kebun di Deli, Sumatera Timur.  Tentu saja bukan kebetulan. James Loudon dan Fransen ven de Putte adalah  pendukung liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda.

Tangan mereka telah membuka Aceh menjadi satu lahan investasi bagi pihak swasta asing. Pemerintah Hindia Belanda membuka keran investasi sebesar-besarnya kepada perkebunan-perkebunan besar. Aceh Timur dipilih karena berbatasan dengan Deli, yang telah menjadi surga perkebunan yang ditopang modal investor asing. Maka sejak 1898 Aceh Timur memberi karpet merah kepada investor tembakau di Tamiang.[3]

Ika Ningtyas Unggraini dalam Perubahan Sosial dan Ekonomi Aceh Timur Tahun 1907-1942 menyatakan investasi pertama berupa pembukaan kebun karet pada 1907 dan kelapa sawit pada 1912. Jumlah perkebunan modal swasta asing ini terus melonjak di Aceh Timur hingga pada tahun 1923 sudah ada 20 perkebunan, 12 diantaranya karet. Pembukaan kebun karet ini merupakan perluasan dari investasi asing di Sumatera Timur.

Cipratan Minyak Di Balik Perang

Di Aceh Timur, juga dibuka pintu eksplorasi minyak bumi yang memperoleh konsesi di Simpang Kanan dan Simpang Kiri, namun keduanya gagal dan ditutup pada tahun 1901. Namun bukan berarti kisah emas hitam itu berhenti di Aceh. Kisahnya bermula dari Langkat, Sumatera Timur.  Penemuan emas hitam ini ternyata tak bisa lepas dari peran keluarga James Loudon.

Sungguh satu kebetulan yang luar biasa. Adik dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda James Loudon (1872-1875)  adalah John Francis Loudon, seorang yang bergiat di dunia pertambangan. John Francis Loudon adalah penemu tambang Timah di Belitung. Sebagai ahli tambang, ia menjadi penasehat yang memiliki satu kelompok kecil tetapi sangat berpengaruh yang salah satu anggotanya adalah Hendrik, Pangeran Kerajaan Belanda. Hendrik adalah saudara kandung dari Raja Willem III di Belanda.[4]

Pada 6 Mei 1863 Menteri Kolonial Belanda, Fransen van de Putte mendapatkan informasi betapa pentingnya pencarian sumber daya energi untuk mendukung perkembangan ekonomi di negara koloni.[5] Pada tahun 1866, Kerajaan Belanda mengeluarkan keputusan yang menjamin hak untuk mengembangkan penemuan sumber minyak bagi yang menemukannya.

Fransen van de Putte. Sumber foto: Koleksi Digital KITLV.

Pada 1890 Raja Willem III memutuskan untuk membentuk Nedderlandsche Maatschappij tot explotatie van Petroleumbronnen in Nederlandsch Indie.[6] Perusahaan eksplorasi minyak milik Belanda yang kelak menjadi bagian dari Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM) atau Royal Dutch Petroleum Company. Berbagai peristiwa ini tentu membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk masuk mengeksplorasi minyak di berbagai wilayah di Hindia Belanda termasuk seputar Aceh. Demikianlah kemudian ‘kebetulan’ kembali terjadi.

Kiprah KNPM terancam ketika pada Juli 1898 sumur di Telaga Said, Langkat mulai mengering. Meluasnya informasi ini membuat saham KNPM di Amsterdam segera berguguran. Tetapi satu wilayah di Aceh menjadi penyelamat KNPM, yaitu Perlak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di kampung Rantaupanjang, Perlak, minyak berbual-bual di tanahnya. Di sinilah koneksi kolonial mulai bekerja. Pada tahun 1894, seorang insinyur mulai terlibat dalam pengeboran minyak di Langkat (perbatasan antara Aceh dengan Sumatera Utara saat ini). Minyak kemudian disuling di Pangkalan Brandan. Insinyur itu memiliki reputasi bukan hanya sebatas insinyur tetapi juga dikenal sebagai ahli diplomasi.[7]

Namanya adalah Hugo Loudon, anak dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintahkan penyerbuan ke Aceh, James Loudon. Hugo Loudon dikenal lihai bernegosiasi termasuk dengan penguasa lokal. Tak lama Hugo Loudon mengambil alih manajemen lapangan pengeboran minyak di Langkat.[8]

Hugo Loudon yang menjadi pemimpin lapangan Koninklijke segera mendesak Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.B. van Heutsz untuk memberi izin penelitian geologis. Izin pun akhirnya turun pada bulan September. Peran Hugo Loudon jelas, ia berusaha meyakinkan penguasa lokal dan pejuang Aceh bahwa mereka tak terkait dengan pemerintah kolonial Belanda.[9] Tentu saja ini adalah omong kosong belaka. Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM) atau Royal Dutch Petroleum  berhasil melakukan pengeboran di Perlak berkat diplomasi Loudon.

Pengeboran minyak di Perlak bukan saja menyelamatkan KNPM tetapi juga membuat KNPM mendulang kekayaaan dan menapaki jalannya sebagai perusahaan minyak raksasa. Terima kasih kepada Hugo Loudon. Bukan kebetulan lagi, nantinya dinasti Keluarga Loudon menjadi jajaran petinggi perusahaan minyak dunia yang kelak di kenal sebagai Royal Dutch (Shell). Setidaknya nafsu James Loudon menyerang dan menaklukkan Aceh telah membuahkan hasil yang sangat terang benderang: membuka pintu investasi asing masuk ke Aceh dan memberi jalan bagi anak-cucunya mendulang kekayaan dari perut bumi Aceh.

Manipulasi dan Provokasi Read

Satu nama penting lainnya di balik penyerbuan Belanda ke Aceh adalah Willam Read. Ialah yang menyebarkan berita provokatif dan manipulatif ke James Loudon. Loudon bisa jadi bersalah karena percaya begitu saja informasi Read. Tetapi tanpa provokasi dan manipulasi Read yang begitu dramatis, Belanda tampaknya tidak akan menyerbu Aceh. Read jelas punya motivasi untuk menangguk keuntungan di balik penaklukan Aceh.

Di akhir tahun 1870-an, ia dikethaui terlibat dalam pendirian British North Borneo Company. Perusahaan dagang multinasional. Ia sempat menjabat sebagai direktur di perusahaan tersebut. Kemudian setelah diprotes oleh Pemerintah Hindia Belanda, Read mengundurkan diri dan menjadi pemegang saham dan agen dagang terpenting di Singapura.[10] Menteri Luar negeri Belanda, W.F. Rochussen mengatakan modus Read dalam pecahnya Perang Aceh. Menurutnya, “Saya pribadi berkeyakinan bahwa Read berperanan besar sekali dalam membuat kesalahan kita yang terbesar itu dan terakhir (Perang Aceh). Dia sendiri telah memperoleh keuntungan di dalamnya dan baginya itulah yang paling penting.”[11]

Menambang Uang dari Perang

Pundi-pundi yang dihasilkan dari perdagangan di Aceh memang menggiurkan. Pemerintah kolonial Belanda pun berupaya menangguk keuntungan dari perdagangan, logistik dan konstruksi di Aceh lewat peran Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM). NHM dibentuk pada tahun 1824 atas inisiatif Raja Willem I. Dapat dikatakan NHM berperan menggantikan VOC yang telah bangkrut. Saat masa tanam paksa, NHM berperan sebagai bankir negara, pedagang dan agen pelayaran. Tak heran NHM dijuluki Koempenie Ketjil merujuk pada VOC pada masa lalu. Berikutnya bahkan NHM menjadi pemberi pinjaman dan penjamin bagi perusahaan swasta. NHM juga bergerak dalam perkebunan dan memiliki beberapa perkebunan.

Pada Perang Aceh, NHM mendapatkan kontrak untuk menyuplai pasukan yang ditempatkan di sana. Bahkan NHM berperan membantu pasukan dengan membangun pangkalan batubara di Sabang yang sebagian didanai oleh anak perusahaan NHM, yaitu Aceh Association (AA).[12]

Kantor NHM di Batavia. Sekarang Gedung Museum Bank Mandiri di Jakarta. Sumber foto: Koleksi Tropen Museum

Industri lain yang digarap NHM di Aceh adalah penambangan sumber daya alam. Mereka berinvestasi besar dalam pertambangan yang kemudian pada ekstraksi minyak dan menjadi salah satu komoditi ekspor terbesar dari Aceh. Selain menyertakan pakar botani bersama pasukan militer di Aceh, NHM juga menyertakan insinyur pertambangan untuk melakukan survey kemungkinan adanya cadangan mineral di bumi Aceh. Hal ini didorong secara aktif oleh pejabat kolonial yang berwenang di Aceh seperti pemimpin militer, J.B. van Heutz. Termasuk keterlibatan NHM di Perlak bersama Royal Dutch Petroleum.[13]

Persoalannya tentu jelas. Hubungan NHM dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda bersifat saling membutuhkan dan menguntungkan. NHM membutuhkan kontrak-kontrak dari pemerintah kolonial, sementara pemerintah kolonial membutuhkan NHM untuk mengembangkan dan mempromosikan perdagangan dan industri milik Belanda. Apalagi setiap kontrak yang diberikan pada NHM, parlemen Belanda harus mengesahkan satu payung hukum untuk mengesahkan kontrak tersebut. Posisi inilah yang membuat kolonialisme Belanda adalah sebuah ekspansi bisnis.[14]

Persoalan kolonialisme semakin rumit ketika kehadiran para pejabat kolonial memiliki konflik kepentingan dengan menduduki posisi-posisi penting dalam perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Hindia Belanda, termasuk Aceh. Mantan Menteri Jajahan Kerajaan Belanda (1897-1901), Jacob Theodoor Cremer misalnya, ia menjabat Komisaris dari NHM setelah masa jabatannya usai.

J.T. Cremer Si Raja Tembakau di Deli bersama istri. Sumber foto: Koleksi digital KITLV.

Kedudukan Cremer ini dituding membuatnya memiliki konflik kepentingan dengan perang Aceh. Pieter Jelles Troelstra dari Partai Sosialis di Belanda menuding bahwa Cremer memiliki hubungan antara bisnis dengan Perang Aceh. Hal ini membuat Cremer mundur dari jabatannya sebagai Dewan Direksi Royal Mailing Service (KPM) dan perusahaan tembakau di Deli, Sumatera Timur.[15] Lagipula bukankah di masa jabatan Cremer, pada tahun 1899, undang-undang pertambangan yang baru disahkan?[16]

Kartun yang menggambarkan Van de Putte dan Perang Aceh dalam majalah Amsterdammer tahun 1896. Sumber foto: Koleksi Digital KITLV

Industri pertambangan khususnya pengaruh perusahaan minyak Koninklijke begitu mencengkeram Batavia dan Den Haag. Presiden Komisarisnya adalah Sprenger van Eyk. Mantan Menteri Jajahan Kerajaan Belanda. Salah seorang komisaris Koninklijke adalah Johan Corenlis van der Wijck, yang pada tahun 1904 menjabat Gubernur Militer Aceh. Sementara itu, Hendrikus Colijn yang pernah ikut berperang di Aceh dan kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda kelak dikenal sebagai baron Minyak, pada tahun 1914 menjadi managing director Bataafsche Petroleum Maatschappij.[17]

Segala peluang pundi-pundi tadi menjadi alasan logis bagi para pembesar Belanda yang berkepentingan untuk menaklukkan Aceh. Meskipun tewasnya Jenderal Kohler memukul mereka, tetapi tak membuat mereka surut untuk mempersiapkan ekspedisi kedua mereka ke Aceh.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Sebelumnya: Babak Pertama Perang Aceh – 2
Berikutnya: Babak Ke Dua Perang Aceh – 4


[1] Van t’Veer, Paul. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 15.

[2] Wong, Y.T. dan K.H. Lee. 2014. Aceh-Penang Maritime Trade and Chinese Mercantile Networks in the Nineteenth Century. Archipel. vol. 87, hlm. 173.

[3] Unggraini, Ika Ningtyas. Tanpa tahun. Perubahan Sosial dan Ekonomi Aceh Timur Tahun 1907-1942. Tulisan Lepas Koleksi Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret.

[4] Poley, J.H. 2000. Eroïca: The Quest for Oil in Indonesia (1850–1898). Netherlands: Springer, hlm. 37.

[5] Poley, J.H. 2000, hlm. 52.

[6] Poley, J.H. 2000, hlm. 92.

[7] Yergin, Daniel. 1991. The Prize: The Epic Quest for Oil, Power and Money. New York: Simon & Schuster, hlm. 118.

[8] Poley, J.H. 2000, hlm. 97.

[9] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 181.

[10] Reid, Anthony. 2005. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 48.

[11] Reid, Anthony. 2005, hlm. 49.

[12] Laan, Mark van der. 2018. Imperial Warfare and Commercial Interests: The Aceh War in a New Context. Tesis. Colonial and Global History, Leiden University, hlm. 23.

[13] Laan, Mark van der. 2018, hlm. 29.

[14] Laan, Mark van der. 2018, hlm. 26.

[15] Laan, Mark van der. 2018, hlm. 44 dan Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 183.

[16] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 184.

[17] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 182-183 dan Oxford Reference: Hendrikus Colijn. (https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803095623672). Diakses pada 20 Februari 2020.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Sebelumnya: Babak Kedua Perang Aceh
Berikutnya: Perang Rakyat di Aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here