Sebentar lagi kita akan tiba di Pesantren Tebu Ireng sekira 75 tahun silam. Bermula dengan terdengar sayup-sayup…“Gjssss…Gjss ….Gjss..Gjs…s…” kepulan asap keluar dari lokomotif hitam legam, meraung-raung melaju melewati wilayah selatan Jombang, Jawa Timur.
Perkebunan tebu setinggi dua meter riuh, berderet rapi, sepanjang perjalanan kereta. Kereta pengangkut tebu Belanda itu melaju menuju stasiun Jombang, enam kilometer dari dusun yang bernama Tebuireng, desa Cukir.
Senja yang merah tu, suara kereta tua masih hilir mudik di sana, terdengar dari rumah mungil yang dikenal dengan sebutan Ndalem, tempat tinggal seorang Kyai kharismatik, orang-orang memanggilnya Hadratus Syaikh (Tuan Guru Besar), Hasyim Asy’ari.
Selemparan batu dari Ndalem, di hadapannya ada selasar masjid, bertiang bambu, beratap genteng campur rumbia.beralas ubin semen. Di ujungnya, ruang utama Masjid, berdiri tegap, berpondasi batu, berdinding tebal gaya belanda, seluas 4 x 4 m, dengan mirab berdinding lengkung, beratapkan genteng undakan perisai.Percis seperti joglo segi empat.
Senja itu, menjelang Maghrib, Kyai Hasyim baru saja selesai membacakan Fathul Qarib sejak ashar tadi. Selasar Masjid itu riuh dengan ribuan santri: ngaso, mengulang hafalan, hingga mengi’rob kitab gundul, bersiap menanti magrib tiba.
Di samping kiri selasar, ada pondok-pondok santri, di bangunan bilik sederhana. Di samping kanannya, dipisahkan jalan selebar 3 m, ada rumah sang Kyai,Ndalem Kauman, tempatHadratus Syaikh Hasyim Asy’ari tinggal. Di ujung depan selasar, Masjid Tebu Ireng berdinding tebal, berdiri kokoh. Di ujung belakang seberang selasar, halaman luas, hingga kebun tebu dan rel kereta di seberang sana.
Sambil menikmati kemuning senja, sang Kyai ini pun berkeliling sejenak. Tak pernah terbayangkan, dalam benak Hadratus Syaikh, pesantren asuhannya kini didatangi ribuan santri dari pelbagai daerah, riuh. Masih ingat dalam kenangannya, sepenggal 1899, saat ia pertama menjejakkan kaki di sini, sepulang belajar dan mengajar di Masjidil Haram selama bertahun-tahun. “Untuk mendirikan pesantren saja, tidak mudah,” gumannya sambil bekeliling dengan sarung dan kaos putih khasnya, dan tongkat coklatnya.
Masih teringat, bagaimana akibat pabrik-pabrik gula yang didirikan Belanda, masyarakat pun menjadi ‘ketiban rezeki’, dan menghabiskan uangnya melihat sang penjajah: Mabuk, Madat, maksiat. “Ini harus saya ubah,” guman Hasyim Asyari muda. Hasyim yang baru berusia 26 tahun membeli tanah, dan bermodal lillahita’ala,ia dirikan pesantren mungil, 100 meter dari rel kereta api.
Bilik sederhana pun didirikan atas dasar keikhlasan dan keimanan.Bayangkan, bilik seluas 6 x 8 meter dibagi dua ruangan, bagian belakangnya ditinggali Kyai Hasyim dengan Nyai Khodijah.Bagian depannya dijadikan ‘pesantren’ dan Masjid.Di sanalah tinggal 8 orang santri pertama pesantren Tebuireng.
Kumandang adzan syahdu pun kini mengalun lembut di sudut Tebu Ireng.Suara panggilan Ilahi ini rupanya menjadi masalah bagi orang yang berpenyakit hatinya.Masyarakat menganggap Kyai Hasyim mengganggu ‘tradisi’ maksiat mereka.Dakwah pun dilakukan para santri ini.
Air mata Hadratus Syaikh tetiba jatuh, mengenang masa awal merintis Tebuireng.Tak mudah memang, intimidasi dan fitnah kerap didapatkan Hasyim Asy’ari muda.Para santri pun diteror, mulai dari dilempar batu, hingga bahaya mengancam para santri yang saat itu sampai harus bergadang ‘meronda’ selama dua setengah tahun. Gangguan dirasa sudah sampai menghalangi aktivitas santri, hingga Kyai Hasyim Asy’ari berinisiatif mendatangkan pakar pencak silat dari Cirebon datang ke Jombang mengajarkan ilmunya.
Hadratus Syaikhkini sambil duduk ‘ngaso’ di beranda Ndalem, depan selasar, sambil sejenak menulis, memanggil santri,”Iki tulis, iki kitabe, tulisno jawabanmu,” sesekali pinta Kyai ke santri untuk ‘menggunduli’ Kitab Kuning.Sambil senyum, ingatannya melompat saat dirinya belajar dan mengajarkan silat.
Saat dirinya pernah diserang hingga beradu jotos dengan para penjahat, namun dapat diatasi dengan mudah oleh dirinya, bahkan tak jarang dari mereka minta diajari ilmu pencak silat kepada dirinya, dan menjadi pengikut Kyai Hasyim.Jumlahnya semakin banyak, hingga saat itu, Kyai menjadi panutan, guru, dan pemimpin masyrakat Tebuireng. Dan jumlah santri pun terus bertambah.
Mendengar hal ini, tentu saja Belanda tak sudi.Raut muka Hadratus Syaikh berubah sejenak. Dirinya dulu pernah dituduh Belanda mengerahkan massa untuk melakukan kerusuhan dan pembunuhan. Namun, fitnah ini tak mempan.Sepenggal tahun 1913, Belanda pun menyusupkan tiga pencoleng ke Tebu Ireng.
Keadaan pesantren pun rusuh, dan ketika seorang pencoleng hendak ditangkap, ia melawan dan akhirnya tewas ditangan para santri. Kejadian ini dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Tebuireng yang sebenarnya, tujuan Belanda ingin mengasingkan atau kalau perlu menlenyapkan Hasyim Asy’ari.
Mata Hadratus Syaikhmulai berkaca-kaca, mengenang apa yang terjadi setelah itu. Hari semakin gelap, dan kumandang adzan magrib pun membelah langit Tebu Ireng.Segera, Hadratus Syaikh bersiap mengimami santri, melupakan sejenak lamunannya. “Allahu Akbar..” dalam syahdunya, ribuan santri itu kini berdiri, rukuk, dan sujud bersama.
Suara lembut serak Hadratus Syaikh dengan fasih membaca tiap ayat Qur’an.Kadang, di tangan kiri Hadratus Syaikh memegang mushaf kecil. Nampak, putra-putranya pun ada di shaf depan. Usai salam, Hadratus Syaikh berbalik, berzikir, sambil menatap ribuan santri yang kini berada di hadapannya.
Melihat wajah-wajah santri, Hadratus Syaikh tak dapat menahan air matanya.Hatinya yang begitu bening, teringat kembali perlawanan santri dulu, saat Belanda akhirnya menyerang Tebu Ireng. Sejarah Baghdad ratusan tahun silam, seakan berulang.
Bilik-bilik mungil yang penuh berkah itu pun luluh lantah.RumahMu ya Rabb…harus rata dengan tanah. Kitab-kitab yang berisi Asma Mu..risalah utusanMu..perkataan para salaf yang shalih, lihatlah ketika mereka merampasnya. Hati mana yang tak miris, kitab-kitab itu dibakar! Maka, hanya ada satu kata. Lawan!
Para santri pun terluka di sana sini. Belanda pun menyebarkan bahwa Tebu Ireng ialah sarang ‘teroris’, tempat ekstremis Islam bersemayam. Peristiwa berdarah itu, tak menyurutkah Hasyim muda untuk terus meninggikan asma Allah. Diutusnya santri-santri ke para ulama se Jawa dan Madura untuk menjelaskan kejadian sebenarnya.
Maka, datanglah pertolonganNya, berupa dukungan dan simpati para Ulama se Jawa Madura, termasuk biaya untuk membangun kembali Tebuireng dari nol. Entah, nyali Belanda pun sedikit ciut, mendengar ribuan Ulama se Jawa mendukung Tebu Ireng. Isu ‘terorisme’ ala Belanda pun ndak laku, dan kini, malah di Masjid ini, rumah di sudut sana, pondok bilik di sana, dan santri-santri di hadapan Hadratus Syaikh, merupakan berkah kejadian yang menggemparkan, hasil pembangunan kembali Tebu Ireng.
Selalu ada hikmah, dan sejarah selalu mengkisahkannya. Di balik runtuhnya Baghdad, ada Islamnya bangsa Tartar, hingga Islam menyebar sampai ke Cina.Di balik runtuhnya Daulah Andalusia di Barat, merebaknya Negara-Islam di Timur, Nusantara, dan dibalik diserangnya Tebuireng, namanya semakin dikenal.
Maka, datangalah ribuan santri, dari pelbagai pelosok untuk berguru kepada Hasyim Asy’ari, dan kini, di hadapannya telah nampak, ribuan santri yang tak pernah terbayangkan dalam benak Hadratus Syaikh, yang hanya merintis Tebuireng hanya 8 orang saja.“Subhanallah..subhanallah..wal hamdulillah..”lirih Hadratus Syaikh dalam syukur, sambil berkali-kali mengusap air mata yang tak terasa sudah melewati pipinya.
Dalam doa usai shalat, didoakan para gurunya dari pelbagai wilayah saat ia nyantri di Mekah. Didoakan pula para pendahulu Tebuireng yang telah berjuang, hingga para santri sekarang.Usai zikir, Hadratus Syaikh pun kembali ke Ndalem, bersiap menerima tamu yang sudah datang.Bada Magrib, sudah menjadi kebiasaan Hadratus Syaikh berbincang dengan siapapun yang ingin bersua dengannya di Ndalem.
“Ini saudara Saifuddin (Zuhri) dari Banyumas, seorang Pemimpin Ansor NU di daerahnya,” kata putra Hadratus Syaikh Abdul Wahid Hasyim, memperkenalkan tamunya, dengan bahasa Jawa Kromo sambil mencium tangan Hadratus Syaikh, diikuti Saifuddin yang ikut mencium tangan sang Kyai.
“Ahlan wa marhaban ahlan wa sahlan!” sambil menatap wajah Saifuddin Zuhri, penuh kelembutan, sementara tangannya masih dicium. Diulangnya perkataan Ahlan wa sahlan, ahlan wa marhaban, kepada tamunya yang masih muda ini, sementara kini, Hadratus Syaikhsebentar lagi saja menginjak kepala tujuh.
“Apa kabar ananda Saifuddin?Saya minta dimaafkan bahasa Melayu, eh Indonesia saya kurang sempurna,” ungkapnya dengan segala kejujuran dan kerendahan hati, tak merasa malu dengan kekurangannya.Memang, di keluarganya, Hadratus Syaikh terbiasa berbincang dengan bahasa Arab dengan putra-putrinya hampir setiap hari.
Gus Wahid (Abdul Wahid Hasyim) sebaliknya, biasa melayani Hadratus Syaikh dengan bahasa Jawa halus ‘Kromo Inggil’, untuk memperlihatkan sikap tawadhunya dan adab kepada ayahandanya. Bukan karena bahasa Arabnya tidak baik, malah Gus Wahid ini yang kelak akan mengajarkan bahasa Arab, Belanda, Inggris sekaligus di Tebuireng.
“Saudara Saifuddin, saya baru menerima sepucuk surat dari guru saya yang mulia Kyai Asnawi Kudus, ini dia suratnya,” kata Hadratus Syaikh lembut. Wahid Hasyim pun berbincang dengan ayahnya dengan bahasa Arab. Saifuddin hanya mendengar, dan berkata dalam hatinya.
“Saya cuman mendengarkan saja, merasa terlampau kecil untuk melibatkan diri dengan kedua ulama besar tersebut. Sikapnya kepada orang yang jauh lebih muda saja sangat hormat. Apalagi kepada yang lebih tua, ia menganggapnya sebagai guru. Tak mengherankan ketika berbicara mengenai Kyai Raden Asnawi, ia menyebutnya dengan guru saya yang mulia Kyai Raden Asnawi,” Saifuddin Zuhri takjub.
Hadratus Syaikh pun ke belakang sejenak, dan datang ternyata membawakan makanan ringan dan minuman “Silakan dicicipi,” katanya sambil tersenyum. Hati Saifuddin pun berdecak kagum, Ulama besar kesohor ini pun melayani tamunya sendiri, walau ia memiliki khadam (pelayan). Subhanallah!
Padahal, beliau itu ialah Ulama besar sepuh, pakar Hadits, pengampu Shahih Bukhari Muslim bersanad, ahli fikih, dan ulama –ulama lainnya seperti KH Muhammad Ilyas, KH Fattah Yasin, KH Ahmad Baidlowi, KH Adlan, KH Mahfudz Anwar, dll datang ke Tebu Ireng, dan kini, Ulama besar ini berkenan, bahkan menghidangkan makanan pada Saifudin Zuhri, pemuda 21 tahun, terlampau nyaris setengah abad usianya.
Sampai Isya, Hadratus Syaikh pun biasa berbicanng dengan tamunya dari pelbagai kalangan. Terkadang, lepas Isya sampai larut, ia masih menerima tamu jika ternyata tamunya membludak. Namun, kini hari biasa, ia seperti biasa, mengimami shalat Isya santrinya, dan akan lanjut mengajar kitab di malam hari.
Kini, malam semakin larut. Usai shalat Isya, Hadratus Syaikh pun mulai membuka kitab ‘Ihya Ulum al- Din karya Imam al Ghazalii, mengajarkan ilmu tasawuf, tazkiyatun nafs santri hingga pukul 21.00. Selepas itu, rehat sejenak, dan Hadratus Syaikh kembali mengajar Tafsir, dengan kitab Tafsir al Qur’an al Adzim karya Imam Ibn Katsir.
Malam semakin sunyi, semakin syahdu. Pukul 23.00, para santri pun kembali ke pondoknya masing-masing untuk beristirahat. Namun, Hadratus Syaikh tak beranjak dari Masjid. Dibukanya Mushaf al Qur’an, dan kini pukul 23.00, jadwalnya untuk Muraja’ah (mengulang-ulang) Hafalan Qur’annya disaksikan para santri senior yang terjadwal.
Temaram pun menemani malam-malam panjang sang Kyai, berbincang dengan RabbNya lewat hafalannya. Satu persatu ayat, dibacakannya dengan syahdu, tiap malam.Sambil sesekali bersender di dinding Masjid, pria tua ini terus melapalkan kalam Ilahi, disimak beberapa santri.Begitu tenang, begitu syahdu, melewati malam.
Berat memang, menahan kantuk, tapi inilah Hadratus Syaikh, Tuan.Tak ada alasan absen membaca ayat Qur’an dan menghafalnya. Dua jam lamanya, hingga baru pukul 01.00 dini hari, Hadratus Syaikh sejenak beristirahat. Sejenak, pulang, merebahkan badan, tidur sejenak, dan kembali bangun pukul 02.00, untuk kembali menjalin hubungan erat dengan Allah.
Dibasuhnya tangan, muka, hingga kakinya.Qiyamullail pun dimulai, rasa lelah seakan sirna setelah berdiri dan membaca ayat-ayat Qur’an, kalamullah.Syahdu, tenang, tartil.Didekapnya mushafnya yang sudah lusuh karena seringnya dibaca, untuk sesekali dilihat jikalau ingatan Ulama sepuh ini tersilap.
Tengah malam, walau sudah sepuh, Hadratus Syaikh larut dalam berdiri, rukuk, sujud, dan tangis.Bacaan Quran yang tenang, benar-benar penyejuk jiwa. Di bawah sinar rembulan, tangis isak itu kerap terdengar.Air matanya melewat pipi, tak terasa telah membasahi janggutnya, menetes lembut.
Teringatnya ayat-ayat tengan Allah, tentang hari akhir, tentang masa depan kelak, bahwa tak lama kita hidup di dunia. Berdua dalam sunyi dengan RabbNya, di dalamnya terlafal doa-doa.Agar bangsa ini diberikan kemerdekaan, keberkahan, kemerdekaan yang diperolah dengan darah dan pengorbanan para Ulama.
Agar generasi kelak merawat kemerdekaan ini dengan baik, yang diperoleh dengan perjuangan, darah syuhada, tinta ulama.Agar umat Islam bersatu, seperti saat ini dibentuk MIAI sebagai wadah pemersatu umat. Agar Palestina yang kini di tangah Inggris agar dibebaskan dan kembali merdeka. Agar umat ini menjadi umat yang pandai menghargai jasa pendahulunya.
“Wanshurna alal Qaumil Kaafiriin,” sambil berdiri, dibacanya ayat agar umat ini dimenangkan atas orang-orang kafir, penjajah negeri ini. “Wanshurna alal Qaumil Kaafiriin,” dalam isak tangis terus terulang. Dalam syahdu, ayat-ayat penyejuk kalbu pun terus terlafal, membuat hati sang hamba semakin rindu berdua dengan RabbNya.
Pernah, suatu saat Kyai Hasyim amat letih setelah konges NU di Malang.Beliau ‘absen’ mengajar para santrinya.Lepas isya, beliau berniat istirahat sejenak, namun ternyata tertidur pulas, dan baru terbangun pukul setengah tiga.“Astagfirullah,” ucap Kyai Hasyim segera mengambil wudhu.
Usai shalat malam, beliau mengambil mushaf, dan membaca Qur’an, sambil ditadabburinya. Sampailah beliau pada ayat: “Mereka (para sahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur mereka memohon ampun (ad Dzariyat: 17-18), seketika itu Hadratus Syaikh langsung menghentikan bacaanya.
Sunyi.Lalu terdengar isak tangis.Bulir-bulir bening sejurus membasahi jenggotnya yang sudah memutih.: “Mereka (para sahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur mereka memohon ampun,” diulanginya lagi dengan terbata-bata.‘ya Rabb.. Inilah hambaMu yang lemahyang terlalu banyak tidur, sedangkan mereka sungguh sedikit tidurnya, begitu jauh antara diri Hamba dan Mereka..”
“Mereka (para sahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur mereka memohon ampun..”air mata pun mengalir deras. “Ya Allah…ampunilah hambaMu yang lemah ini, dan berilah hambaMu kekuatan serta ketabahan untuk melaksanakan semua perintahMu.”Lirih.
Dalam tangis, Hadratus Syaikh bangkit dan kembali shalat.Lalu tersungkur sujud, menangis sejadi-jadinya, hingga saat waktu subuh.Dikisahkan juga, di malam lainnya, ketika Hadratus Syaikh selesai mengulang hafalannya (muraja’ah) pada larut malam, ia hendak beristirahat sejenak.
Hingga sampai di kamar, terdengar seorang santri dari Masjid mengaji, sampai pada ayat: “Wahai orang yang berselimut, Bangunlah (untuk shalat) di malam hari kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah al Qur’an dengan tartil (perlahan-lahan). Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sungguh, bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.Sesungguhnya, kamu di siang harimempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepadaNya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung. (al Muzammil: 1-9)
“Astagfiullah..ini teguran Allah lewat santri untuk saya,” guman Hadratus Syaikh. Akhirnya, keinginan untuk tidur pun ditangguhkan.Malam itu, Hadratus Syaikh menghidupkan seluruh malamnya.Dalam zikir, lidahnya terus melafalkan kalimat tauhid, tahmid, tasbih, tahlil.Menjelang subuh, Hadratus Syaikh pun sahur, dengan makanan secukupnya.Dan bersiap berkeliling.
Dengan berjalan ditemani tongkatnya, juga mendawamkan shalawat, beliau mulai membangunankan para santri.“Ayo mandi, wudhu, Qiyamullail,” teriaknya sambil berkeliling.Menunggu subuh, Hadratus Syaikh membaca Quran, hingga tabuh pun berbunyi, adzan pun kembali berkumandang.“Allahu Akbar..Allahu Akbar..Ashalatu khairun min al naum” memecah keheningan fajar.
Semua santri sudah bersiap. Jika subuh tiba, semua orang di Tebuireng sudah paham, pasti Hadratus Syaikhakan membaca surat sangat panjang, bisa sampai satu juz. Dengan tartil, dibacanya ayat-ayat Qur’an dengan merdu.Kaki para santri junior pun bergoyang-goyang, saking lamanya mereka berdiri.Sebagian ada yang memishakan berdiri karena nggak kuat.Ada juga yang istirahat dulu.
Inilah subuh bersama Hadratus Syaikh.Bagi yang tidak shalat berjama’ah tanpa alsan syar’I Hadratus Syaikh tidak neko-neko.Ada hukuman menanti, mulai dari digundulil, membersihkan pesantren, hingga mencium pantat sapi miliknya di peternakan. Pelakunya akan ditonton para santri, dan disuruh cium pantat sapi.
Pernah, kenang Kyai Mahmat, pengajar sepuh di Tebuireng, ada santri yang saat mencium pantat sapi. Rupanya, kotoran sapinya keluar dan kena muka sang santri. Dan semua pun tertawa bersama.Begitulah sehari-hari di Tebuireng.Usai subuh, Hadratus Syaikh melanjutkan wirid cukup panjang.
Usai wirid, beliau mengajar santri kitab al Tahrir dan al Syifa fi Huquq al Musthafa karya ulama besar kesohor al Qadhi Iyadh hingga semburat jingga mewarnai ufuk.Usai mengajar, pagi sekali, Hadratus Syaikh menemui masyarakat sekitar, para pekerja sawah, dan mengumpulkan pengurus pondok, memberikan instruksi, juga sesekali berkeliling pondok dengan sarung dan kaos putih, sambil menghirup udara segar.
Sekitar pukul 07.00, beliau mengambil wudhu, dan shalat dhuha di Ndalem.Selesai dhuha, Hadratus Syaikh kembali mengajar al Muhaddzab kaya al Syairazi dan Al Muattha’ karya Imam Malik, sampai pukul 10.00.Pukul 10.00- sampai menjelang zuhur, waktu bebas Hadratus Syaikh yang ia gunakan kadang untuk beristirahat, membaca kitab, menulis kitab, atau menerima tamu.
Hadratus Syaikh termasuk penulis produktif.Semua kitab karangannya ditulis dalam bahasa Arab.Karyanya kebanyakan merupakan jawaban atas pelbagai masalah di masyarakat.Kelak, masyarakat pun akan bertanya bagaimana hukumnya jihad melawan kafir penjajah. Hadratus Syaikh pun akhirnya mengumpulkan para Ulama dan mengeluarkan resolusi jihad, yang menggerakkan rakyat Jawa mendatangi Surabaya melawan para penjajah.
10 November, sampai kini diperingati sebagai hari Pahlawan. Ketika ribuan ulama, santri, dan masyarakat datang untuk berjihad di Surabaya.Hari gugurnya ribuan syuhada itu, diperingati sampai sekarang.Usai kongres Umat Islam 7-8 November 1945 yang dipimpin Hadratus Syaikh, resolusi jihad pun dikukuhkan dengan Resolusi Perang Sabil Masyumi, dan berdatanganlah 10 November, umat Islam ke Surabaya. ( Selengkapnya baca Majalah Jejak Islam, edisi perdana: Di Balik Layar Kemerdekaan, pada judul ‘Elegi 10 November dan Resolusi Jihad yang Ter(di)lupakan’)
Jawaban atas pertanyaan masyarakat ini, yang menggerakan Hadratus Syaikh membahas suatu tema tertentu.Misalnya, saat itu, umat Islam banyak belum faham tentang akidah dan tauhid, maka ditulislah beragam kitab tentang akidah.
Ada Risalah Ahli Sunnah wa al Jama’ah, membahas tentang akidah ahlus sunnah, dan batilnya akidah di luar itu seperti Syiah dan sebagainya. Setelah menjelaskan pelbagai akidah menyimpang yang mulai berkembang di Jawa, Hadratus Syaikh pun menegaskan
“Di antara mereka juga ada golongan (syiah) rafidhah yang suka mencaci Sayidina Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu anhum, membenci para sahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayidina ‘Ali dan anggota keluarganya. Berkata Sayyid Muhammad dalam Syarah Al Qamus, sebagian mereka bahkan sampai pada tingkatan kafir dan zindiq (mengaku Islam tapi sejatinya bukan Islam), semoga Allah melindungi kita dan umat Islam dari aliran ini,” tegasnya dalam Risalah Ahli Sunnah wa al Jama’ah.
Ada ar Risalah at Tauhidiyah, karya kesohor seperti Risalah fi Ta’kid al Akhdz bi Mazhab al A’immah al Arba’ah hingga Mukaddimah al Qanun al Asasy lil Jam’iyyah Nahdatul Ulama.Berkali-kali Hadratus Syaikh meminta umat mewaspadai dan menolak paham Syiah yang berkembang di masyarakat.
“Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” tegasnya kembali dalam Mukaddimah al Qanun al Asasy lil Jam’iyyah Nahdatul Ulama.
Hadratus Syaikh pun menjadi kolumnis di beberapa Majalah seperti Majalah Nahdatoel Oelama, Swara Nahdatoel Oelama, dll, dan di waktu inilah beliau biasa menulis.Di waktu ini pula, Hadatratusyaikh menghafal ayat-ayat Qur’an. Semua dilakukannya, hingga menjelang zuhur.
Sebelum zuhur, beliau pun terkadang – dan sering- tidur siang sejenak (qailulah), beristirahat sejenak, karena mempersiapkan malam panjang kelak untuk berdiri, rukuk, dan sujud. Dan ketika adzan berkumandang, beliau bangun, bersiap, dan mengimami kembali jamaah Tebuireng.
Usai zuhur, beliau kembali mengajar para santri, hingga menjelang ashar, sekira oukul 14.30. Saat itu, beliau mengumpulkan para pengurus Tebu Ireng, mendengarkan laporan dari para pekerja yang tadi pagi beliau brief. Beliau simak satu persatu pengurus, pekerja, dan memberi arahan setelah mendapat laporan.Usai itu, beliu kembali ke Ndalem dan mandi, dan adzan ashar pun kembali bertalu-talu.
Kemuning senja pun mulai menyemburat, menemani beliau duduk mengajarkan kitab fikih Fath al Qarib disaksikan seluruh santri tanpa kecuali. Sekarang, tak terasa, kita sudah bersama Hadratus Syaikh seharian, sejak kemarin senja.Lalu, muncul pertanyaan, dari mana nafkah Hadratus Syaikh?Adakah hari libur bagi Hadratus Syaikh?
Kita akan melompat pada hari Selasa dan Jum’at, di sudut selatan Tebuireng, jauhnya 10 km dari pesantren. Dengan menyetir mobil sendiri, atau dengan sopirnya, atau terkadang ditemani Gus Wahid, selasa pagi, Hadratus Syaikh sudah tiba di sawah, kebunnya, dan peternakan kudanya.
Beliau terkadang mencangkul, membajak sendiri sawahnya, dan mengurus sendiri kebunnya.Para santri sudah mafhum, Hadratus Syaikh seorang yang sudah mandiri secara finansial. Jangan harap pesantren akan dibisniskan demi keuntungan. Yang ada, para santri ini sangat bersyukur ‘ditanggung’ hidupnya oleh sang Kyai.
Dikisahkan, para santri yang hanya bermodal sekarung beras pun di terima di Tebuireng. Tak jarang, Hadratus Syaikh berbagi nafkah, berbagi makanan dengan santri, setiap hari. Tiap Selasa, para santri pun berteriak kegirangan, “Pon..pon..” yang artinya libur.
Atau disaat Hadratus Syaikh tak bisa mengajar, santri ini sudah tau kalau beliau sedang ke sawah dan ladangnya, kemudian ke Pasar Jombang, ke Pasar kuda untuk menjual kuda-kudanya.Pernah, Hadratus Syaikh ditawari sumbangan, namun beliau menolaknya, itulah wibawa seorang Ulama.
Hadratus Syaikh pun pernah ditawari Belanda menduduki jabatan tinggi dengan iming-iming duit.Beliau bukan hanya menolaknya, malah mengumpulkan seluruh santrinya dan berujar,” Saya ditawari jabatan begini.Saya nolak.Saya berdoa mudah-mudahan diparingi (beri) kekuatan untuk menolaknya.Saya minta kalian semua mendoakan supaya kuat menolak,” teriak Hadratus Syaikh.
Selasa itu pula, kadang puteranya Gus Wahid, memberikan kuliah tambahan bahasa Inggris dan Belanda pada santri.Selain berkebun, berjualan, Selasa pun digunakan Hadratus Syaikh untuk bersilaturahim dengan sanak famili, khususnya para alumni Tebu Ireng yang sedang merintis pesantren di pelbagai wilayah.Malamnya, Hadratus Syaikh memberikan makan seluruh santri, makan bersama.
Adapun Jum’at, ialah hari raya Umat Islam, dan pondok pun libur. Santri bisa mengadakan aktivitas sosial dengan warga sekitar.Selain meninjau sawah dan ladang, hampir sepagian, Hadratus Syaikh biasa tilawah al Qur’an hingga adzan Jum’at berkumandang. Ba’da Jum’at , beliau mengisi kajian Tafsir al Jalalain al Mahalli & as Suyuthi, yang dihadiri masyarakat luas.
Sekarang kita akan bersama Hadratusyaikh, sepenggal Ramadhan 1947 (1366 H), di usia Hadratus Syaikh yang sudah sangat sepuh. Saat itu, Belanda melangsungkan kembali Agresi Militernya. Namun, saat semua warga mengungsi, mencari tempat aman, sang Kyai pun bergeming, ia ingin tetap bersama santri-santrinya, tetap tinggal mengajarkan Islam, membina generasi di Tebuireng.
Kini utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo di hadapannya itu masih membujuk Kyai Hasyim agar mau mengungsi. Surat dari sang Jenderal pun diberikannya, dibacanya surat itu lamat-lamat:
“Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro dan Madiun. Hadhratus Syaikh dimohon berkenan untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, Kyai akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kyai Hasyim.”
Kecintaan beliau pada umat, santri, di Tebuireng dan pendalaman agama, membuat hatinya kukuh, akan tetap tinggal di Pesantren, bersiap berjihad melawan Belanda jika Belanda datang. Sebenarnya, tahun sebelumnya, Hadratus Syaikh pun pernah diminta mengungsi oleh utusan bung Tomo.
Namun, waktu dulu, Hadratus Syaikh ditemani putranya, Yusuf Hasyim.Dulu, pendiri NU ini tersenyum dan menolak halus.“Bapak pasti punya kesaktian tertentu untuk menghadapi tentara Belanda. Bukitnya ia enggan keluar kota,” guman Yusuf Hasyim dalam hati. Di kalangan santri pun tersebar, Kyai mempunya semacam karamah, yang dipercaya bisa menolak Belanda.Lalu karamah apakah itu?
Sambil melamun memikirkan pelbagai kemungkinan karamah ayahnya, Yusuf Hasyim tiba-tiba dipanggil ayahnya. “mana, saya kasih pinjam pistolmu itu,” pinta Hadratus Syaikh. Yusuf, yang memang aktif di militer Hizbullah, memberikan pistol merk Vickers.Dipandanginya penuh perhatian pistol itu.
Baru pertama kali ini pendiri NU itu memegang senjata api. “Masak dengan senjata ini saya tidak bisa menembak satu-dua orang Belanda yang akan masuk sini?” tukas Hadratus Syaikh. Ternyata, kata Yusuf putranya bukan kesaktian yang akan digunakan melawan Belanda, melainkan senjata api.
Sejak saat itu, Hadratus Syaikh yang sudah jago silat, kini berlatih menembak, dengan guru putranya sendiri Yusuf Hasyim.Latihan menembak sasaran, di sebuah halaman luas, di belakang rumahnya.“Ada sekitar dua-tiga peluru yang digunakan untuk berlatih,” kenang Yusuf Hasyim.
Dan kini, sepenggal 1947, kisah itu pun seakan berulang.Namun, impian Hadratus Syaikh untuk menembak dua-tiga Belanda tak tercapai.Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan, ba’da tarawih datang lagi utusan Bung Tomo.
“Kyai, secara khusus Bung Tomo memohon kepada Kyai Hasyim mengeluarkan komando ‘jihad fi sabilillah’ bagi umat Islam Indonesia. Karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban,” lirih sang utusan.
Hadhratus Syaikh kembali meminta waktu semalam untuk memberi jawaban, untuk beristikharah. Di usia sepuhnya, beliau tetap memikirkan nasib bangsa ini. Tidak lama berselang, Hadratus SyaikhHasyim Asy’ari mendapat laporan dari Kyai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa Kota Singosari Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat.
Mendengar laporan itu Hadratus Syaikh Hasyimsejenak semakin keras berpikir, bagaimananasib umat, hatinya terenyuh, dan berkata lirih“Masya Allah, masya Allah…” sambil memegang kepalanya, dan tak lama terdiam.
Kyai Gufran menyangka Hadratus Syaikh kelelahan dan tertidur.Rupanya, sambiil memikirkan nasib umat, terus bertahan untuk mengajarkan agama, berdiam bersama santri di Tebu Ireng, dan bersiap berjihad, Allah berkenan memanggilNya kembali, wafat dalam keadaan memikirkan umat. Innalillahi wainna ilaikhi Rajiuun
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(At-Taubah : 122).
(Tulisan ini hanyalah cerita pendek, yang diolah dari pelbagai sumber dan refensi yang dapat dipertanggungjawabkan)
Oleh: Rizki Lesus – pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Sumber tulisan
-Observasi ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
– Wawancara Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, KH Shalahuddin Wahid. Kepala pondok Tebu Ireng, Ustadz Ainur Rafiq.Pengajar sepuh tebu Ireng, KH Mahmat.
-Tim Pustaka Tebu Ireng, Hadratu Syaikh KH Hasyim Asy’ari di Mata Santri, wawancara dengan KH Muchit Muzadi, Pustaka Tebu Ireng:2010
-Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKIS:2011
-AM Yasin & Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebu Ireng, Pustaka Tebu Ireng:2011
-Kholili Hasib, KH Hasyim Asy’ari dan Pelurusan Akidah, insistsnet.com
–Ed: Saifullah Ma’sum, pengantar: KH Mustofa Bisri, tim Penulis buku Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdatul Ulama, Yayasan Saifuddin Zuhri: 1994
Request: supaya setiap artikel dibuat versi printer-friendly-nya supaya bisa dicetak dan disebarkan ke teman-teman pengajian yang belum akrab dengan internet.
terima kasih untuk usulnya 🙂
Subhanallah … Jazzakumullah
Suahanallah sungguh berat perjuangan beliao
tulisan yang menawan :’)
Subhanallah…smg Alloh melindungi kita…dan kt bs mengikuti jejak sang Kiai