“Sajang sekali sebelum ia sampai ke tempat jang ditudjunja, ia telah dipanggil pulang oleh Tuhannja. Atas kematian sdr. Ismail Banda ini, Masjumi, Djamiah Washlijah, dan ummat Islam Indonesia merasa kehilangan tenaga besar jang sukar rasanja diganti pula.”

(Suara Partai Masjumi No.1, Djanuari 1952)

Kabar duka tersiar pada hari Ahad, 20 Mei 2024. Pers internasional mewartakan kecelakaan helikopter yang ditumpangi sejumlah pejabat tinggi Iran. Kecelakaan tersebut terjadi di wilayah barat laut Iran, dekat Azerbaijan Timur.

Tidak ada yang selamat dari kecelakaan udara tersebut. Salah satu korban kecelakaan adalah Ebrahim Raisi, Presiden Iran yang berkuasa sejak 2021 silam . Akibat kecelakaan tersebut, jabatan Presiden Iran untuk sementara dipegang oleh Mohammad Mokhber, yang sebelumnya adalah Wakil Presiden Iran.

Kecelakaan udara merupakan insiden yang tercatat pernah menewaskan sejumlah tokoh besar dunia. Indonesia pernah kehilangan salah satu putra terbaiknya dalam sebuah kecelakaan udara. Secara kebetulan, kecelakaan yang menimpa tokoh Indonesia ini pun terjadi di Iran. Lantas siapakah ia?

Ulama cum Intelektual

Siapa yang tahu Ismail Banda (1909-1951)? Nama tokoh ini seakan hilang dari memori kolektif bangsa Indonesia. Padahal, jasanya amat besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Harus diakui, memang tidak banyak catatan yang meriwayatkan kehidupan Ismail Banda. Barangkali hal ini disebabkan karena ia meninggal dunia di luar negeri pada saat Indonesia baru saja bebas dari jeratan penjajahan.

Ismail Banda merupakan salah satu putra terbaik dari Medan, Sumatra Timur (kini: Sumatra Utara). Ia adalah seorang ulama cum intelektual dari organisasi Islam Al-Washliyah yang berjasa memersatukan para pelajar Indonesia dan menggalang perjuangan bangsa Indonesia di Timur Tengah. Ihwal kelahirannya, sebagian besar sumber menyebutkan Ismail Banda dilahirkan pada 1910. Namun, catatan yang lebih rinci menyatakan bahwa ia lahir di Medan pada 21 April 1909.[1]

Sejak muda, kecemerlangan Ismail Banda telah nampak. Ia adalah salah satu alumni Madrasah Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan yang melanjutkan studi ke Timur Tengah. Ismail Banda merantau ke Makkah pada 1931 untuk memenuhi hasrat belajarnya dengan beasiswa dari Studiefonds Al-Washliyah yang dipimpin Udin Sjamsuddin.[2] Di sana, ia belajar di Madrasah Shaulatiyah, di luar madrasah, ia menimba ilmu kepada para syaikh yang mengajar di Masjidil Haram.

Ismail Banda menamatkan studi di Makkah dengan baik. Ia lulus pada 1936. Dari Makkah, ia memperoleh kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa Arab secara lisan dan tulisan. Berbekal kecakapan ini, Ismail Banda meneruskan jejak studinya ke Mesir, yang terkenal dengan kebesaran Universitas Al-Azhar dengan beasiswa yang diberikan oleh Syaikh Musthafa Al-Maraghi yang ketika itu menjadi Rektor Al-Azhar. [3]

Ismail Banda menekuni studi filsafat, di saat kebanyakan mahasiswa Al-Azhar menekuni studi-studi keislaman. Ia sukses merengkuh ijazah ahli agama dan ulama dari Al-Azhar, masing-masing pada 1936 dan 1937. Pencapaian ini menunjukkan bahwa Ismail Banda memang seorang pelajar yang cemerlang dan berbeda dari yang lainnya.

Intelektualitas anak muda asal Medan ini makin mantap setelah ia meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.)[4] dalam studi filsafat pada 1940. Pencapaian akademik ini terus berlanjut sampai ia berhasil meraih gelar Master of Arts (M.A.)[5] di bidang studi filsafat pada 1942.[6] Berselang dua tahun, Ismail Banda memperoleh ijazah bahasa Inggris dari Cambridge University pada 1944. Bahkan, Ismail Banda pernah secara khusus bersekolah di British Institute untuk mempelajari tata kelola pemerintahan Kerajaan Inggris. [7]

Aktivis dan Penulis

Ismail Banda menghabiskan banyak waktu di luar negeri. Tokoh Al-Washliyah ini, merantau ketika negerinya masih dalam kuasa Pemerintahan Hindia Belanda. Meski menetap di luar, hatinya selalu terpaut pada tanah airnya.

Sebelum berangkat ke Makkah, Ismail Banda menyimpan saham perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia dengan merintis pembentukan organisasi Islam Al-Washliyah. Bersama dengan tokoh-tokoh Islam di Sumatra seperti Abdurrahman Syihab, Arsyad Thalib Lubis, Udin Sjamsuddin, Sulaiman, dan Adnan Nur.

Ismail Banda. Sumber foto: hidayatullah.com

Al-Washliyah merupakan organisasi Islam yang berawal dari sebuah kelompok studi bernama Debating Club di Sumatra Timur. Ia  berganti nama menjadi Al-Jam’iyyatul Washliyah dan berubah status menjadi organisasi pada 30 November 1930. Organisasi Islam ini bercorak Ahlussunnah wal Jamaah dan berafilisasi dengan mazhab Syafi’i. Setelah kemerdekaan, Al-Washliyah menjadi anggota istimewa Masyumi.

Pada awal pembentukan Al-Washliyah, Ismail Banda sempat didaulat menjadi ketuanya, hanya saja tidak berlangsung lama. Pasalnya, ia harus merantau ke Makkah untuk meneruskan studi. Meski demikian, di perantuan itu Ismail Banda turut mendirikan dan menjadi Ketua Al-Washliyah cabang Makkah.

Jejak perjuangan Ismail Banda selama berada di luar negeri tak dapat dipandang sebelah mata. Selama menginjakkan kakinya di perantauan, perhatian Ismail Banda tak pernah lepas dari perkembangan tanah air. Berbekal keluhuran ilmu, ia mencurahkan tenaganya untuk berjuang dengan pena dan tinta.

Walaupun sibuk dengan agenda perkuliahan, Ismail Banda muncul menjadi penulis yang produktif. Ia telah menerbitkan banyak tulisan berbentuk artikel maupun buku.[8] Dalam karangannya, Ismail Banda kerap menggunakan nama pena. Di sebagian karyanya, ia terkadang menggunakan nama “Isbanda” sedangkan pada karya lainnya, menggunakan nama “Ibnoe Banda” (Terj: Anak Banda).

Karir Ismail Banda dalam dunia kepenulisan berangkat dari Medan Islam, sebuah majalah corong Al-Washliyah. Lewat majalah ini, ia kerap menulis artikel bertemakan syariat dan potret perkembangan Dunia Islam. Di samping itu, Ismail Banda juga tercatat pernah menjadi redaktur koran berbahasa Melayu yakni Pewarta Deli dan Pemandangan untuk berita Timur Tengah. Sementara, di Mesir ia menjadi redaktur koran berbahasa Arab, yaitu Ichsan.[9]

Obituari Ismail Banda di Majalah Suara Partai Masjumi No. 1 1952. (Sumber: Dok Istimewa)

Umumnya, tulisan-tulisan Ismail Banda tercecer di majalah dan koran. Sejauh ini, buku karangan Ismail Banda yang tercatat hanya satu, berjudul Hikmah Sjare’at, yang diambil dari artikel berseri di Medan Islam.[10]

Berjuang untuk Persatuan dan Pengakuan

Usaha paling besar yang pernah dipersembahkan oleh Ismail Banda adalah menggalang solidaritas para mahasiswa di Mesir. Sebagai seorang yang senang bergaul, Ismail Banda bergabung dengan Perhimpunan Pemuda Indonesia-Malaya (Perpindom), sebuah perhimpunan yang mewadahi para mahasiswa Indonesia dan Malaya di Mesir pada 1938.

Kesibukan belajar dan menulis, tidak menghalangi Ismail Banda untuk menjadi seorang aktivis pergerakan. Bakatnya dalam berorganisasi membuat Ismail Banda dipercaya menjadi Ketua Perpindom. Di bawah kepemimpinan Ismail Banda, Perpindom sangat aktif menggalang persatuan di kalangan mahasiswa Indonesia dan Malaya untuk melawan penjajah Belanda maupun Inggris.

Gerak Ismail Banda dan Perpindom sangat terasa setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Bersama dengan Zein Hassan, ia sibuk menjadi penghubung antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah, partai-partai politik, dan pers di Mesir. Ismail Banda dan Zein Hassan menjadi dua tokoh yang berandil besar dalam mengusahakan pengakuan kedaulatan dari negara-negara Arab. Pada September 1944, keduanya pernah menjadi utusan Perpindom untuk menghadiri kongres para Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri negara-negara Arab di Iskandariyah, Mesir. Keduanya hadir menyampaikan tri tuntutan yang berisi; 1) pengakuan kemerdekaan Indonesia 2) jaminan kesatuan Indonesia, dan 3) partisipasi wakil Indonesia dalam menentukan perdamaian pasca-perang. Isi tuntutan tersebut meraih simpati yang besar dan kongres bersepakat untuk memberikan dukungan pada kemerdekaan Indonesia.[11]

Usaha untuk meraih pengakuan kedaulatan dari negara-negara makin diperkuat setelah Indonesia merdeka. Ismail Banda memimpin komite Pembela Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Berselang dua bulan pasca-Indonesia merdeka, Ismail Banda dan Zein Hassan kembali tampil di depan para pemimpin Arab menyampaikan tentang keadaan Islam di Indonesia, perjuangan dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, serta perkembangan terkini Indonesia setelah meraih kemerdekaan.[12] Pidato ini disampaikan pada sesi pembukaan  Konferensi Arab Islam di Gedung Jamiah Syubban Islam, Mesir pada 16 Oktober 1945.

Selain menyampaikan perjuangan bangsa Indonesia lewat pidato, Ismail Banda dan Zein Hassan mengajukan tuntutan supaya negara-negara Arab kompak mengakui kedaulatan Indonesia serta menyodorkan draf resolusi yang ditulis dalam tiga bahasa; Arab, Inggris, dan Prancis yang dua butir isinya yaitu desakan kepada negara-negara Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia dan meminta Inggris agar tidak memberi bantuan kepada Belanda.[13]

Usaha Ismail Banda dan Zein Hassan membuahkan hasil yang diharapkan. Pada 19 November 1946, Dewan Menteri Liga Arab mengajak negara-negara Arab untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Atas maklumat ini, Mesir menjadi negara Arab yang paling awal mengakui Indonesia pada 1947. Langkah tersebut diikuti oleh Arab Saudi, Suriah, Yaman, dan lain-lainnya.

Rasa cinta Ismail Banda terhadap Indonesia tak pernah padam sekalipun raganya tidak berpijak di bumi Indonesia. Ismail Banda baru kembali ke Tanah Air pada 1947. Saat itu, ia memutuskan untuk bergabung dengan Partai Masyumi.

Ismail Banda diutus menjadi tim pertama misi haji Indonesia pada 1948. Selain memandu jamaah haji, ia bersama dengan tim bertugas untuk menghadang propaganda Belanda di Arab Saudi. Dengan kecakapan berbahasa Arab, Ismail Banda bertugas mengenalkan Indonesia pada dunia internasional melalui pers Arab yang terbukti memperkokoh keyakinan negara-negara Arab atas cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Berjuang hingga Akhir Hayat

Ismail Banda menjadi sosok yang tenaganya sangat diharapkan untuk memperkuat perjuangan Indonesia. Sepulangnya dari Mesir, ia tidak langsung ke Medan, melainkan ke Yogyakarta, ibu kota Indonesia selama era Revolusi Kemerdekaan (1945-1950).

Kementerian Agama menjadi lapangan pengabdian Ismail Banda yang pertama, namun hanya sebentar. Setelah itu, ia dipindahkan ke Kementerian Luar Negeri untuk bagian wilayah Timur Tengah. Selain menjadi birokrat, Ismail Banda kembali aktif di dunia pers. Ia mendirikan majalah Indonesia Raya bersama Z.A. Ahmad dan menjadi penyiar Radio Republik Indonesia (RRI) berbahasa Arab. Kemudian, ia juga mengajar di sejumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Ismail Banda kembali aktif di organisasi yang pernah didirikannya, Al-Washliyah. Kepulangannya dari Mesir disambut hangat oleh keluarga besar Al-Washliyah. Sejak muktamar ke-VI di Pematangsiantar pada 1947, Ismail Banda dipilih sebagai Pengurus Besar Al-Washliyah.[14]

Usaha Ismail Banda untuk perjuangan Indonesia seolah tiada mengenal kata henti. Menjelang akhir hayatnya, Ismail Banda ditugaskan menjadi Kuasa Usaha di Kedutaan Besar Republik Indonesia (Kedubes RI) untuk Iran di Teheran. Selanjutnya, ia diperintahkan menjadi Kuasa Usaha RI untuk Afghanistan pada 30 November 1951.

Perintah tersebut rupanya adalah mandat terakhir yang diterima oleh Ismail Banda. Sebab, dalam sebuah perjalanan menuju Afghanistan, pesawat terbang yang ditumpanginya diterpa kabut. Gangguan ini menyebabkan pesawat jatuh di Teheran. Insiden mengerikan ini terjadi pada 22 Desember 1951. Akibat kecelakaan tersebut, Ismail Banda syahid.

Kecelakaan ini segera menjadi kabar duka cita di seantero negeri. Jenazah Ismail Banda dikebumikan di Teheran, Iran. Mendengar kabar ini, hampir semua masjid di Jakarta Indonesia menggelar salat gaib untuk Ismail Banda. Pejuang asal Medan ini wafat pada usia 41 tahun.

Oleh: Naufal Al-ZahraPegiat Komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) & Penulis Buku Romantika Perjuangan Masyumi & NU (RPMN).


[1] Ja’far, Merantau Demi Republik: Kehidupan dan Perjuangan Ismail Banda (1909-1951). Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 1, No.2, 2020, hlm. 139.

[2] Ibid, hlm. 141.

[3] Ibid.

[4] Nomenklatur sarjana (S1) humaniora dan filsafat di negara-negara asing.

[5] Nomenklatur magister (S2) humaniora dan filsafat di negara-negara asing.

[6] Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim. Bandung: Mizan, 2011, hlm. 240.

[7] Suara Partai Masjumi, No. 1, 1952

[8] Sejauh ini baru terdapat 23 judul artikel Ismail Banda yang telah ditemukan oleh Ja’far, peneliti tentang Ismail Banda. Selengkapnya lihat dalam Ja’far, op cit, hlm. 142

[9] Suara Partai Masjumi, loc cit.

[10] Buku Hikmat Sjare’at diterbitkan oleh Ismail Banda ketika usianya 25 tahun, ibid.

[11] Ja’far, op cit, hlm. 152.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid, hlm. 155.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here