Pada 31 November 2000, sejarawan Universitas Gadjah Mada, Prof. Djoko Suryo mempresentasikan makalahnya yang berjudul “Tradisi Santri dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam di Jawa”, dalam sebuah seminar bertajuk Seminar Pengaruh Islam dalam Budaya Jawa. Dalam makalah tersebut, Prof. Djoko Suryo memaparkan bahwa tradisi santri telah menjadi inti dari apa yang disebut sebagai Tradisi Besar (Great Tradition). Sementara itu, Islamisasi juga telah melahirkan Great Tradition Kraton yang berbagi sub-kultur dengan tradisi besar Santri.
Satu hal yang perlu digaris-bawahi dalam makalah Prof. Djoko Suryo tersebut adalah posisi tradisi besar dalam kebudayaan dan struktur masyarakat Jawa itu sendiri. Mengutip Clifford Geertz, Prof. Djoko menjelaskan bahwa yang dimaksud Santri adalah varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa, yang berbeda dengan tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu Abangan dan Priyayi. Meskipun memaksudkan ketiga varian tipologis Geertz tersebut dalam yang disebut Prof. Djoko sendiri sebagai ‘masyarakat Islam’, pemosisian Santri sebagai ‘varian sosio-kultural’ yang berbeda dengan varian lain, Abangan dan Priyayi, sangatlah problematis.
Terlebih, varian yang dimaksud Abangan dan Priyayi tersebut didefinisikan sebagai kelompok sosio-kultural yang seolah-olah tidak memiliki afiliasi teologis dengan varian Santri. Abangan disebut sebagai kelompok yang memiliki orientasi kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu. Sementara itu, orientasi kehidupan Priyayi berakar pada tradisi aristokrasi Hindu-Jawa.
Apa yang telah dipaparkan Prof. Djoko tentang Santri dan hubungannya dengan dua varian lain dalam tipologi yang disusun Geertz tersebut memanglah telah mendapat kritik yang jumlahnya tidak sedikit. Bahkan beberapa penulis yang menyinggung mengenai Geertz menyatakan tipologi Geertz itu masih tetap kokoh meski berusaha dikritik dan diruntuhkan. Oleh karenanya, apa yang dikutip oleh Prof. Djoko dari Geertz tersebut sebenarnya telah menjadi problem sejak lama. Hal ini terutama menyangkut bentuk hubungan antar varian yang memiliki basis orientasi yang berbeda dalam ‘masyarakat Islam’.
Varian Abangan dan Priyayi menempati posisi yang begitu berbeda dari tradisi dan basis orientasi Santri. Sehingga meskipun berada dalam ‘masyarakat Islam’, Abangan dan Priyayi hidup secara terpisah dan tidak memiliki pembenaran aktual dan suatu bagian apapun dari tradisi besar Santri. Padahal Prof. Djoko sendiri mengakui bahwa, terdapat Great Tradition lain selain santri yang dilahirkan dari proses Islamisasi, yakni institusi politik-kekuasaan yang di dalamnya melibatkan aristokrasi Priyayi. Sudah dapat dipastikan bahwa, penyebutan Priyayi yang memiliki akar orientasinya dari aristokrasi Hindu-Jawa tersebut dikarenakan Prof. Djoko sendiri memandang Great Tradition itu sendiri dalam paradigma akulturasi antara proses Islamisasi dan sisa-sisa pengaruh Hindu di Jawa.
Kalaupun dikatakan bahwa yang disebut Abangan dan Priyayi dalam masyarakat Islam itu tidak sepenuhnya memiliki pembenaran kulturalnya dari tradisi pra-Hindu atau aristokrasi Hindu-Jawa, maka ada semacam paradigma sinkretis atau akulturatif dalam varian sosio-kultural Abangan dan Priyayi. Dengan hal ini, maka sejatinya terdapat persoalan serius pada konseptualisasi akulturasi, atau sinkretisme, itu sendiri. Anggapan ini mengemuka dalam bentuk bahwa Islamisasi sebagai sebuah proses tumbuh dan berkembang dalam tradisi Hindu Jawa yang masih aktif dan belum menjadi sisa, tapi masih terus berdinamika dalam masyarakat Jawa. Islamisasi, dalam konseptualisasi akulturatif dan sinkretis ini, dianggap sebagai proses dialog biasa terhadap tradisi dan kebudayaan yang sejajar posisinya dengan proses Islamisasi itu sendiri. Sehingga The Great Tradition yang membentuk tradisi Santri dan tradisi Kraton itu tidak tidak memiliki arti penting jika tidak ditemukan jejak afilatif pada tradisi sebelum proses Islamisasi berlangsung di Jawa.
Tulisan ini tidak bermaksud menadzor makalah Prof. Djoko Suryo secara keseluruhan. Dalam makalah Prof. Djoko tersebut, titik kritis yang perlu untuk digaris-bawahi adalah persoalan di mana beliau menempatkan varian Santri seolah tidak memiliki hubungan banyak dengan dua varian lain dalam kerangka tipologi Geertz.
Rekonstruksi Konseptual Abangan dan Priyayi
Selain Geertz, penulis menemukan tipologi mengenai Santri, Abangan, Priyayi yang lebih korelatif—dibanding tipologi Geertz—dalam beberapa tulisan Kuntowijoyo. Berbeda dengan Geertz yang membagi tipologi dalam masyarakat Jawa itu dalam tiga varian, Kuntowijoyo memilih untuk memetakan priyayi sebagai kelas yang dimensinya secara sosiologis disertakan kelas selainnya, yakni Wong Cilik. Sementara itu, di mana Kuntowijoyo menempatkan Santri dan Abangan? Rupanya varian ini bukanlah termasuk dalam kelas sosial, melainkan lebih pada dimensi kesifatan dan kecenderungan.
Sejarah masyarakat Jawa dihiasi oleh adanya kristalisasi kelompok-kelompok sosial dan kultural. Pengelompokkan ini terjadi dalam hubungan vertikal yang dibentuk oleh pengaruh kekuasaan atau birokrasi kerajaan, serta hubungan horizontal yang dipengaruhi oleh kualitas ketaatan beragama dan proses Islamisasi. Priyayi, sebagai salah satu varian tipologi dalam masyarakat Islam di Jawa merupakan salah satu produk kristalisasi sosial tersebut. Dalam tipologi Kuntowijoyo, kristalisasi ini kemudian disebut sebagai kristalisasi vertikal yang dibentuk melalui kekuasaan dan birokrasi, menghasilkan kelompok elite Priyayi dan kelompok rakyat Wong Cilik yang berkorelasi secara patron-klien (Kuntowijoyo, “Konvergensi Sosial dan Alternatif Gerakan Kultural”, Pesantren, No. 3, vol. III, 1986, hlm. 1-3).
Sedangkan dalam kristalisasi horizontal yang dipengaruhi kualitas ketaatan beragama dan proses Islamisasi, menghasilkan kelompok kultural Santri yang teguh memegangi ajaran agama dan Abangan yang relatif kurang mengamalkan ajaran agamanya. Dengan begitu akan dapat dilihat bahwa ada Priyayi yang Santri secara perilaku dan gaya hidup, dan ada pula yang Abangan, kurang taat mengamalkan Islam. Demikian dengan Wong Cilik yang tak selalu bisa disebut Abangan karena juga terdapat kelompok Wong Cilik-Santri yang taat mengamalkan Islam. Sedangkan dalam hubungan horizontal, dapat pula dilihat varian kelas sosial dalam Santri itu sendiri, yang tidak hanya berasal dari golongan menengah, namun juga para elite birokrasi dan aristokrasi (Priyayi) atau kalangan rakyat jelata Wong Cilik.
Kelompok Priyayi-Santri sudah lama tumbuh dan menempati posisi historisnya seiring berlangsungnya proses Islamisasi di Jawa. Penyelidikan Simuh mengungkapkan bahwa sejarah terbentuknya Priyayi sendiri telah ada sejak berdirinya Kesultanan pertama di Jawa, Demak. Simuh menjelaskan dan menghubungankan antara identitas ke-Priyayian dengan identitas kejawen sebagai perilaku mistik. Ia melihat bahwa sebenarnya kejawen memiliki padanannya dalam Islam. Perambatan dan penetrasi unsur-unsur Islam dan terutama dalam kepustakaan Jawa nampak dari para pujangga Jawa yang merupakan arsitek pembentuk kesusasteraan Jawa yang lebih aktif.
Sejak zaman Demak hingga Mataram, para Priyayi Jawa dan sastrawan Jawa nampak amat dahaga untuk menimba ilmu kebatinan (nama yang lebih substantif dari kejawen) dari para wali dan guru-guru pesantren untuk memperhalus khazanah perbendaharaan kerohanian Jawa. Beberapa contoh disebutkan oleh Simuh. Nama tokoh-tokoh penting seperti Arya Penangsang dan Joko Tingkir yang berguru kepada Sunan Kudus merupakan contoh-contoh Priyayi-Santri. Selain itu, Ranggawarsita yang digelari sebagai pujangga penutup dalam kesusasteraan Jawa, belajar mengaji pula kepada Kyai Kasan Besari dari Pesantrean Tegalsari, Ponorogo. Pengarang Serat Wedhotomo ini pernah menerangkan masa lalunya, bahwa ia belajar ngaji juga sewaktu kecil (Simuh, “Antara Tasawuf dan Batiniah”, Pesantren, No. 3, vol. II, 1985, hlm. 17).
Para haji pada dasawarsa terakhir abad ke-19, yang memainkan peran penting dalam perkembangan Islamisasi yang lebih dalam di masyarakat Jawa juga memiliki posisi afiliatifnya dalam dunia kepriyayian. Selain mendorong pendalaman arus Islamisasi, para haji ini membantu menyebarkan semangat kewirausahaan di kalangan penduduk kelas menengah bumiputera. Yang penting untuk dicatat, golongan kelas menengah dan pertumbuhan haji ini memang tak jarang berasal dari golongan menengah ke bawah—yang pedagang (kebanyakan batik), akan tetapi juga berasal dari golongan Priyayi yang memangku jabatan keagamaan yang bertempat tinggal di enclave kota seperti kauman.
Kauman adalah suatu pemukiman yang ditempati oleh para pejabat yang ditunjuk menunaikan tugas keagamaan dalam pemerintahan tradisional. Penduduknya adalah para abdi dalem Santri yang mengabdikan diri dalam pemerintahan, dan karenanya termasuk golongan Priyayi. Kuntowijoyo memberikan gambaran tepat mengenai kegiatan birokrasi yang beriringan dengan kegiatan ekonomi ini. Di kalangan mereka, laki-lakinya bekerja sebagai pametakan (petugas keagamaan), namun mereka bersama istri-istri mereka, biasa pula melakukan kegiatan dagang.
Kilas lukisan kehidupan Priyayi-Santri ini bisa pula kita potret dari figur Ahmad Dahlan, pendiri gerakan sosial-pendidikan Muhammadiyah, sebagai contoh seorang Priyayi-Santri yang merangkap sebagai pedagang dari Kauman. KH Ahmad Dahlan adalah seorang ketib (khatib) di Masjid Agung Kraton Yogyakarta, namun ia juga tekenal sebagai pedagang batik yang berhasil dan memiliki jaringan dagang di banyak kota (Kuntowijoyo, “Muslim Kelas Menengah Indonesia dalam Mencari Identitas, 1910—1950”, Prisma, No. 11, tahun XIV, 1985, hlm. 37-39). Oleh karenanya, jaringan dagang itu pula merupakan salah satu faktor akseleratif meluasnya pengaruh Muhammadiyah.
Priyayi-Santri yang ‘ditemukan’ secara historis ini memotret penerapan spekulatif dari rekontruksi konseptual bahwa varian sosial-kultural Priyayi tidak selalu memiliki basis orientasi yang berakar pada aristokrasi Hindu-Jawa. Pun demikian, rekonstruksi konseptual yang sekaligus menempatkan kesejajaran Abangan dalam varian sosial-kultural horizontal ini memiliki fungsi dekonstruktif dalam menempatkan ulang posisi Abangan. Dalam sejarah Islamisasi Indonesia, Abangan bukanlah kelompok sosial sebagaimana halnya Priyayi. Varian ini hanyalah kecenderungan yang dimiliki oleh kelas sosial Priyayi dan Wong Cilik secara lebih luas. Sehingga orientasi ‘pra-Islam’ dalam Priyayi—yang sebelumnya diasosiasikan dengan varian Priyayi dan Abangan—pun tidaklah selalu bisa dilekatkan. Bahkan kecenderungan Abangan dari dua kelas sosial patron klien ini—Priyayi dan Wong Cilik—dapat ditelusur jejaknya dalam hubungannya dengan kolonialisasi dan pem-Baratan Belanda.
Membentuk Anasir Pra-Islam: Peran Hurgronje
Cita-cita loyalitas asosiatif dari kaum bumiputera kepada kedaulatan pemerintah kolonial di Hindia Belanda telah melahirkan gagasan-gagasan penting dari Snouck Hurgronje. Gagasan dari penasehat pemerintah kolonial itu kemudian direalisasikan dalam beberapa bentuk, sebagaimana yang bisa ditelaah dalam politik pendidikan Belanda terhadap rakyat bumiputera, Politiek Etische. Tidak jauh dari scoup politik pendidikan ini, gagasan Snouck pula yang telah melahirkan generasi baru bangsawan dan kelas Priyayi yang lebih loyal kepada Belanda pada abad ke-20. Jika pada abad ke-19 pertumbuhan elite aristokrasi yang loyal kepada Belanda ini didukung melalui kebijakan Tanam Paksa, maka pada abad ke-20 ini, modernisasi dan rasionalisasi memperluas lingkup generasi Priyayi-bangsawan. Status kepriyayian menginjak abad ke-20 itu akhirnya tidak hanya bisa didapatkan dari keturunan semata. Modernisasi melalui pendidikan menyebabkan rakyat biasa bisa merangkak naik ke stratifikasi elite dan mencapai prestis kebangsawanannya. Meskipun kemudian terkelompokkan dalam status kelas sosial Priyayi rendahan, pertumbuhan kelas priyayi yang loyal dan asosiatif terhadap Belanda ini menyumbang peran penting dalam Abangisasi-Priyayi yang sejatinya telah dimulai pada abad ke-19.
Snouck Hurgronje datang ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19, untuk mengatasi problem Belanda terhadap Islam. Sebelum kedatangan Snouck, kebijakan Belanda terhadap masalah Islam, menurut Aqib Suminto, hanya berdasarkan rasa takut dan tidak mau ikut campur, karena Belanda belum banyak mengetahui masalah Islam (lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 2-4). Bagi Belanda, menginjak pertengahan abad ke-19, intensifitas Islamisasi kian meningkat semenjak dibukanya terusan Suez. Dampak penting dari perkembangan ini adalah semakin meningkatkanya perjalanan haji dari Nusantara ke Makkah, dan sekaligus ke pusat-pusat studi Islam di Timur Tengah, termasuk Mesir. Peningkatan Islamisasi ini terlihat dengan adanya semangat kebangkitan keilmuan Islam oleh para haji yang tidak hanya melakukan ibadah haji dalam perjalanannya, namun pula melakukan ibadah lain, yakni mencari ilmu.
Ketika pulang ke tanah air, para haji dari Nusantara ini membawa semangat Islam yang lebih puritan dan ortodoks. Lambat laun, perkembangan ini mempercepat akselerasi dan penyempurnaan Islamisasi di tanah air. Apa yang disebut sebagai sinkretisme dan kedudukan animistik tergantikan secara perlahan oleh ketaatan dan fanatisme dalam ber-Islam. Di sisi yang lain, muncul kecenderungan Islam yang lebih berorientasi pada hukum Islam (Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 34). Pemerintah Belanda tidak bisa melupakan kenyataan bahwa berbagai perlawanan Umat islam memang banyak dimotori oleh para haji dan ulama yang berhasil menggerakkan semangat rakyat Muslim. Pada akhirnya, di masa itu, ibadah haji (yang dilalui dengan proses mukim dan mencari ilmu di pusat-pusat Islam), merupakan sumber sosial bagi revitalisasi kehidupan agama di Nusantara. Perkembangan ini begitu dirasakan pada abad ke-19, saat kolonialisme menguat melalui kebijakan ekonomi yang menyebabkan pemiskinan radikal di kalngan rakyat.
Sartono Kartodirjo mencatat, sejumlah kerusuhan yang terus-menerus terjadi di Indonesia dalam paruh akhir abad ke-19. Kerusuhan ini menyebabkan perhatian penguasa kolonial semakin ditujukan pada pengaruh yang rupanya datang dari Makkah. Perjalanan naik haji melahirkan benteng solidaritas yang kuat di dunia Islam, dan orang-orang yang menunaikan ibadah haji pulang ke negeri mereka, telah datang dengan membawa semangat kebesaran dan keagungan Islam (Sartono Kartodirjo, Pemberontakkan Petani Banten 1888, Depok: Komunitas Bambu, 2015, hlm. 162-163).
Dalam situasi seperti inilah Snouck tampil dengan melihat bahwa memang terjadi hubungan antara ‘ibadah haji’ dengan ‘fanatisme’. Maka perlu untuk mengawasi ‘koloni Jawa’ (orang-orang Jawa di Makkah), dan kemudian melalui konsul Belanda di Jeddah semua aspek sepak terjang para mukmin haji itu diperiksa. Pemeriksaan itu juga terjadi di Kairo, Kalkuta, dan Singapura. Intelejenisasi kolonial telah lahir. Dengan memberikan pengawasan terhadap haji Hindia Belanda, menurut Snouck, hal ini akan sedikit demi sedikit mengikis dan memutus pengaruh ‘fanatisme’ yang menjadi komponen terpenting dalam penyempurnaan Islamisasi dan ideologi perlawanan anti-kolonial di Nusantara. Pada saat yang sama, Snouck menggambarkan Islam di Indonesia sebagai Islam yang sinkretik dan ‘tidak sempurna’. Untuk mempertahankan gagasan idealnya itu, ia menekan realitas haji sebagai gejala yang akan mematikan dan menghilangkan ‘ketidaksempurnaan Islam’.
Sebagaimana para orientalis-nativistik lainnya, dengan serampangan Snouck melihat secara artifisialistik, bahwa manusia Jawa menganut Islam yang sinkretik dan animistik. Pandangannya menyatakan bahwa orang Islam di kawasan ini sebenarnya hanya nampaknya saja memeluk Islam, dan hanya di permukaan kehidupan mereka ditutupi agama ini. Oleh karena itu, Abangan berdasarkan pengamatan Snouck ini disebut para sarjana berikutnya sebagai orang Muslim yang hidupnya tidak persis sesuai dengan tuntutan formal agama. Dengan begitu, gelombang kebangkitan Muslim, yang disebutnya sebagai fanatisme itu, sebenarnya mengagetkan Snouck selaku penasehat urusan pribumi.
Dalam catatan Amika Wardana, sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta, gelombang kebangkitan dan reformisme Islam di kancah Indonesia modern secara langsung merubah pandangan orientalis-kolonial tentang peran minor Islam yang sebelumnya sangat dominan. Para orientalis-kolonial semacam Snouck akhirnya tersadar, dalam konteks masyarakat Jawa, Islam tidak hanya ‘lapisan tipis’, melainkan suatu kekuatan penting dalam konfigurasi sosial-politik modern. Dengan memperhatikan kuatnya Islam dalam masyarakat Jawa itu, Snouck kemudian menasehatkan agar diciptakannya sebuah upaya—yang disebut Amika Wardana—‘domestifikasi Islam’.
Ini berarti memberikan tempat sebesar-besarnya bagi ‘sinkretisme Islam’ dan tidak perlu mengharapkan ‘kaum sinkretis’ itu untuk dikonversi menjadi Kristen melalui petugas zending dan para misionaris (meskipun Snouck sendiri tidak melarang Kristenisasi dalam upaya pem-Baratannya). Setelah membiarkan ‘kaum sinkretis’ itu, Snouck menasehatkan agar membiarkan pelaksanaan Islam ibadah dan mencegah sekeras-kerasnya yang disebutnya sebagai ‘Islam politik’ yang berwatak fanatis dan bersemangatkan jihad (Amika Wardana, “Konstruksi Islam (di) Indonesia: Sebuah Tinjauan Umum”, makalah disampaikan pada Kuliah Umum Bulanan di Aula Dekanat Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 12 April 2012).
Dalam kerangka domestifikasi Islam inilah Snouck kemudian bermain lebih jauh. Ia menciptakan citra kaum kolonial yang terlihat ramah terhadap rakyat pribumi. Di sisi lain, domestifikasi Islam meluaskan sebuah medan yang dipersiapkan untuk benturan antara Islam dan hukum adat. Lathiful Khuluq melihat bahwa strategi ‘ibadah’ dan ‘adat’ ini lebih jauh justru akan memisahkan secara radikal antara masyarakat tradisional dengan kaum—yang kini kita sebut sebagai—Santri. Gagasan ini melahirkan kebijakan pengangkatan Kaum Santri menjadi pejabat-pejabat keagamaan secara resmi oleh Pemerintah Kolonial. Snouck berharap agar di bawah kekuasaan kolonial, Kaum Santri tidak lagi agresif melaksanakan Islamisasi.
Politik inilah yang lebih jauh disebut sebagai politik pemisahan, atau Splitsingstheori (Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam: Biografi Snouck Hurgronje, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 2). Bidang hukum menjadi sangat relevan sekali untuk menghubungjan penyempitan ruang gerak Islam dengan keberhasilan pemerintah kolonial. Hal ini sekaligus menjadi alternatif atas terciptanya hukum kolonial. Pada sebuah nasehatnya yang sudah diterbitkan, Snouck menulis:
“Sedangkan hanya satu dua orang yang karena studinya telah mampu untuk menjembatani semua jurang yang memisahkan orang Eropa dari kehidupan pribumi. Maka, merupakan keuntungan besar juga bahwa para ahli hukum yang muncul dari antara anak negeri, berlainan dengan kebanyakan orang Eropa, tidak akan sekedarnya saja menjalankan jabatannya, yakni sekadar untuk menghabiskan pensiun yang cukup besar di Eropa. Sebaliknya, mereka itu, di tanah air mereka sendiri, akan tetap menjabat sebagai hakim … Bukanlah secara konkret yang dihadapi di sini hanya golongan tertentu para pribumi yang mungkin menjadi sumber—asal jalan menuju jabatan pengadilan terbuka bagi mereka—untuk mengerahkan sejumlah ahli hukum tertentu? Yaitu para bangsawan Jawa.” (E. Gobee dan C. Adriaanse (ed.) dan Snouck Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, Jilid IV, Jakarta: INIS, 1990, hlm. 530).
Melalui nasehat-nasehat semacam itulah kemudian Belanda membangun loyalitas asosiatifnya. Dengan gagasan-gagasan Snouck itu pula, dalam diri priyayi dan bangsawan Jawa terletak kesetiaan yang terbangun secara kolaboratif dengan kaum kolonial. Ini merupakan perkembangan terbaru pada abad ke-20 dalam hubungan antara otoritas tradisional (bangsawan Jawa) dengan kaum kolonial, yang semenjak abad ke-19, hubungan keduanya tidak hanya dilandasi secara politik semata, namun juga kultural dan kreasi kebudayaan pra-Islam dalam subkultur Priyayi. Snouck bukan saja menyaingi Islamisasi dengan deradikalisasi Islam (atau de-Islamisasi). Ia juga menebalkan tembok penyekat antara kecenderungan Santri dengan kelas sosial Priyayi melalui kebangkitan hukum adat dan tradisionalisme sekuler. Oleh karenanya, melalui Snouck dan kaum kolonial-lah, kecenderungan Abangan tumbuh secara pesat dalam subkultur Priyayi.
Desgregasi: Mengembalikan Kesantrian dalam Kelompok Sosio-Kultural Jawa
Di antara kebangkitan kaum Priyayi yang sekuler, Abangan, dan nativistik tersebut, kecenderungan Islamisasi masih tak terbendung. Memasuki abad ke-20, tantangan bagi agen-agen Islamisasi bukan lagi berada pada sistem-sistem besar tradisi yang melekat pada identitas kesukuan dan kebangsaan, meskipun tugas ini masih pula berlangsung. Modernisme menjadi suatu hal yang tak bisa dihindari oleh Kaum Muslimin di abad ke-20. Akan tetapi gelombang modernisme ini juga ditopang oleh perubahan-perubahan struktural dan pemikiran di dunia Islam secara luas. Beberapa kalangan Kaum Muslimin memilih untuk mengadopsi modernisme secara bulat, termasuk duri-nya. Ada pula yang memilih sekedar memanfaatkannya untuk menantang kecenderungan zaman, dan secara kultur perubahan ini justru memberikan orientasi sistematik yang lebih tertata rapi bagi tafsiran kekayaan struktural peradaban Islam sendiri. Gerakan Pembaruan Islam menjadi begitu relevan sedari awal abad ke-20 ini.
Bahkan melalui gerakan pembaruan ini, struktur segregatif antara varian Priyayi-Wong Cilik dan Santri ter-reintegrasi dalam prosesnya pada abad ke-20. Meskipun demikian, tidak pula bisa kita katakan reintegrasi ini berhasil mempersatukan kembali varian-varian yang secara dramatis telah terpisah karena agenda-agenda kolonialisme. Akan tetapi, apa yang dikatakan Kuntowijoyo mungkin tepat, bahwa terdapat “… gejala-gejala nasional terhadap pencairan dan hilangnya dinding-dinding penyekat struktur …” Hal inilah yang dapat disaksikan pada organisasi Sarekat Islam.
Dalam organisasi Islam pada awal kebangkitan kesadaran bangsa Indonesia ini tersimpul di dalamnya semangat nasionalisme, kerakyatan, di samping pula keagamaan yang merupakan mesin terpenting dari revolusi pemikiran Islam di abad ke-20. Dimensi praktis sosial, ekonomi dan politik dalam Sarekat islam memberikan tafsiran lebih luas terhadap semangat Islamisasi. Ini pula yang membuat wajah Sarekat Islam tidak homogen berisi para ulama dan Santri. Sarekat Islam menghimpun anggota-anggota yang sebenarnya tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, tetapi—dalam organisasi tersebut—bertemu dengan beberapa tokoh keagamaan. Proses sosial dalam Sarekat Islam ini kemudian mengakibatkan pendekatan antara kelompok Santri dan Abangan. Dalam pola vertikalnya, terjadi pula pelekatan antara Priyayi dan Wong Cilik (Kuntowijoyo, “Konvergensi Sosial …”, hlm. 4).
Menurut Kuntowijoyo, para pemimpin utama Sarekat Islam-pun terkadang memberikan kesempatan yang sama bagi orang Abangan untuk bisa tampil memimpin dalam struktur organisasi. Di lain pihak, jarang muncul keraguan dari kaum Santri untuk bergabung dalam partai-partai nasionalis, berjuang menggerakkan perjuangan dan aktifisme nasionalisme. Gambaran Sarekat Islam dan dinamika sosial-kultural ini memanglah belum mampu dijadikan preferensi yang mapan, di samping gejolak dan konflik politis di masa-masa setelahnya mengaburkan jejak-jejak kejayaan historis persatuan kultural antar kelas sosial dan varian.
Akan tetapi, jejak-jejak historis mengenai cita-cita Sarekat Islam itu tetaplah relevan dan organisasi ini meninggalkan tonggak sejarah yang pasti “… akan selalu dikenang …,” kata Kuntowijoyo. Dalam figur dan organisasi lain, ditemui pula Ahmad Dahlan. Sang begawan pendiri Muhammadiyah memiliki hubungan baik dengan kalangan Boedi Oetomo yang beberapa tokohnya pernah menunjukkan semangat de-Islamisasi dan bahkan anti-Islam. Hubungan rekonsiliatif ini memang sudah terjadi sejak zaman Hadji Samanhoedi, pendiri Sarekat Dagang Islam. H. Samanhoedi bahkan menegaskan bahwa organisasi itu tidak menentang kaum bangsawan. Bahkan, saat membentuk Sarekat Islam cabang Yogyakarta, Pangeran Hangabehi putera Susuhunan Surakarta ditetapkan sebagai pelindung dan anggota pada tahun 1913. Pembentukkan Sarekat Islam di Yogyakarta pada tahun 1913 juga dimungkinkan atas prakarsa Pangeran Notonegoro, putera Sunan Pakualam V (Kuntowijoyo, “Muslim Kelas Menengah …”, hlm. 43).
Jejak-jejak Islamisasi dalam organisasi Islam modern ini adalah upaya yang menjembatani kesatuan nasional. Ide-ide yang diutarakan untuk mempersatukan kesatuan politik, sosial, dan ekonomi pribumi menyebabkan Islam berperan penting dalam posisinya sebagai sistem nilai pada masa itu. Meskipun terdapat struktur dan stratifikasi sosial yang memisahkan kelompok-kelompok dalam masyarakat [Islam di] Jawa, akan tetapi ketentuan sistem nilai ini begitu berarti dalam membentuk lapisan-lapisan sosial beserta variannya yang lekat dan tidak bisa dipisahkan dari konstruksi Islam yang telah ditempa ribuan tahun di pulau ini. Dengan proyeksi ini, yang disebut Prof. Djoko sebagai the Great Tradition tidaklah mampu hanya digambarkan sebagai tradisi Santri, oleh karenanya tradisi kraton dimasukkannya pula dalam the Great Tradition tersebut. Yang kedua ini mewakili imaji dan realitas lokal yang berdinamika, dan berusaha mencari unsur-unsur jati dirinya bersama tradisi Santri dalam sejarah Indonesia.
Sejarah adalah harapan, hope, dan saya setuju. Ia adalah masa depan. Dengan merekonstruksi harapan dan sisa-sisa kebahagiaan di masa lampau-lah sejarah juga bisa ditulis. Sejarah adalah semangat, basis-basis filosofis yang menyentuh kehidupan eksistensi manusia yang being. Ia mengajarkan sebuah asa yang bergerak maju, mengasimilasikan peran-peran yang sempat terpecah. Wallahua’lam.
oleh : Ahda Abid al-Ghifari – Pengajar di Ponpes At-taqwa, Depok.
Menjelang Ramadhan di Depok, 3 Mei 2019