Islam dan Politik memang dua hal yang tidak dapat dipisahkan bahkan sejak kehadiran Islam itu sendiri di Nusantara di mana pada proses perkembangannya mulai muncul penguasa-penguasa dan institusi politik Islam. Dampaknya menurut Azyumardi Azra dalam bukunya Renaisans Islam Asia Tenggara, teciptanya suatu bahasa politik Islam tersendiri di wilayah Nusantara yang sumbernya berasal dari bahasa Arab sebagai sumber utamanya, kemudian juga bahasa Persia dan Turki (Azra, 1999: 75). Penggunaan kosa kata politik Islam seperti kesultanan, amir, dan juga gelar sultan sebagai ganti raja, dapat dipastikan meluas ketika institusi politik Islam mulai berdiri pada akhir abad ke-13 M. Hampir seluruh historiografi tradisional menyebutkan bahwa tegaknya institusi politik Muslim bermula dari konversi penguasa lokal ke dalam Islam, yang diikuti elit istana yang selanjutnya disusul seluruh rakyatnya (Azra, 1999: 78). Artinya pengalaman dan kesadaran politik Islam telah ada sejak lama bahkan jauh sebelum kehadiran para penjajah Barat.
Di masa modern ketika zaman telah berubah dan perjuangan rakyat melalui organisasi pergerakan, umat Islam pun tidak tinggal diam. Tercatat organisasi Islam yang pertama kali benar-benar menyatakan diri sebagai partai dan berjuang di ranah politik adalah Sarekat Islam (SI). Saat itu bahkan Sarekat Islam dapat dikatakan sebagai wadah persatuan perjuangan kaum muslim di Hindia-Belanda dalam bidang sosial dan politik meski pada awalnya organisasi ini bergerak dalam bidang perdagangan. Sejak di bawah kepemimpinan HOS. Tjokroaminoto, terutama setelah tahun 1916, SI memberikan perhatian kepada berbagai masalah baik politik maupun agama. Pada periode ini SI telah tersebar ke berbagai penjuru tanah air dan kongres-kongres yang diadakan dihadiri oleh utusan dari segenap daerah. Kongres tersebut bahkan dinamakan sebagai kongres nasional. Dalam hal ini, Tjokroaminoto sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer, menjelaskan tujuan SI yakni untuk menuntut pemerintahan sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang Indonesia diberikan hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah-masalah politik (Noer, 1996: 126). Bahkan gerakan ini membentuk identitasnya sebagai partai politik lebih jelas setelah adanya Kongres di Madiun pada 1923 yang menyatakan berubahnya gerakan dan nama organisasi menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) (Noer, 1996: 139).
Pada masa pendudukan Jepang, seluruh organisasi yang dibentuk oleh rakyat Indonesia dibubarkan kecuali beberapa organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab Jepang memerlukan bantuan masyarakat yang saat itu mayoritas beragama Islam dan sebagian besar tinggal di pedesaan di mana mereka hanya mau mendengar dan taat pada ulama (Noer, 1987: 24). Kemudian Jepang membentuk kembali sebuah organisasi federasi untuk menyatukan organisasi Islam yang saat itu diakui Jepang. Federasi itu bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang didirikan pada akhir tahun 1943. Namun pada masa Jepang ini Masyumi bukanlah sebuah partai politik, hanya sebuah federasi untuk menyatukan koordinasi beberapa organisasi Islam yang diakui oleh Jepang (Noer, 1987: 26). Pembentukan Masyumi sebagai partai politik baru dilakukan pasca kemerdekaan Indonesia.
Pendirian sebuah federasi untuk persatuan organisasi Islam bukan hanya baru terjadi di masa pendudukan Jepang saja, melainkan jauh sebelum kehadiran Jepang pun sudah terbentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), namun tetap saja ketika itu menurut Deliar Noer organisasi Islam yang bergabung di dalamnya sulit bekerja sama dalam bidang politik (Noer, 1987: 19). Perpecahan terjadi baik dalam lingkup internal maupun eksternal organisasi. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) misalnya, semasa kepemimpinan Abikoesno Tjokrosoejoso, adiknya Tjokroaminoto, pada 1934, memecat beberapa petinggi PSII seperti Haji Agus Salim, Suryopranoto, Sukiman, hingga Kartosoewirjo. Mereka dikeluarkan karena dianggap tidak konsisten dalam penerapan politik hijrah dan non-kooperasi (Nasihin, 2012: 209).
Sejak 1949 setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), Indonesia memakai sistem Serikat dengan beberapa negara bagian, menjadi negara Republik Indonesia Serikat. Namun rakyat Indonesia di negara-negara federal tetap menghendaki bentuk negara kesatuan. Sejak awal tahun 1950 muncul gerakan-gerakan yang menuntut pembubaran negara bagian dan penggabungan dengan Republik Indonesia yang saat itu hanya negara bagian. Gerakan penuntutan pembubaran negara bagian ini terjadi di seluruh wilayah RIS. Hingga akhirnya kesepakatan antara pemerintah RIS dengan RI (sebagai negara bagian) untuk membentuk negara kesatuan tercapai pada tanggal 19 Mei 1950 dengan ditandatanganinya Piagam Persetujuan antara pemerintah RIS dan pemerintah RI (Notosusanto, 2010: 304). Pembentukan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini tidak lepas dari Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya. Maka setelah kembali menjadi NKRI di mulailah masa yang dinamakan Demokrasi Liberal, dinamakan demikian karena sistem demokrasi yang dipakai mengikuti Barat, sering pula dinamakan Demokrasi Parlementer karena ketika itu Indonesia memakai sistem parlemen.
Di masa Demokrasi Liberal ini, terjadi dinamika politik yang sangat kuat. Beberapa kali kabinet berganti hanya dalam kurun waktu sembilan tahun, hal ini tidak lain akibat banyak mosi tidak percaya yang dikeluarkan oleh partai kepada para perdana menteri. Banyaknya partai politik yang terbentuk bahkan sempat membuat Soekarno geram dan hendak menjadikan di Indonesia hanya ada satu partai saja, meskipun gagasannya ini ditentang banyak pihak (Notosusanto, 2010: 378). Pada masa ini pula kondisi perpolitikan umat Islam memilik dinamikanya tersendiri. Salah satunya ialah perpecahan antara Masyumi dengan Nahdlatul Ulama. Momen penting lain dalam sejarah politik umat Islam ialah ketika masa persidangan Konstituante di mana dalam sidang tersebut menentukan kembali undang-undang dasar dan dasar negara, dan terjadi perdebatan sengit antara kubu Islam dengan kubu sekularis dan komunis.
Memang dalam perjalanannya tidak selalu gerakan politik Islam dapat sepakat satu tujuan dan satu jalan, sering kali partai Islam ini memiliki perbedaan pandangan dan kebijakan dalam menyikapi sesuatu. Hal ini wajar saja terjadi sebab adanya perbedaan latar belakang dari setiap organisasi atau partai politik itu. Konflik dan disintegrasi terjadi akibat adanya perbedaan tujuan dan kepentingan. Menurut Alison dan Wallace, teori konflik memiliki tiga asumsi utama yang saling berhubungan. Asumsi pertama teori konflik menegaskan bahwa manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu. Asumsi kedua menunjukkan power atau kekuasaan bukan sekadar barang langka dan terbagi secara tidak merata sehingga merupakan sumber konflik, melainkan juga sesuatu yang bersifat memaksa. Asumsi ketiga, ideologi dan nilai dipandang sebagai senjata yang digunakan oleh berbagai kelompok berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan masing-masing (Wirawan, 2015: 61). Melalui teori Alison dan Wallace tersebut setidaknya kita dapat menganalisas jawaban dari pertanyaan kenapa partai Masyumi dapat terpecah setelah sebelumnya ada komitmen untuk menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam di Indonesia.
Partai Masyumi Sebagai Wadah Persatuan Umat Islam Indonesia
Pembentukan partai Masyumi diawali dari kegiatan Muktamar Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 7 dan 8 November 1945. Acara tersebut dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum Perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk mendirikan majelis syura pusat bagi umat Islam Indonesia, Masyumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam (Noer, 1987: 47).
Pada awalnya Masyumi mempunyai dua macam status keanggotaan: 1) perseorangan; 2) organisasi. Anggota perseorangan minimal berumur 18 tahun atau sudah kawin; ia tidak boleh merangkap kenggotaan partai lain. Anggota perseorangan mempunyai hak suara, sedangkan anggota organisasi (disebut anggota istimewa) mempunyai hak untuk memberi nasihat atau saran. Ide dualisme keanggotaan seperti ini didasari pertimbangan untuk memperbanyak anggota. Sebab lain, agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat Islam tanpa ada yang merasa tidak terwakili (Noer, 1987: 48).
Pada mulanya hanya ada empat organisasi Islam yang masuk Masyumi yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Organisasi lain di Jawa seperti Persatuan Islam (Persis) dan Al Irsyad bergabung dengan Masyumi segera sesudah mereka didirikan kembali yakni pada 1948 dan 1950 (Noer, 1987: 49).
Remy Madinier, seorang peneliti dari Perancis yang menulis buku Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, menyebutkan bahwa dalam resolusi muktamar atau kongres yang dilaksanakan di Yogyakarta itu jelas menyerukan persatuan umat Islam Indonesia, dan partai ini menggunakan nama akronim Masyumi, bukan nama lengkap organisasi bentukan Jepang, juga disertai tambahan sebutan Partai Politik Umat Islam Indonesia (Madinier, 2013: 67).
Perpecahan Partai Masyumi
Meski dalam pembentukannya diawali dengan resolusi persatuan, namun kenyataannya seiring berjalannya waktu beberapa organisasi Islam menyatakan mundur dan membentuk partai politik tersendiri. PSII mengundurkan diri pada 1947, ketika itu masa kabinet Amir Sjarifuddin, hendak mengajak kalangan Islam masuk ke dalam kabinet dan saat itu Masyumi menolak. Namun rupanya pimpinan PSII terpancing dengan ajakan Amir Sjarifuddin itu. Mereka mendirikan kembali Sarekat Islam sebagai partai dan bergabung dalam kabinet. Salah satu alasannya ialah karena kalangan PSII merasa kecewa dengan Masyumi yang dianggap terlalu lunak dalam menghadapi revolusi terhadap Belanda. Hal ini disebabkan ketika beberapa pimpinan Masyumi yang turut dalam kebinet Sjahrir, yang dalam perundingan terhadap Belanda pada masanya dianggap terlalu lunak dan kompromistis. Meskipun sebenarnya pihak Masyumi sendiri tidak menyetujui hasil perundingan di masa Sjahrir tersebut (Noer, 1987: 76).
Walaupun memisahkan diri dari Masyumi, setelah dideklarasikannya kembali PSII pada 1947, pimpinan PSII mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak memiliki masalah ataupun pertikaian dengan Masyumi. Masuknya PSII ke dalam kabinet semata-mata hanya berdasar rasa tanggungjawabnya terhadap negara Indonesia yang sedang menghadapi ketegangan (Noer, 1987: 77).
Pasca hengkangnya PSII maka basis terbesar Masyumi hanya tinggal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Perpecahan yang benar-benar berpengaruh terhadap suara Masyumi adalah ketika keluarnya NU dan mendirikan partai sendiri. Perhatian NU dalam bidang politik lebih kentara di masa revolusi. Demikianlah organisasi ini pada tahun 1945 mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal wajib bagi tiap muslim. Dalam masa revolusi itu tidak terdapat indikasi yang memperlihatkan kebebasan NU dari Masyumi, dan ini semua sesuai dengan tekad tahun 1945 untuk mengakui Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam di Indonesia. Kekurangserasian antara NU dan Masyumi mulai terlihat pada tahun 1949 ketika mulai jelas nampak bahwa Belanda benar-benar akan meninggalkan Indonesia. Ada beberapa latar belakang alasan memanasnya hubungan antara NU dengan Masyumi. Pertama, karena perubahan dalam perumusan tentang Majelis Syuro dalam AD/ART. Menurut kalangan NU, dengan perubahan itu Masyumi telah berubah sifat dari suatu organisasi yang memberi tempat penting bagi ulama menjadi organisasi yang tidak menghormati ulama. Ketika itu tokoh-tokoh NU terutama para ulamanya kebanyakan menempati posisi sebagai Majelis Syuro. Sedangkan tokoh modernis Islam kebanyakan mengisi di Dewan Pengurus. Posisi Majelis Syuro pada awalnya dianggap strategis karena dapat memberikan saran dengan atau tanpa diminta juga berfungsi sebagai badan legislative. Namun dengan adanya perubahan itu Majelis Syuro hanya dijadikan sebagai penasehat saja (Noer, 1987: 80-81)
Kedua, yang melatarbelakangi memanasnya hubungan kedua kubu ini, juga alasan yang menurut Greg Fealy sebagai penyebab paling nyata ialah pertentangan antara kelompok tradisionalis dan modernis. NU merupakan organisasi terbesar dalam tubuh Masyumi (Fealy, 2009: 94). Jelas yang dimaksud pertentangan di sini adalah pertentangan ideologi atau pemahaman keagamaan antara kubu tradisionalis dan modernis.
Pertentangan antara kelompok tradisionalis dan modernis ini tergambar misalnya dalam hubungan antara kelompok Sukiman dan kelompok Natsir. Perpecahan yang bersifat kultural, antargenerasi, dan ideologis itu telah menyebabkan terbaginya loyalitas organisasional. Kelompok Sukiman didominasi tokoh-tokoh senior Jawa yang telah membangun karirnya sejak masa kolonial. Tokoh-tokoh pentingnya termasu Jusuf Wibisono, Mr. Samsudin, Abu Hanifah, dan Wali Alfatah. Di pihak lain, kelompok yang dipimpin Mohammad Natsir terdiri dari tokoh-tokoh yang lebih muda, yang kebanyakan mulai terlihat menonjol pada masa pendudukan Jepang ataupun masa Revolusi. Dukungan terhadap Natsir umumnya berasal dari non-Jawa, terutama Sumatera. Tokoh terkemukanya antara lain Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Haryono, A.R. Baswedan, dan Ki Tafiqurrahman. Dalam peta kelompok Masyumi, NU bergandengan erat dengan kelompok Sukiman. Di samping mempunyai banyak kesamaan pandangan mengenai masalah kebijakan, NU lebih menyukai kemoderatan dan keluwesan politik kelompok Sukiman daripada pendekatan kelompok Natsir yang lebih bersifat doktriner dan teknokratis (Fealy, 2009: 95). Maka ketika pucuk pimpinan beralih dari Sukiman ke Natsir, dimulailah hubungan antara NU dan Masyumi ini agak memanas.
Meski sama-sama berpendidikan di sekolah Barat, namun Sukiman dan Natsir berbeda secara kedalaman pemahaman agamanya. Sukiman tidak begitu mendalami agama Islam, malah boleh dikatakan minim. Meskipun ia tergolong dalam lingkungan modern Islam ia tidak pernah membicarakan soal agama di depan umum, ia pun tidak pernah menulis masalah agama. Menurut Deliar Noer, dapat dikatakan bahwa ia termasuk pemimpin Islam yang yakin akan ajaran Islam tetapi kurang mendalaminya sehingga dalam hal ini ia lebih banyak bergantung pada ulama baik yang tradisional mupun modern. Oleh sebab itu orang seperti Sukiman kurang memiliki alasan bersandar agama bila berhadapan dengan NU. Sedangkan Natsir berbeda dengan Sukiman. Natsir telah mempelajari Islam dengan dalam, ia termasuk kategori ulama juga. Ia bergabung dengan Persatuan Islam di Bandung di masa mudanya, dan sering menjadi pejuang pahamnya dalam berbagai kesempatan. Adakalanya pada waktu sebelum perang itu ia turut serta mewakili organisasinya berdebat dengan pihak NU yang antara lain diwakili oleh Kiai Wahab. Jadi, hubungan Natsir dengan NU sudah berlangsung lama, dan tidak selamanya mesra. Tetapi harus dilihat sebagai setaraf ulama mereka yang mungkin merasa kedudukan mereka terganggu oleh kehadiran Natsir sebagai pemimpin Masyumi (Noer, 1987: 89).
Oleh sebab itu, kalau kedua tokoh Masyumi, Natsir dan Sukiman dibandingkan, maka NU memang lebih mudah berhubungan dengan Sukiman. Dalam kenyataan, seperti yang terlihat kemudian, hubungan NU dengan kalangan berpendidikan Barat yang kurang mendalami Islam lebih rapat daripada lulusan yang sama tetapi yang telah mendalami Islam (Noer, 1987: 90). Bukan hanya hubungan antar pimpinan Masyumi dan NU yang memanas, namun juga di akar rumput. Ketika Kongres Masyumi di Yogyakarta bulan Desember 1949, pada waktu itu menurut sebagian kalangan NU, ada di antara peserta yang mulai tidak memperlihatkan rasa hormatnya kepada ulama. Peserta ini juga menganggap lulusan sekolah Belanda lebih superior dari lulusan sekolah agama. Hal ini sukar ditoleransi oleh kalangan santri, kalangan yang banyak dijumpai di dalam NU (Noer, 1987: 87).
Penarikan diri NU dari Masyumi dikukuhkan oleh kongres NU di Palembang pada bulan Oktober 1952. Kejadian yang mendorong penarikan diri ini di mulai bulan Maret 1952 ketika Rais Am Majelis Syuriah NU, KH. Abdul Wahab Hasbullah mengeluarkan pengumuman yang memuat usul tentang pembentukan kabinet baru. Ketika itu Perdana Menteri Sukiman telah menyerahkan mandatnya. Kebetulan Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi ditunjuk sebagai formatir kedua. Prawoto merasa bahwa pengumuman itu melemahkan kedudukannya berhadapan dengan rekan formatirnya, Siddik, apalagi karena keterangan Kiai Wahab itu berlawanan dengan keinginan Masyumi. Kiai Wahab mengemukakan agar kursi menteri agama dipercayakan kepada NU (Noer, 1987: 81).
Saat itu NU memberi ultimatum apabila menteri agama tidak diberikan kepada NU maka mereka akan keluar dari Masyumi. Kalangan NU merasa pihaknya selama ini masih sedikit diberi jatah di dalam kabinet dari Masyumi, tidak seperti Muhammadiyah yang selalu ada wakilnya apabila pembentukan kabinet. Namun yang menjadi acuan utama NU adalah untuk mendapatkan kuris menteri agama. Calon menteri agama dari Masyumi sebelumnya telah ditetapkan melalui pemungutan suara oleh Dewan Pengurus Partai, Faqih Usman dari Muhammadiyah terpilih sebagai menteri agama. Posisi menteri agama bagi NU memang merupakan hal penting sebab kementerian ini yang mengurusi masalah keagamaan di Indonesia (Madinier, 2013: 413). Bagi kalangan modernis, apa yang dilakukan oleh Kyai Wahab dan NU telah melanggar aturan partai, sebab keputusan posisi dalam kabinet mestinya ditentukan oleh Dewan Pengurus Partai, bukan oleh anggota istimewa.
Pada akhirnya semua anggota istimewa Masyumi memutuskan hubungan dengan partai. Ini terjadi pada puncak perpecahan hubungan antara Soekarno dengan Masyumi. Pimpinan partai setelah bermusyawarah dengan pimpinan anggota istimewa melepaskan ikatan antara anggota istimewa dan Masyumi pada 8 September 1959. Kebijaksanaan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi-organisasi bersangkutan sekiranya Masyumi sendiri mendapat hambatan dalam geraknya (Noer, 1987: 50-51).
Pasca Pecahnya Partai Masyumi
Pada tahun 1955 dilaksanakan pemilu pertama di Indonesia. Hasilnya saat itu PNI menang dengan 22,3% suara, diikuti Masyumi dengan 20,9% suara, kemudian NU dengan 18,4% suara, dan PKI dengan 16,4% suara (Madinier, 2013: 199). Hasil yang tidak jauh berbeda ketika pemilihan anggota Dewan Konstituante. Hasil bersih Pemilihan Umum 1955 menunjukkan bahwa partai Islam memperoleh kurang dari 45% dari seluruh suara yang masuk. Menurut UUDS 1950 yang juga mengatur Pemilu tersebut, suatu UUD barulah sah bila rancangannya disetujui sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir dalam rapat. Dengan demikian keinginan para pemimpin partai Islam untuk mewujudkan negara Islam atau UUD berdasarkan Islam menjadi kandas, namun perdebatan sengit terus terjadi di sidang Dewan Konstituante hingga dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 1959 (Ma’arif, 2017: 169).
Selama persidangan Konstituante, partai Islam menyuarakan aspirasinya untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Hal ini tentu saja ditentang oleh golongan nasionalis sekular juga orang-orang berhaluan komunis. Masyumi sebagaimana juga wakil-wakil partai Islam lain seperti Partai NU, PSII, dan Perti, dalam sidang tersebut mengunggulkan Islam dan menolak Pancasila sekular versi kalangan nasionalis maupun komunis. Menurut Deliar Noer dalam bukunya Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal, setidaknya ada beberapa sebab kenapa para wakil partai Islam ini bersikap demikian, pertama karena konstituante merupakan forum pembahasan terbuka dan pembanding pendapat untuk menentukan dasar negara, sebagaimana pihak dari golongan lain juga mengemukakan pendapatnya mengenai UUD dan negara berdasarkan ideologi dan pandangan mereka. Kedua karena partai Islam ini ingin mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan oleh para pemilih yang telah mempercayakan kepada mereka aspirasi umat untuk diperjuangkan. Ketiga karena masing-masing pihak ingin memperkenalkan keagungan keyakinan masing-masing, ini berarti bahwa forum ini digunakan untuk menumbuhkan pengertian terhadap apa yang diperjuangkan (Noer, 1984: 111).
Menarik apabila dilihat pada masa persidangan Dewan Konstituante ini, seluruh partai Islam meski awalnya terpecah mereka satu suara dalam sidang ini yakni untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara atau setidaknya mengembalikan Pancasila versi rumusan Piagam Jakarta. NU selalu memberikan dukungan penuh atas usulan pembentukan negara Islam dan Islam sebagai dasar negara (Fealy, 2009: 264).
Akibat perdebatan yang memanjang dan sengit ini pada akhirnya Dewan Konstituante mengalami kebuntuan, hal ini juga membuat para ulama NU khawatir, Kyai Wahab menyatakan bahwa NU harus memperlancar kerja Dewan. Pada 19 Februari 1959, PBNU tiba-tiba mendukung seruan Soekarno untuk kembali kepada UUD 1945 dengan pemahaman berarti menerima semua dokumentasi sejarah termasuk Piagam Jakarta sebagai naskah asli dan semangat dari UUD 1945 (Fealy, 2009: 267-268).
Perjuangan partai Islam di Dewan Konstituante berakhir dengan adanya Dekrit Presiden yang dibacakan pada 5 Juli 1959. Dalam konsideren dekrit presiden terdapat kalimat berbunyi, “…bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif ini merupakan suatu titik temu dan kompromi politik antara pendukung Pancasila dan Islam. Bila konsiderasi ini mempunyai makna konstitusional, maka sekalipun hanya secara implisit gagasan untuk melaksanakan syariat Islam tidaklah dimatikan. Inilah tafsiran yang akurat dan adil terhadap kaitan antara Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan Piagam Jakarta (Ma’arif, 2017: 245). Jadi dapat dikatakan perjuangan partai Islam selama sidang Konstituante tidak sepenuhnya gagal. Hasil dari bersatunya suara para tokoh partai Islam ini berhasil menghalangi keinginan untuk meniadakan unsur agama atau Ketuhanan dalam dasar negara yang diwacanakan oleh kalangan sekularis dan komunis.
Kesimpulan
Setidaknya ada tiga alasan atau sebab yang melatar belakangi perpecahan partai Masyumi. Yang pertama adanya perbedaan kepentingan antar organisasi Islam. Dalam hal ini antara NU, PSII, dan pengurus Masyumi memiliki perbedaan tujuan kepentingan. PSII yang menyatakan diri mundur misalnya dengan alasan untuk menjaga kestabilan bangsa sehingga memilih masuk ke dalam kabinet Amir Sjarifuddin setelah sebelumnya Masyumi menyatakan diri menolak masuk. Sebab kedua ialah pembagian kekuasaan yang tidak merata. Setelah adanya perubahan dalam AD/ART yang melemahkan posisi Majelis Syuro yang kebanyakan diisi oleh para ulama NU, sedangkan Dewan Pengurus Partai kebanyakan diisi kalangan modernis terutama dari Muhammadiyah, di sini kalangan tradisionalis terutama NU merasa bahwa posisi mereka tidak memiliki pengaruh apa-apa dalam menentukan kebijakan partai. Ditambah lagi dengan pembagian jatah kursi untuk kabinet di mana NU merasa mereka jarang diberikan kesempatan. Sebab ketiga ialah akibat perbedaan ideologi atau pemahaman keagamaan antara kubu tradisionalis dan modernis. Bagaimana pun perbedaan tersebut tak terelakkan. Perbedaan latar belakang pendidikan dan sosio-agama kedua kubu membuat perbedaan dalam memandang dan menentukan sikap pula.
Pada masa Demokrasi Liberal atau kurun waktu 1950-1959 ini, meski mengalami perpecahan dan konflik dengan segala perbedaannya, namun ada kalanya partai Islam dari berbagai kalangan ini bersatu. Apabila menyangkut kepentingan agama Islam, pera pimpinan dan tokoh partai Islam bisa menjadi kompak satu suara. Ketika persidangan Dewan Konstituante misalnya, baik Masyumi, NU, maupun PSII dan partai Islam lainnya sama-sama sepakat dalam memperjuangkan dasar negara Islam, serta melawan paham sekularisme dan komunisme.
Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Fealy, Greg. 2009. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 2017. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Bandung: Mizan.
Madinier, Remy. 2013. Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral. Jakarta: Mizan.
Nasihin. 2012. Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
__________. 1984. Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal. Jakarta: PT. Paradigma Press.
__________. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Poesponegoro, Marwati Djoenoed & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka
Wirawan, I. B. 2015. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definis Sosial, dan Perilaku Sosial. Jakarta: Prenadamedia Group.