Kumandang azan subuh masih menggantung merdu di langit Desa Kanigoro, Kediri. Sudah empat hari, pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia (PII) itu dihelat pertengahan Januari 1965. Bulan ramadhan nan syahdu, membuat semua larut dalam khusyuk beribadah.
Berdiri, rukuk dan sujud hingga salam di sepenggal subuh. Sejenak, usai shalat, beberapa anak-anak pelajar Islam ini membuka mushaf. Anas Abioso, salah satu Pembina PII bersiap-siap untuk naik ke mimbar, berkuliah subuh.
“Duar….duar…” Suara ledakan dan tembakan tiba-tiba menyeruak di depan sana. 127 peserta kebingungan bertanya-tanya, ada apakah ini? Training mental PII se-Jawa Timur berubah menjadi ladang peperangan dengan suara tembakan di mana-mana.
“Saya masih ingat betul, tiba-tiba usai shalat subuh saat saya kembali berjaga di pintu, tiba-tiba terdengar suara keras di sekeliling tempat kami mengadakan pelatihan. Ribuan orang PKI dari BTI dan Pemuda Rakyat datang tiba-tiba langsung mengikat tangan saya,” kenang Ibrahim Rais (73) kepada Tim JIB – JITU di kediamannya di Kediri.
Tiba-tiba saja ribuan orang itu sudah sampai ke dalam Masjid, masuk tanpa membuka alat kaki. “Mereka masukkan al Quran ke dalam karung dan diinjak-injak di depan mata kami,” lirih Ibrahim Rais yang saat itu sudah diikat tangannya.
“Mereka melakukan penjarahan kemudian penyiksaan, pelecehan terhadap perempuan, penghinaan, mengotori masjid dengan menginjak dengan kaki yang kotor, kemudian merampas semua alat-alat termasuk al Quran,” kenangnya.
“Bahkan saya lihat sendiri mereka mengangkat al Quran dan berteriak,’ ini toh yang membuat kudisan?’ Kemudian membantingnya,” kata Ibrahim geram.
“Bunuuuuuh…bunuuuuuh…” riuh di segala penjuru.
Golok, arit hingga senjata tajam lainnya sudah menempel di leher para peserta Training PII yang tangannya sudah terikat. “Di sana juga ada Kiai Jauhari, kami tak tega melihatnya,” kata Ibrahim.
“Kepala saya digeplak. Kami diintimidasi. Leher ini diikat seperti kerbau, lalu mereka menggiring kami berjalan,” kata Ibrahim Rais. Entah, mereka berjalan ke mana Ibrahim saat itu tak menghiraukan. Hanya saja riuh dan sorak-sorai menyertai mereka.
“Ganyang PII, Antek Nekolim, Anak-anak Masyumi,” teriakan massa saat itu.
Selain Ibrahim Rais, ada juga Zainudin yang saat itu menjadi Ketua Karasidenan Daerah (KD) PII Kediri. Sebagai penanggung jawab acara, Zainudin mengaku kaget mengapa tiba-tiba orang-orang PKI menyerang mereka.
“Saya saat itu sedang di asarma putri. Posisi saya sedang wudhu, tiba-tiba suara ledakan terdengar di mana-mana. Saya saat itu menunggu di dalam toilet,” kata Zainudin (78) kepada Tim JIB – JITU.
Dari dalam toilet, ia mendengar perbincangan orang-orang PKI. “Saat itu saya dengar, ‘ini kok cuman segini. Gurunya kurang satu’,” kata Zainudin sambil terkekeh. “Ya itu saya orangnya satu lagi itu. Hebatnya mereka, mereka tahu kalau saya tidak ada di sana,” tambahnya.
Setelah dicari ke sana ke mari, akhirnya Zainudin ditemukan. Langsung saja tangannya diikat dan digiring. “Kami berjalan digiring kira-kira selama sejam lebih sampai matahari mulai terang. Rupanya kami diserahkan ke kantor polisi yang juga mungkin banyak orang PKI nya,” kenang Zainudin.
Intimidasi dan terror, rupanya tak membuat Ibrahim Rais maupun Zainudin gentar. “Saya merasa tenang, dan belum saatnya dibunuh sekarang. Ternyata benar, kami diserahkan ke kantor Polisi oleh Suryadi, pimpinan mereka,” kata Ibrahim Rais.
Setelah kejadian, Ibrahim Rais menyadari bahwa teror Pemuda Rakyat dan BTI kepada mereka merupakan test case. “Di situlah kami mendapatkan informasi bahwa peristwa itu mempunyai tujuan tertentu,” katanya.
Pertama, menurut Ibrahim untuk melatih kader-kader muda PKI dengan cara latihan menyerang, menyerbu musuh . ”Setiap komunis melakukan kudeta, senantiasa ditandai dengan pembantaian terhadap lawan-lawannya, apa itu Rusia, Cina, Kamboja yang telah menelan banyak korban,” kata Ibrahim.
“Mungkin, seandainya komunis menang, maka tentu kami umat islam aparat dan Negara yang bukan komunis pasti akan dibantai. Dan kami tegaskan bahwa di Kanigoro di desa Keras kabupaten Kediri desa Medoksari dan desa karangtalon sudah kita dapati lubang-lubang besar yang banyak, saya lihat sendiri,” kata Ibrahim.
Pasca peristiwa Kanigoro, kader muda PII Anis ditangkap bersama pimpinan muda PKI Suryadi. “Kedua tokoh ditangkap dan disidangkan. Setiap sidang, kami datang unjuk kekuatan,” kata Zainudin.
Saat Suryadi disidang, para pendukungnya datang dengan membawa bendera PKI, BTI hingga Pemuda Rakyat. “Suasana sangat riuh, kami datang dalam sidang-sidangnya. Sidang tak kunjung usai hingga peristiwa G-30 September. Anis dibebaskan dan kami jemput sebagai pahlawan,” pungkasnya.
Oleh: Rizki Lesus – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)