Persaingan masa kampanye akhirnya menemui ujungnya tatkala pada 29 September 1955 diadakan pemlihan umum pertama di Indonesia. Sebanyak 37. 875. 299 orang mengikuti pemilu. Artinya tingkat partisipasi warga cukup tinggi, yaitu 87,65% dari yang terdaftar mengikutinya. Meski ada beberapa kendala, namun secara keseluruhan pemilihan umum pertama di Inonesia ini ini berjalan lancar.[1]

Kabinet Burhanuddin Harahap dilantik hanya beberapa bulan sebelum pemilu 29 September 1955. Pemilihan umum itu diadakan dua kali, yaitu 29 September 1955 untuk memilih 257 anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih 514 konstituante.  Pertarungan ideologi tak ayal menajamkan persaingan pada pemilu 1955, terutama dua ideologi yang bertentangan, yaitu Islam dan komunisme. Suasana panas kampanye pemilu sudah dimulai sejak 31 Mei 1954.

          Kampanye Pemilu 1955 ditandai dengan pemasangan lambang-lambang partai, rapat-rapat raksasa (atau kala itu dikenal dengan rapat samudera) di depan massa hingga pemutaran film. Meski ada banyak peserta, beberapa partai besar amat aktif berkampanye. Simbol-simbol partai seperti PNI dengan banteng atau NU dengan bola dunianya mewarnai pemandangan kampanye, Masyumi dengan bulan-bintangnya dan PKI dengan palu aritnya. Pemakaian billboard dan spanduk-spanduk menjadi andalan partai terutama Masyumi dan PKI yang mengeluarkan dana yang banyak untuk hal itu. Ada pula pencetakan brosur-brosur bagi masyarakat. Namun bagi NU dan PNI hal ini tak banyak dilakukan oleh mereka. Masing-masing dengan keunggulan dan kekhasan tersendiri. PNI, Masyumi, PKI dan NU adalah keempat partai yang menarik perhatian saat kampanye.

Alat peraga kampanye menghiasi Pemilu 1955. Sumber foto: Howard Sochurek. Koleksi Google Arts and Culture.

          PNI memanfaatkan jaringan birokrasinya mampu menggalang suara-suara hingga ke desa-desa lewat aparatur pemerintah seperti lurah. Sedangkan Masyumi dan NU dengan jaringan ulama yang telah terbangun sejak lama mampu menjangkau perkotaan dan pedesaan. Perbedaannya hanya terletak di jangkauan wilayahnya saja. Jika Masyumi merata di Jawa dan luar Jawa, maka NU mengandalkan basisnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

          ‘Perang’ diperkotaan terjadi terutama antara PKI dan Masyumi. PKI mengandalkan jaringannya di organisasi terutama buruh sulit ditandingi oleh partai lainnya. Memang setiap partai memiliki organisasi seperti buruh atau tani yang berafiliasi dengan partai lainnya. Namun harus diakui dalam organisasi seperti buruh dan tani-lah PKI memiliki basis massa yang kuat.

          Rapat-rapat raksasa menjadi ajang pertarungan bagi Masyumi dan PKI. Masyumi bahkan mengadakan pertunjukan film. Suatu hal yang belum lazim pada saat itu. Salah satunya adalah pemutaran film kunjungan M. Natsir ke Sulawesi.[2] Rapat-rapat akbar Masyumi berlangsung meriah. Nama-nama seperti M. Natsir, KH Isa Anshary, Sjarif Usman, Ny. Saleha Thabrani, Ny. Nadimah Tanjung, Said Sungkar, dan Dalari Umar menghiasi rapat-rapat raksasa Masyumi.[3]

          Retorika dan jargon-jargon kampanye menghiasi rapat raksasa. Sebelum kampanye dimulai, hymne Masyumi yang dikarang oleh penyanyi tenar, S. Effendi, diputar. Jika dalam rapat-rapat raksasa partai Islam membuka dengan mengucapkan “Assalamualaikum,” PNI membuka dengan pekik “Merdeka!,” maka PKI membuka dengan teriakan “Bebas!” Jargon-jargon kampanye mulai membahana dalam rapat raksasa. Dalari Umar misalnya, mengajak massa berdialog,

          “Dalari Umar: Palu Arit…

          Massa: Dikubur…

          Dalari Umar: Pala banteng..

          Massa: Di dapur….

          Dalari Umar: Bulan bintang…

          Massa: Di luhur…”[4]

          Kampanye bahaya komunis memang digaungkan oleh Masyumi. Terbitnya fatwa dewan syuro Masyumi menjadi salah satu landasan dalam kampanye tersebut. Salah satu figur yang menonjol tak lain adalah KH Isa Anshary yang menjadi tokoh Front Anti Komunis. Ia dikenal sebagai orator handal di podium. Kata-katanya amat frontal. Pedas dan panas ditelinga. Bukan hanya PKI, tetapi juga Soekarno tak lepas dari kritik-kritiknya yang tajam. Salah satunya ketika di Taman Wijaya Kusuma ia mengeritik Soekarno karena membiarkan tayangan film Tango di banyak bioskop di Jakarta.[5]

Natsir di podium Masyumi saat kampanye Pemilu 1955. Sumber foto: Howard Sochurek. Koleksi Google Arts and Culture.

          Tokoh lain yang dikenal lebih tenang, seperti Sukiman Wirjosandjojo juga mengampanyekan hal yang sama. Dalam kampanyenya di Alun-alun kota Garut pada 11 September 1955, Sukiman mengingatkan agar umat Islam waspada terhadap pengkhianatan kaum komunis. Ia mengingatkan supaya umat Islam berjaga-jaga dari kemungkinan kaum komunis mengacaukan pemilu. KH Isa Anshary bersikap lebih frontal dalam kampanyenya. Ia menyebut kaum komunis sebagai kafir dan menyerukan agar mereka tak dimakamkan secara Islam.[6]

          Nama lain misalnya Sjarif Usman, ketua dewan redaksi Suara Masjumi. Dikenal sebagai ‘jago pidato.’ Sosoknya dikenal dengan berkaca mata hitam, seperti Soekarno.  Di depan massa pendukung Masyumi, ia mengajak para pendukung dan simpatisan PKI. Pendekatannya yang lunak ditunjukkan olehnya pada bulan April 1955 di Kota Solo dengan berseru kepada umat Islam yang bergabung dengan PKI, SOBSI, atau organisasi komunis lainnya agar kembali ke dalam partai atau orgaisasi Islam. Seruan itu menurutnya bukan karena ia membenci komunis, melainkan sayang dan sedih jika umat Islam itu hanyut dalam kesesatan sampai akhir hayatnya lantaran bergabung dengan partai atau organisasi komunis.[7]

          Partai NU saat itu menggelorakan empat tema kampanye, yaitu; Pertama, NU hanya loyal kepada Negara Republik Indonesia yang diproklamrikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Kedua, loyalitas NU dilandasi semangat menggalang kerjasama Islam-Nasionalis agar tidak terpecah belah. Ketiga, Menentang paham komunisme dan segala bentuk atheism yang lain. Keempat, membela enam perkara inti hak azasi manusia, yaitu agama, keselamatan nyawa, harta benda, keturunan, akal pikiran, dan kehormatan.[8]

          Kampanye Partai Islam dengan kampanye anti-komunisnya dibalas oleh PKI dalam rapat-rapat raksasa mereka. Ridwan Saidi yang mengikuti rapat-rapat raksasa PKI, menyebutkan bahwa PKI seringkali memfitnah para tokoh partai Masyumi dengan menyebut mereka bergaya hidup Barat dan tokohnya mengadakan pesta dansa di rumahnya. Juru Kampanye PKI juga menyatakan bahwa, jika partai Islam menang, maka Lapangan Banteng akan diganti menjadi Lapangan Onta. Lagu Indonesia Raya akan diganti dengan Marhaban. Bahkan kata-kata kotor seperti “Tai” menghiasi kampanye mereka.[9]

          Di Surabaya misalnya, rapat-rapat raksasa antara PKI dan Front Anti Komunis dilakukan dipemukiman kumuh dan saling berdekatan. Kampanye komunis dimeriahkan dengan ludruk dan pertandingan tinju. Di sebuah lapangan kecil yang dihiasi bendera-bendera palu arit dan lampion-lampion. Diawali dengan pidato politik yang mendukung Front Persatuan Nasional dan ketidaksukaan terhadap pertarungan politik dan pembunuhan tokoh, membumbui dengan mengejek politisi muslim yang menyerang komunis. Hanya ada beberapa ratus orang yang hadir mendengarkan pidato komunis tersebut. Di dekatnya ada ribuan orang mendengar politisi Muslim berkobar-kobar berpidato. Orang tersebut dahulu pernah menjadi buruh komunis kemudian bertobat, setelah mengunjungi Moskow.[10]

          Massa kadang diliputi rasa ingin tahu, ada juga yang merasa terhibur jika ejekan terhadap lawan sekmakin keras. Setelah pidato tokoh Muslim tersebut selesai massa lalu kembali menonton ludruk di kampanye komunis. Namun tidak semua juga senang dengan kampanye yang terlalu keras. Di Mojokerto, kampanye yang terlalu keras dan tajam menyerang lawan tak diminati. PKI yang menyajikan hiburan malah lebih digemari. Tak semua massa memang berorientasi untuk mendapatkan rujukan pilihan politik. Sebagian hanya mencari hiburan.[11]

          Di Surakarta, Jawa Tengah, pada bulan Februari 1955, PKI menggelar Rapat Umum yang diselingi pertunjukan seni drama yang dipentaskan oleh kelompok-kelompok binaan Lekra. Para seniman Lekra juga turut berkiprah misalnya dengan melukis logo palu arit yang dilukis oleh Md. Hadi. Ada pula pertunjukan musik oleh musisi pendukung Lekra. Salah satunya menyanyikan lagu “Pangkur Paluarit.”[12]

          Di Jawa Tengah pula, kampanye KH Isa Anshary yang disambut meriah pendukung Masyumi dengan iring-iringan mobil. Hal ini menjadi obyek celaan PKI. Mereka menyebut kampanye tersebut sebagai golongan borjuis dan kapitalis yang hendak mempertontonkan kemewahannya. Maka ditempat yang sama, kampanye Aidit dari PKI disambut dengan iring-iringan oplet. Memberi kesan kerakyatan. Model kampanye seperti ini kemudian ditandingi lagi oleh NU dengan membawa KH Idham Chalid yang dibonceng sepeda motor.[13]

          Ridwan Saidi juga menyebut bahwa jika juru kampanye partai Islam berpakaian rapih, bersarung dan berpeci, maka pawai Pemuda Rakyat dari PKI berpakaian compang-camping, membawa senjata tajam seperti golok, rantai dan pentungan. Nampaknya visualisasi yang hendak ditampilkan PKI terkait dengan upayanya merebut simpati kalangan miskin termasuk gelandangan. Retorika kampanye PKI memang terkait dengan isu-isu seperti ketimpangan kelas yang bertentangan termasuk pembagian tanah. Di Perkotaan, PKI disinyalir menggalang gelandangan dari Jawa Tengah dan Timur untuk menuai suara pada pemilu 1955.[14]

          Para gelandangan ini tinggal berselimut di depan  Istana Negara. Rumah-rumah liar ini pada saat itu lazim dikenal dengan ‘Rumah Keong.’ Penggalangan gelandangan ini juga sebagai bagian dari upaya penyerobotan tanah negara yang dilakukan oleh mereka. Aksi ini dikoordinir dengan membentuk Komite Rakyat. Komite Rakyat juga menjadi pembela bagi anggota mereka yang terjerat persoalan hukum. Penyerobotan tanah ini tak ayal mengingatkan kita pada aksi penyerobotan tanah oleh pemukim liar yang memicu peristiwa Tanjung Morawa.

Kampanye PKI pada pemilu 1955. Sumber foto: Howard Sochurek. Koleksi Google Arts and Culture.

          Persoalan di Ibu kota termasuk soal kriminalitas adalah karena ekses dari pengangguran dan akhirnya menempuh cara-cara hidup yang tidak normal seperti menjadi pencuri, perampok, pengemis, pelacur dan lain-lain. Oleh sebab itu  kesadaran politik rakyat harus dibangun termasuk dalam menghadapi persoalan kelangkaan dan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok terjadi.[15]

          Orientasi politik masyarakat perkotaan pada masa itu memang kentara. Bahkan dapat dilihat dari gambar-gambar yang digantung di rumahnya. Jika seorang keturunan Tionghoa mendukung komunis maka ia menggantung foto Mao Tse Tung di warungnya, namun jika ia anti komunis, maka ia menggantung foto Chiang Kai Sek. Pendukung IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) menggantung foto Jenderal Nasution, sementara pendukung warga Betawi pendukung NU atau Masyumi terkadang menggantung gambar Buraq di rumahnya. Pendukung Komunis menggantung foto Marx atau Lenin. Di warung-warung, Harian Abadi biasa tersaji jika pemiliknya pendukung Masyumi. Sedangkan Harian Rakjat menjadi sajian jika pemilik warung pendukung PKI.[16]

          Persaingan antar partai dalam kampanye bukan saja terjadi di perkotaan, tetapi sampai ke pelosok desa. Persaingan di pelosok desa-desa menjadi semakin sulit dengan sulitnya akses ke lokasi tersebut. Biasanya, jika partai belum memiliki akses ke sebuah desa, maka orang pertama yang didatangi adalah kepala desa atau pemuka agama. Kebanyakan kepala desa biasanya merupakan pendukung PNI, namun ada pula yang mendukung partai Islam seperti Masyumi. Tokoh lain yang menjadi berpengaruh dalam eksistensi partai di desa adalah dukun. Biasanya menjadi penyokong PKI atau PNI.[17]

          Jaringan Masyumi di pedesaan biasanya ditopang oleh eksistensi ulama setempat. Sedangkan PKI memiliki pengaruh yang cukup kuat di pedesaan karena aksi-aksi sosial mereka, baik yang terang-terangan ataupun terselubung, seperti menciptakan saluran air dan lainnya. Di pedesaan, PKI juga didukung oleh organisasi petani atau perkebunan. Namun situasinya tidak serta merta hitam-putih. Di daerah perkebunan Sumatera Utara misalnya, para manajer perkebunan khawatir dengan eksistensi kelompok komunis diantara kaum buruh perkebunan. Oleh karena itu mereka dengan senang hati mengundang para pendakwah yang menekankan sikap sabar dan mengarahkan untuk mendukung ketertiban sosial untuk membendung pengaruh kaum komunis, sehingga dijuluki ‘antek imperialis.’ Sementara bagi para pendakwah, mereka sadar sedang ‘dimanfaatkan’ oleh para manajer perkebunan, namun mereka tak ambil pusing selama bisa memberi ketenangan rohani dan mengajar bahasa Arab, dan para buruh pun senang jika anak-anak mereka mendapatkan pendidikan.[18]

          Solidnya organisasi yang digalang oleh PKI memang memberi kontribusi signifikan. PKI di bawah Aidit menjadi partai yang solid secara organisasi. Hal itu dapat dilihat dari jumlah anggota yang terus bertambah secara pasti. ‘Anggauta-Petjinta’ mereka bertambah, dari 7910 pada awal tahun 1952, 165 ribu pada Maret 1954, dan satu juta anggota pada Februari 1956.

          Ada banyak spekulasi dan pertanyaan seputar sumber dana kampanye PKI. Jika Masyumi menyandarkan sumber dananya pada solidaritas simpatisan dan anggota, terutama lewat zakat untuk mendukung jihad fi sabilillah, dan donator mereka yang terdiri dari pengusaha seperti perkebunan dan batik. Maka lain halnya dengan PKI. PKI mengandalkan keuangan kampanye mereka dari iuran anggota dan sumbangan dari pengusaha simpatisan partai yang utamanya berasal dari etnis Tionghoa. Namun menurut Herbert Feith sangat mungkin dana PKI juga berasal dari negara komunis lainnya.[19]

Kemeriahan kampanye pendukung Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sumber foto: Howard Sochurek. Koleksi Google Arts and Culture.

Bagi Masyumi sendiri, Pemilu 1955 memiliki arti penting bagi perjuangan politik Islam di Indonesia. Pada 24 Ferbuari 1953, Majelis Syura Partai Masyumi mengeluarkan fatwa tentang hukum Pemilu. Fatwa tersebut menyatakan wajibnya Pemilu untuk membentuk parlemen dan konstituante. Maka bagi muslim dan muslimat yang mukallaf wajib ikut memilih calon-calon yang berjuang demi kemenangan Islam. 

          Partai Masyumi berupaya melawan pengaruh komunisme dengan menyebarkan brosur-brosur terkait komunisme saat menjelang pemilu. Salah satunya berjudul “Waspadalah Menjelang Pemilihan Umum” yang berisi kejahatan PKI di masa lalu. PKI menanggapi brosur tersebut dengan menyebutnya sebagai kepalsuan dan membuktikan kebenaran pandangan PKI tentang Masyumi yang dianggap komprador asing, pembela imperialis dan lainnya.[20]  Brosur Masyumi lainnya berjudul, “Kami Memanggil!”. Diterbitkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Masjumi Bahagian Penerangan Djakarta,. brosur tersebut mengingatkan kaum muslimin,

 “…jang memasuki partai komunis (PKI) atau mengikuti golongan komunis (SOBSI, BTI, GERWANI, GERWIS) kami berseru supaja mereka meninggalkan partai dan golongan itu dan kembali ke dalam Islam, kami mengharap supaja seruan kami ini tidak dirasakan oleh kaum Muslimin jang masih dalam lingkungan komunis sebagai serangan terhadap mereka. Seruan ini keluar dari hati Islam menudju hati orang Islam jang telah tersesat mengikuti kaum komunis. Mudah2an hati kaum Muslimin jang terpeleset masuk komunis itu, akan dapat menerima seruan ini dengan kembali kepada djalan jg. benar, jaitu Islam.”[21] 

          Bagi Masyumi penolakan terhadap komunisme menjadi salah satu tema penting dalam kampanye mereka. Sedangkan PKI menyerang Masyumi selain dengan tuduhan antek imperialis, tuan tanah dan lainnya, juga menyerang dengan isu Negara Islam. Isu ini berkali-kali ditepis oleh para tokoh Masyumi dan seringkali juga NU (karena mereka memperjuangkan hal yang sama di Konstituante, yaitu Islam sebagai dasar negara). Menurut Masyumi, Indonesia tidak akan menjadi Negara Islam dalam arti teokrasi, tetapi Islam menjadi dasar negara.

          Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) seringkali (jika tak ingin dibilang selalu) menjadi sasaran tembak PKI dengan disebut sebagai antek dari kapitalis dan imperialisme Amerika. Padahal Islam dalam pandangan tokoh Masyumi adalah jalan tengah dari kapitalisme dan komunisme. Islam mengakui kepemilikan pribadi namun di saat yang sama juga mendorong keadilan sosial. Sjafrudin Prawiranegara menyebutkan, “Kalau kita mempelajari Al-Qur’an dan Hadis, maka teranglah bahwa Islam, sejak semula, meskipun mengakui motif laba, mengikat motif itu kepada syarat-syarat moral, sosial dan temperance (pembatasan diri)…”[22]

Aidit di podium Kampanye PKI. Sumber foto: Howard Sochurek. Koleksi Google Arts and Culture.

          PKI sendiri dalam kampanyenya menyerukan programnya, yaitu Pemerintah Demokrasi Rakyat. Maksudnya diktatur rakyat yang dipimpin oleh kelas buruh. Menurut Aidit dalam Manifest Pemilihan Umum,

 “Diktatur Rakyat berarti kekuasaan kaum buruh, kaum tani, kaum inteligensia, kaum pengusaha kecil dan pengusaha nasional, pendeknja kekuasaan semua tenaga nasional jang demokratis, terhadap kaum imperialis, kaum komprador, kaum tuan tanah dan golongan2 pengisap lainnja. Sonder diktatur rakyat tidak mungkin mencapai Indonesia jang merdeka penuh dan demokratis.”[23]

Manifest Pemilihan Umum PKI juga menyerang Masyumi, PSI dan Mohammad Hatta. Menurut mereka,

“Kalau tidak menginginkan krisis ekonomi berlangsung terus, djanganlah diserahkan pimpinan pemerintah kepada Masyumi-PSI. Memilih Masjumi-PSI berarti bahwa gunting uang akan kembali lagi, larangan mogok akan kembali lagi, Razia Agustus dan Kudeta 17 Oktober akan kembali lagi, DI-TII makin mengganas, harga barang makin meningkat dan harga karet tambah merosot. Memilih Hatta berarti bahwa Provokasi Madiun akan berulang kembali.”[24]

          Pemilu 1955 akhirnya memberi banyak kejutan. PNI Berjaya menjadi pemenang pemilu 1955 dengan 8.434.653 suara. Karisma Soekarno memang tak bisa dipungkiri menjadi daya jual PNI. Meski demikian faktor jaringan birokrasi yang dimiliki PNI juga turut mendukung perolehan suaranya. Masyumi berada diperingkat kedua dengan perolehan suara 7.903.886. Suara Masyumi secara mengejutkan digerus oleh Partai NU, yang sebelumnya tak diduga akan berpengaruh. Perolehan suaran Masyumi akhirnya hanya memperoleh 57 kursi di parlemen. Setara dengan PNI. Sementara NU mendapat 45 kursi. Di peringkat empat PKI menjadi partai yang diperhitungkan dengan 6.176. 914 suara dan mendapat 39 kursi.[25]

          Perolehan suara pasca pemilihan umum ini akhirnya menentukan peta kekuatan politik di Indonesia. Hanya Masyumi yang memperoleh suara merata. NU memperoleh suara di basis Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan PKI membangun basisnya di Jawa Tengah dan Timur hanya dalam hitungan lima tahun.  Aidit membuktikan mampu membangun partainya dalam waktu singkat.

            Salah satu penopang utama PKI di Surabaya adalah jaringan Rukung Kampung Kota Surabaya (RKKS). Semacam jejaring komunitas warga. Mereka berperan di masyarakat mulai dari menjaga keamanan warga hingga akhirnya menyentuh persoalan orientasi politik. Boyd Compton, peneliti asal Amerika Serikat yang sempat singgah di Surabaya selama beberapa waktu menegaskan betapa kuatnya pengaruh PKI di Surabaya. Menurutnya,

 “Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, telah menjadi benteng komunisme. Dalam jaringan rapi jalan-jalan modern Surabaya dan kampong-kampung kumuhnya, 750.000 penduduknya terkepung, tertekan dan terpimpin oleh sistem sel, serikat buruh dan front-front organisasi partai komunis. Para pejabat pemerintah dan organisasi antikomunis sedang berjuang sia-sia dalam jarring ini.”[26]

          M. Natsir dalam pernyataannya menilai hasil pemilu 1955 dengan getir menyebutkan,

“Pemilihan umum telah membuka tabir asap jang tadinja meliputi pikiran dan pemandangan kita. Jakni tadi kita ummat Islam senantiasa merasakan diri besar djumlahnja. Ada jang mengirakan sebesar 80 persen malah ada jang mengira 90 persen. Dengan pengiraan itu tadinja kita merasa bahwa dengan pemilihan umum, sudah pasti kita dapat mendjalankan dan melaksanakan tjita2 Islam. Tetapi sekarang ternjata bahwa semua mereka jang menamakan dirinja ummat Islam itu tidak sama merata dukungan mereka itu kepada ideologie Islam. Bukti jang dihasilkan oleh pemilihan umum itu ialah bahwa kurang dari 50 persen jang telah setia mendukung ideologie Islam.”[27]

          PKI sebaliknya, menyambut gembira hasil pemilu dan menyebut perolehan suara PKI bukti bahwa eratnya hubungan PKI dengan massa kaum buruh dan “Politik anti-kolonialisme, politik perdamaian, politik membela dan mengembangkan azas2 demokrasi dari Republik, dan politik persatuan nasional jang didjalankan oleh PKI tidak hanja telah dapat menarik ber-djuta2 kaum buruh dan kaum tani untuk memilih PKI, tetapi djuga telah dapat menarik pemilih2 dari kalangan pegawai negeri, kalangan inteligensia, seniman, pradjurit dan polisi.”[28]

          Perolehan suara Masyumi sendiri dinilai Aidit sebagai kekalahan kaum imperialis asing. Hasil pemilu 1955 sendiri memberi hasil yang mengejutkan untuk Partai NU. Berada dalam posisi empat besar membuat NU memiliki daya tawar lebih besar dalam panggung politik. Hasil Pemilu menjadi konstalasi politik yang memanas. Bukan saja membuat peta politik partai-partai berubah, namun juga peran Soekarno yang bergeser pasca pemilu 1955.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)


[1] Feith, Herbert. 1971. The Indonesian Election of 1955. Interim Report Series, Modern Indonesia Project. Cornell University, New York.

[2] Feith, Herbert. 1971.

[3] Saidi, Ridwan. 2006. Lakon Politik “Che Guevara Melayu” : Dokumentasi Teror PKI 1955-1960. Jakarta: Institute for Policy Studies (IPS)

[4] Saidi, Ridwan. 2006.

[5] Saidi, Ridwan. 2006.

[6] Samsuri. 2004. Politik Islam Anti Komunis: Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Safiria Insania Press bekerja sama dengan Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia.

[7] Samsuri. 2004.

[8] Zuhri, KH. Saifuddin. 2013.

[9] Saidi, Ridwan. 2006.

[10] Compton, Boyd R. 1993. Kemelut Demokrasi Liberal. Jakarta: LP3ES

[11] Compton, Boyd R. 1993.

[12] Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tidak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965). Yogyakarta: Merakesumba.

[13] Zuhri, KH. Saifuddin. 2010. Mbah Wahab Hasbullah: Kiai Nasionalis Pendiri NU. Yogyakarta: LKiS

[14] Saidi, Ridwan. 2006.

[15] Utomo, Satriono Priyo. 2017. Suara Merah Ibukota: Geliat Politik Partai Komunis Indonesia Comite Djakarta Raya. Indoprogress.com.  (https://indoprogress.com/2017/03/suara-merah-ibukota-geliat-politik-partai-komunis-indonesia-comite-djakarta-raya/

[16] Saidi, Ridwan. 2006.

[17] Feith, Herbert. 1971.

[18] Feith, Herbert. 1971.

[19] Feith, Herbert. 1971.

[20] Samsuri. 2004.

[21] Dewan Pimpinan Partai Masjumi. Tanpa Tahun. Kami Memanggil. Jakarta: Dewan Pimpinan Partai Masjumi Bahagian Penerangan.

[22] Prawiranegara, Sjafruddin. 2011. Apa yang Dimaksud Sistem Ekonomi Islam? dalam Ekonomi dan Keuangan: Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

[23] Manifes Pemilihan Umum P.K.I. dalam Kongres Nasional ke- V Partai Komunis Indonesia. Bintang Merah Tahun ke-IX, Feberuari Maret 1954.

[24] Manifes Pemilihan Umum P.K.I. dalam Kongres Nasional ke- V Partai Komunis Indonesia. Bintang Merah Tahun ke-IX, Feberuari Maret 1954.

[25] Feith, Herbert. 1971.

[26] Compton, Boyd R. 1993.

[27] Madinier, Remy. 2013. Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral. Jakarta: Mizan.

[28] Aidit, D.N. 1959. Selamatkan dan Konsolidasi Kemenangan Front Persatuan dalam D. N. Aidit Pilihan Tulisan Djilid 1. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here