Solichin Salam, salah satu wartawan, tokoh pers dan sejarawan terkemuka di masanya. Sepanjang hidupnya beliau mengabdi untuk kerja jurnalistik dan menulis biografi tokoh-tokoh nasional. Salah satu master piece karya Solichin Salam ialah biografi Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno Putera Fajar (PT Gunung Agung, 1966). Buku tersebut terbit di saat kekuasaan Soekarno mulai goyah. Bung Karno merestui penulisan biografinya oleh Solichin Salam dan memberi petunjuk langsung melalui serangkaian wawancara khusus. Di bagian akhir buku itu, Solichin Salam melukiskan peristiwa, Jatuhnya Seorang Presiden, dan Saat Magrib Telah Tiba.
Kesetiaan terhadap profesi sebagai pengarang, sekalipun tidak menjanjikan kekayaan secara materi,merupakan salah satu nilai dedikasi yang mengharumkan namanya. Solichin Salam layak dikenang sebagai tokoh literasi dan pejuang perbukuan Indonesia. Pengabdian dan karyanya dapat membangkitkan motivasi dan inspirasi, terutama bagi generasi muda, dalam rangka pembangunan karakter bangsa.
Saya kenal Solichin Salam sebagai pribadi yang hangat, terbuka, simpatik dan sederhana. Dalam beberapa kesempatan silaturahim ke rumahnya, beliau memberi kenang-kenangan buku terbarunya. Setiap buku yang dihadiahkannya selalu ditulis “Untuk Sdr. Fuad Nasar” dan ditanda-tangani.
Putera Kudus
Pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 17 Oktober 1933 itu barangkali satu-satunya Warga Negara Indonesia yang memiliki akta peringatan kelahiran ditanda-tangani oleh Proklamator Kemerdekaan RI,Soekarno dan Mohammad Hatta. Solichin Salam kuliah di Akademi Wartawan Jakarta (1959) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1961 – 1963). Ia juga belajar dan mendapat bimbingan langsung dari Prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat, Prof. Dr. R. Ng. Purbatjaraka, Prof. Dr. R. Soekamto danProf. Dr. Sutjipto Wirjosuparto.
Pada tahun 1969 Solichin Salam dikirim oleh Departemen Tenaga Kerja RI untuk mengikuti pendidikan Labour Leadership pada ALLI University of the Philippines, Quezon City, Manila. Sekitar tahun 1970, ditugaskan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Pusat) untuk mengikuti pendidikan tingkat “Editor” di Berlin, Jerman Barat. Pada 1971 berkunjung ke Amerika Serikat atas undangan dari State Department, Washington D.C.
Dalam perjalanan karier dan profesi sebagai jurnalis dan wartawan, Solichin Salam pernah menjadi Sekretaris Redaksi Majalah Dunia Madrasah (1957 – 1958), reporter Harian Abadi (1959 – 1960), Redaksi/Penanggung Jawab Majalah Fadjar (1960 – 1963), wartawan Kantor Berita Asian Press Board-APB (1960 – 1961), staf Redaksi Majalah Pembina (1962 -1971), staf Redaksi Majalah Api Islam (1965-1966), serta Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Buletin Menara Kudus di Jakarta.
Pada tahun 1962 ditunjuk menjadi anggota Panitia Buku Peringatan Setengah Abad Muhammadiyah yang diprakarsai Departemen Penerangan RI. Setiap Ahad beliau mengisi acara Mutiara Hikmah RRI Stasiun Nasional Jakarta (1965 – 1973). Sejak 1972 hingga akhir hayatnya aktif sebagai wartawan/kolomnis dan pembantu khusus Harian Berita Buana di Jakarta.
Pengalaman dalam organisasi profesi dan kemasyarakatan, di antaranya: Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, Anggota Pengurus Besar Muhammadiyah Majelis Taman Pustaka (1959-1965), Anggota Ikatan Sekretaris Indonesia (1975 -1985), Anggota Presedium KSRIA (Komite Solidaritas Rakyat Indonesia-Afghanistan) di Jakarta (1982 – 1989), Anggota Presedium KSRIP (Komite Solidaritas Rakyat Indonesia – Polandia) di Jakarta (1982 – 1989), Anggota presedium CISR (Centre for Islamic Studies and Research) (sejak 1983) dan kemudian Sekjen CISR. Semenjak 1990 bergabung sebagai Anggota IFI (International Forum Indonesia) di Jakarta.
Sekitar 1988 Solichin Salam melakukan penelitian di Negeri Belanda atas senior fellowship dari Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda. Pada tahun 1990 mengunjungi Universitas Leiden dalam rangka penelitian mengenai sejarah Indonesia, atas undangan Direktur Utama Garuda Indonesia. Dalam tahun yang sama, mengunjungi Paris dan menyaksikan Peringatan Hari Nasional Revolusi Perancis Ke-201. Pihak Kerajaan Belanda pernah menawarkan untuk memfasilitasi Solichin Salam agar tinggal dalam waktu lama di Belanda untuk melaksanakan kegiatan menulis.
Solichin Salam pernah mengikuti Kongres Sekretaris Se-Asia, di Bangkok Thailand (1976) dan Singapura (1978). Banyak negara telah dijelajahinya, seperti Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, Asia, Timur Tengah dan Tanah Haramain Mekkah Al–Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji tahun 1971.
Penghargaan yang pernah diterimanya sebagai jurnalis, di antaranya: (1) Piala dan Piagam Penghargaan dari Direktur Jenderal Pariwisata tahun 1978 atas karya tulisnya Borobudur Milik Dunia, (2) Piagam Penghargaan dari Duta Besar India untuk Indonesia atas partisipasinya sebagai anggota Panitia Peringatan Seabad Kelahiran Pandit Jawaharlal Nehru (1889-1989), (3) Anugerah Amaliah dan Piagam Penghargaan dari YPS (Yayasan Pendidikan Soekarno) pada Peringatan Kelahiran Bung Karno yang ke-90 pada 6 Juni 1991. Solichin Salam jugamerupakan pencetus ide peringatan nasional Seabad R.A. Kartini tahun 1979.
Pengagum Tokoh Asal Minang
Solichin Salam menjadi Ketua Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka yang diluncurkan di aula Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Februari 1978. Perkenalannya dengan Buya Hamka menarik disimak. Sejak masih kecil sebagai murid SD Muhammadiyah di Kudus, ia telah kenal nama Hamka melalui kekeknya H. Abdussalam, seorang aktivis dan Ketua Ranting Muhammadiyah, Kakeknya pengagum Hamka yang meski tidak tamat sekolah tinggi, tapi bisa menjadi pujangga besar. Sejak masa kecilnya di Kudus, Solichin Salam telah membaca karya-karya Hamka.
“Sebagai anak seorang janda yang miskin, penjahit serta penjual kue yang hidup dalam suasana broken home, tidak memungkinkan bagi saya untuk dapat membeli buku-buku yang mahal. Dari uang jajan yang saya peroleh setiap hari yang jumlahnya kecil itu, saya tabung, dan saya belikan koran serta majalah untuk menambah pengetahuan saya. Itupun sering saya dimarahi: Adakah kau nanti di hari tuamu makan koran saja? Untung kakek saya berfungsi sebagai wakil atau pengganti ayah, yang selalu mendidik, membimbing serta membesarkan hati saya. Kalau tidak, saya tidak tahu entah apa jadinya saya ini.” kenang Solichin Salam dalam tulisannya “Berkenalan Dengan Buya Hamka”(Buku Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, 1978).
Sewaktu hendak berangkat ke Jakarta tahun 1951, kakeknya pun berpesan, “Sol, nanti kalau kamu di Jakarta, berkenalanlah dengan Hamka dan Mohammad Natsir. Natsir adalah seorang muslim intelek.” Sesudah pindah ke Jakarta, Solichin Salam berkenalan dengan Buya Hamka secara pribadi. Solichin Salam sering datang ke rumah Hamka mengendarai sepeda. Jika kesorean, sepeda dititipkannya di rumah Hamka, sementara ia pulang naik bis. Ia dengan rajin dan tekun menghadiri pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah Cabang Jakarta di Kramat 49 setiap malam Selasa. Di situlah ia berkenalan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, mengikuti kursus-kursus kader serta Muballigh Muhammadiyah untuk mendapatkan ilmu dari tokoh-tokoh tersebut.
Solichin Salam menjalani hidup di kota besar Jakarta dengan perjuangan, keuletan dan kegigihan. Bergulat dengan waktu. Sebagaimana diakuinya, di masa muda dalam kamus hidupnya hanyalah dikenal: Bekerja dan Belajar, atau Belajar sambil Bekerja.
Dalam tulisannya “H.S.M. Nasaruddin Latif Yang Saya Kenal” pada buku Biografi dan Pemikiran H.S.M. Nasaruddin Latif (Gema Insani Press, 1996), Solichin Salam menuturkan, “Selama saya berada di Ibukota Jakarta, ada 9 tokoh asal Minang yang sangat saya kagumi pribadinya, yakni: Bapak Dr. Mohammad Hatta, Bapak Haji Agus Salim, Bapak Sutan Sjahrir, Buya A.R. Sutan Mansur, Bapak Mohammad Natsir, Buya Prof. Dr. HAMKA, Bapak M. Zein Djambek, Bapak H.S.M. Nasaruddin Latif, Bapak M. Nawawi Dusky. Kesembilan tokoh tersebut ada yang menekuni bidang politik, kenegaraan, keagamaan dan kesusastraan. Saya kenal mereka secara pribadi, sering bertemu muka, berguru secara langsung, dan mengikuti tulisan-tulisan mereka baik berupa buku maupun artikel-artikel di berbagai media massa.”
Spesialis Penulis Biografi
Solichin Salam, sebagaimana rekan seprofesinya yang lebih senior yaitu Soebagijo I.N. (wartawan LKBN Antara) dikenal luas sebagai dokumentator dan narator sejarah yang banyak mengabadikan kehidupan dan perjuangan tokoh-tokoh bangsa melalui buku biografi.
Biografi karya Solichin Salam, antara lain: Hadji Agus Salim Hidup dan Perjuangannya (1961), Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional (1964) K.H. Ahmad Dahlan Cita-Cita dan Perjuangannya (1962), Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan (1963), K.H. Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia (1963), K.H. Hasyim Asj‘ari Ulama Besar Indonesia(1963), Bung Karno dan Kehidupan Berpikir Dalam Islam (1964), Bung Karno Sebagai Ahli Sejarah (1966), Bung Karno Putera Fajar (1966), Bung Karno Di Mata Bangsa Indonesia (1980), Bung Karno Dalam Kenangan (editor, 1981) Bung Karno Perginya Seorang Kekasih (1986), 90 Tahun Bung Karno Dalam Kenangan ( editor, 1991), Adam Malik Profil Seorang Pejuang (1978), R.A. Kartini Seratus Tahun 1879 – 1979 (1979), Mengenal Drs. R.M.P. Sosrokartono (1979), Kartini Dalam Sejarah Nasional Indonesia (1980), H. Masagung, manuskrip (1983), Bung Hatta (1982), Pakubuwono X (1988), Umar Wirahadikusumah dan Pengabdiannya Kepada Negara dan Bangsa (1988), John Lie, Penembus Blokade Kapal-Kapal Perang Kerajaan Belanda (1988), Sjahrir Wajah Seorang Diplomat (1989), Adam Malik Dalam Kenangan (1989), Syarief Thayeb Pejuang dari Peurela (1990), Soekarno-Hatta (1991), Bung Hatta Pejuang dan Pemikir Bangsa (editor, 1992), B.J. Habibie Mutiara Dari Timur (1986), Roosseno Manusia Beton (1987), H.E. Kowara Pengusaha Tiga Jaman (1989), Dewi Motik Profil Wanita Karir (1989), Wajah-Wajah Nasional (1990), A.H. Nasution Prajurit, Pejuang dan Pemikir (editor, 1990), 90 Tahun Prof. Mr. Sunario (1992), Mh. Isnaeni Hidup Adalah Pengabdian (1992), Suwirjo Profil Walikota Jakarta Pertama (1992), Ali Ahmad Shahab, Pejuang Yang Terlupakan (1992), GPH Djatikusumo Prajurit–Pejuang Dari Kraton Surakarta (1993), Soesilo Soedarman Prajurit-Diplomat-Nayaka (1993), Himawan Soetanto Kisah Seorang Prajurit (1993), Syekh Yusuf Singa Dari Gowa (1994),Agus Djaya dan Sejarah Seni Lukis Indonesia (1994), R. Basoeki Abdullah Sang Maestro (1994), Mr. Mohamad Roem Profil Pejuang Diplomat (1995), dan Malahayati Srikandi Dari Aceh (1995).
Buku biografi terakhir yang ditulis Solichin Salam yaitu profil Jenderal TNI (Purn) H. Surono, mantan KASAD, Wapangab, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan di era Presiden Soeharto. Saat menulis naskah buku Surono, Solichin Salam jatuh sakit dan dirawat hingga menghembuskan napas terakhir. Draft biografi Surono, Pejuang, Pendidik, Olahragawan, Budayawan dapat dirampungkan sampai terbit dengan bantuan penyunting Hinu Sudiatmo. Buku tersebut terbit September 1997 setelah Solichin Salam menghadap Sang Khalik.
Dalam Sekapur Sirih buku biografi Surono, Solichin Salam menyitir kata mutiara dari Pandit Jawaharlal Nehru yang mengatakan, “Bagi suatu bangsa yang berjuang, tak ada perjalanan akhir” dan ungkapan dari Sir John Seely yang pernah mengatakan, “Kita mempelajari sejarah, agar kita menjadi arif sebelum sesuatu terjadi”. Berpegang pada pola pikir kedua tokoh tersebut, kata Solichin Salam, kami senantiasa berusaha menggali dan meneliti sejarah hidup dan perjuangan para pejuang bangsa, untuk kita wariskan nilai-nilai kejuangannya kepada anak cucu kita.
Buku-buku sejarah dan kebudayaankarya Solichin Salam, antara lain: Sunan Kudus: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1959), Meninjau Masalah Poligami (editor, 1959), Sekitar Wali Sanga (1960), Lukisan Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (1962), Kudus dan Kekunoan Islam (1962), Sejarah Islam di Jawa (1964), Muhammadiyah dan Kebangunan Islam di Indonesia (1965), GASBI-INDO Soko Guru Revolusi Indonesia (editor, 1965), Bintang Muhammadiyah (editor, 1965), 10 Asyuro (1965), Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama (1966), Permulaan Islam di Indonesia (1968), Umar Seorang Tokoh Demokrat (1968), Ali bin Abi Thalib Tokoh Kerakyatan (1968), Muhammadiyah di Pekajangan (1968), Sejarah Partai Muslimin Indonesia (1970),Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam (1977), Wilayah Madiun Selayang Pandang (editor, 1978), Borobudur Milik Dunia (1979), Demokrasi Pancasila dan Perkembangannya (1981), APB-Arabian Press Board, Sejarah dan Perjuangannya (1986). Kumpulan Sajak (1988), Menara Kudus (1988), Tugu Nasional dan Peranan Soedarsono (1988), Butir-Butir Mutiara Hikmah (1988), Wali Sanga Dalam Perspektif Sejarah (1989), Kudus dan Sejarah Rokok Kretek (1983),Masjid Istiqlal Sebuah Monumen Kemerdekaan (1990), Runtuhnya Saddam Sang Diktator (1991), Arti Linggarjati Dalam Sejarah (1992), Gapensi, Sejarah dan Perkembangannya (1992), Lombok Pulau Perawan, Sejarah dan Masa Depannya (1992), Menara Kudus (1993), Kudus Selayang Pandang (1995), danJawa dan Aceh Dalam Kajian Sejarah (1996).
Sahabat Proklamator
Solichin Salam secara pribadi cukup dekat dan akrab dengan Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama RI Soekarno, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta, Presiden Kedua RI Soeharto, mantan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan keluarga mereka.
Sepucuk surat pribadi dari Presiden Soekarno kepada Solichin Salam tanggal 3 September 1966 berisi pesan sebagai berikut: “Saudara Solichin Salam. Teruskanlah cita-citamu, giatlah menulis dan pertinggilah mutu karyamu, sedemikian rupa, untuk kepentingan revolusi Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Insya Allah, hari depanmu adalah gilang gemilang. Bapak do’akan semoga engkau sukses. Maju terus, pantang mundur!”.
Satu ketika Solichin Salam selaku wartawan menghadiri malam resepsi di Istana Bogor, sekitar Nopember 1965. Saat Bung Karno lewat di depan tamu-tamunya sambil tersenyum, Solichin Salam bertanya, “Apakah Paduka Yang Mulia sudah terima buku saya, Haji Agus Salim?” Jawab Bung Karno, “Buku atau naskah?” “Buku”, sambung Solichin Salam. “Oh ya sudah. Coba datang saudara ke Istana, ngobrol-ngobrol.” kata Bung Karno. “Bagaimana caranya, Paduka Yang Mulia?” Tanya Solichin Salam kembali. “Bilang saja kepada ajudan, bahwa saya yang suruh.” demikian Bung Karno.
Tokoh Proklamator Bung Hatta menulis pesan pribadi untuk Solichin Salam tanggal 21 Agustus 1975 sebagai berikut, “Saudara Solichin Salam, seorang penulis dan pengarang perlu mempertajam mata dan telinga, dan dibantu oleh logika yang sehat. Selain daripada itu jauhkanlah fantasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Saya do’akan, supaya Saudara berkat pertolongan Allah, mencapai cita-cita Saudara.“
Menarik disimak percakapan Solichin Salam dengan Presiden Soekarno setelah Bung Karno diantar oleh Pak Harto ziarah ke Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta. Bung Karno saat itu menangis di pusara Pahlawan Revolusi (Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawan) yang menjadi korban Peristiwa Lobang Buaya (G-30-S/PKI). Solichin Salam bertanya kepada Bung Karno, “Apa sebab Bapak sewaktu di atas pusara Pak Yani pada tanggal 5 Oktober 1966 menangis?” Kata Bung Karno, “Saya tahu, bahwa saya disindir KAMI dengan air mata buaya. Padahal saya nangis betul.” Di akhir percakapan, Solichin Salam berkata. “Kalau begitu, jadi bukan Bapak yang menyuruh bunuh Pak Yani?” “Tidak”, jawab Bung Karno tegas tanpa ragu-ragu.
Satu bulan kemudian, Solichin Salam datang kembali menemui Presiden Soekarno di Istana Merdeka, sambil membawa guntingan gambar Jenderal Ahmad Yani. “Apakah Bapak masih ingat pertanyaan saya tentang Pak Yani, dan apakah Bapak masih tetap pada pendirian Bapak? Sekarang saya membawa gambar Pak Yani, tolong Bapak beri komentar di bawah ini, isinya terserah, silahkan, ini spidolnya, Bismillah!” ujar Solichin Salam. Bung Karno menulis di bawah gambar Ahmad Yani dengan kata-kata dalam ejaan lama: “Djenderal Yani! Ia adalah salah seorang Djenderal TNI jang saja tjintai. Saja do’akan Tuhan memberi tempat kepadanja di alam achirat: tempat jang baik.” ttd. Soekarno 30/11-66.”
Dalam salah satu perbincangan dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka tanggal 4 Januari 1967, di penghujung era kekuasaan rezim Orde Lama, Solichin Salam menggali pandangan Bung Karno secara umum tentang perjuangan umat Islam. “Kenapa umat Islam dalam perjuangannya tidak punya program yang mantap?” tanya Solichin Salam. Jawab Bung Karno, “Tidak hanya umat Islam, tapi sekarang semua plin-plan.” Penilaian demikian tentu tidak bisa dipukul-rata (digeneralisasi) terhadap semua kalangan umat Islam di Tanah Air.
Peristiwa lain yang tidak terlupakan oleh Solichin Salam sehingga diabadikannya dalam buku Bung Karno Dalam Kenangan adalah pada7 Januari 1967 Solichin Salam diterima Bung Karno di Paviliun Istana Bogor. Juga ada Ibu Hartini Soekarno. Tiba-tiba ajudan lapor, bahwa tamu Tuan Konijnenberg, Direktur KLM Belanda bersama 3 wartawan TV Belanda siap menghadap. Bung Karno mempersilahkannya masuk. Solichin Salam yang duduk di sebelah Bung Karno karena terbawa adat orang Timur, pindah tempat duduk dan memberikan tempat kepada tamu asing yang mempunyai kedudukan tinggi. Bung Karno langsung menegur, “Solichin, pindah kamu duduk dekat Bapak, biar tuan-tuan itu duduk di sebelah sana!” Bung Karno, menurut Solichin Salam, ingin mendidik saya, agar tidak memiliki rasa minder menghadapi orang asing siapa pun juga.
Pada waktu usianya genap 60 tahun, Solichin Salam menyusun buku kecil memuat riwayat hidup dan hasil karyanya yang dicetak untuk kalangan terbatas. Buku tersebut memuat kata sambutan Jenderal (Purn) DR. A.H. Nasution, Wakil Presiden Try Sutrisno, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman, Menteri Negara Riset dan Teknologi Prof. Dr. Ing, B.J. Habibie,dan Bupati Kudus Soedarsono.
Memoar Karya Terakhir
Solichin Salam menekuni profesi jurnalistik sejak tahun 1955 dan setia dengan profesinya hingga akhir hayat. Puluhan buku dan tidak terhitung artikel surat kabar/majalah yang dihasilkannya.
Pada tahun 1995 beliau melakukan perjalanan ke Aceh untuk pengumpulan data dan wawancara dalam rangka penulisan buku tentang kepahlawanan bahari Keumalahayati, panglima wanita pertama di dunia. Buku yang diberi judul Malahayati Srikandi Dari Aceh terbit Desember 1995. Solichin Salam hadir di Banda Aceh pada acara peluncuran buku di Pendopo Gubernuran dalam resepsi Hari Jadi ke-37 Propinsi Daerah Istimewa Aceh tanggal 26 Mei 1996. Saya diberi buku tersebut oleh penulisnya sebagai kenang-kenangan.
Buku Malahayati Srikandi Dari Aceh mendapat apresiasi Kata Sambutan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana TNI Tanto Koeswanto, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Prof. Dr. H. Syamsuddin Mahmud, dan Pendiri Perpustakaan dan Museum Yayasan Ali Hasjmy/Pusat Informasi Sejarah dan Kebudayaan Islam, yang juga Ketua Umum MUI Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan mantan Gubernur Aceh yaitu Prof. H. Ali Hasjmy.
Dalam bagian kesimpulan Solichin Salam menulis pesan yang patut direnungkan, “Sejarah kebesaran suatu Bangsa dapat diukur dari peradaban yang dihasilkannya. Sedangkan peradaban yang tinggi tergantung pada kualitas manusianya. Barometer dari kebesaran suatu Bangsa antara lain bisa dilihat dari prestasi atau karya-karya besar sejarah yang ditinggalkannya dan seberapa jauh Bangsa tersebut mampu melahirkan manusia-manusia besar yang berkualitas, yang tercatat dalam sejarah Bangsanya maupun sejarah Dunia”.
Saya terakhir mengunjungi Bapak Solichin Salam di kediamannya tanggal 25 Oktober 1996. Kala itu saya menyerahkan buku Biografi dan Pemikiran H.S.M Nasaruddin Latif. Saya ingat betul, beliau ketika itu menyarankan sebaiknya diadakan acara peluncuran buku mengenang H.S.M. Nasaruddin Latif.
Saat itu Bapak Solichin Salam bercerita tentang naskah buku Memoar yang ditulisnya. Keinginan membuat memoar semula tidak begitu besar. Tetapi terlaksana juga atas dorongan dari beberapa kawan dan istri (janda) Pahlawan Nasional yang masih hidup, ungkapnya.Solichin Salam disarankan agar menuliskan pengalaman persahabatan dan dialog dari hati ke hati dengan beberapa pemimpin bangsa, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Mohamad Roem, Mohammad Natsir, Buya Hamka, dan lain-lain.
Berkali-kali beliau didesak, termasuk oleh Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Ibu Mastini Hardjoprakoso. Kepala Perpustakaan Nasional yang pertama itu mengatakan, andaikata kesaksian sejarah Solichin Salam tidak dibukukan,yang rugi adalah bangsa dan generasi mendatang.
Naskah Memoar Solichin Salam diberi Kata Pengantar oleh Wakil Presiden RI Umar Wirahadikusumah. Sayangnya, seperti diutarakan beliau saat itu, belum ada penerbit yang berminat menerbitkannya. Dengan jiwa besar menghargai karya sendiri, copy naskah diserahkannya satu eksemplar untuk disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan satu lagi dikirim ke Perpustakaan Universitas Leiden di Negeri Belanda. Solichin Salam berharap, moga-moga di masa datang, ada yang tergerak hati membaca-baca dan syukur-syukur bersedia menerbitkannya. Kalau pun tidak, yang penting naskah itu telah tersimpan sebagai arsip dan dokumentasi negara.
Perbincangan kami petang hari itu berhenti di saat azan Maghrib berkumandang. Bapak Solichin Salam mengajak saya shalat berjamaah. Hari itulah pertemuan terakhir saya dengan beliau di rumahnya. Beberapa bulan kemudian saya berjumpa dengan beliau hanya selewat ketika mau shalat Jumat di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta. Karena kesibukan pekerjaan, saya tidak sempat lagi silaturahim ke kediaman Bapak Solichin Salam. Suatu hari saya terkejut membaca di surat kabar Berita Buana,beliau telah berpulang.
Solichin Salam wafat pada hari Ahad tanggal 25 Mei 1997 pukul 04.30 WIB di Paviliun Cendrawasih RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 64 tahun. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan, satu liang lahat dengan jasad ibundanya Salmah.
Semoga semua karyanya menjadi amal ibadah dan arwahnya damai-bahagia dalam limpahan rahmat, ampunan dan ridha Allah SWT.
Oleh: M. Fuad Nasar -Penulis dan Peminat Sejarah Indonesia