Membicarakan dasar negara sesungguhnya bukan hal yang tabu. Para bapak bangsa telah mencontohkannya, meski akhirnya diberangus tentara dan penguasa. Apakah kita ingin mencontoh mereka juga?
Pembicaraan tentang Dasar Negara kembali muncul pasca Pemilihan Umum 1955. Meski semula diperkirakan bakal mendapat suara terbanyak dalam pemilu pertama di Indonesia itu, partai Islam terkuat saat itu, Partai Masyumi, hanya menempati urutan ke dua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan meraih 20,9 persen suara, sementara Partai Nahdlatul Ulama yang telah keluar dari Masyumi tiga tahun sebelumnya, berada di peringkat ke tiga dengan perolehan 18,4 persen suara. Bila ditambah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang saat itu telah menjadi partai kecil dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (Perti), jumlah total fraksi Islam hanya mencapai 42 persen. Namun, hanya dengan 42 persen itu pembicaraan tentang dasar negara dan konsep negara kembali marak di Dewan Konstituante.
Konstituante, yang berarti lembaga pembentuk undang-undang dasar dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Yang menarik, dalam pidato pembukaan itu, Sukarno sempat berpidato, yang memaparkan tentang sifat UUD 1945 yang hanya sementara:
“Kita bukan tidak memiliki Konstitusi, malah dengan konstitusi yang berlaku sekarang, kita sudah memiliki tiga konstitusi…. Tapi semua konstritusi [itu]… adalah bersifat sementara. Dan semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara anggota-anggota sesuatu konstituante yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebuah konstitusi yang dibuat oleh rakyat sendiri.…” [i]
Memang, saat itu, ketika Konstituante dibentuk, Indonesia telah memiliki tiga konstitusi, yakni UUD 1945, UUD Republik Indonesia Serikat 1949 dan UUD Sementara 1950. Karena itu, menurut Adnan Buyung Nasution, Presiden Soekarno kemudian melanjutkan pidatonya, “sesuai dengan makna kedaulatan rakyat, atau negara demokrasi, sekaranglah saatnya wahai wakil-wakil rakyat bangsa Indonesia yang terhormat, yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum (1955) itu, buatlah Konstitusi yang seindah-indahnya, yang memuat butir-butir mutiara hak azasi manusia yang seindah-indahnya.” [ii]
Pidato ini sesungguhnya sangat relevan dengan pendapat Soekarno yang tertuang dalam pidatonya sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agutus 1945:
“Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar jang lebih sempurna dan lengkap.”[iii]
Rapat-rapat Konstituante berlangsung di gedung Sociteit de Concordia, sebuah gedung bercorak neo-kolonial nan megah di jantung kota Bandung. Beberapa bulan sebelumnya, di gedung perkumpulan “keserasian warga” (warga Hindia-Belanda golongan Europeanen) ini digelar Konferensi Asia-Afrika yang memufakati gerakan nonblok. Dari gedung itulah wakil-wakil rakyat Indonesia di Konstituante menggelar rapat, bermufakat tentang berbagai masalah kenegaraan dan berdebat sengit tentang dasar negara, konsep negara, implementasi kekuasaan dan pemerintahan serta bagaimana negara mengelola potensi alam dan memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Persidangan Yang Seru
Setelah dilantik Presiden Soekarno, Dewan Konstituante yang beranggotakan 514 orang itu langsung bersidang. Pada masa persidangan pertama, bulan November hingga Desember 1956 ini, Wilopo dari Partai Nasional Indonesia (PNI) ditetapkan sebagai Ketua, didampingi lima Wakil Ketua, masing-masing Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi, Fatchurrahman Kafrawi dari Nahdlatul Ulama (NU), Johannes Leimena dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Hidajat Ratu Aminah dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Selanjutnya, dimulailah diskusi mengenai Peraturan Tata-tertib yang mencakup organisasi Konstituante dan cara-cara kerjanya. Peraturan Tata-tertib ini kemudian ditetapkan dalam sidang di semester pertama tahun 1957. Pada masa persidangan ke dua tahun 1957, ada dua masalah yang diperdebatkan di Konstituante, yakni pokok-pokok permasalahan yang akan dimasukkan ke dalam Undang-undang baru (20 Mei – 7 Juni) dan sistematika undang-undang dasar tersebut (11 – 13 Juni). Dalam kedua perdebatan ini, terdapat dua pokok pembahasan yang dianggap paling penting, yakni soal Dasar Negara dan hak azasi manusia.
Sejak tanggal 11 November hingga 6 Desember 1957, tiga usul yang berkaitan dengan Dasar Negara, yakni Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi, diajukan, diperdebatkan dan diperjuangkan oleh para pendukungnya. Perdebatan tentang Dasar Negara ini berlangsung seru dan sangat sengit. Maklumlah, pembicaraan tentang masalah ini sangat bersifat ideologis. Namun di luar sidang, hubungan antara anggota Konstituante yang berdebat sengit itu tetap akrab. Bahkan menurut almarhum Usep Ranawidjaja, meski berlangsung seru, para tokoh politik tetap menyampaikan materi di atas mimbar dengan sopan santun.
Usep mengisahkan pula ketika para singa panggung seperti Muhammad Natsir, Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Muhammad Isa Anshari dari Masyumi, Sutan Takdir Alisyahbana dari Partasi Sosialis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit dari Partai Komunis Indonesia, dan beberapa nama lainnya, berpidato dan beradu argumentasi. “Tidak ada saling tunjuk-tunjuk hidung, sabotase mikrofon, apalagi sampai menggebrak meja,” ujar bekas Sekretaris Jenderal Konstituante itu kepada Majalah Forum Keadilan, pada Juli 1995.[iv] Perbedaan visi di antara mereka dan cara mereka mengungkapkan buah pikiran tampak begitu cerdas dan menarik.
Adnan Buyung Nasution juga menceritakan betapa para tokoh itu berdebat dengan kalimat yang indah, cerdas dan kaya metafora. Natsir, misalnya, dalam pidato 13 November 1957 mengatakan, “Singkap daun, tampak buah,” untuk menyindir PKI yang getol menyokong Pancasila meski punya pemikiran lain soal ideologi negara ini. Sementara itu, Buya HAMKA pada sidang April 1959 mengatakan bahwa “Membuat UUD bukan seperti pekerjaan menggosok-gosok lampu Aladin.” Saat itu sang ulama besar tengah mengritik keras Presiden Soekarno yang giat mengkampanyekan ide kembali ke UUD 1945 dengan menggelar rapat raksasa di berbagai tempat.
Antar pendukung Pancasila pun kadang terjadi perdebatan seru yang menarik. Misalnya ketika Konstituante membahas tentang lambang negara, Garuda Pancasila. Saat itu, Partai Murba —partai yang dibentuk mendiang Tan Malaka dan para kadernya— meminta agar burung garuda pada lambang negara menoleh ke kiri, bukan ke kanan seperti saat ini. Untuk mempertahankan pendapat bahwa yang benar adalah burung garuda yang menoleh ke kanan, Sri Soemantri anggota Konstituante dari Partai Nasional Indonesia keluar-masuk museum dan perpustakaan untuk mendapatkan referensi soal mitos sang garuda. Karena tidak menemukan jawaban yang “ilmiah”, di arena sidang Soemantri akhirnya mengatakan, “Kalau menghadap ke kiri itu dalam bahasa Jawa artinya pakiwan atau jumbleng (WC). Masak, tempat yang jorok-jorok jadi lambang, kan ndak mungkin…” [v]
Bagi para pendukung Pancasila –termasuk kalangan Nasionalis, Sosialis maupun Komunis– para tokoh singa podium dari Partai-partai Islam yang mengajukan ide Dasar Negara Islam adalah lawan debat yang alot dan tangguh dalam ruangan sidang. Namun, di luar sidang, mereka adalah kawan nongkrong yang mengasyikkan. “Di dalam ruang mereka saling serang seperti mau perang saja. Tapi di luar sidang mereka asyik ngopi, ngobrol, dan tertawa bersama,” kata Buyung Nasution. Kerap terlihat Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir, ngopi bareng dengan Ketua CC PKI DN Aidit, di Kafe Konstituante. Isa Anshari yang antikomunis akrab di luar sidang dengan Aidit. Mereka berdebat di ruang sidang seperti orang berkelahi, tapi begitu keluar, mereka tertawa-tawa seperti tidak terjadi apa-apa.
Masa persidangan pertama di tahun 1957 inilah yang bisa dikatakan sebagai Sidang Konstituante yang paling sengit, panas, namun juga bertele-tele dan melelahkan. Untunglah, Dewan Konstituante segera menyadari hal ini. Setelah berdialog terbuka, akhirnya pada 6 Desember 1957 sidang pleno memutuskan untuk sementara menangguhkan dulu pembahasan tentang masalah Dasar Negara. Panitia Persiapan Konstitusi kemudian diserahi tugas mempersiapkan rumusan yang akan memungkinkan terjadinya kompromi. Dewan Konstituante bertekad untuk menyelesaikan masalah yang besar lainnya, sebab dalam sebuah konstitusi, masalah dasar negara bukanlah masalah penting satu-satunya yang bisa dibahas. Masalah penting lainnya adalah tentang bagaimana mengatur dan merumuskan tentang struktur kekuasaan, pembatasan kekuasaan, hak asasi manusia, bentuk negara, hubungan pusat daerah, masalah keuangan, dan sebagainya.
Pada masa persidangan tahun 1958, Konstituante benar-benar mengerahkan tenaga dan fikiran untuk merumuskan berbagai rancangan pasal yang akan disusun dalam sebuah UUD baru pengganti UUD 1945 kelak. Bahkan untuk mengintensifkan pembahasan, pada tahun 1958 Konstituante merancang masa persidangan menjadi tiga kali dalam setahun. Saat itulah mereka bekerja keras mengejar waktu, mencurahkan tenaga, pikiran serta akal budi, serta menunjukkan kesungguhan mereka untuk membangun sebuah negara yang konstitusional.
Maka, pada tanggal 11 September 1958, ketika masa persidangan berakhir, Wilopo, sang Ketua Konstituante dengan bangga mengatakan bahwa setelah bekerja keras, Konstituante telah berhasil mengambil banyak keputusan. Konstituante telah melakukan ‘panen keputusan’ dan ia bergembira karena panen besar itu merupakan hasil dan benih-benih tanaman Konstituante sendiri. [vi] Maka pada akhir sidang tahun 1958, tujuh bulan sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, sesungguhnya Konstituante telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. [vii]
Di luar soal dasar negara, para perumus konstitusi itu juga telah menelurkan puluhan rancangan yang kelak akan ditetapkan menjadi pasal-pasal Undang-undang Dasar yang baru. Berbagai rancangan itu meliputi wilayah nasional, hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, ekonomi nasional, serta hukum dan badan peradilan. Semua rancangan –yang menurut Adnan Buyung Nasution sarat dengan pengakuan hak azasi manusia dan penegakan hukum dan keadilan itu– kini seolah terlupakan. Persoalan yang senantiasa diingat dan dijadikan momok adalah terjadinya perdebatan sengit tentang ideologi.[viii]
Karena materi pembahasan pasal-pasal telah hampir usai, maka pada masa persidangan pertama tahun 1959, Konstituante kembali membahas Mukadimah Undang-Undang Dasar. Di dalam pembahasan mukadimah inilah, muncul kembali perdebatan tentang Dasar Negara, apakah tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta akan disebut kembali, atau tidak. Malasalah lain yang dibahas adalah tentang sistem pemerintahan Indonesia, apakah akan mengambil sistem presidensiil ataukah parlementer.
Benturan tajam dan kemuskilan kompromi antara berbagai kekuatan politik saat itu, terutama dari faksi Islam dan faksi Komunis-Sosialis, membuat Presiden Soekarno yang ingin kembali berkuasa secara riil dan bukan hanya menjadi Kepala Negara, mulai kehabisan kesabaran. Apalagi saat itu negara sedang dilanda krisis ekonomi, sementara Presiden dilempari granat, dan beberapa daerah bergolak. Karena itu, Konstituante diminta menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960.
Entah mengapa, Konstituante mau menari mengikuti gendang yang dipukul Presiden Soekarno yang terus mengajak untuk “lekas, lekas, dan lekas kembali ke UUD 1945″. Agenda Konstituante yang telah dirancang sebelumnya untuk memutuskan bentuk negara dan sistem pemerintahan, mukadimah UUD, dan asas negara akhirnya dikesampingkan. Kompromi yang tinggal 10 persen akhirnya tidak diupayakan lagi. Sementara itu, tujuh kata yang ditawarkan Presiden Soekarno sebagai langkah kompromi, dalam pidatonya “Respublica, Sekali Lagi Respublica” di depan Konstituante, ternyata tak meredakan benturan.
Perdebatan kembali memanas tatkala fraksi-fraksi Islam menyatakan bersedia kembali ke UUD 1945 tapi dengan amandemen. Amandemen yang dikehendaki fraksi-fraksi Islam adalah masuknya tujuh kata di Pembukaan dan di pasal 29. Tujuh kata itu, “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” tercantum dalam Piagam Jakarta yang dicetuskan pada 22 Juni 1945 di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Semula, tujuh kata itu termasuk dalam pembukaan UUD. Namun, kata-kata ini kemudian dihapus ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.
Atas usulan fraksi-fraksi Islam, blok Pancasila yang terdiri atas fraksi-fraksi nasionalis, partai-partai agama non-Islam, sosialis, komunis, serta golongan dan perorangan nonpartai kemudian merapatkan barisan. Mereka bertekad untuk menerima UUD 1945 tanpa perubahan apa pun. Musyawarah untuk mufakat tak tercapai sehingga dilakukan voting. Voting pertama pada hari Jumat, 29 Mei 1959, adalah untuk “setuju” atau “tidak” terhadap UUD 1945 dengan amandemen yang diusulkan oleh blok Islam. Hasilnya, dari 470 anggota yang hadir, 201 setuju dan 265 tidak, dengan empat anggota abstain.
Karena suara pro-amandemen tak mencapai persyaratan untuk diterima (2/3 suara dari yang hadir), dan bahkan kalah suara, usul amandemen pun batal. Namun, nasib serupa juga dialami oleh pendukung UUD 1945 tanpa perubahan. Selama tiga hari untuk tiga kali pemungutan suara, hasilnya ternyata tak cukup memenuhi kuorum 2/3 suara. Pada Sabtu, 30 Mei, hasil voting 269 setuju lawan 199 tidak setuju. Pada Senin, 1 Juni, 264 orang anggota setuju sementara 204 menolak. Sedangkan pada pemungutan suara hari Selasa, 2 Juni, 263 orang anggota setuju dan 203 anggota menolak. Rapat yang menentukan nasib UUD 1945 itu akhirnya ditutup pada 2 Juni 1959 pukul 12.21.
Dalam sidang sehari sebelum reses (3 Juni 1959) itu, sebenarnya masih ada dua kesempatan lagi untuk voting. Namun dengan menimbang suasana voting sebelumnya yang telah menemui jalan buntu, Ketua Konstituante, Wilopo angkat bicara. “Saudara-saudara, sudahlah, sekarang kurang bermanfaat melanjutkan permusyawaratan. Sebaiknya sidang pleno kita akhiri saja,” ujarnya, seperti yang tertulis dalam Risalah Konstituante. Ia pun mengusulkan untuk berkompromi, yakni berunding dengan pemerintah untuk meninjau usaha Konstituante menyusun rancangan UUD baru, termasuk usul pemerintah kembali ke UUD 1945. Semua anggota setuju, dan palu pun terayun. “Dok, dok, dok!” Wilopo menutup sidang. Inilah saat terakhir Konstituante yang telah berupaya keras selama dua tahun enam bulan dua hari untuk menyelaraskan pandangan bangsa ini tentang dasar negaranya.
Ide Soekarno dan Dorongan Tentara
Keesok harinya, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal A.H. Nasution langsung mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang berisi tentang larangan kegiatan berpolitik. Negara pun dinyatakan dalam Keadaan Darurat Perang (SOB = Staat van Oorlog en Beleg). Perpu ini langsung mengebiri aktivitas partai-partai politik. Selain itu, Perpu ini juga jelas-jelas menghambat kegiatan lanjutan Konstituante, lembaga yang terdiri dari banyak parpol yang telah dilarang kegiatannya. Saat itu sekitar 18 partai bereaksi. Mereka mengeluarkan resolusi untuk tidak akan menghadiri lagi sidang Konstituante setelah masa reses. Gerakan ini dimotori oleh PNI dan PKI.
Kesan yang dihembus-hembuskan sejak masa pemerintahan Soekarno, Soeharto hingga jaman Reformasi ini, bahwa sidang Konstituante tidak selesai-selesai gara-gara perdebatan sengit tentang masalah Dasar Negara, sesungguhnya tidak terlalu tepat. Sebab, perdebatan sengit itu sesungguhnya hanya terjadi dalam satu masa persidangan saja, yakni masa persidangan ke dua tahun 1957. Sementara itu, semua rapat pleno Konstituante terbuka untuk umum. Bahkan beberapa anggota mengusulkan agar disediakan pengeras suara di luar karena banyak pengunjung yang tidak kebagian tempat di dalam, tapi loudspeaker tak kunjung dipasang. Meskipun demikian, masyarakat yang bisa mengikuti langsung perdebatan tak pernah terpancing untuk menjadi reaktif dan melancarkan demonstrasi dan pengerahan massa.
Pengerahan massa yang terjadi justru dibikin pemerintah, yakni pada 22 April 1959, ketika Presiden Soekarno berpidato di hadapan Konstituante untuk mengajak kembali ke UUD 1945. Segerombolan massa yang dikerahkan militer tampak bersorak riuh di depan gedung sambil membentangkan slogan, “Jagalah jangan sampai negara dan rakyat menunggu-nunggu terlalu lama, sehingga rakyat nanti terpaksa bertindak sendiri, sebagaimana kita saksikan pada permulaan revolusi nasional kita.” Sementara itu, khusus hari itu pula dipasang pengeras suara di luar. Suara massa bergemuruh menyambut retorika Sang Presiden. Apa yang dikhawatirkan tentang kediktatoran dalam demokrasi terpimpin terjadi.
Kematian Konstituante diumumkan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada 5 Juni 1959, pada saat Konstituante mengalami reses. Dengan Dekrit Presiden, Soekarno membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin. Padahal, Soekarno telah mengisyaratkan cita-citanya untuk berkuasa di atas partai-partai politik dan bahkan konstitusi, sejak tiga tahun sebelum gerhana politik itu terjadi. Dalam perayaan hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1956, ia berpidato:
“Ini malam saya mimpi lagi, Saudara-saudara! Dan tahukah Saudara-saudara impianku ini malam? Tahukah Saudara-saudara pemuda dan pemudi, impianku pada saat aku berpidato di hadapan Saudara-saudara ini? Impianku — lha mbok, ya — kata orang Jawa, lha mbok ya, pada satu saat, pentolan-pentolan, artinya pemimpin-pemimpin dari partai-partai ini, berjumpa satu sama lain, mengadakan musyawarat satu sama lain, dan lantas mengambil keputusan satu sama lain: Marilah sekarang ini bersama-sama menguburkan semua partai,” kata Sukarno, dalam suara baritonnya,” [ix]
Pidato itu tak lebih dari aba-aba si Bung ke arah apa yang kelak disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Saat itu juru bicara partai-partai tentu menolak gagasan Soekarno karena mereka dijadikan korban, tetapi mereka juga bingung dan ragu-ragu bagaimana merumuskan ketidaksetujuannya.[x] Tapi, sebagaimana bisa diduga, si Bung jalan terus. “Saya tidak lagi cuma mimpi,” katanya, 30 Oktober 1956, di hadapan kongres PGRI, “Pembubaran partai-partai dengan tegas saya anjurkan”. Tak sampai setahun kemudian, di hadapan sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat, 21 Februari 1957, Soekarno menjelaskan konsepsinya:
“Untuk mengatasi kesukaran-kesukaran yang kita hadapi sampai pada waktu ini, perlu sekali sistem pemerintahan yang berlaku sekarang dihapuskan dan diganti dengan suatu sistem yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebab demokrasi yang sampai kini kita anut, adalah demokrasi impor dari Barat, yang tidak cocok dengan jiwa bangsa kita,” katanya. [xi]
Rupanya, karena seolah tidak lagi menjadi tokoh sentral pemerintahan –karena hanya menjadi Kepala Negara– Soekarno kemudian mulai merancang langkah-langkahnya kembali menuju pusat kekuasaan dan pemerintahan. Pada 1957 Soekarno membentuk Kabinet Juanda setelah jatuhnya kabinet Ali Sastroamijoyo II, dan mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur tunggal. Kemudian, pada 6 Mei 1957 Soekarno membentuk Dewan Nasional yang diketuainya. Dewan Nasional ini seolah menggantikan peran partai-partai politik. Semua itu terjadi ketika suasana politik semakin panas, kabinet jatuh bangun, dan krisis ekonomi mulai melanda. Kabinet Juanda tak mampu mengatasi semua itu dan jatuh.
Situasi semakin bergulir kencang ketika pada Januari 1958, sejumlah tokoh berkumpul di Sumatera Barat. Mereka — mulai dari Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara, Ketua Masjumi Muhammad Natsir, sampai Bekas Perdana Menteri Burhanudin Harahap– menentang tindakan-tindakan Sukarno dalam politik pemerintahan dan mengritik pembangunan yang tidak merata. Setahun sebelumnya, di propinsi ini Letkol Ahmad Husein telah memaklumkan pula perlawanan daerah dengan pembentukan Dewan Banteng yang disusul dengan Dewan Garuda dan Dewan Gajah di Palembang dan Medan.
Dua tahun kemudian, pada 20 Februari 1959, Soekarno mulai mencanangkan ide untuk kembali ke UUD 1945. Gongnya adalah pidato 17 Agustus si Bung tahun itu, “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato ini kelak lebih populer disebut sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia atau Manipol USDEK. Pernyataan ini berintikan lima hal, yakni Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Seiring dengan manuver Soekarno, tentara rupanya mempunyai skenario lain. Di luar Dewan Konstituante, Dewan Nasional yang didukung Presiden Soekarno berkampanye untuk kembali ke UUD ’45. Sementara itu, sidang Konstituante diisukan mandeg. Padahal kemandegan itu juga terjadi karena sabotase dan pemblokiran massa yang didalangi tentara. Saat itu, massa menghalang-halangi jalan para anggota Dewan Konstituante yang hendak bersidang dengan berunjuk rasa, demonstrasi dan mengepung Gedung Konstituante. Dalam berbagai aksi ini, peran Mayor Jenderal Abdul Haris Nasoetion yang baru saja diangkat lagi oleh Soekarno sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat pasca pemberontakan PRRI/Permesta.
Menurut Adnan Buyung Nasution, saat itu KSAD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasoetion terus mendesak Presiden Soekarno agar segera mengakhiri debat berkepanjangan di Konstituante dalam menentukan UUD. Abdul Haris Nasoetion-lah yang mengendalikan unjuk rasa, demonstrasi dan pengepungan itu, serta dengan gencar menggembar-gemborkan semangat “kembali ke UUD ’45”. Abdul Haris Nasoetion pulalah yang “mengompori” Presiden Soekarno untuk segera memutuskan dekrit. [xii]
Maka berdasarkan telex Jenderal Nasoetion, sepulang dari Tokyo, Presiden Soekarno langsung mengumumkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan Dekrit itu, Soekarno membubarkan Dewan Konstituante, menetapkan untuk kembali ke UUD ’45, dan mencabut berlakunya UUD Sementara 1950. Padahal saat pembukaan sidang pertama Dewan Konstituante, Soekarno pernah berharap agar Konstituante membentuk Undang-Undang Dasar baru, karena UUD 1945 adalah UUD yang terlalu singkat dan dibuat pada masa darurat… Namun, sejarah membuktikan bahwa Presiden Soekarno telah menarik sendiri ucapannya dengan menetapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Oleh : Hanibal Wijayanta – Jurnalis Senior
[i] Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956 – 1959. Cetakan ke dua. Pustaka Grafiti Utama. Jakarta. 2001. Halaman 260
[ii] Nasution, Adnan Buyung. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.
[iii] Naskah Pidato Presiden Soekarno. 18 Agustus 1945.
[iv] Usep Ranawidjaja, Diskusi Edisi Khusus Majalah Forum, Juli 1995
[v] Sri Sumantri, Diskusi Edisi Khusus Majalah Forum, Juli 1995
[vi] Nasution. Adnan Buyung. Ibid. halaman 43.
[vii] Nasution. Adnan Buyung. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.
[viii] Nasution, Adnan Buyung. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.
[ix] M.Yunan Nasution. Kenang-Kenangan Dibelakang Terali Besi Dizaman Orla. Bulan Bintang
[x] John D. Legge, Sukarno Biografi Politik. CV. Mitra Sari, Jakarta 2001.
[xi] John D.Ledge, ibid.
[xii] Adnan Buyung Nasution. Wawancara dengan penulis. Jakarta. Juli 1995.
[…] Simak Kelanjutannya di Diskursus Tentang Dasar Negara Bagian II […]