Tradisi Literasi Para Pemimpin Masyumi
Setiap memasuki bulan suci Ramadhan, para mubaligh di setiap pelosok daerah kerap kali memperingati Nuzulul Qur’an atau peristiwa diturunkannya Al-Qur’an untuk pertama kalinya pada tanggal 17 Ramadhan. Dalam setiap mukadimah ceramah, para mubaligh sering kali mengutip surat Al-`Alaq ayat 1-5 sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. ketika sedang ber-`uzlah (menyepi-peny.) di Gua Hira. Isi dari ayat tersebut antara lain adalah perintah dari Allah Swt. kepada umat manusia untuk “Iqra” atau “membaca”. Ayat tersebut menegaskan bahwa membaca merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam Islam. Membaca adalah kunci membangun peradaban. Tanpa membaca, manusia tidak akan memperoleh akses terhadap ilmu pengetahuan.
Belakangan ini, membaca sering kali diasosiasikan sebagai salah satu kegiatan literasi. Secara umum, literasi merupakan pemahaman mengenai teks dan keterampilan manusia dalam memperlakukannya. Karena itu, bila berbicara tentang literasi maka akan sangat erat kaitannya dengan aktivitas membaca dan menulis.
Tantangan Awal Kemerdekaan
Meraih kemerdekaan dari cengkeraman penjajah bukan puncak dari perjuangan bangsa Indonesia. Merdeka sama artinya dengan siap menghadapi babak perjuangan baru yakni mengusahakan tatanan kehidupan yang sejahtera dan bebas dari pengaruh bangsa asing. Tantangan besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada awal masa kemerdekaan bukan saja kedatangan Belanda dan sekutunya. Tetapi juga menghadapi sekitar 70 juta rakyat Indonesia yang belum merasakan arti penting pendidikan. Lazimnya waktu itu, orang-orang Indonesia yang mengenyam pendidikan berasal dari kaum bangsawan atau anak-anak pegawai negeri kolonial.
Puluhan juta rakyat Indonesia pada awal masa kemerdekaan masih dilanda “wabah” buta aksara (khususnya aksara Latin-peny.). Sadar akan pentingnya menguasai kompetensi membaca dan menulis, pemerintah dan parlemen Indonesia dari masa ke masa selalu mengupayakan rancangan pendidikan yang relevan untuk rakyat Indonesia. Di samping itu, pemerintah Indonesia juga menggagas program pemberantasan buta aksara secara massal.
Pemerintah Indonesia menginisiasi program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) untuk kalangan umum pada 14 Maret 1948. Program ini digelar di 18.663 tempat, dengan melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang murid, dengan swadaya yang dilaksanakan di sekitar 881 tempat, melibatkan 515 orang guru dan 33.626 murid.[1] Presiden Sukarno sendiri ikut terjun mengajari masyarakat. Walaupun dijalankan pada masa perang, program ini berlangsung cukup baik dan berlanjut pada masa berikutnya.
Masyumi dan Literasi
Program pemberantasan buta aksara dan peningkatan kapasitas pengetahuan masyarakat didorong pula oleh partai-partai politik yang tumbuh subur pada awal masa kemerdekaan. Partai-partai memainkan peran penting dalam upaya pencerdasan masyarakat, terutama soal pendidikan politik melalui saluran pers yang diterbitkannya seperti brosur, surat kabar, majalah, maupun buku-buku karya para pemimpin partai.
Salah satu partai politik yang giat mengawal peningkatan kapasitas pengetahuan masyarakat adalah Masyumi. Partai yang didirikan pada 7 November 1945 ini dikenal oleh masyarakat bukan hanya sebagai partai-nya kiai atau ulama tetapi juga dikenal sebagai partai para intelektual yang produktif menghasilkan karya tulis.
Penetapan Buku-Buku Bacaan untuk Keluarga Masyumi
(Sumber: Majalah Suara Partai Masjumi No. 5, Mei 1951)
Basis kader Masyumi yang berasal dari para intelektual ini membuatnya sering dianggap satu ideologi dengan PSI, sebuah partai sosialis yang juga memiliki basis kader para intelektual. Anggapan itu diperkuat oleh sikap reaksioner Masyumi terhadap PKI dan komunisme sehingga sering dicap sebagai pendukung Blok Barat. Seperti yang dinyatakan oleh PNI, partai berideologi nasionalisme radikal, dalam sebuah dokumen berjudul Pendjelasan Sikap PNI pada Partai-Partai Lain pada 1957.
“Masyumi antikomunis dan bila diperluas juga anti-Uni Soviet. Dengan demikian partai ini tidak setuju dengan politik luar negeri “bebas aktif” pemerintah sekarang, atau akan menafsirkannya menjadi politik luar negeri bebas hanya dalam arti “bebas memilih satu blok”. Masyumi dalam hal ini, akan memilih blok Amerika. Masyumi berorientasi politik Barat atau khususnya Amerika Serikat, yang juga bisa dirumuskan sebagai “liberal”. Dalam hal ini, sama dengan orientasi PSI. Kelompok sosial yang merupakan basis dukungan Masyumi adalah para pedagang dan pengusaha lainnya, serta pegawai negeri dan cendekiawan.”[2]
Uraian PNI di atas tidak seluruhnya sesuai kenyataan. Namun, bila ditelisik lebih dalam, memang pada faktanya, kebanyakan para pemimpin Masyumi adalah para politisi cum intelektual. Mereka adalah aktivis lulusan sekolah Belanda yang sewaktu muda mengaji dan mempelajari Islam secara umum maupun intensif. Beberapa di antara mereka bahkan aktif dalam studieclub Islam seperti Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studenten Islamische School (SIS).
Ketika masih bersekolah, pemimpin-pemimpin Masyumi akrab dengan tradisi intelektual ala Barat. Mereka terbiasa membaca literatur-literatur Barat berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga dituntut aktif menuliskan isi pikirannya sehingga di kemudian hari, mereka tampil menjadi para pemikir yang kritis.
Anjuran Membaca kepada Keluarga Masyumi
(Sumber: Majalah Suara Partai Masjumi No. 5 Mei 1952)
Terbukti, ketika para aktivis pergerakan Islam lulusan sekolah Belanda ini berusia matang dan berkiprah di Masyumi, mereka menjadi pimpinan partai yang tulisannya terbit berserakan dalam buku atau artikel-artikel di brosur tipis, surat kabar, maupun majalah. Keberadaan mereka membuat Masyumi dikenal sebagai partai para intelektual Islam yang progresif. Beberapa pemimpin Masyumi yang dikenal sebagai politisi sekaligus intelektual antara lain adalah Moh. Natsir, Jusuf Wibisono, Z.A. Ahmad, Isa Anshary, Abu Hanifah, Sjafruddin Prawiranegara, dan Mohamad Roem.
Moh. Natsir: Pucuk Pimpinan Intelek
Natsir (1908-1993) sejak muda dikenal sebagai aktivis Islam yang intelek. Ia adalah lulusan Algemenee Middelbare School (AMS) Bandung jurusan sastra Barat. Di bawah asuhan Tuan A. Hassan, seorang guru Persatuan Islam (Persis), Natsir mempelajari Islam dengan intensif. Selain aktif di JIB, sejak muda, ia terbiasa menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis.
Semasa sekolah di AMS, Natsir pernah menulis sebuah makalah berbahasa Belanda mengenai kondisi perkebunan tebu di Pulau Jawa. Selain itu, Natsir pernah terlibat polemik tulisan dengan Dr. Christoffels, pendeta Kristen yang terang-terangan menghina Islam dan berdebat dengan Sukarno melalui media massa. Sebelum kemerdekaan, Natsir sering menulis di majalah Pembela Islam asuhan Tuan Hassan yang mendirikan Komite Pembela Islam, Pandji Islam yang diasuh Z.A. Ahmad dan Pedoman Masjarakat di bawah asuhan Hamka dan Yunan Nasution. Dalam tulisannya, Natsir sering menggunakan nama pena Is, A. Moechlis, dan Spectator.
Natsir menerbitkan buku pertamanya pada usia sekitar 20 tahun. Buku pertamanya mengupas tentang tata cara pelaksanaan ibadah salat berjudul Komt Tot Het Gebed (Marilah Shalat). Saat masih bersekolah di Bandung, Natsir sering menulis menggunakan bahasa Belanda. Penggunaan bahasa Belanda ini ditujukan untuk menyasar kalangan terpelajar. Buku-buku Natsir yang pernah ditulis dalam bahasa Belanda di antaranya adalah Mohammed als Profeet (Muhammad sebagai Nabi) Het Islamilische Geloef (Iman), Gouden Rebels Uitden Qur’an (Kalimat Emas dari Qur’an), Het Vasten (Puasa) dan De Islamietsche Vrouven Haar Recht (Hak-Hak Wanita dalam Islam). [3]
Semenjak tamat dari AMS, Natsir lebih sering menulis menggunakan bahasa Indonesia. Beberapa buku yang ditulisnya menggunakan bahasa Indonesia antara lain yaitu Islam dan Kebudayaan, Islam sebagai Ideologie, Pertanian Kita, Mempersatukan Ummat, Di Bawah Naungan Risalah, Tindjauan Hidup, Bila Doa Tak Berjawab Lagi, Dari Masa ke Masa, Indonesia di Persimpangan Jalan, dan sebuah novel berjudul Hidup Bahagia yang ditulis bersama Nasroen AS. Adapun, buku yang menjadi magnum opus Natsir adalah tiga jilid Capita Selecta yang isinya adalah himpunan artikel tematik mengenai isu sosial, politik, budaya, sejarah, dan keislaman sepanjang akhir dekade 1930-an hingga pertengahan dekade 1960-an. Artikel-artikel tersebut dihimpun oleh D.P. Sati Alimin.
Ciri khas dari tulisan Natsir adalah bernada halus tetapi memiliki daya analisis yang tajam. Tradisi membaca dan menulis yang mendarah daging dalam diri Natsir ini membuatnya dikenal sebagai pucuk pimpinan Masyumi yang intelek. Selain sibuk menjadi Ketua Umum Masyumi, Natsir juga menjadi pemimpin umum majalah Hikmah yang berafiliasi dengan Masyumi
Jusuf Wibisono: Oposan Natsir di Internal Partai
Jusuf Wibisono (1909-1982) adalah pimpinan Masyumi yang juga tak kalah produktif menulis. Ia adalah lulusan Recht Hogeschool (RHS), sekolah tinggi hukum di Batavia. Sejak muda, Jusuf aktif sebagai aktivis JIB dan SIS. Jusuf menjadi sebagai pemimpin Masyumi yang cukup vokal merumuskan pandangannya tentang politik dan kepartaian. Di majalah Suara Partai Masjumi, banyak dijumpai tulisannya yang bertemakan politik, pemerintahan, dan otokritik serta pandangannya mengenai Masyumi.
Jusuf juga merupakan penanggung jawab majalah Mimbar Indonesia yang ditujukan sebagai saluran pers independen. Lewat majalah Mimbar Indonesia, Jusuf pernah menjadi oposisi Natsir yang sering melontarkan kritik tajam pada kebijakan-kebijakan Kabinet Natsir.[4] Karangan Jusuf yang populer ialah buku berjudul Islam dan Sosialisme.
Z.A. Ahmad: Teoretikus Masyumi
Z.A. Ahmad atau Zainal Abidin Ahmad (1911-1983) mungkin sedikit berbeda dengan dua pemimpin Masyumi sebelumnya. Pria kelahiran Sumatra Barat ini tidak pernah mengenyam pendidikan menengah maupun tinggi di sekolah Belanda, tetapi sangat produktif menulis. Z.A. Ahmad adalah seorang aktivis pergerakan dan wartawan. Ia berwawasan luas dan menyandang kecerdasan di atas rata-rata.
Sejak muda, Z.A. Ahmad telah menunjukkan prestasinya dalam bidang akademik semasa bersekolah di perguruan Sumatra Thawalib. Berkat kecerdasannya, ia kemudian diangkat menjadi guru di perguruan Sumatra Thawalib dan berkiprah sebagai aktivis Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), sebuah partai radikal di Minangkabau.
Di antara para pemimpin Masyumi lainnya, sepak terjang Z.A. Ahmad dalam dunia pers dan keredaksian sulit ditandingi. Sebagai wartawan, Z.A. Ahmad pernah memimpin majalah Pandji Islam dan Al-Manaar di Medan, Fadjar Asia di Singapura, dan Indonesia Raya di Yogyakarta serta pernah mendirikan penerbit Pustaka Islam.[5]
Z.A. Ahmad boleh dibilang sebagai teoretikus Masyumi. Ia telah menerbitkan buku dengan beragam tema disiplin ilmu dari mulai ekonomi, hukum, politik, pemerintahan, dan pendidikan, sebanyak 13 judul hingga awal dekade 1950-an. Beberapa di antaranya yaitu Dasar-Dasar Ekonomi dalam Islam, Pedoman Ilmu Politik, Islam dan Parlementarisme, Politik dan Hukum Negara, Konsepsi Tata Negara Islam, dan Pendidikan Bangsa.[6]
Isa Anshary: Orator dan Penulis Ulung
Pimpinan Masyumi lain yang mempunyai latar belakang mirip dengan Z.A. Ahmad adalah Isa Anshary (1916-1969). Ia sama-sama berasal dari Sumatra Barat dan bukan lulusan sekolah Belanda. Kawan-kawan separtai mengenalnya sebagai seseorang yang berperawakan pendek dan berisi. Jika sedang berorasi, suaranya nyaring, gagah, seperi guntur yang meledak-ledak.
Isa Anshary adalah kawan seperjuangan Natsir. Keduanya adalah aktivis Persis dan murid dari Tuan A. Hassan. Isa Anshary merupakan pemimpin Masyumi yang sangat gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan dikenal sebagai politisi Masyumi yang anti PKI dan PNI. Walaupun Isa Anshary bukan lulusan sekolah Belanda seperti pimpinan Masyumi lainnya, ia aktif dalam dunia pers dan sangat produktif menulis. Berbekal kemampuan membaca, Isa Anshary dikenal sebagai penulis yang ulung. Analisis tulisannya sangat tajam. Gaya bahasanya terasa bergairah penuh semangat.
Bakat menulis Isa Anshary diasah melalui majalah Pembela Islam. Pada masa kemerdekaan, ia merintis sebuah majalah keislaman bertajuk Aliran Islam yang terbit di Bandung pada 1948.[7] Isa Anshary juga menulis sejumlah buku, di antaranya Revolusi Islam, Islam dan Nasionalisme, Mujahid Dakwah, dan yang paling fenomenal adalah buku Falsafah Perdjuangan Islam.
Abu Hanifah: Dokter, Intelektual, dan Sastrawan
Abu Hanifah (1906-1980) barangkali kurang begitu familiar namanya dibandingkan pimpinan Masyumi yang lain. Ia adalah pemimpin Masyumi penyandang titel dokter (dr.) selain dr. Soekiman Wirjosandjojo. Meski berprofesi sebagai dokter, bukan jadi halangan bagi Abu Hanifah untuk menjadi penulis yang hebat dan produktif. Dokter lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (STOVIA) di Batavia ini dilahirkan di Sumatra Barat dan kakak kandung dari Usmar Ismail, insan film Indonesia.
Semasa muda, Abu Hanifah adalah seorang aktivis pergerakan yang rajin menulis. Ia pernah memimpin majalah Pemuda Indonesia dan mingguan Indonesia Raya. Abu Hanifah juga pernah menulis di majalah Pandji Islam yang dipimpin oleh Z.A. Ahmad.[8] Di luar kesibukannya sebagai aktivis dan penulis di media massa, Abu Hanifah juga giat melakukan riset dan menulis artikel-artikel tentang kesehatan menggunakan bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Salah satu artikel ilmiah tentang kesehatan yang pernah ditulisnya berjudul Strumma Endemica in de Koentan Districten (Midden Soematra).[9] Artikel tersebut menjadi sebuah karya ilmiah yang sangat terkenal. Isinya adalah laporan hasil penelitian Abu Hanifah tentang penyakit gondok di beberapa pedesaan di Medan. Tulisan lain dari Abu Hanifah yang membahas soal kesehatan adalah buku berjudul Ibu dan Anak. Buku ini berisi tata cara perawatan dan penjagaan kesehatan ibu hamil dan bayinya sejak dalam kandungan hingga melahirkan.
Tema tulisan Abu Hanifah tidak hanya terbatas mengenai kedokteran dan kesehatan. Rupanya ia juga menaruh minat yang besar pada karya-karya sastra. Abu Hanifah sangat produktif mengarang buku-buku cerita dan novel. El-Hakim menjadi nama pena Abu Hanifah tatkala mengarang buku-buku sastra. Adapun, buku-buku sastra yang telah diterbitkannya yaitu Dokter Rimbu, Taufan di Atas Asia, Dewi Reni, Insan Kamil, Rokayah, dan Mambang Laut.[10]
Jika dalam menulis buku sastra Abu Hanifah menggunakan nama pena El-Hakim, maka ketika membahas tema-tema yang serius ia memakai nama aslinya sendiri. Beberapa buku Abu Hanifah yang ditulis menggunakan nama aslinya yaitu berjudul Perang, Damai dan Kolonialisme, Rintisan Filsafat jilid I dan II, Tjita-tjita Perdjoangan, Agama dan Republik Indonesia, Agama dalam Negara Modern, dan Pahlawan-Pahlawan Islam Abad 16 dan 17.[11]
Beberapa buku Abu Hanifah yang lainnya sukses diterbitkan di luar negeri menggunakan bahasa Inggris. Buku-buku itu berjudul Indonesia My Country, Conflicts in the Pasific, dan Tales of Revolution. Buku yang disebutkan terakhir ini sangat populer. Isinya membahas tentang peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi selama Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) dan peristiwa yang dialami oleh Abu Hanifah pada periode tersebut.[12]
Sjafruddin Prawiranegara: Intelektual dan Teknokrat Masyumi
Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) adalah pemimpin Masyumi yang boleh dikatakan sebagai ikon penganut ideologi sosialisme religius. Ia merupakan seorang intelektual dan teknokrat yang sangat perhatian pada soal keuangan, perekonomian, serta pembangunan. Sjafruddin pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Presiden De Javasche Bank dan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang pertama. Sesuai latar belakang dan pengalamannya, Sjafruddin sering menulis artikel berkenaan dengan keuangan dan perekonomian. Artikel-artikel tersebut banyak diterbitkan dalam majalah Suara Partai Masjumi, Hikmah, dan surat kabar Abadi sepanjang dekade 1950-an.[13]
Selain menulis artikel tentang keuangan dan perekonomian, Sjafruddin cukup giat menulis tema-tema keislaman. Kebiasaan menulis tema tersebut dimulai sejak awal dekade 1950-an hingga era Orde Baru. Umumnya, Sjafruddin menulis tema-tema keislaman ketika diundang untuk menyampaikan kuliah atau ceramah keagamaan oleh organisasi atau institusi tertentu. Sebelum menyampaikan kuliah, Sjafruddin biasanya menulis naskahnya terlebih dahulu dalam brosur tipis.
Sepanjang hidupnya, Sjafruddin pernah menulis seputar peristiwa Isra Mi’raj, perkembangan umat Islam baik di dalam negeri maupun luar negeri dan relasi antara Islam dan pembangunan negara. Tulisan Sjafruddin yang tersebar di berbagai media massa dan brosur-brosur tipis, dihimpun oleh Ajip Rosidi dalam tiga jilid buku, masing-masing berjudul Islam sebagai Pedoman Hidup: Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 1; Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2; dan Agama dan Bangsa: Pembangunan dan Masalah-Masalahnya: Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 3.
Mohamad Roem: Penulis Produktif di Usia Senja
Pimpinan Masyumi lain yang boleh dikatakan sebagai intelektual ialah Mohamad Roem (1908-1983). Semasa aktif sebagai pimpinan partai, murid Haji Agus Salim ini tidak terlalu menonjol dalam dunia kepenulisan. Ia menjadi pemimpin Masyumi yang kontribusinya dinantikan di ranah birokratis. Namanya masyhur sebagai diplomat yang berjasa dalam Perundingan Roem-Roeijen. Tatkala berunding, Mohamad Roem adalah diplomat yang sulit menerima kelonggaran-kelonggaran yang ditawarkan Belanda. Ia sempat membuat Belanda kesal dalam Perundingan Linggarjati.
Setelah era Revolusi Kemerdekaan Indonesia berakhir, Mohamad Roem mencurahkan perhatiannya sebagai pimpinan Masyumi. Tetapi, berhubung kemampuannya dalam menangani soal pemerintahan dan hubungan luar negeri sangat dibutuhkan, ia ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri pada Kabinet Natsir, Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Wilopo, dan terakhir, ia dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri I pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Seiring dengan berakhirnya tugas-tugas dalam pemerintahan, Mohamad Roem mulai sering menulis. Kegiatannya ini mendapatkan sorotan dari rekan seperjuangannya yakni Natsir. Menurutnya, tulisan-tulisan Mohamad Roem sangat populer dan sering dibaca oleh masyarakat. tulisannya sederhana, namun tetap berisi.[14] Memang pada faktanya, Mohamad Roem lebih produktif menulis setelah berusia senja.
Tulisan-tulisan Mohamad Roem lebih banyak menguraikan peristiwa sejarah dan peristiwa penting yang dialaminya sendiri. Beberapa buku yang ditulis Mohamad Roem antara lain berjudul Suka Duka Berunding dengan Belanda, Sumpah Pemuda Puncak Perkembangan Awal Pertumbuhan, Tiga Peristiwa Bersejarah, Karena Benar dan Adil, Tinjauan Pemilihan Umum I & II, 2500 ex-Masjumi dan PSI Kehilangan Hak Pilih? dan Bunga Rampai dari Sedjarah sebanyak 4 jilid.
Oleh: Naufal Al-Zahra – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Zaini Tamin AR dan Moch Kalam Mullah, “Sejarah Sosial Literasi di Indonesia: Dari Tradisi Islam hingga Perumusan Kebijakan”, Jurnal Ibrah, Vol. 6, No. 1 Juni 2021, hlm. 34.
[2] Jose Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965. Banten: Penerbit GDN, 2023, hlm. 285.
[3] Ajip Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi. Jakarta: Girimukti Pasaka, 1990, hlm. 83.
[4] Soebagijo I.N., Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang. Jakarta: Gunung Agung, 1980, hlm. 88.
[5] Lihat dalam kolom, “Memperkenalkan Z.A. Ahmad”. Majalah Suara Partai Masjumi, No. 5, Mei 1952, hlm. 12
[6] Ibid, hlm. 13.
[7] Lihat dalam kolom, “Memperkenalkan Muhammad Isa Anshary”. Majalah Suara Partai Masjumi, No. 7/8, Djuli/Augustus 1952, hlm. 7.
[8] G.A. Ohorella, Prof. Dr. Abu Hanifah Dt. M.E. Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1985, hlm. 61.
[9] Ibid, hlm. 62.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hlm. 66.
[12] Ibid, hlm. 67.
[13] Sjafruddin Prawiranegara, Agama dan Bangsa: Pembangunan dan Masalah-Masalahnya Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 3. Jakarta: Pustaka Jaya, 2011, hlm. 8.
[14] Lihat tulisan Natsir, “Insya Allah: Roem tetap Roem”, Mohamad Roem 70 Tahun. Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 209.