Setiap tanggal satu Syawwal tiap tahunnya umat Islam di seluruh dunia merayakan hari raya Idulfitri. Pada perayaan ini, umat Islam bersuka-cita dengan berbagai ekspresi kebahagiaan. Setelah melaksanakan salat sunah Idulfitri, sebagaimana tradisi masyarakat di Indonesia pada umumnya, banyak di antara mereka yang melaksanakan kegiatan makan bersama, berkunjung ke sanak-saudara dan kerabat, dan sebagainya. Namun di tengah keriuhan tersebut, Mohammad Natsir dalam salah satu khotbah Idulfitri yang ia sampaikan sekitar paruh pertama dekade 1950, mengingatkan bahwa momentum lebaran ini mestinya dijadikan sebagai waktu introspeksi diri baik untuk individu, keseluruhan masyarakat, ataupun para pemimpin negara. Khotbah yang disampaikan oleh Natsir tersebut berjudul “Mengoreksi Diri” dan ia sampaikan di hadapan ribuan jemaah di Jakarta, sebagaimana hal ini dilaporkan dan ditulis ulang oleh Majalah Penuntun No. 8-9 Tahun ke-V.

Mengingat panjangnya tulisan tersebut, apa yang disampaikan pada artikel ini tidak akan memuat secara utuh teks khotbah yang disampaikan oleh Natsir, namun kami akan mencoba menyajikan beberapa butir pembahasan yang disampaikan olehnya secara lebih ringkas.

Dalam pembukaannya, setelah mengucapkan takbir dan memuji Allah SWT, Natsir kemudian beranjak mengajak para jemaah yang hadir untuk melihat ke belakang, tentang bagaimana perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan dan kesejahteraan. Pada masa-masa sulit perjuangan bangsa Indonesia itu, Natsir menyebutkan bahwa telah banyak pertolongan dan nikmat yang Allah berikan sehingga bangsa Indonesia bisa tetap bertahan dan terus berjalan menuju ke arah yang lebih baik. Untuk itu bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, semestinya menyadari dan bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan tersebut.

“Lihat kepada djalan kemadjuan Bangsa dan negara kita selama lima enam tahun jang lampau … Perobahan-perobahan besar jang telah berlaku dalam sedjarah bangsa kita selama enam tahun jang lampau, perobahan-perobahan jang berlumur darah dan air mata, perobahan-perobahan jang menggembirakan dan menjedihkan, keadaan jang ditempuh dengan hati jang harap dan tjemas silih berganti, bila semua itu didjumlahkan dan dilihat dengan penglihatan jang tenang pada hari ini, tak mampulah kita mengutarakan utjapan sambutan atas semuanja ini selain dari: Allahu Akbar! Maha Besar Allah! Besar pertolongan-Nja kepada kita. Disaat jang sulit dan rumit, Tuhan senantiasa menolong kita … Alhamdulillah ummat dan Negara kita, Agama dan djalan perdjuangan hidup kita dewasa ini sudah berada di dalam suatu taraf jang lebih tinggi dan madju dari tahun-tahun jang lampau.”

Lebih lanjut lagi Natsir juga mengingatkan agar bangsa Indonesia senantiasa memelihara kesadaran dan menjaga nikmat dan pertolongan yang telah diberikan oleh Allah tersebut. Jangan sampai bangsa Indonesia menyia-nyiakan, apalagi menyombongkan diri dengan beranggapan bahwa perjuangan bangsa dan negara Indonesia hanyalah hasil dari upaya diri mereka sendiri tanpa pertolongan Allah. Apabila bangsa Indonesia melupakan Tuhan, maka menurut Natsir yang akan terjadi ialah kehancuran, di mana masyarakat maupun para pemimpinnya tidak lagi akan bisa membedakan mana kebenaran dan mana keburukan.

“Bila bangsa Indonesia melupakan Tuhan dan mengira semuanja ini hanjalah buah dan hasil kepandaiannja belaka, akan datanglah masa kegagalan, sengketa, dan keruntuhan. Lupa Tuhan menjebabkan lupa diri kearah jang tertentu. Kesalahan-kesalahan akan bertimbun-timbun datangnja, mata hati akan tertutup sekalipun mereka bukan orang buta dan telinga pun akan tersumbat bagi mendengarkan kebenaran sekalipun mereka bukan orang jang tuli. Disinilah tepat berlakunja peringatah Tuhan: Apa belumkah diketahui oleh bangsa jang telah mewarisi kekuasaan dunia dari bangsa jang hidup sebelumnja, bahwa djikalau Kami menghendaki, Kami akan kuasa menimpakan musibah terhadap dosa dan kesalahannja dan Kami akan butakan mataharinja sehingga mereka tiada mampu mendengarkan kebenaran lagi (Al-A’raaf: 100).”

Maka untuk mencegah kehancuran bangsa, Natsir mengajak kepada masyarakat, dan lebih menekankan lagi kepada para tokoh masayrakat dan para pemimpin negara, untuk senantiasa pandai mengoreksi atau mengevaluasi dirinya sendiri. Sebab menurut Natsir, kerusakan atau bahkan kehancuran suatu masyarakat atau negara, didahului oleh rusaknya para pemimpin mereka.

Natsir dalam kampanye Pemilu 1955. Sumber foto: Howard Sochurek, Time Life Indonesia Elections, https://artsandculture.google.com/

“Kita sendiri harus pandai mengoreksi diri, dan pemimpin-pemimpin harus lebih dahulu meneliti dan memeriksa dirinja sendiri. Bila golongan pemimpin dan pemuka jang telah berlarut-larut di dalam kesalahan, kesalahan diri pribadi, kesalahan pimpinan dan kesalahan dalam menunaikan kewadjiban dan tugasnja, maka akan lebih dekatlah hukuman Tuhan datang menimpanja. Kebinasaan sesuatu Negara, biasa didahului dengan fasiknja para pemimpin dan pemuka bangsa itu sendiri. Demikianlah Sunnatullah dari masa kemasa.”

Kondisi-kondisi kerusakan masyarakat maupun para pemimpinnya menurut Natsir telah terlihat pada waktu itu. Banyak di antara para tokoh masyarakat dan pemimpin negara yang melanggar aturan, merampas hak yang bukan miliknya, serta banyak pula para cendekiawan yang seharusnya mengetahui mana benar dan salah serta menjadi pembimbing masyarakat namun justru memanfaatkan kepandaiannya itu untuk membohongi masyarakat.

“Sekiranja kita menindjau suasana dalam negeri dewasa ini, tidaklah dapat kita menutup mata dari beraneka warna tindak-laku dan perbuatan golongan-golongan jang njata-njata dapat membahajakan keselamatan Negara kita seluruhnja, berupa pelanggaran2 hukum, pelanggaran nilai hak dan milik, pelanggaran tata susila kerukunan bersama, ketjurangan2 orang pandai tjendekia … dan tekanan serta himpitan kepada kemerdekaan beragama yang dilakukan dengan sengaja atau kurang disadari dan kadang-kadang semuanja itu diperbuat dengan alasan demokrasi dan alasan kemerdekaan jang tak terbatas.”

Maka untuk mengatasi permasalahan kerusakan masyarakat maupun para pemimpinnya itu, bangsa Indonesia menurut Natsir harus senantiasa menjaga semangat jihad untuk melakukan perbaikan. Dengan mengutip sebuah hadits Nabi, Natsir mengibaratkan bangsa dan negara Indonesia ini sebagaimana sebuah kapal. Di dalam kapal tersebut ada yang bertindak sebagai juru mudi di atas, ada pula yang bertindak sebagai anak buah kapal di bawah. Mereka yang ada di atas bukan berarti lebih mulia ketimbang mereka yang ada di bawah. Semua pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Agar kapal tersebut bisa terus berjalan dan selamat sampai tujuan, maka baik pihak juru mudi yang di atas maupun anak buah kapal yang di bawah, harus sama-sama menunaikan hak dan kewajiban mereka masing-masing dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Tidak hanya itu, antara pihak juru mudi dan anak buah  kapal, ataupun antar sesama anak buah kapal, juga harus sama-sama saling mengawasi dan mengoreksi apabila ada yang bertindak salah di luar aturan. Apabila mereka saling cuek dan tidak peduli ketika salah satu berbuat salah, maka kesalahan tersebut bisa berakibat pada gagalnya perjalanan kapal tersebut. Dalam Islam ini disebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar.

Dengan pengibaratan ini, Natsir hendak mengajak kepada masyarakat dan para pemimpin bangsa tidak hanya untuk saling bekerja sama dan bertanggungjawab sesuai aturan, namun juga untuk senantiasa saling mengingatkan dan mencegah apabila terdapat kemungkaran dan kezaliman.

“Bukan masanja lagi kita sekarang ini berkeluh-kesah, berpatah-hati dan berasa lemah sepandjang hari. Bengkalai jang belum djadi sangat besar, pekerdjaan jang masih setengah djalan sangat banjaknja, maupun di dalam pembinaan Negara jang aman-makmur, apalagi pembinaan Negara jang diridhai Tuhan … Perdjuangan menegakkan jang ma’ruf, mentjegah dari jang mungkar dengan tidak mengenal lelah dan lalai, inilah rahasia kebesaran dan ketinggian ummat … Tindjaulah diri dan tindjaulah kekurangan-kekurangan dan kelemahan kita, kelemahan ummat kita, supaja lebaran ini dapat meninggalkan bekas jang baik bagi kita semuanja. Terutama supaja lebaran Idulfithri ini dapat menimbulkan himmah jang baru, kesadaran jang baru.”

Pada bagian akhir khotbahnya, Natsir kemudian mengajak umat Islam untuk bersatu, tidak terpecah-belah, dan mengingatkan untuk senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan.

“Tiadalah lajak ummat Islam chawatir dan gemang menjaksikan sibuknja pertentangan-pertentangan faham dan aliran di muka bumi ini. Ummat Islam hanja mempunjai perpegangan jang teguh kepada aqaid dan faham imannja sendiri. Keteguhan hati jang diiringi dengan kegiatan beramal, ketjepatan dalam mendahului golongan lain dalam menegakkan kebaikan, didalam me’amalkan usaha jang baik dan membaikkan.”

Lalu sebagai penutup, Natsir juga meminta kepada umat Islam agar di tengah suka-cita Idulfitri yang penuh nikmat ini, jangan sampai abai dan melupakan nasib saudara-saudara mereka yang di momentum ini pula masih dalam kondisi yang sulit, kelaparan, dan tertindas.

“Mudah-mudahan Idulfithri ini memberikan kita himmah jang besar, djiwa jang baharu untuk menunaikan kewadjiban kita itu. Djika kita sekarang ini merasakan ni’mat Idulfithri dan memperlihatkan sjukur kita kepada Tuhan dengan melahirkan kurnia-Nja dengan rupa pakaian dan makanan lezat, djangan sekali-kali kita lupa mengenangkan saudara-saudara kita jang djustru disaat-saat seperti sekarang ini, semakin teriris djantungnja melihat orang lain bersuka-ria, sedangkan mereka sedang dalam dirundung nasib tak turut bergembira-ria. Berikanlah sebagian rezki halal jang ada pada saudara-saudara dengan berupa sedekah dan zakat fitrah. Bergembiralah dan gembirakanlah! Sama-sama bersjukur kehadirat Illahy, sumber segala kebahagiaan! Allahu Akbar!”

Demikianlah pesan-pesan yang disampaikan oleh Mohammad Natsir dalam salah satu khutbah Idulfitri yang ia sampaikan sekitar awal tahun 1950an itu. Apa yang disampaikan olehnya, meski telah berlalu puluhan tahun, namun tentu masih bisa kita refleksikan untuk kehidupan kita pada masa kini maupun masa yang akan datang.

Oleh: Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here