Pemilu 1955 menjadi program monumental yang sukses ditorehkan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Sebelumnya, pelaksanaan pemilu menjadi wacana setiap kabinet dari masa ke masa. Mulanya, pemilu akan dijadwalkan beberapa waktu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. KNIP sebagai badan pembantu Presiden dan Wakil Presiden RI sekaligus badan yang memiliki fungsi serupa dengan DPR, telah mengumumkan pelaksanaan agenda pemilu pada 5 Oktober 1945. Akan tetapi, rencana tersebut urung dilaksanakan. Sebabnya, para pemimpin beserta rakyat Indonesia sibuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman Belanda dan sekutunya, sampai akhirnya kedaulatan Indonesia resmi diakui oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Wacana pemilu mencuat kembali memasuki dekade 1950-an. Pelaksanaan pemilu di dalam negeri maupun luar negeri dijadikan referensi untuk merencanakan pemilu berskala nasional. Setiap kabinet yang silih berganti, menghendaki agar pemilu segera dilaksanakan sebagai bentuk realisasi cita-cita negara demokrasi.
Tantangan untuk segera merealisasikan pemilu dijawab oleh Kabinet Wilopo dari PNI. Sebagai permulaan, kabinet ini berhasil menerbitkan Undang-Undang No. 7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mendukung pelaksanaan pemilu berskala nasional. Kelahiran UU tersebut tak dapat dilepaskan dari peran Mohamad Roem, selaku Menteri Dalam Negeri dari Masyumi dan Lukman Wiriadinata, sebagai Menteri Kehakiman dari PSI. UU ini terdiri atas 4 bagian, 16 bab, dan 139 pasal.[1]
Kabinet Wilopo memang berhasil merumuskan UU tentang pemilu. Sayangnya, kabinet ini gagal merealisasikan pelaksanaannya. Persiapan pemilu kemudian diserahkan kepada Kabinet Ali I yang juga berasal dari PNI. Setali tiga uang dengan kabinet sebelumnya, Kabinet Ali I gagal melaksanakan pemilu. Kabinet ini nampak kurang sungguh-sungguh mempersiapkan pemilu. Meski demikian, Kabinet Ali I telah membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) sebagai badan tertinggi penyelenggara pemilu. PPI diketuai oleh Sukri Hadikusumo, seorang kader PNI. Di samping itu, Kabinet Ali I juga telah menjadwalkan pelaksanaan pemilu pada dua hari yaitu; 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.
Berjarak Satu Bulan
Kabinet Burhanuddin Harahap memasukkan pelaksanaan pemilu sebagai salah satu program politik yang mesti segera ditunaikan. Hal ini senada dengan amanat yang diberikan oleh Bung Hatta setelah Kabinet Ali I mundur.
Jadwal pelaksanaan pemilu yang telah ditetapkan menjadi tantangan tersendiri bagi kabinet ini. Pasalnya, rentang waktu pelantikan Kabinet Burhanuddin Harahap dengan jadwal pemilu relatif mepet sekali; hanya berjarak kira-kira satu bulan saja.
Burhanuddin adalah sosok yang memiliki pemahaman mumpuni seputar pemilu. Ia telah lama berkecimpung mempelajari bidang ini. Burhanuddin pernah dipercaya oleh pimpinan Masyumi menjadi Ketua Komite Aksi Pemilihan Umum (KAPU) Masyumi. Menengok kapasitasnya, nampaknya amanat kepemimpinan tepat sekali berada di pundak Burhanuddin kala itu. Ia bersama jajaran anggota kabinetnya sangat serius mempersiapkan pelaksanaan pemilu.
Persiapan Teknis
Dalam waktu sebulan, Kabinet Burhanuddin Harahap segera mempersiapkan berbagai kebutuhan teknis pemilu. Untuk menunjang persiapan pemilu, selain PPI, dibentuk sebuah Panitia Ad-Hoc yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dengan beranggotakan Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan, dan Menteri Muda Perhubungan.
“Kegiatan Panitia Ad-Hoc ini lebih dipusatkan kepada persiapan-persiapan para petugas, sarana, dan fasilitas lainnya yang diperlukan termasuk pengadaan surat suara untuk 43.104.464 pemilih,“[2] tulis Badruzzaman Busyairi.
Kala itu surat suara harus segera sampai ke daerah-daerah pada 25 Agustus 1955. Namun sampai dengan 6 September, hanya 92 kabupaten yang sanggup melaksanakan pemungutan suara tepat pada waktunya, 29 September. Sementara itu, 48 kabupaten sanggup dengan syarat, 15 kabupaten tidak sanggup, dan 53 lainnya belum menjawab. Untuk mencegah kemungkinan terburuk, kabinet menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1955. Peraturan ini memungkinkan daerah-daerah yang belum sanggup menggelar pemilu pada waktunya untuk melaksanakan pemilu paling lambat dua bulan setelah 29 September.
Mendekati pelaksanaan pemilu, kabupaten-kabupaten yang menyatakan sanggup menggelar pemilu semakin bertambah. Sampai dengan 27 September, terdapat 8 kabupaten yang daerahnya mengalami pengunduran waktu seluruhnya. Sementara, 26 kabupaten mengalami pengunduran sebagian-sebagian. Semua yang menyatakan pengunduran waktu berasal dari daerah luar Jawa.
Anggaran yang digelontorkan untuk pelaksanaan pemilu mencapai 500 juta rupiah. Ihwal surat suara, terdapat 118 buah tanda gambar peserta pemilu untuk DPR, sementara tanda gambar untuk pesera pemilu Konstituante sebanyak 91 buah. Dengan jumlah pemilih sebanyak 43 juta orang, total kertas suara yang dicetak seberat 3.197.397 kg.[3]
Pelaksanaan Pemilu
Pemilu 1955 dilaksanakan ketika jutaan masyarakat Indonesia masih buta huruf (rumi/latin-peny.). Hanya kalangan menengah atas yang umumnya mampu membaca dan menulis. Kendati tingkat literasi masyarakat masih sangat rendah, tetapi Pemilu 1955 sangat menarik antusiasme sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka larut dalam perayaan demokrasi ini. Setiap warga Indonesia yang telah mencapai usia 18 tahun atau di bawahnya asalkan sudah kawin, giat menunjukkan keberpihakannya pada partai tertentu berdasarkan kecocokan ideologinya.
Tatkala hari pemungutan suara tiba, puluhan juta warga Indonesia yang telah ditetapkan sebagai pemilih, berbondong-bondong memadati TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Mereka memilih anggota DPR pada 29 September dan memilih anggota Konstituante pada 15 Desember.
Pada kenyataannya, Pemilu 1955 tidak sepi dari intimidasi terhadap para pemilih. Herbert Feith menerangkan secara umum laporan intimidasi jelang pelaksanaan pemilu sebagai berikut:
“Banyak para pemilih yang merasa ditekan untuk memilih Masyumi di berbagai tempat di Aceh dan di Jawa Barat di mana kekuatan Darul Islam harus diperhitungkan. Kedua, di berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah, intimidasi banyak sekali dan luas, yang dilakukan oleh lurah-lurah PNI dan pembantu mereka, dan di tingkat yang lebih rendah oleh orang-orang Komunis penjaga keamanan desa.”[4]
Intensitas laporan intimidasi terhadap pemilih lebih banyak terjadi pada saat memilih anggota DPR. Sedangkan, pada saat memilih anggota Konsitituante, laporan mengenai intimidasi kepada para pemilih berkurang drastis.
Secara umum, pelaksanaan pemungutan suara baik untuk DPR maupun Konstituante berlangsung dengan lancar tanpa mengalami gangguan yang signifikan. Jumlah presentase keseluruhan suara yang masuk sebesar 91.54% dengan suara sah 87.65%.[5]
Tatkala hasil pemungutan suara diumumkan oleh PPI, terdapat empat partai besar yang unggul sebagai pemenang. Secara berurutan, partai-partai itu adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Bagi sebuah negara yang baru saja memulai praktek pemilu berskala nasional, angka tersebut menunjukkan pencapaian yang luar biasa. Pemilu 1955 menjadi wahana pendidikan politik yang bermakna bagi masyarakat Indonesia.
Kabinet Burhanuddin Harahap telah menunaikan tugas dengan penuh lika-liku. Kabinet yang dipimpin oleh seorang kader Masyumi berusia di bawah 40 tahun ini bekerja selama 7 bulan 13 hari. Walau tak sampai genap setahun, Kabinet Burhanuddin Harahap telah mencetak pencapaian yang bersejarah.
Oleh: Naufal Al-Zahra – Pegiat Komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dan Aktivis Pemuda Persis
[1] Naufal Al-Zahra, Mengungkap Sisi Lain Pemilu 1955, majalah Risalah No. 10, Januari 2024, hlm. 29.
[2] Badruzzaman Busyairi, Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi. Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hlm. 95.
[3] Ibid, hlm. 100
[4] Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999, hlm. 68
[5] Naufal Al-Zahra, op cit, hlm. 33.