Eratnya hubungan Indonesia dan Palestina tercermin dari dukungan Mufti Palestina yang menyiarkan keberpihakannya pada kemerdekaan Indonesia pada 6 September 1944 lewat siaran radio di Berlin. Amin al-Husayni menyatakan bahwa kaum Muslimin seluruh dunia sungguh memperhatikan nasib Indonesia karena 60 juta penduduknya terdiri dari kaum Muslimin.[1] Kabar ini segera disebarkan oleh para pemuda pelajar Indonesia di Mesir sehingga dimuat media seperti Al-Ahram. Pihak Kedutaan Belanda di Kairo lewa Le Journal d’ Egypte segera membantah kabar ini dan mengatakan hal itu hanya janji yang diberikan oleh Jepang kepada pihak Indonesia.[2]
Amin Al-Husayni dalam posisinya sebagai pelarian di Jerman, dapat saja mendengar informasi yang keliru soal kemerdekaan Indonesia. Sebab yang didengar oleh Amin al-Husyani kemungkinan besar adalah pernyataan Pemerintah Jepang yang menyatakan akan memerdekakan Indonesia, melalui pidato Perdana Menteri Koiso dalam Sidang Istimewa Teikoku Gikai ke-85 pada 7 September 1944.[3] Bagaimanapun, tetap saja hal itu menunjukkan keberanian dan keterbukaannya mendukung kemerdekaan Indonesia meneguhkan hubungan Indonesia dan Palestina.
Atas dukungan Syaikh Amin al-Husayni ini, pengurus Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dipimpin K.H. Hasyim Asy’ari menyatakan kawat balasan kepada Amin al-Husayni. Surat itu berbunyi:
“muhammad amin al-husaini
jerman
dengan antara
perdana Menteri koiso tokio
atas perhatian tuan dan seluruh alam islam tentang janji Indonesia merdeka, majlis syuro muslimin Indonesia, atas nama kaum muslimin se-indonesia, menyatakan terima kasih.
asysyukru walhamduli’llah.
guna kepentingan islam kami lebih perhebatkan perjuangan kami disamping dai nippon sampai kemenangan akhir tercapai.
moga-moga pula perjuangan kemerdekaan negeri palestina dan negeri-negeri ‘arab lainnya tercapai
majlis syuro muslimin Indonesia
-hasyim asy’ari-“[4]
Maka tak mengherankan, bukan hanya ormas Islam yang mengapresiasi dukungan mufti Palestina tersebut, tetapi juga pemerintah Republik Indonesia membalas dukungan tersebut dengan memberi dukungan resmi pasca Indonesia merdeka. Pada bulan Mei 1947, menurut Antara, Presiden Sukarno mengirimkan telegram yang menyatakan dukungannya pada kemerdekaan Palestina kepada Sekjen Liga Arab, Azzam Pasha dan Mufti Palestina, Amin al-Husayni.[5]
Sikap pemerintah ini memang sejalan dengan sikap ormas Islam yang mendukung Palesina. Terlebih, pasca Indonesia merdeka, ormas-ormas Islam juga mendesak pemerintah Indonesia untuk memperkokoh sikapnya. Pada 18 Desember 1947, Partai Masyumi bersama anggota-anggota istimewanya yang terdiri dari NU dan Muhammadiyah dan lainnya bersidang membicarakan masalah Palestina dan memutuskan. Pertama, menganjurkan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk membantu perjuangan Palestina.
Kedua, Menganjurkan agar pemerintah RI menetapkan sikapnya membantu perjuangan bangsa Arab di Palestina. Ketiga, menghadap agar Dewan Keamanan PBB meninjau Kembali keputusan Pleno PBB tentang pembagian Palestina yang menjadi sebab terganggunya ketentraman dunia.[6]
Sikap ini dilanjutkan oleh Partai Masyumi dalam keputusan sikap politik luar negeri Muktamar Masyumi ke-III di Madiun pada 27-31 Maret 1948. Salah satu keputusan tersebut menyebutkan bahwa Masyumi memutuskan untuk, “Mengirimkan radiogram kepada Muftie Besar Amin Al Huseini tentang perjjuangan di Palestina.”[7]
Dua bulan sebelumnya, Nieuwe Courant juga memberitakan bahwa Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dalam kongresnya di bulan Januari 1948 menyatakan penolakan atas penyekatan Palestina.[8] Sikap ormas Islam ini tak berbeda dengan sikap pemerintah Indonesia dalam mendukung Palestina.
Sikap Indonesia sendiri jelas bukan basa-basi politik. Pada tahun 1948, Folke Bernadotte (1895-1948), diplomat yang ditunjuk sebagai mediator konflik Israel-Palestina (1947-1948) oleh Dewan Keamanan PBB, meminta Indonesia untuk membantu mengirimkan bahan makanan bagi pengungsi Palestina. Seperti dikutip De Nieuwisgier edisi 16 Oktober 1948, Indonesia telah mendapatkan izin dari International Emergency Food Comitee untuk mengirimkan 350 ton beras dan 250 ton gula. Bantuan ini nantinya dialokasikan oleh badan tersebut.[9]
Penggalangan bantuan juga terjadi pada akhir Desember 1948. Ketika Tahir Bey Alfatajani Majelis Tinggi Palestina (Al-Majlis al-Islami al-Shari’a al-A’la?) datang ke Batavia dan Surabaya untuk melakukan pengumpulan dana dari masyarakat muslim.[10] Tetapi eratnya hubungan ini tidak berjalan satu arah. Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatannya juga mendapat perhatian tokoh Muslim di Timur Tengah.
Salah satunya adalah Muhammad Ali Taher (atau Muhammad Ali El-Taher), jurnalis dan pengusaha media Mesir asal Palestina.[11] Hubungannya dengan para pelajar Indonesia di Timur Tengah membuat dirinya menyumbangkan hartanya untuk mendukung Indonesia.[12] Muhammad Ali Taher kemudian menjalin hubungan dengan tokoh diplomasi kemerdekaan Indonesia seperti Abdul Kahar Muzakkir, H.M. Rasjidi dan Haji Agus Salim. Jalinan timbal balik seperti ini akhirnya memperkuat hubungan antara Indonesia dengan Palestina yang sama-sama sedang memperjuangkan haknya.
Ahmad Subardjo, mantan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, yang juga mengenal Muhammad Ali Taher menyebutnya sebagai;
“…orang Mesir terkemuka yang banyak jasanya terhadap Indonesia. Beliau dengan spontan membela pelajar-pelajar Indonesia dengan uang dan sokongan moral waktu mereka memperjuangkan Proklamasi Kemerdekaan.” [13]
Kandasnya upaya Israel Mendekati Indonesia
Israel bukannya tidak mencoba menarik simpati Indonesia. Pada bulan Desember 1949, Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Presiden Sukarno dan Moh. Hatta (saat itu selaku Menteri Luar Negeri) RI atas tercapainya perjanjian pengakuan oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar.[14]
Satu bulan kemudian, Menteri Luar Negeri Israel, Moshe Sharett mengirimkan telegram bahwa Israel mengakui penuh kehadiran Republik Indonesia. Atas kedua telegram tersebut, Moh. Hatta hanya membalas, “terima kasih.”[15] Pemerintah Israel, lewat Ya’acov Shimoni, Kepala Departemen Asia Kementerian Luar Negeri kemudian melangkah lebih jauh dengan mencoba mengajukan pembukaan konsulat Jenderal di Indonesia dan menawarkan pengiriman misi ke Iindonesia. Hatta kemudian merespon dengan jawaban bahwa hal itu sebaiknya ditunda sampai waktu yang tak ditentukan.[16]
Hadirnya Perwakilan Pemerintah Indonesia dalam Muktamar Internasional I Tentang Baitul Maqdis
Pada upaya Israel mencoba membuka hubungan dengan Indonesia tidak berhasil bahkan semakin jauh dari harapan mereka. Pada tahun 1953, Pemerintah Indonesia mengirimkan resmi Indonesia dalam Muktamar Internasional I tentang Baitul Maqdis di Yerussalem. Pemerintah Indonesia secara resmi mengutus delegasinya saat itu, yaitu Ahmad Subardjo, bersama dengan Sirajuddin Abbas, Salim al-Rasjidi, dan Abdul Mukti Ali.[17]
Pemerintah Indonesia memenuhi undangan dari Panitia Pembela Palestina yang berkedudukan di Baghdad yang bekerja sama dengan Panitia Isra’ Mi’raj di Yerusalem. Menurut salah seorang panitia, sebenarnya muktamar ini didorong oleh kelompok Islam Ikhwanul Muslimin. Muktamar ini dihadiri oleh utusan-utusan dari negara Arab, Cina, Indonesia, Pakistan, Afghanistan, Iran, Kaukasus, Turkistaan, Amerika dan Eropa.[18]
Pemerintah Indonesia kemudian mengirimkan Penasehat Menteri Luar Negeri yang merangkap Duta Besar Keliling, Ahmad Subardjo bersama Sirajuddin Abbas dari Partai Islam Perti. Kedatangan mereka ke muktamar tersebut untuk menjadi peninjau dari pemerintah Indonesia, dan bertujuan untuk menyelediki keadaan yang sebenarnya di Yerusalem dari tanggal 3-10 Desember 1953.[19]
Dalam perjalanan ke Yerusalem, Ahmad Subardjo juga menyempatkan bertemu dengan aktivis sekaligus pengusaha media asal Palestina, Muhammad Ali Taher. Pada 4 Desember 1953, perwakilan Indonesia akhirnya sampai di Yerusalem. Di sana, perwakilan Indonesia menyempatkan sholat Jumat di Baitul Maqdis dan mengunjungi kamp-kamp pengungsian di perbatasan Palestina.
Di kamp pengungsian, rombongan berkunjung ke kamp pengungsian yang dikelola oleh Unted Nations Relief and World-Agency for Palestine (UNRWA). Menilai kondisi kamp tersebut Ahmad Subardjo menyatakan bahwa,
“Pembagian makanan itu, yang sangat sederhana tak mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga-keluarga yang banyak itu.”[20]
Pemerintah Indonesia menurut Ahmad Subardjo juga menyumbangkan bantuan kurang lebih senilai 60.000 dollar AS kepada Palestine Relief Fund. Kondisi yang memperhatinkan para pengungsi ini banyak menyentuh pihak peserta muktamar. Para delegasi juga mengunjungi desa Qibya yang menjadi korban kekejaman tantara Israel.[21]
“Kejamnya luar biasa, karena serangan diadakan waktu orang-orang desa sedang tidur. Korban terdiri dari 42 orang binasa, laki-laki, perempuan dan kanak-kanak, tertembak mati oleh mitraliyur. Lebih dari 40 rumah terbakar atau dirusakkan, dua desa lain ditembaki dengan meriam,” jelas Ahmad Subardjo.[22]
Dukungan Indonesia sangat dihargai oleh orang-orang Arab. Kepada Ahmad Subardjo, mereka berkata,
“Meskipun dunia Islam jauh pula dari mencapai persatuan pada waktu sekarang, tapi dasar Islam ialah satu, kekuatan Islam terletak pada satu pandangan hidup yang mengikat umat Islam seluruhnya. Bahwasanya Indonesia mengirim utusan ke Muktamar Islam, yang kami adakan di Yerusalem ini, itulah satu tanda bahwa Islam ialah satu living force yang harus kita pupuk dan pelihara.
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, saudara-saudara kita di Indonesia yang kami banggakan, karena keberaniannya dan keikhlasannya membela Tanah Airnya serta membela lain-lain bangsa yang masih terjajah, kami hormati tinggi dan kami harapkan sokongan dan bantuannya dalam perjuangan kami.”[23]
Delegasi Indonesia juga bertukar pikiran dengan delegasi lain. Seperti Alal al-Fasi dari Maroko yang mewakili organisasi Islam Jaminatul Kifah il-Tahir Al-Sjaiul Al-Islamiyah, Said Samil Faisullah Effendi dari Kaukasus (Rusia), Abdul Salam Abu Izzah dari Aljazair, dan lainnya. Kepada mereka, Ahmad Subardjo bertanya mengenai kondisi geopolitik dan potensi dari muktamar tersebut.[24]
Salah satu resolusi muktamar tersebut menurut Ahmad Subardjo adalah untuk melaksanakan kewajiban membela Palestina, mereka musti kembali kepada ajaran Tuhan, bersatu padu dalam persaudaraan Islam. Di antara beberapa anjuran muktamar adalah untuk menjadikan tanggal 27 Rajab tiap tahun sebagai hari Palestina. Kemudian membangun jalur kereta api dari Hijaz ke Amman, dan menyarakan agar negara-negara Islam mengadakan konsulat dan perwakilan politik di Yerusalem sebagai cabang kedutaan di Amman, Yordania.[25]
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan dalam Muktamar tersebut, Ahmad Subardjo menilai inilah yang bisa dihasilkan dari muktamar tersebut, terlebih jika menilai bahwa kekuatan pembelaan Palestina justru disandarkan kepada rakyat Islam, bukan pemerintahan negara masing-masing.[26]
Tetapi di Indonesia, dukungan pemerintah tak berhenti di muktamar tersebut, namun melangkah lebih jauh menjadi tuan rumah dalam konferensi besar yang berlandaskan sikap anti-kolonialisme, termasuk dalam membela Palestina, yaitu dalam Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 di Bandung.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Hassan, M. Zein. Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: Bulan Bintang, 1980 dan Soeara Moeslimin Indonesia, No. 20 tahun II, 27 Syawal 1363.
[2] Hassan, M. Zein. Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
[3] Soeara Moeslimin Indonesia No. 18, tahun II, 27 Ramadhan 1363
[4] Soeara Moeslimin Indonesia, No. 20 tahun II, 27 Syawal 1363.
[6] Zuhri, K.H. Saifuddin. Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 1989.
[7] Dokumen Muktamar Masyumi ke VIII di Surabaya, 23-27 Desember 1954
[8] Nieuwe Courant, 31 Januari 1948
[9] De Nieuwisgier edisi 16 Oktober 1948
[10] De Vrij Pers, 30 Desember 1948
[11] https://eltaher.org/biography/M_A_Eltaher-Biography(EN).pdf
[12] Hassan, M. Zein. 1980.
[13] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978. Ahmad Subardjo Djojoadisuryo, Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi. Jakarta: PT Gunung Agung.
[14] Yegar, Moshe. “The Republic of Indonesia and Israel.” Israel Affairs 12, No. 1 (2006): 136-158.
[15] Yegar, Moshe.2006.
[16] Yegar, Moshe.2006.
[17] Al-Awaisi, Abdul Fatah. Al-Mu’tamar Al-Islâmy Al-‘Âm Baitul Maqdis 1953 wa 1962. Baitul-Maqdis, 1989.
[18] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978.
[19] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978.
[20] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978.
[21] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978.
[22] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978.
[23] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978.
[24] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978.
[25] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978.
[26] Djojoadisuryo, Ahmad Subardjo. 1978.