Pada 1 Mei 1874, Jenderal Van Swieten tiba di Batavia. Ia disambut Gubernur Jenderal James Loudon. Pasukan yang kembali dari Aceh di sambut meriah dengan gapura kehormatan dan karangan-karangan bunga. Bunga-bunga indah tersebut menutupi fakta bahwa persoalan Aceh sama sekali belum selesai. Pengganti Van Swieten di Aceh adalah Kolonel J. H. Pel. Di Aceh Besar, Pel ditinggalkan sebuah kekuasan pasukan militer yang menempati bekas keraton Kesultanan Aceh yang kemudian dinamakan Kutaraja. Luasnya tak seberapa dengan benteng yang dilindungi pos-pos yang menjaga kekuasaan hanya beberapa kilometer persegi. Dari wilayah itu sebenarnya mereka tak mencapai tujuan politik apa pun.[1]
Pasca wafatnya Sultan Aceh, kepemimpinan atas nama Sultan sementara diambil alih oleh tiga figur. Tuanku Hasyim, Imam Lueng Bata dan Panglima Polim. Tuanku Hasyim adalah salah seorang anggota keluarga Sultan. Ia sosok yang pandai, berpendidikan dan sangat patuh pada ajaran Islam. Awalnya ia bertindak sebagai wakil Sultan Ibrahim di wilayah-wilayah taklukan Aceh di bagian Timur. Ketika wilayah tersebut ditaklukkan Belanda ia pindah ke Langsa. Ketika Perang Aceh meletus pada 1873, ia masih berada di Sumatera Timur. Pada babak kedua serangan Belanda ia telah hadir menjadi pemimpin yang sangat berpengaruh di Aceh Besar.[2]
Selain Tuanku Hasyim, Panglima Polem Sri Muda Perkasa adalah figur lain yang berjasa mempertahankan kewibawaan Kesultanan Aceh pasca direbutnya Dalam. Panglima Polem adalah pemimpin dari salah satu tiga federasi (sagi) di bawah Kesultanan Aceh, yaitu Mukim XXII. Kedudukan Panglima Polem di Kesultanan Aceh diakui Sultan Aceh secara turun temurun. Selain Tuanku Hasyim dan Panglima Polem, Imam Lueng Bata, adalah sosok yang memegang kepempinan pasca wafatnya Sultan Aceh. Meski bergelar Imam, kedudukannya bukan sebagai pemimpin spiritual, namun sebagai pemimpin duniawi yang sangat disegani. Wilayahnya, Lueng Bata tidak termasuk dalam tiga sagi di bawah kesultanan, namun berdekatan dengan Banda Aceh.[3]
Sesudah Sultan wafat, mereka bertiga terpilih sebagai wali Sultan baru yang masih kanak-kanak. Sultan ini adalah cucu Sultan Ibrahim Mansur Syah (berkuasa dari 1857-1870) yang bernama Tuanku Muhammad Daud dan masih berusia tiga tahun.[4] Sebagai wali Sultan, mereka amat menentukan kepemimpinan di Aceh Besar. Ketiganya terlibat langsung dalam ajakan-ajakan untuk berjihad melawan Belanda.
Pada 18 April 1874 misalnya, Tuanku Hasyim, Panglima Polem, Sri Imam Muda Teuku Panglima XXVI, dan Sri Setia Ulama menulis surat pada Raja Geudong di Pasai. Mereka mengatakan bahwa para ulama, para haji dan sekalian Muslimin di Aceh Besar telah bermufakat untuk melawan Belanda sekuat tenaga. Mereka menegaskan bahwa,
“Insya Allah Ta’ala tiadalah ubah kepada Allah dan Rasul melawan siang dan malam, Hatta tinggal negeri Aceh sebesar-besar nyira pun melawan juga, demikian hal pakatan orang tiga sagi dan ulama-ulama dan haji-haji dan sekalian muslumin maka sekarag pun jikalau ada yakin saudara kami akan Allah dan Rasul dan akan agama Islam mendirikan syariat Muhammad dan bersaudara dengan kami semuaya dalam Aceh maka hendaklah saudara kami melawan dengan syariat Muhammad agama Islam dan nama agama bangsa Aceh adanya”[5]
Belanda menerapkan Taktik Menunggu (Ajal)
Selama tahun 1874 Belanda memang masih berkonsolidasi. Van Swieten memutuskan untuk memakai taktik ‘afwachtende houding’ (bersikap menunggu). Ia menyadari pejuang Aceh tak dapat ditaklukkan dengan kekerasan. Dalam sebuah surat kepada seorang sahabatnya mengatakan: “ Kita berhadapan di Aceh dengan suatu bangsa yang tidak saja berani dan mempunyai nafsu perang serta tidak pernah dijajah bangsa lain, tapi yang sejak dahulu kala mendapat nama harum sebagai bangsa yang sungguh tangkas berperang.”[6]
Itu sebabnya Van Swieten memilih untuk membujuk para pemimpin Aceh untuk berpihak pada mereka. Kepada rakyat Aceh Swieten mengatakan kedatangan Belanda adalah untuk memelihara keamanan dalam negeri, melindungi dari penaklukan bangsa lain dan membantu penyelesaian sengketa sesama raja dan tidak akan membatasi kemerdekaan beragama Islam di Aceh.[7]
Salah satu bujukan Belanda mencari simpati adalah dengan menawarkan pembangunan kembali Masjid Raya (Baiturrahman) yang sudah hancur akibat serangan ke dua. Pada 8 Februari 1874 Van Swieten menyatakan: “Bahwa Pemerintah Belanda akan membangun Masjid yang besar yang didirikan penuh keikhlasan hati yang putih bersih untuk melambangkan tidak akan ada lagi kematian dan penghancuran; yang ada hanya pengabdian ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dan kegiatan usaha yang penuh rasa cinta.[8] Masjid Baiturrahman akhirnya dibangun kembali 5 tahun kemudian. Ditandai peletakan batu pertama oleh Tengku Malikul Adil pada 9 Oktober 1879 dan disaksikan Jenderal van der Heijden dan diiringi 13 tembakan meriam. Seorang ulama berpengaruh, Tengku Syeh Marhaban, diberi tanggung jawab mengurus masjid ini oleh pemerintah kolonial Belanda.[9]
Tawaran seperti ini bukannya tidak memikat. Salah satu yang terpikat adalah pemimpin dari Meuraksa, Teuku Ne’. Uleebalang dari Meuraksa yang wilayahnya dekat dengan pesisir. Pantai Cermin tempat Belanda merangsek ke Aceh termasuk dari wilayah Meuraksa. Teuku Ne sejak semula disebut tidak setuju dengan adanya peperangan. Meuraksa bukannya tidak melawan ketika Belanda pertama kali mendarat, hanya saja dirasakan perlawanan tak muncul ketika Belanda mendirikan bivak di Pantai Cermin.[10]
Maka tak mengherankan jika sebagian pihak menyalahkan Teuku Ne dan Meuraksa sebagai pihak yang menyokong Belanda bercokol di Aceh. Salah satunya adalah Imam Leueng Bata dan T. Chik Lamnga berupaya menaklukkan Meuraksa yang menyerah pada Belanda. Pasukan berpakaian putih-putih itu menyerang Meuraksa dan membakar setidaknya 250 rumah. Namun serangan itu dapat dihalau oleh pasukan Belanda. Pada Juni dan Agustus 1874, serangan kembali dilancarkan ke Meuraksa, namun kembali gagal karena kurangnya perbekalan dan tidak adanya kerjasama.
Serangan-serangan Aceh memang tak berhenti. Jenderal Klaas van der Maaten menyebutkan betapa sulitnya mereka menghadapi serangan pasukan Aceh:
“…begitu Jenderal van Swieten berangkat, musuh pun menyerang kubu kita dan merintangi hubungan kita dengan laut sedemikian nekat dan banyaknya sehingga tidaklah mungkin diandalkan patrol kecil saja. Lain dari itu kubu mereka dari mana mereka menggempur pertahanan, kesatuan, patrol dan perahu lintasan kita, dekat letaknya dan begitu payah untuk dihindari tembakan kita.”[11]
J.H. Pel bahkan sudah meminta pasukan tambahan saat Van Swieten baru menginjakkan kaki di Belanda. Pel merasa kekurangan tenaga untuk mengisi pos-pos pertahanan mereka.[12] Pel sendiri tak dapat bergerak leluasa. Van Swieten mewariskan kebijakan Fransen van de Putte yang tidak mencoba maju lebih jauh dari benteng kecil mereka yang menghubungkan Kutaraja sampai ke laut. De Putte menolak memperluas perang itu sampai ke pedalaman Aceh.[13]
Ia juga disibukkan upaya untuk mendapatkan jalan masuk ke pantai dan membasmi penyakit kolera yang melanda pasukannya. Wabah ini terus menjangkiti mereka bahkan hingga tahun 1875. Pada Februari saja kolera telah menewaskan 432 prajuritnya. Baru pada bulan-bulan berikutnya, kolera dapat dikendalikan.[14]
Barulah pada Juli 1875, Pel pergi ke Batavia untuk mendapatkan pasukan tambahan dan disetujui Gubernur Jenderal Johan Willem van Lansberge. Wilayah yang dikuasai Belanda memang tak seberapa, hanya Istana, Peunayong, Kampung Jawa dan seterusnya sampai Kuala Aceh. Pel merasa perlu memperluas tempat-tempat penting.[15]
Akibat rasa frustasi dari benteng yang terus menerus diserang pejuang Aceh, Pel berhasil meyakinkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda van Lansberge agar melakukan serangan untuk memperoleh kendali atas seluruh pantai Aceh Besar, dari Krueng Raba di Barat sampai Krueng Raja di Timur. Tujuannnya adalah untuk mengucilkan kelompok-kelompok pejuang Aceh.[16] Setelah melalui hujan deras dan banjir yang melanda Aceh Besar di bulan Desember, barulah pada akhir Desember 1875, Pel mulai melancarkan serangan ke Lueng Batta, yang jaraknya jika ditarik garis lurus sebenarnya tak sampai 2 kilometer dari Keraton.
Sekitar seribu pasukan Belanda berjalan kaki menembus pematang sawah yang telah menjadi medan lumpur. Mereka menjadi santapan para pejuang Aceh yang menembak dibalik rumpun-rumpun bambu. Pakaian seragam militer serba biru, kaus panjang putih dan senapan laras panjang menjadi tidak praktis dibandingkan para jago tembak pejuang Aceh.[17]
Teriakan-teriakan menyeramkan pejuang Aceh begitu menakutkan bagi mereka. Ayunan kelewang dari pejuang Aceh dalam satu kali ayun dapat membelah bahu hingga sampai ke jantung korbannya. Meriam lapangan yang sudah diseret-seret pasukan Belanda tak mudah disiapkan untuk segera ditembakkan. Mereka segera diserbu pasukan Aceh. Celakannya, mereka tidak tiba secara bersamaan. Kolone pertama yang tiba lebih dahulu terdesak dan kehilangan 10 orang.[18]
Isyarat yang ditiupkan dari terompet Wilhelmus van Nassauwe untuk meminta pertolongan, malah dianggap kawan-kawan dari kolone yang belum tiba sebagai pertanda untuk kembali ke Kutaraja. Satu kolone yang diserbu di Lhong, dihabisi pasukan Aceh. Sebagian pasukan berupaya kabur dari pembantaian di desa tersebut. Prajurit yang terluka dihabisi oleh pejuang Aceh, beberapa lainnya yang luka bunuh diri atau memohon kawannya agar menembak mati saja diri mereka.[19] Meski sempat terpisah pasukan Belanda akhirnya kembali berkumpul di Masjid Lueng Batta. Sepertiga pasukan sudah habis dipancung pejuang Aceh. Mereka terkurung di Masjid Lueng Batta, sebelum akhirnya bala bantuan dari Kutaraja datang pada pukul enam sore. Pukul sebelas malam mereka kembali ke bivak dekat keraton melalui malam tahun baru yang mencekam.[20]
Pejuang Aceh terus menyerang pos-pos pertahanan Belanda. Pos-pos yang menjadi kubu pertahanan benteng kutaraja ini lokasi terjauhnya adalah 9 kilometer dari Kutaraja. Oleh sebab itu kekuatan pasukan Pel menjadi terpecah-pecah. Eksistensi pos ini juga tak mudah di jaga. Seminggu sekali harus dibawakan perbekalan. Kolone yang bertugas harus menempuh pertempuran untuk menuju ke pos yang terkucil (dan terkepung) tersebut. 45 dari 60 orang pasukan pengawalan pengangkutan tewas, tak lama sebelum Pel meninggal di bulan Februari.[21] Fakta dilapangan, menurut Pel, Belanda tak mampu menguasai 1,5 km kiri dan kanan jalan dari ibu kota. Pos-pos tersebut silih berganti dikuasai pejuang Aceh dan Belanda.
Pada Februari 1876, J.H. Pel tiba-tiba meninggal.[22] Mohammad Said menyebut Pel tewas ditembak pejuang Aceh dalam serangan di Bivak Tungu pada 24 atau 25 Februari 1875.[23] Maka sudah dua Jenderal meregang nyawa di tanah Aceh, Kohler dan Pel. Namun ia sudah membuka jalan kebijakan yang lebih agresif di Aceh.
Tahun 1876 gelombang pasukan didatangkan ke Aceh. Tiga ribu fuselir orang Eropa, lima ribu fuselir orang Indonesia, 180 orang Afrika. Ada tiga ribu orang rante (narapidana kerja paksa) dan lima ratus kuli lepas. Orang rante ini didatangkan dari depot-depot di Jawa. Mereka adalah orang-orang yang tak beruntung. Menjadi narapidana kerja paksa di Aceh artinya kematian. Di Aceh bukan saja terancam tewas oleh kelewang pejuang Aceh, tapi kondisi kehidupan buruk juga menghantui mereka. Dan benar saja, hanya di tahun 1876 saja, 1.500 orang rante tewas. Artinya separuh dari jumlah mereka sudah meregang nyawa.
Pada bulan Maret 1876, Habib Abdurrahman az-Zahir, tiba di Aceh setelah menempuh perjalanan panjang upaya mencari bantuan dan diplomasi yang gagal ke luar negeri. Ia telah menempuh perjalanan Panjang dan sulit untuk menggalang bantuan bagi Aceh. Kesulitan itu membuatnya sempat menemui G. Lavino, Konsul Belanda di Penang. Dia mengambil inisiatif untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan Belanda. Namun Batavia dan Den Haag tidak mempercayai dirinya. Dengan menyamar sebagai orang keling jelata, ia menembus blokade Belanda dan tiba di Pantai Idi, Aceh.[24]
Datangnya Habib Abdurrahman Az Zahir[25]
Kehadiran Abdurrahman az-Zahir menimbulkann kegairahan baru dikalangan pejuang Aceh. Meski pada rentang 1874-1876 ada 31 Uleebalang yang menandatangani perjanjian dengan Belanda, tetapi Abdurrahman az Zahir mampu mendorong kembali geliat perang sabil. Ia berhasil mengumpulkan dana beribu-ribu ringgit dari pemberian uleebalang di pantai timur dan utara Aceh. Beribu-ribu rakyat pula ikut dalam barisannya sebagai pejuang.[26]
Pada suatu pertemuan kaum hulubalang, ia diangkat sebagai Panglima Perang Besar. Pihak Kesultanan Aceh yang sekarang bertempat di Keumala, hulu sungai Pidie segera mengakuinya. Habib Abdurrahman kemudian menjadikan Mon Tassiek, 12 km dari Kutaraja sebagai markasnya.[27] Setidaknya, saat sampai di Pidie ia telah mengumpulkan sekitar 10 ribu orang untuk pasukannya. Kekuatan Habib Abdurrahman az-Zahir bertambah setelah ia mendapatkan dukungan ulama besar Aceh yaitu Teungku Chik di Tiro.
Pada Juni 1877, Habib datang ke Pidie. Di sana ia memperoleh dukungan para tokoh Aceh. Ia meraih dukungan dari ulama Teungku Cik di Tiro hingga para pemimpin terkemuka seperti Panglima Polem, Teuku Muda Ba’et, Imam Lueng Bata dan Teuku Paya membuat pasukan di bawah Habib menjadi sangat kuat. Raja Gigeng juga turut memberi dukungannya pada Habib.
Hasil pertemuan itu menghasilkan serangan-serangan geriliya yang intensif ke pos-pos Belanda, seperti di Lambaroh dan Lam Njong.[28] Pasukan Habib terus melakukan serangan-serangan hingga Juni 1878. Serangan itu dilancarkan tiga kali di Mukim XXVI dan sekali di IV Mukim (Lhok Nga). Ia berhasil menduduki Krueng Raba, kemudian Bukit Siroun pada 24 Juni 1878.[29] Habib dianggap mampu mengikhtiarkan persatuan orang-orang Aceh. Bahkan pihak yang sudah mengibarkan bendera Belanda di wilayahnya seperti Teungku Pakeh dari Pidie turut membantu diam-diam Habib dengan menyokong perbekalan dan uang.[30]
Hanya saja, sejarawan seperti Paul van t’ Veer dan Anthony Reid, berdasarkan sumber dari G. Lovina, menyebutkan Habib memiliki ambisi menjadi Wali Sultan bahkan menggantikannya. Hal ini yang menyebabkan dirinya tidak akur dengan Tuanku Hasyim, Wali Sultan saat itu.[31]
Sepanjang 1876 hingga 1877 Pasukan Belanda di Aceh disibukkan dengan serangan wabah tifus, kolera dan disentri. Pada tahun 1876 saja, ada 1.400 pasukan yang meninggal akibat wabah tersebut.[32] Ketika wabah perlahan mulai mereda pada 1877, mereka mulai bergerak agresif.
Belanda memanfaatkan kesempatan menyerang pada 30 Januari 1877 ketika Habib sedang mengkonsolidasikan kekuatanya di Aceh Besar. Di bawah pimpinan A.J. Diemont, pasukan Belanda menyerang Lam Bada, di sungai di atas Kutaraja, wilayah dari Teuku Paya. Sayangnya perjuangan mati-matian Teuku Paya gagal mempertahankan Lam Bada.[33] Pada Juni 1877, Diemont jatuh sakit dan digantikan Karel van der Heijden (1826-1900). ia adalah anak Indo di luar nikah dan mendapat pendidikan militer Belanda. Kariernya melesat dan mendapatkan reputasi di Aceh.[34]
Van der Heijden bergerak cepat. Bersama tiga ribu oranng pasukan, sepuluh kapal perang, diantaranya (Citadel van Antwerpen, Sambas, Banda, Amboina, Palembang dan lainnya)[35] datang ke negeri pesisir berpenduduk 30 ribu orang di Samlanga. Pemimpin Samalanga pada 1876-1877 telah melarang laki-laki di wilayahnya untuk menggarap sawah. Semata agar mereka dapat ikut berperang di Aceh Besar. Di Samalanga kala itu dikenal seorang pemimpin pemerintahan bernama Pocut Mueligo. Ia mewakili saudaranya, Teuku Chi’ Bugis.[36] Pocut Mueligo menurut Kesaksian Kapten Belanda J.P. Schoemaker, adalah seorang yang amat benci pada Belanda.
“Kebenciannya terhadap Belanda sedemikian besar, terlihat dari perintahnya bahwa semua rakyat yang sudah sanggup berperang harus masuk berjuang, bahkan untuk keperluan sawah ladang harus ditinggalkan, dan kalau tidak bakal dihukum berat. Demikian pula ia (Pocut Mueligo) dengan terus mengirim bantuan dana, alat perang dan sukarelawan ke Aceh Besar demi membantu perjuangan Aceh di sana, Samalanga dapat melakukan begitu karena perdagangan ekspornya ke luar berkembang bagus dan letaknya pun untuk keperluan tersebut cukup menguntungkan. Di tahun 1876 kita telah mencoba usaha supaya Samlanga mengakui pertuanan kita, tapi jawabnya ialah mereka menembaki kapal-kapal perang kita bahkan di dekat bendera kita sendiri mereka melakukan pembajakan paling kurang ajar.”[37]
Penaklukkan Samalanga begitu strategis bagi Belanda. Negeri ini adalah negeri yang kuat akan lalu lintas perdagangan. Samalanga juga menjadi penyokong pejuang-pejuang Aceh yang menyerang pertahannan Belanda di Aceh Besar. Menaklukkan Samalanga berarti mengurangi serangan-serangan ke Aceh Besar. Diperlukan perjuangan berat bagi Belanda menembus Samalanga. Pertempuran pertama di Kiran, pasukan Belanda dibuat kerepotan. Serangan 40 pejuang Aceh berhasil memporakporandakan 1 batalyon. Ayunan kelewang Aceh memakan korban. Dalam tiga menit sudah 3 orang tentara Belanda tewas, termasuk Letnan B.M. Leussen.[38]
Satu waktu, dalam kondisi istirahat di bivak mereka di pantai, jauh dari pertahanan Samalanga, 50 pejuang Aceh menyergap mereka. Seorang ulama besar Samalanga bernama Haji Ahmad menyergap Letnan Richello dan memancung kepalanya.[39] Van der Heijden tidak berhasil menaklukkan Batee Iliek. Batee Iliek adalah satu kubu pertahanan di bukit dekat Samalanga. Batee Iliek adalah wilayah yang menjadi pusat agama Islam seperti wilayah Tiro di Pidie. Berkali-kali serangan dilancarkan ke Batee Iliek, namun gagal. Batee Iliek dipertahankan para pelajar dayah secara gigih.[40]
Upaya penaklukkan Samalanga harus dibayar Kolonel Van der Hejiden dengan kehilangan salah satu matanya. Peluru pejuang Aceh menembus mata van der Heijden. Peristiwa itu terjadi dalam serangan ke Batee Iliek pada 26 Agustus 1877.[41] Pada 1 September 1877, Van der Heijden dibawa ke Banda Aceh untuk dirawat.[42] Peristiwa hilangnya mata van der Heijden diabadikan dalam Syair Prang Koempeni karya Dokarim.[43]
Pada akhirnya Samalanga takluk. Takluknya Pemimpin Samalanga, Teuku Chi’ Bugis datang ke Bivak Belanda untuk mengikat persetujuan.[44] Bulan Agustus, ditandai dengan kesepakatan Sang pemimpin menandatangani ikrar panjang. Sebuah pengakuan penaklukkan sebanyak 18 pasal yang isinya mengakui kedaulatan Belanda.[45] Sebenarnya Belanda tak berkuasa penuh di Samalanga. Mereka hanya puas melihat bendera Belanda berkibar di sana, tanpa mencampuri kekuasaan apapun. Samalanga tetap bebas melancarkan perdaganngan ekspor impornya. Benteng Batee Iliek tidak diganggu sedikitpun dan berdaulat penuh dibukitnya. Hal ini menjadi catatan sejarah yang mencoret kening van der heijden. ‘De ehec van Samalanga’ alias kegagalan pertama dari Koloner Karel van der Heijden.[46] Tetapi ia tak tinggal diam. Langkah berikutnya dilakukan tanpa ampun.
Oleh: Beggy Rizkyansyah – pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Sebelumnya: Babak Ke Dua Perang Aceh – 4
Berikutnya: Takluknya Sang Habib dan Perang yang Brutal – 6
[1] Van t’Veer, Paul. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 77.
[2] Reid, Anthony. 2005. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 32.
[3] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 79 dan Reid, Anthony. 2005, hlm. 185.
[4] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 77
[5] Alfian, Ibrahim. 2016. Perang Aceh, 1873 – 1912: Perang di Jalan Allah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, hlm. 84.
[6] Said, Mohammad. 2007. Aceh Sepanjang Abad. Jilid 2. Medan: Harian Waspada, hlm. 178
[7] Said, Mohammad. 2007, hlm. 179.
[8] Said, Mohammad. 2007, hlm. 179.
[9] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 62.
[10] Said, Mohammad. 2007, hlm. 162-163
[11] Said, Mohammad. 2007, hlm. 169.
[12] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 78.
[13] Reid, Anthony. 2005, hlm. 196.
[14] Ibid.
[15] Said, Mohammad. 2007, hlm. 172.
[16] Reid, Anthony. 2005, hlm. 196.
[17] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 80.
[18] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 81.
[19] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 82.
[20] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 82-83.
[21] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 90.
[22] Reid, Anthony. 2005, hlm. 197.
[23] Said, Mohammad. 2007, hlm. 174.
[24] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 90-91.
[25] Untuk biografi singkat Habib Abdurrahman az-Zahir lihat Reid, Anthony. 1972. Habib Abdurrahman az-Zahir (1833—1896). Indonesia, Vol. 013, 37-60.
[26] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 58.
[27] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 91.
[28] Said, Mohammad. 2007, hlm. 82-83.
[29] Said, Mohammad. 2007, hlm. 84.
[30] Reid, Anthony. 2005, hlm. 197-198..
[31] Reid, Anthony. 2005, hlm. 198.
[32] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 92.
[33] Reid, Anthony. 2005, hlm. 198.
[34] Reid, Anthony. 2005, hlm. 199.
[35] Said, Mohammad. 2007, hlm. 139.
[36] Said, Mohammad. 2007, hlm. 140.
[37] Said, Mohammad. 2007, hlm. 141.
[38] Said, Mohammad. 2007, hlm. 140.
[39] Said, Mohammad. 2007, hlm. 140.
[40] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 92.
[41] Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna, hlm. 9.
[42] Said, Mohammad. 2007, hlm. 143.
[43] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 93.
[44] Said, Mohammad. 2007, hlm. 143.
[45] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 93.
[46] Said, Mohammad. 2007, hlm. 143-144.