Di Hindia Belanda, perhatian terhadap nasib Al-Aqsa dan Palestina terus diangkat. Konflik besar yang terjadi pada tahun 1936 merupakan perlawanan lebih besar dari masyarakat Palestina yang didorong sikap Inggris membagi wilayah Palestina menjadi tiga wilayah; Kawasan untuk masyarakat Palestina (Baitul Maqdis), untuk Yahudi dan Jordania. Hal ini turut memicu reaksi umat Islam di Hindia Belanda.
Aksi protes besar diadakan pada 5 Juli 1937 di Gedung Al-Irsyad Surabaya yang melibatkan perwakilan lintas ormas Islam. Hubungan lintas ormas Islam memang menguat sejak dibentuknya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah konfederasi berbagai ormas Islam. MIAI membentuk satu komite khsusus kepedulian untuk Palestina yang bernama Comite Palestina.[1]
Rapat akbar pada 5 Juli tersebut merupakan satu tonggak penting aksi solidaritas terhadap Palestina karena dihadiri kurang lebih 2000 peserta dan 33 perwakilan elemen umat Islam dan diliput 13 jurnalis dari berbagai media. Tokoh-tokoh Islam yang hadir antara lain, Wondoamiseno (Ketua Comite Palestina), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), Umar Hubeis (Al-Irsyad) dan Abdul Kahar Muzakkir (Komisi Luar Negeri PSII).[2]
Wondoamiseno membuka rapat akbar dengan mengingatkan akan pentingnya akan persaudaraan antar umat Islam sedunia.[3] Rapat ini juga bentuk respon terhadap ajakan Mufti Palestina, Amin al-Husayni. Sebab menurut Wondoamiseno, pembagian wilayah Palestina tidak bisa diterima oleh umat manusia, baik ia seorang Muslim, Arab, pribumi, atau Hindu, karena tempat itu adalah tempat suci bagi umat Islam yang selamanya juga orang-orang non-muslim hidup disana. Di tempat itu pula, Wondoamiseno mengingatkan, hadirnya Masjid Al-Aqsa yang pernah menjadi kiblat umat Islam.[4]
Dalam pidatonya, Wondoamiseno mengutip beberapa artikel dari media Palestina. Ia juga menekankan bahwa keputusan telah dibuat oleh lebih dari 150 ulama yang memutuskan apabila seorang Muslim mendukung pembagian wilayah Palestina, maka ia dianggap telah keluar dari Islam dan tidak akan dikuburkan secara Islam di pemakaman muslim.[5]
Pembicara berikutnya K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah yang mengingatkan pentingnya kedudukan Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha bagi umat Islam. Selanjutnya pidato dilanjutkan oleh Umar Hubeis dari Al-Irsyad yang berbicara dalam bahasa Arab dan Indonesia. Pidato terakhir ditutup oleh Abdul Kahar Muzakkir sebagai perwakilan dari Komisi Luar Negeri PSII (dan juga tokoh Muhammadiyah).[6]
Al Lisaan, edisi 20 Juli 1937 kemudian menyebutkan bahwa rapat menyampaikan petisi yang telah diputuskan sebelumnya berupa penolakan atas kebijakan Inggris yang membagi Palestina menjadi tiga bagian. Petisi ini telah dikirimkan sebelumnya ke Liga Bangsa-Bangsa yang berada di Jenewa, Swiss; kepada Mufti Palestina, Amin al-Husayni; dan kepada Kongres di Damaskus lewat telegram. Petisi itu berbunyi:
Muslems Sourabaya 33 organizations hold great meeting for Palestinian problem hoping mandates comission refuse deviding Palestine.
Palestinian Comittee
WONDOAMISENO
Sourabaya
- Mu’tamar Islamy Albaroudy Damascus
- Grand Mufti Yerussalem [7]
Rapat yang diawasi oleh polisi intelijen Hindia Belanda, Politieke Inlichtingen Dienst (PID), asisten wedana, dan beberapa mantri polisi ini berjalan tertib. Koran berbahasa Belanda, De Indische Courant memberi catatan penting tentang rapat ini. Rapat ini adalah pertama kalinya pribumi dan keturunan Arab bekerja sama bahkan dalam urusan politik internasional yang berlandaskan agama dan mengabaikan perbedaan ras dan ekonomi.[8]
Catatan penting lainnya patut digarisbawahi, bahwa hubungan kepedulian pada Palestina tidak dapat dilepaskan dari peran Abdul Kahar Muzakkir yang telah merintis relasi antara muslim Indonesia dengan Muslim Palestina yang diwakili oleh Amin al-Husayni. Dikutipnya beberapa artikel dari media Palestina oleh Wondoamiseno, dapat diduga bersumber dari peran Abdul Kahar Muzakkir yang telah lama bersentuhan dengan pers Palestina (pernah menjadi editor di media Palestina, At-Taura) dan saat itu ia baru saja kembali dari studinya di Mesir. Di tahun-tahun berikutnya, aksi solidaritas terhadap Palestina semakin membesar dan menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda.
Solidaritas Nadhlatul Ulama pada Palestina
Pada 26 Februari – 1 Maret 1938 diadakan Congres Al-Islam di Surabaya. Kongres ini dihadiri perwakilan berbagai ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama, Partai Arab Indonesia cabang Surabaya, Al-Irsyad, hingga Comite Pembela Agama Islam Palembang dan Comite Oemat Islam Makassar dan lainnya.
Kongres ini kemudian mengadakan satu pembicaraan khusus mengenai Palestina dan memutuskan agar; (1) menyerahkan pada Secretariaat M.I.A.I agar mengadakan seruan kepada seluruh umat Islam untuk mengadakan aksi bersama Qunut di setiap masjid-masjid dan surau untuk mendoakan umat Islam di Palestina baik yang sudah wafat maupun masih hidup.
(2) “Congres berseru kepada perhimpunan2 dan juga pada umat Islam Indonesia, untuk membantu dengan uang dengan keikhlasan hati kepada saudara2 umat Islam diPalestina juga didalam kesengsaraan itu, dengan perantaraan Comite Palestina di Batavia Centrum.”
(3) Kongres juga menyerahkan mandate kepada Secretariaat M.I.A.I agar menyerahkan mosi kepada Comissie Volkenbond di Jenewa agar membatalkan pembagian Palestina menjadi tiga Kawasan.[9]
Perhatian terhadap Palestina bagi umat Islam di Indonesia bukan sekedar menolong saudara yang sedang kesulitan, tetapi perjuangan yang menginspirasi umat Islam. Nadhlatul Ulama (NU) lewat corongnya, Berita N.O. mengangkat isu ini dengan judul “Falasthiena” pada edisi 1 September 1938. Dalam artikelnya tersebut, redaksi menyatakan bahwa meski saat ini umat Islam dianggap sudah tak berdaya dan “rusak lahir bathinnyaa”, tetapi jika melihat perjuangan umat Islam Palestina maka “…memberi pengertian dan pengharepan pada kita, bahwa Um. Islam sesungguhnya tiada mati, roh Islam sesungguhnya misih besar fi’ilnya.”[10]
Penulis dalam artikel tersebut menyatakan bahwa kesengsaraan yang dihadapi umat Islam di Palestina wajib mendapat umat Islam seluruh dunia. Salah satunya dengan mengumpulkan donasi bagi umat Islam Palestina melalui Hoofdbestuur Nadhlatoel Oelama (N.O.) yang dapat dititipkan melalui cabang NU manapun.
“Di Surabaia dan Betawi, Um. Islam dari bangsa ‘arab, sudah lama mendiriken Comite penolong kesengsara’an Falasthiena. Bangsa kita, harus menyusul,” demikian ajak penulis di Berita N.O.[11]
Aktivitas NU menolong Palestina memang cukup gencar. Pada 12 November 1938, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama di bawah K.H. Mahfuz Siddiq mengedarkan seruan kepada ormas-ormas Islam seperti Al-Washiliyah, Al-Irsyad, PSII dan Dewan Pimpinan M.I.A.I agar mengambil sikap tegas membela Palestina atas nama bangsa Indonesia.[12]
Diantaranya dengan mengumpulkan donasi untuk Palestina yang disebut Palestina Fonds. Selain itu, pada 27 Rajab dijadikan ‘Pekan Rajabiyah’, satu momentum yang menggabungkan perayaan Isra’Mi’raj Nabi Muhammad S.A.W dengan solidaritas perjuangan rakyat Palestina. PBNU juga menyerukan agar setiap sholat fardhu dibacakan Qunut Nazilah, yang mendo’a kan khusus bagi umat Islam Palestina.[13]
Doa tersebut di antaranya berbunyi, “Ya Allah, turunkan kutukan-Mu kepada musuh-musuh saudara kami bangsa Palestina yang tengah memperjuangkan kemerdekaan mereka. Kutuki pula orang-orang kafir yang membantu musuh-musuh kami, mereka yang menghalangi agama kami, mereka yang menindas saudara-saudara kami, mereka yang membunuh para pejuang Palestina dan mereka yang menghalang-halangi perjuangan kami…”[14]
Berita N.O. edisi 15 September 1938 memuat informasi Qunut Nazilah ini dilakukan oleh Hadratussyaikh, K.H. Hasyim Asy’ari. Dalam rubrik “Adjwibah Dinijah” dinyatakan:
“Menurut chabar jg. Sangat boleh dipercaya paduka K. Hasyim sudah menjalankan qunut nazilah ini sejak beberapa Minggu jg. Lalu, sampau Um. Islam Falasthiena mendapat rachmat bahagia sebagaimana jg diharapkan.”
Seraya menyindir, redaksi Berita N.O. kemudian bertanya, “Berqunut saja, orang Islam tidak mau? Tida bisa ? Allahu Akbar.”
Haji Agus Salim menanggapi seruan PBNU tersebut. Dalam artikelnya di Panji Islam pada 9 Januari 1939, ia menulis,
“Adapun oleh PBNU soal Palestina itu dipandangnya satu perkara yang amat besar kepentingannya untuk alam Islam seluruhnya dan umat Islam segenapnya. Dan sungguh benar sekali pendapatnya dan patut sekali perbuatannya itu, yang harus mendapat sepenuh-penuh persetujuan dari segala pihak dan golongan kaum Muslimin.”[15]
Haji Agus Salim kemudian menambahkan bahwa umat Islam Indonesia seharusnya mempersatukan suara-suaranya, sehingga dapat sejalan dengan suara umat Islam lainnya seperti dalam Kongres Pan Islam di Mesir (1938). Menurutnya, “Akan tetapi Indonesia belum lagi menghimpun suaranya menyekutui sikap dan gerak alam dan umat Islam sedunia.”[16]
Pemerintah kolonial Belanda sendiri menanggapi negatif seruan PBNU tersebut. Maka pada 29 Januari 1939, Ketua PBNU yang juga pemimpin redaksi Berita N.O., K.H. Mahfuz Shiddiq dipanggil oleh Regent (bupati) Surabaya. Ia diberi perintah oleh Hoofdparket (setingkat Jaksa Agung) agar melarang Qunut Nazilah dan ‘Pekan Rajabiyah.’[17]
Kepada Hoofdparket, PBNU menjelaskan bahwa anjuran Qunut Nazilah bukanlah anjuran penghinaan terhadap golongan lain. Tetapi perbuatan tersebut adalah kewajiban solidaritas sesama umat Islam dan menjalankan perintah Nabi Muhammad S.A.W. Meski demikian, pemerintah colonial tetap melarang anjuran tersebut.[18]
Pemerintah kolonial Belanda memang bersikap cukup reaktif terhadap aksi-aksi solidaritas terhadap Palestina. Di tahun yang sama, Berita Priangan edisi 22 September 1939, memberitakan aksi solidaritas dan penggalangan dana di sebuah madrasah di Kampung Stasiun Cicalengka, Jawa Barat harus berurusan dengan aparat karena dianggap tak memiliki izin.[19]
Pemikiran para tokoh Islam tentang Palestina
Sebagai satu masyarakat muslim yang berada dalam alam penjajahan, umat Islam di Indonesia memang belum bisa berbuat banyak. Haji Agus Salim melihat bahwa sebagai persoalan Palestina sebagai buah dari kebijakan jahat Inggris di Palestina. Bangsa Arab yang telah ribuan tahun tinggal di sana tak diajak untuk bermusyawarah mengenai nasib mereka. Inggris yang menganggap perang dunia I melawan Turki sebagai ‘Perang Salib’ justru menunjukkan ironinya. “Kemenangan Kristen” Inggris, akhirnya membuat mereka memberi orang yahudi sebuah negeri naisonal tanpa orang Arab memperoleh sedikitpun haknya. Ironisnya, dari “negeri-negeri Kristen” pula orang-orang Yahudi ini terusir.[20]
Oleh sebab itu menurut Haji Agus Salim, dalam soal Palestina ini tak ada persoalannya dengan agama. Sebab orang-orang Yahudi hidup damai di bawah kekuasaan Islam tanpa rasa permusuhan. Penolakan orang Arab atas kedatangan orang-orang Yahudi menurut Haji Agus Salim berasal dari “perasaan kebangsaan yang dilukai dan hak-hak sebangsa yang kena langgar oleh kekuasaan Inggris itu.”[21]
Kedatangan bangsa Yahudi ini menurut Haji Agus Salim datang dengan arogansi. Mereka “datang dengan laku dan gaya pertuanan hendak menguasai negeri. Tidak suka mereka dipersamakan dengan bangsa Arab, rakyat yang asli,” jelas Haji Agus Salim.[22]
Semua ini akibat dari pengaruh orang Yahudi di Amerika Serikat dan nafsu imperialisme Inggris dan Amerika. Di lain sisi, Bangsa Arab berhak mempertahankan hak bangsanya dan “…dan keyakinan Islam tentang Palestina dan Bait al-Maqdis.”[23]
Haji Agus Salim menganggap jika dunia abai terhadap persoalan Palestina, maka dunia akan menghadapi bencana. Sebab “kemerdekaan atau keamanan bangsa yang kecil-kecil tidak mendapat perlindungan dengan hak dan keadilan…”[24]
Senada dengan Haji Agus Salim, Mohammad Natsir pada bulan November 1941, juga mempertanyakan sikap negara-negara yang abai terhadap ketidakadilan yang menimpa bangsa Palestina. Natsir mempertanyakan Atlantic Charter yang disepakati negara-negara barat untuk mengakui batas-batas negara yang harus disertai kerelaan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Kenyataannya hal ini tidak berlaku bagi soal Palestina.[25]
Menurut Natsir, “…tentu semestinja akan ditanja, selain kepada bangsa Arab di Palestina dan negara-negara Arab sekelilingnja jang berdekatan,-bagaimana menjelaskan soal Palestina ini. Kalau ditanjakan kepada hati ketjil penduduk Arab di Palestina, sudah tentu dari mereka tidak seorangpun akan rela bila kehendak “Balfour declaration” itu diteruskan djuga…”[26]
Tokoh NU, K.H. Saifuddin Zuhri juga menyoroti ketidakadilan yang dialami orang-orang Palestina. Menurutnya “…sejarah dan keadilan tentu tidak akan membenarkan bahwa seorang tamu, yang asing, yang tidak memiliki keterikatan apa pun, merampas hak dan akhirnya mengusir tuan rumah.”[27]
Maka dapat menjadi wajar ketika bangsa Arab dan dunia Islam menurut mantan Sekjen Partai NU itu, konflik akan terus membara. Sebab “Perbuatannya itu tidak akan menambah keuntungan bahkan sebaliknya hanya akan menambah kobaran api dendam kesumat dan permusuhan turun temurun. Dan pastilah dunia Islam akan menganggap Yahudi seluruhnya sebagai musuh sebesar-besarnya. Dunia Islam pastilah akan mencari daya upaya mencari kesempatan yang baik guna menyingkirkan kezaliman dan penganiayaan tersebut.”[28]
Beberapa pendapat para tokoh Islam mengenai isu Palestina akhirnya dapat dilihat menjadi dua faktor penting, pertama mereka melihat isu palestina bukan pertentangan antar agama, tetapi faktor penjajahan, perampasan hak bangsa Arab, dan ketidakadilan yang menyertainya. Kedua, oleh sebab itu hasrat membela diri dan merdeka Palestina didukung atas dasar solidaritas umat Islam dan sikap anti-penjajahan.
Pandangan demikian yang akhirnya turut membentuk sikap Indonesia terhadap Palestina nantinya. Tokoh-tokoh yang menggaungkan kepedulian terhadap Palestina paling tidak turut mewarnai kebijakan Indonesia terhadap Palestina. Solidaritas antar umat Islam diperkuat dengan semangat anti-kolonialisme yang membara dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terlebih hubungan antara tokoh Palestina dan Indonesia sudah terjalin di masa sebelumnya sehingga turut mempermudah kepedulian antar dua bangsa ini.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] De Indische Courant, 9 Juli 1930
[2] De Indische Courant, 9 Juli 1930
[3] Al Lisaan, 20 Juli 1937
[4] De Indische Courant, 9 Juli 1930
[5] De Indische Courant, 9 Juli 1930
[6] De Indische Courant, 9 Juli 1930
[7] Al Lisaan, 20 Juli 1937
[8] De Indische Courant, 9 Juli 1930
[9] Berita N.O., 15 April 1938
[10] Berita N.O., 15 April 1938
[11] Berita N.O., 15 April 1938
[12] Zuhri, K.H. Saifuddin. Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 1989.
[13] Zuhri, K.H. Saifuddin.1989.
[14] Zuhri, K.H. Saifuddin.1989.
[15] Salim, H. Agus. 100 Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
[16] Salim, H. Agus. 1996.
[17] Zuhri, K.H. Saifuddin.1989.
[18] Zuhri, K.H. Saifuddin.1989.
[19] Berita Priangan, 22 September 1939
[20] Salim, H. Agus. 1996.
[21] Salim, H. Agus. 1996.
[22] Salim, H. Agus. 1996.
[23] Salim, H. Agus. 1996.
[24] Salim, H. Agus. 1996.
[25] Natsir, M. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
[26] Natsir, M. 1973.
[27] Zuhri, K.H. Saifuddin.1989.
[28] Zuhri, K.H. Saifuddin.1989.