“Pahlawan itu bukan ditentukan oleh tempat di mana dia dimakamkan, tetapi pahlwan itu ditentukan oleh jasa-jasanya.” –M.Roem-
PRIA berjenggot itu dikenal dengan baju koko, sarung, peci, dan berkacamata. Namanya Prawoto Mangkusasmito. Ia adalah Ketua Umum Masyumi yang terakhir. Usianya saat itu sekitar 60 tahun. Ia meninggal dunia kala melakukan kunjungan dakwah ke sebuah desa dekat Banyuwangi, Jawa Timur. Sebuah akhir hayat yang begitu manis untuk mantan wakil perdana menteri Indonesia.
Ketika hendak pergi ke Banyuwangi, ia menemui Dr. Ali Akbar karena merasa kurang enak badan. Waktu itu tekanan darahnya mencapai 170 dan disarankan oleh Dr. Ali agar membatalkan perjalanan. Namun Dr. Ali tahu siapa pasiennya. Dr. Ali tahu bahwa pasiennya tidak akan menuruti sarannya. Sebab ia sudah berjanji dengan kawan-kawan di desa dekat Banyuwangi. Kalau harus memilih janji kepada rakyat atau kepentingannya sendiri, ia tidak akan memilih kepentingan sendiri. Melihat keadaanya demikian, Dr.Ali memberi obat kepadanya. Dan ia pun tetap meneruskan perjalanannya.
Tepat pukul 00.00 ia tidur di tempat yang sederhana, 25 km dari daerah Banyuwangi. Kemudian pada pukul 01.00 dini hari, teman sekamarnya mendengar ia bangun, lalu melihatnya, dan ia sudah tak bernafas lagi. Begitulah Allah memanggil hamba-Nya, tak perlu menunggu lama ia sakit.
Setelah ia meninggal, dua orang bercakap-cakap di halaman rumahnya. “Apa besok Pak Prawoto dimakamkan di Taman Pahlawan?” tanya seorang diantara keduanya. Kemudian yang satunya bertanya, “Berapa bintang yang didapatkan Pak Prawoto?”
Kawan seperjuangan Pak Prawoto, Mohamad Roem menjawab kedua pertanyaan tadi dalam bukunya yang berjudul “Bunga Rampai dari Sejarah 1” Kata Roem, “Pak Prawoto ingin dimakamkan di sebelah Pak Faqih Usman. Alhamdulillah kita semuanya sudah mengantarkan Pak Prawoto ke tempatnya. Kalau kita tidak mengantarkan Pak Prawoto ke Taman Pahlawan , tetapi saudara ingin melihat Pak Prawoto sebagai pahlawan, tidak ada suatu hal yang menghalangi. Sebab pahlawan itu bukan ditentukan oleh tempat di mana dia dimakamkan, tetapi pahlwan itu ditentukan oleh jasa-jasanya.”
Soal bintang, Roem mengungkapkan, “Saya sendiri menggambarkan Pak Prawoto dengan janggutnya yang setengah putih, dengan kemjanya yang selamanya putih dan dengan peci dan kadang-kadang berkain sarung. Untuk saya, gambaran Pak Prawoto yang akan saya simpan selama hidup saya , sudah sempurna, tidak kurang suatu apa. Akan merusak gambaran itu apabila digantungkan bintang satu atau dua di dada Pak Prawoto.” [1]
Jasa-jasa selama hidupnya diakui kawan dan lawan. Sahabat karib Pak Prawoto, Mohammad Natsir menggambarkan sosok sahabatnya itu sebagai seorang juru dakwah yang blusukan menemui umat. “Sebagaimana biasa, seolah-olah secararoutine, dia meninggalkan anak istrinya. Meninggalkan rumah yang tak pernah reda menerima tamu2. Ia berjalan sendirian menemui umat di desa-desa di Djawa Timur, kaum dhuafa jang mentjinintai dan ditjintainja dengan sepenuh hatinja. Dalam perdjalanan itu, dia direnggutkan dari lingkungan keluarga.Disentakkan dari tubuh ummat jang sepanjang masa merasa satu dengan pribadinja dalam suka dan dalam duka.”
Selain kawan seperjuangan, rival politiknya pun merasa kehilangan dengan kepergiannya. I.J. Kasimo dari Partai Katolik, tokoh yang berseberangan dengan Pak Prawoto memberi sambutan dengan mengatakan, “Pengurbanan dan kepemimpinannja selama hidupnja tidak sia-sia. Kedjudjuran, kesederhanaan hidup, tawakkal, dan kegigihannja dalam mempertahankan prinsip-prinsip benar telah mendjiwai perdjuangan kemerdekaan kita. Kita kehilangan pemimpin jang berwatak.”
Dalam harian Pos Indonesia, Agustus 1970, seorang Tang Eng Kie, menggambarkan kesederhanaan hidup Pak Prawoto dengan menulis, ”Ia bukan politikus yang menggunakan politik untuk mencari duit. Ia berjuang untuk negara dan rakyat Indonesia. Ia hidup sangat sederhana… Kesempatan untuk menjadi komisaris perusahaan banyak sekali jika ia mau, apalagi ia pernah menjadi wakil perdana menteri dan bekas pimpinan umum Partai Masjumi.”[2]
Demikianlah sepenggal kisah seorang pahlawan yang tak dimakamkan di Taman Pahlawan. Kini, kita kehilangan pemimpin besar, dapatkah kita mengisi tempat yang ditinggalkan itu?
Oleh : Andi Ryansyah (Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa)
[1] Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah 1, Bulan Bintang:Jakarta, 1972, hlm. 253-257
[2] Artawijaya, Belajar dari Partai Masjumi, Alkautsar:jakarta, 2013, hlm.131-134