Muqaddimah

Haram Manyarah Lawan Walanda” itulah semboyan Pangeran Antasari ketika melawan kolonial Belanda. Tekad itu terus dipegang hingga akhir hayatnya. Bagi Antasari perang melawan Belanda adalah jihad fi sabilillah.

Pangeran Antasari lahir di Martapura tahun 1809, ketika lahir diberi nama Gusti Inu.[1] Ia lahir dari pasangan Pangeran Mas’ud dan Gusti Hadijah yang merupakan puteri Sultan Sulaiman. Pernikahan ini dilaksanakan agar dapat meredakan perang suksesi dalam kesultanan Banjar. Setelah sebelumnya terjadi perebutan kekuasaan antara Muhammad Aminullah dan Tamjidillah I, di mana Tamjidillah I mengambil hak Muhammad Aminullah sebagai seorang Sultan pewaris tahta yang sah. Hingga akhirnya Muhammad Aminullah dapat merebut kembali haknya. Akan tetapi Muhammad Aminullah wafat setelah satu tahun menjadi Sultan.

Istana Sultan Tajmidillah di pinggir Sungai Mesa, 1857. Sumber foto: Bernard Sellato (2015) diambil dari Idwar Saleh (1982/83).

 Ia meninggalkan anak-anak yang masih kecil yang bernama Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Di mana Pangeran Rahmat dan Abdullah mati dibunuh.[2] Pangeran Amir yang selamat inilah adalah kakek dari Pangeran Antasari. Setelah wafatnya Sultan Tamjidillah I, Pangeran Nata  anak Tamjidillah yang sedari awal diberi gelar sebagai Panembahan Kaharuddin Halilullah. Ia sejak tahun 1762 menggunakan gelar Sultan, mengubah gelar panembahan menjadi susuhunan nata alam, yang dianggap lebih tinggi daripada gelar sultan.[3]

Konflik berlanjut antara Nata dan Pangeran Amir. Pada tahun 1782, Pangeran Amir meninggalkan Banjarmasin untuk merebut kembali lagi kerajaan ayahnya, ia dibantu oleh pamannya Arung Torawe dengan sejumlah pasukan Bugis.[4] Konflik ini terus berlanjut hingga akhirnya Pangeran Amir ditangkap dan dikirim ke Batavia untuk selanjutnya dibuang ke Ceylon (Srilanka).

Untuk mencegah konflik ini berlanjut antar kedua cabang keluarga ini, Sultan Sulaiman (anak dari Sultan Nata) menikahkan Pangeran Masohot (atau Mas’ud) putra Pangeran Amir dengan Gusti Hadijah putri Sultan Sulaiman Sendiri.[5] Hasil pernikahan mereka dikarunia anak yang bernama Gusti Inu alias Pangeran Antasari.

Pangeran Antasari dan Perlawanan Melawan Belanda

Nama Antasari pertama kali disebut oleh Residen Belanda di Banjarmasin, Van der Ven (1853-1855), di antara anggota keluarga Sultan Adam. Ia  dilaporkan mempunyai tanah apanase di Mangkauk dengan penghasilan tahunan sebesar 400 gulden.[6] M. Idwar Shaleh mengatakan bahwa penghasilan itu amat kecil untuk biaya kehidupan seorang bangsawan.[7] Walaupun demikian kehidupan seperti itu menempa Pangeran Antasari menjadi pribadi yang keras, pantang menyerah, memiliki jiwa kepemimpinan yang tabah dan ulet dalam menghadapi masalah-masalah besar. [8]

Bangert mengakui bahwa Antasari berasal dari “cabang paling murni dari keturunan raja pertama kerajaan Banjarmasin.” Begitu juga Andresen mempercayai bahwa pangeran ini adalah keturunan “cabang legitim dari dinasti raja Banjarmasin yang diusurpasi”.[9]Ia menggambarkan  pribadi dan kehidupan Pangeran Antasari seperti ini

Seorang yang tidak pernah terlibat daam intrik-intrik untuk merebut tahta, yang hubungannya dengan cabang (dinasti) yang kini sedang berkuasa selalu patuh, yang bebas dari nafsu berkuasa, yang hidup dengan sangat sederhana dari penghasilan tahunan Mangkauk sebesar fl. 300 sampai fl.400, dan dari keuntungan sebagai pemasok kayu untuk bangunan tambang Pengaron, dan lebih-lebih lagi, berbaik dengan Tamjidillah dan juga ayahnya (Abdul Rakhman) dan kakeknya (Sultan Adam). [10]

Pangeran Antasari berjuang memimpin gerakan-gerakan melawan pemerintah kolonial Belanda di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah pada usia kurang lebih 50 tahun. Walaupun demikian karena kekuatan pribadi dan sikapnya dalam mempertahankan pendiriannya ia tidak mau mundur setapak pun untuk berkompromi dengan kolonial Belanda, ia memilih berjuang hingga akhir hayatnya.

Di samping itu ia memiliki keahlian dalam siasat perang gerilya serta kemampuan memimpin pasukan-pasukan di daerah-daerah yang luas lagi sulit didiami manusia. Keuletan, ketabahan hati, kewibaan serta kekuatan spritual yang tampak pada dirinya dapat mengikat pengikutnya untuk mencapai tujuan yang mulia. Di saat golongan feodal yang berkuasa dalam kesultanan Banjarmasin hanya memikirkan keuntungan pribadi, ia menjadi orang yang pertama memberi reaksi tegas terhadap politik Belanda bahkan hingga mengangkat senjata disertai semboyan “Haram mayarah waja sampai kaputing”.[11]

Antasari mengatakan siapa nang babaik-baik lawan walanda, tujuh turunan kada aku rawa artinya siapapun yang memihak Belanda tidak akan disapa tujuh turunan, hal ini sebagai penekanan bahwa tidak ada istilah kompromi dengan penjajah dan pentingnya bersatu melawan kolonial Belanda. Tanpa itu perjuangan akan gagal dan sia-sia.[12]

Dahsyatnya perlawanan Pangeran Antasari dan pasukannya dalam Perang Banjar, membuat Belanda menawarkan bagi siapa saja yang bisa menangkap Antasari akan diberi hadiah. Kepala Antasari awalnya dihargai sebesar 5000 Gulden bahkan kemudian menaikkannya menjadi 10.000 Gulden yang merupakan jumlah yang sangat besar terlebih pada saat itu. Walaupun demikian hal tersebut tidak membuat para pengikutnya berkhianat untuk melakukan tindakan-tindakan pembangkangan terhadap Antasari sebagai pimpinannya.[13]

Pangeran Antasari seorang pemimpin yang kharismatik. Ia mampu mengkonsolidasikan perjuangan, baik di Kawasan Martapura, Banua Lima, dan Hulu Sungai hingga ke hulu Sungai Barito.[14] Antasari juga sangat baik dalam membangun kepercayaan kepada sejumlah pemimpin dan masyarakat Dayak, sehingga mereka terlibat dan memiliki jasa yang besar dalam Perang Banjar.

Sungai Barito di Banjarmasin tahun 1900. Sumber foto: KITLV Digital Collections. http://hdl.handle.net/1887.1/item:821788

Di antara etnis Dayak yang mendukung perjuangan Antasari adalah Dayak Bakumpai. Antasari juga aktif berdakwah, menyebarkan agama Islam di daerah mana saja yang dilewatinya. Buktinya adalah banyaknya masyarakat di hulu sungai Barito juga menjadi muslim dan mendukung perjuangan melawan Belanda. Antasari juga melakukan akulturasi dan asimilasi dengan mengawinkan anak/ cucu keturunannya dengan etnis Dayak, sehingga antara etnis Banjar dan Dayak memiliki hubungan yang kuat.[15] Temenggung Surapati dari suku Dayak-Bakumpai memiliki hubungan yang erat dengan Antasari bahkan ke anak keturunan mereka. Hubungan mereka ini dikenal dengan istilah bubuhan.[16]

Pangeran Antasari yang dikenal tidak saja sebagai pemimpin pejuang yang gagah berani tetapi adalah pula pemimpin agama yang bertaqwa. Dalam bulan suci Ramadhan 1278 H, tepatnya tanggal 14 Maret 1862, oleh rakyat daerah Barito, Sihong, Murung, Teweh, Kapuas, Kahayan, dan Dusun Hulu, Pangeran Antasari dinobatkan menjadi Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, Pimpinan Tertinggi Agama dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah”. Para pemuka rakyat yang mengumumkan itu antara lain adalah Kiai Di Pati Jaya Raya, Raden Mas Warga Nata Wijaya, Haji Muhammad Khalid, Tumenggung Mangkusari yang mewakili daerah masing-masing.[17]

Dalam kurun waktu yang cukup lama perlawanan Pangeran Antasari bersama dengan pengikutnya berupaya untuk mengembalikan Kesultanan Banjar yang didominasi kolonial Belanda. Saat-saat terakhir Pangeran Antasari sudah berangsur tua dan secara fisik telah semakin lemah. Walaupun demikian Antasari tidak pernah tertangkap Belanda. Pangeran Antasari tak pernah menyerah walaupun Belanda membujuk Antasari untuk meminta ampun dan akan dibebaskan.

Bagi Antasari ia akan terus bertekad berjihad fi sabilillah. “Haram Manyarah Lawan Walanda” (Haram menyerah dengan Belanda) adalah semboyannya. [18] Antasari hanya akan berdamai jika Belanda mengembalikan kedaulatan Banjar kepada Sultan yang berhak. Dalam suratnya kepada Verspijk pemimpin militer tertinggi Belanda di Banjarmasin, ia mengatakan:

“…Ada kemungkinan saya akan mempertimbangkan usul tuan untuk berdamai, bila saya mendapatkan surat resmi dari Gubernur Jenderal Belanda di Batavia di mana diterangkan bahwa Kerajaan Banjar dikembalikan sepenuhnya kepada kami. Kami berjuang untuk menuntut hak pusaka kami. Kami merasa jijik berunding dengan Belanda yang telah dengan sewenang-wenang merampas hak kami dan mengasingkan sepupu kami Hidayatullah ke pulan Jawa. Kebijakan Belanda ini bertentangan dengan semangat persahabatan . . .” [19]

Belanda yang tidak bisa membujuk Antasari akhirnya memutuskan tidak akan mengampuninya termasuk anak-anaknya. Teguhnya pendirian Antasari tergambar dari kata-kata beliau, seperti:

Haram manyarah waja sampai kaputing (Pantang menyerah sampai titik darah penghabisan)

Dalas pagat gulu lamun manyarah kahada (biar leher putus tidak akan pernah menyerah)

Jangan sampai mati parahatan bukah, matilah kita di jalan Allah (Jangan sampai mati ketika sedang lari, matilah kita di jalan Allah)

 Siapa nang babaik-baik lawan walanda, tujuh turunan kada aku rawa (siapapun yang memihak Belanda tidak akan disapa tujuh turunan)[20]

Kalimat-kalimat ini menandakan begitu teguhnya Pangeran Antasari dengan pendirian melawan kolonial Belanda dan tentu ini bukan hanya sekedar kata. Sampai meninggalpun pendiriannya tetap teguh tak ada kata menyerah. Ia meninggal dunia karena sakit pada tanggal 11 Oktober 1862 di desa Bayan Begok, Muara Teweh.[21] 

Perjuangannya dilanjutkan Gusti Muhammad Seman yang diangkat menjadi Sultan dan Gusti Muhammad Said sebagai Mangkubumi.[22] Pangeran Antasari mendapat penghargaan dari Pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional Kemerdekaan berdasar Keputusan Presiden RI Nomor 06/ TK/ Tahun 1986 tanggal 27 Maret 1968.[23]

Oleh: Aco Wahab – Alumni Ma’had Aly Imam Al-Ghazaly & peminat sejarah Banjar


[1] M. Syamsiar Seman, Pangeran Antasari  dan Meletusnya Perang Banjar, Banjarmasin: Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan Kalimantan Selatan, 2011, h.71

[2] M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993, h.6

[3] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.25-26

[4] Bambang Suwondo dan Tim, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan dalam Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka, 1977, h.33

[5] M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993, h.7

[6] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.42

[7] M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993, h.7

[8] M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993, h.7

[9] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.139

[10] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.139

[11] M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993, h.58

[12] Ahmad Barjie B, Perang Banjar Barito 1859-1906 Besar-Dahsyat-Lama (Deskripsi dan Analisis Sejarah), Martapura: Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2016, h.204

 [13] M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993, h.4

[14] Ahmad Barjie B, Perang Banjar Barito 1859-1906 Besar-Dahsyat-Lama (Deskripsi dan Analisis Sejarah), Martapura: Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2016, h.206

[15] Ahmad Barjie B, Perang Banjar Barito 1859-1906 Besar-Dahsyat-Lama (Deskripsi dan Analisis Sejarah), Martapura: Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2016, h.206-207

[16] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.243

[17] M. Syamsiar Seman, Pangeran Antasari  dan Meletusnya Perang Banjar, Banjarmasin: Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan Kalimantan Selatan, 2011, h.5

[18] M. Syamsiar Seman, Pangeran Antasari  dan Meletusnya Perang Banjar, Banjarmasin: Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan Kalimantan Selatan, 2011, h.4

[19] Ahmad Barjie B, Perang Banjar Barito 1859-1906 Besar-Dahsyat-Lama (Deskripsi dan Analisis Sejarah), Martapura: Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2016, h.208

[20] Ibid

[21] M. Syamsiar Seman, Pangeran Antasari  dan Meletusnya Perang Banjar, Banjarmasin: Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan Kalimantan Selatan, 2011, h.5

[22] M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993, h.71

[23] M. Syamsiar Seman, Pangeran Antasari  dan Meletusnya Perang Banjar, Banjarmasin: Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan Kalimantan Selatan, 2011, h.73

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here