Pada tanggal 18-19 November 2014, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga mengadakan Konferensi Internasional yang berjudul “Dynamics of The Studies on Indonesian Islam; Tribute to Karel Steenbrink and Martin Van Bruissen.” Seperti telah diketahui, Karel Steenbrink dan Martin Van Bruissen adalah dua peneliti yang telah lama berkiprah dan mendalami Islam di Indonesia. Salah satu pemakalah pada konferensi itu adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra dari UIN Syarif Hidayatullah. Mengingat pentingnya tinjauan terhadap studi Islam pada masa kini, rrtikel kali ini akan meringkas dan menanggapi makalah Prof. Dr. Azyumardi Azra. Ringkasan di buat oleh Kabul Astuti, mahasiswi S2 Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan tanggapan dibuat oleh Adif Fahrizal, mahasiswa S2 Sejarah Universitas Gajah Mada. Selamat membaca!
The Making and Development of Indonesia Islamic Studies (IIS): A Tribute to Steenbrink and van Bruinessen
(oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra)
Pengkajian Islam di Indonesia dibentuk oleh dua tradisi pengkajian Islam, yaitu tradisi yang berakar dari Timur Tengah dan tradisi yang dikembangkan oleh pusat-pusat pengkajian Islam di Barat. Masing-masing tradisi membawa pengaruh dan pendekatan berbeda, yang keduanya membentuk corak pengkajian Islam di UIN/IAIN. Pada tahap-tahap awal, perkembangan IIS banyak dipengaruhi oleh tradisi keilmuan Islam yang berakar dari Timur Tengah. Namun, pada waktu kemudian, seiring dengan semakin banyaknya lulusan UIN/IAIN yang melanjutkan studi di Barat, seperti Kanada, US, Belanda, Australia, dan negara lain, perkembangan studi Islam memasuki arah yang berbeda.
Karel Steenbrink dan Martin van Bruinnessen adalah dua orang yang memainkan peran penting dalam perkembangan studi Islam di Indonesia, khususnya di IAIN/UIN. Hubungan antara Belanda dan Indonesia dalam bidang pengkajian Islam sudah berlangsung sejak lama, baik secara kelembagaan (ex: INIS), banyaknya mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi di Belanda, maupun lewat keberadaan para peneliti Belanda yang mengkaji Islam dan mengajar di Indonesia. Steenbrink dan van Bruinessen meneruskan tradisi ini. Di samping memperkenalkan sejumlah pendekatan baru dalam IIS, keduanya juga memiliki banyak murid di kalangan para peneliti Islam Indonesia.
Prof. Azra selanjutnya membahas tentang transformasi dari IAIN menjadi UIN dan implikasi akademis atas transformasi ini. Lulusan UIN adalah pembentuk utama komunitas menengah muslim di Indoensia, tanpa lulusan UIN tidak mungkin ada kelas menengah muslim. Ketika tahun 70-an terjadi ledakan intelektual Islam, para lulusan UIN turut menyumbang tingginya angka ledakan intelektual ini. Beberapa pihak sempat mengkhawatirkan the rising of conservatism in Indonesia, sebagai akibat dari salafi di Indonesia dan masuknya beberapa jaringan transnasional serupa. Apakah mungkin kelompok-kelompok seperti Salafi dan HTI akan memegang kendali terhadap wajah Islam di Indonesia? Menurut Prof. Azra, hal ini nyaris mustahil. Sulit untuk membayangkan kelompok-kelompok seperti salafi atau HTI untuk menguasai NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas besar di Indonesia yang saat ini memegang kendali. Kelompok-kelompok tersebut terlalu ‘sederhana’ untuk masuk dan menjadi wajah utama dalam praktik Islam Indonesia yang begitu beraneka ragam.
Transformasi sepuluh IAIN dan satu STAIN menjadi UIN selama lebih dari satu dekade ini merupakan fase bersejarah dalam perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Transformasi tersebut dimulai sejak masa Malik Fadjar menjabat sebagai Menteri Pendidikan era presiden Megawati. Pertama kali, tahun 2002 IAIN Jakarta berubah menjadi UIN, yang diikuti oleh IAIN Yogyakarta dan IAIN Malang dua tahun kemudian. Transformasi ini sempat terhenti pada masa Maftuh Basuni sebagai menteri agama, karena beberapa alasan. Salah satunya kekhawatiran bahwa mahasiswa UIN akan lebih berkonsentrasi pada ilmu-ilmu umum, bukan ilmu agama. Namun, hal itu berlanjut kembali pada masa Suryadharma Ali.
Konsekuensi dari perubahan ini ialah, IAIN tidak lagi hanya mengurusi pendidikan agama, melainkan juga pendidikan umum. Ada beberapa alasan penting yang mendasari dilakukannya transformasi ini. Pertama, umat Muslim semakin menyadari bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Kedua, program pembangunan di Indonesia membutuhkan peran umat Islam yang menguasai bidang-bidang keilmuan umum. Ketiga, transformasi sebagian besar madrasah menjadi ‘public school’ dengan karakter Islam membawa konsekuensi lebih lanjut bagi IAIN. IAIN harus mampu mewadahi lulusan-lulusan madrasah yang memiliki bidang keahlian sains atau ilmu sosial. Oleh karena itu, IAIN juga harus memilki jurusan-jurusan umum tersebut. Perubahan ‘institut’ menjadi ‘universitas’. Artinya, yang dapat dipelajari di UIN bukan hanya ilmu-ilmu agama, melainkan juga ilmu-ilmu umum. Transformasi dari IAIN menjadi UIN tersebut, diharapkan bisa menjadi semacam ‘pengarusutamaan pendidikan tinggi Islam’ di Indonesia. Hal ini akan memungkinkan umat Islam di Indonesia untuk bergerak dalam spektrum yang lebih luas.
Namun, konversi dari IAIN ke UIN juga membawa dampak filosofis tentang bagaimana keilmuan di UIN akan dikembangkan. Di UIN Jakarta, kemudian muncul gagasan reintegration of sciences, antara ayat-ayat Qur’aniyyah dan kawniyyah. Tetapi yang dimaksud bukan islamisasi ilmu pengetahuan. Menurut Azra, islamisasi ilmu pengetahuan mengandung banyak pertanyaan. Yang dibutuhkan bukan mengislamisasikan ilmu-ilmu tersebut, tapi mengembangkan teori yang berdasarkan realitas sosio-kultural muslim.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa sudah sejak lama terjalin hubungan yang intens antara ulama Indonesia dengan ulama-ulama Timur Tengah, termasuk studi jaringan ulama abad 17-18 yang dilakukan oleh Prof. Azra. Perkembangan IIS tidak bisa dilepaskan dari tradisi Islam di Timur Tengah. Mekkah dan Madinah –kemudian Cairo- adalah dua tempat utama yang membentuk jaringan keilmuan para ulama Indonesia. Sekalipun demikian, Islam Indonesia tidak dengan sederhana menduplikasinya. Para kyai mengembangkan tradisi dan jaringannya sendiri di Indonesia, baik lewat hubungan guru-murid maupun perkawinan. Pesantren di Jawa mungkin bisa menjadi representasi khusus bagi wajah pengkajian Islam Indonesia. Meskipun, pada waktu-waktu kemudian, pesantren harus menyesuaikan diri terhadap perubahan sosio-kultural yang datang lewat pendidikan modern.
Pada dekade pertama perkembangannya, IIS di IAIN didominasi oleh pendekatan normatif yang berakar dari doktrin-doktrin ajaran Islam. Pendekatan ini menekankan pada aspek legal dan formal Islam, yang fokus pada syariah dan aqidah. Hasil dari pendekatan ini berkorelasi dengan tujuannya, yaitu mempelajari Islam agar dapat mempraktikkan Islam dengan lebih baik/mendukung praktik Islam. Pada tahap yang lebih kemudian, IIS di UIN fokus pada ‘a particular religion school’ atau mahzab. Model studi Islam di IAIN adalah tradisi universitas Timur Tengah, khususnya Al Azhar Cairo, yang menekankan pada pendekatan normatif-idealistik. Akibat dari pendekatan ini, studi Islam di IAIN tidak dapat menjangkau wacana keilmuan yang lebih luas.
Namun, perkembangan sosial pada tahun 70-an mengubah orientasi studi keislaman di IAIN, dengan lahirnya generasi Islam seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Mukti Ali, dan lain-lain. Perkembangan ini semakin kuat sejak Harun Nasuton menjadi rektor IAIN Jakarta dan Mukti Ali menjadi mentri agama. Mereka membawa perubahan signifikan dalam orientasi IAIN terhadap studi keislaman. Studi Islam tidak lagi berdasarkan pada satu mahzab tertentu, tetapi berbagai perspektif. Hal ini melahirkan pendekatan non mahzab dalam IIS.
Perubahan penting lainnya adalah pergeseran studi Islam dari pendekatan normatif kepada pendekatan historis, sosiologis, dan empiris. Pendekatan normatif dalam studi Islam, yang mengabaikan realitas sosio-historis manusia, menggiring muslim untuk melihat Islam sebagai agama idealistik sehingga kerapkali terjebak pada kepuasan spiritual yang membawa muslim jauh dari realitas sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan historis dan sosiologis membawa realitas sosio-historis kepada pengalaman keagamaan sehingga muslim lebih sadar akan masalah keduniawian/kemanusiaannya.
Sarjana Indonesia yang belajar Islam dari Barat inilah yang menginisiasi kemunculan pendekatan sosio-historis dalam IIS. Suatu kecenderungan yang lahir dari adanya kesempatan bagi para lulusan UIN untuk melanjutkan studi di universitas-universitas Barat. Hal ini tentu saja menuai banyak kritik. Bagaimana mungkin mempelajari Islam dari Barat, sementara Barat jelas-jelas tidak Islam dan tidak punya tradisi keilmuan Islam. Perdebatan ini turut mewarnai dinamika IIS. IAIN/UIN menjadi tempat pertemuan antara dua orientasi utama dalam pengkajian Islam; Middle Eastern academic tradition dan Western academic tradition. Pada waktu kemudian, hal ini dapat berpotensi membentuk sebuah tradisi pengkajian Islam yang khas di IAIN/UIN. Tradisi pengkajian Islam yang mampu mengakomodasi atau mempertimbangkan corak Islam Indonesia yang khas dan begitu kaya.
Kesimpulan. Perkembangan IIS saat ini dapat ditandai dengan empat kecenderungan. Pertama, paradigma IIS ditandai dengan meningkatnya integrasi antara Islamic religious sciences dengan sains, ilmu sosial, dan humaniora. Kedua, meningkatnya penggunaan pendekatan dan analisis sosio-historis dalam tradisi baru IIS. Ketiga, IIS semakin mempertimbangkan konteks lokal, seperti budaya lokal dan kearifan lokal. Keempat, membawa kita pada sebuah pendekatan komparatif terhadap local Islam, yang menawarkan identifikasi perbedaan dan persamaan. Maksudnya, pengkajian Islam dalam suatu lokalitas, seperti Indonesia, akan mengharuskan untuk mempertimbangkan Islam dalam lokalitas yang lain.
*disarikan dari makalah dan presentasi Prof. Azra
**Setelah Prof. Azra, menarik juga presentasi Prof. Anas Saidi dan Prof Noorhaidi. Prof. Anas mengkritisi pendekatan Martin dalam kajian-kajiannya, sedangkan Prof Noorhaidi membicarakan tentang public Islam.
Tanggapan:
Menarik untuk mencermati pemaparan Prof. Azra tentang perkembangan studi Islam Indonesia. Ia secara tegas menyebutkan terjadinya pergeseran dalam studi Islam di PTAIN dari pendekatan normatif-idealistik menjadi pendekatan empiris dan historis. Dengan pendekatan empiris dan historis Islam tidak lagi dipahami ‘sebagaimana seharusnya’ melainkan ‘sebagaimana adanya’. Ini berarti bahwa obyek kajian utama bukan lagi teks-teks keislaman (Al Qur`an, hadits, kitab-kitab turats) tetapi konteks-konteks (historis dan sosial-budaya) di mana pemahaman atas teks-teks tersebut diaktualisasikan.
Di satu sisi pemahaman atas konteks memang penting. Kegagalan memahami konteks seringkali menimbulkan pemahaman keislaman yang jumud dan kaku. Ketidakpahaman terhadap konteks juga kerapkali berdampak pada pendekatan yang tidak tepat dalam mendakwahkan Islam sehingga obyek dakwah malah menjauh dan memusuhi da’i alih-alih menyambut dan menerimanya dengan hangat. Akan tetapi di sisi lain pemahaman atas teks dengan kerangka pendekatan normatif-idealistik juga tidak selayaknya ditinggalkan. Pemahaman dengan kerangka yang demikian harus tetap dipegang seorang Muslim karena seorang Muslim dituntut menggunakan cara pandang Islam dalam melihat segala sesuatu. Dalam hal ini sudah barang tentu penilaian-penilaian normatif seperti benar-salah, halal-haram, syirik, bid’ah, kufur, dan sebagainya sedikit banyak tidak terhindarkan dan memang tidak perlu dihindari. Yang penting sesungguhnya adalah bagaimana memahami konteks tanpa harus meninggalkan teks sebagai pijakan dasar untuk memberikan penilaian.
Pergeseran pendekatan studi Islam di PTAIN sejak beberapa dasawarsa terakhir memang berpengaruh besar pada karya-karya yang dihasilkan para akademisi di PTAIN. Hasil penelitian mereka menjadi lebih “obyektif”dalam memandang Islam dan dinamika umat serta kebudayaan Islam -sementara mereka sendiri tetap merasa menjadi bagian dari umat Islam. Namun justru persis di situlah masalahnya, meskipun para peneliti tersebut adalah orang Islam namun mereka memandang Islam dan dinamika umat serta kebudayaan Islam seolah-olah sebagai orang di luar Islam. Bukankah ini sama artinya dengan kepribadian yang terbelah? Sebenarnya jika ingin adil dan konsisten para peneliti asal Barat pun seharusnya meneliti dinamika masyarakat dan kebudayaan mereka sendiri dengan kacamata Islam, dan jika itu mereka lakukan maka mereka sudah bersikap “obyektif”. Namun dalam kenyataannya itu tidak pernah terjadi. Para peneliti asal Barat lebih sering menjadikan masyarakat Muslim sebagai obyek penelitiannya dengan menggunakan cara pandang Barat. Jika demikian tentu tidak ada salahnya jika para peneliti Muslim meneliti masyarakat Barat dengan cara pandang Islam. Akan tetapi hal tersebut tidak akan terwujud selama kaum akademisi Muslim masih memelihara sikap inferior terhadap peradaban Barat, khususnya bangunan keilmuan mereka.
Tanggapannya singkat tapi mengena…
Saya juga heran, selama ini, apa dampak destruktif mereka yg mempelajari Islam dgn pendekatan, katakanlah ”midle eastren” bukannya bbrapa Tokoh kita lulusan Tim Teng juga?
Trus apa sumbangsih positif dri pendekatan ala barat yg kontekstual itu??
Akrobat intelektual kontraproduktif macam hermeneutika??
Ya para peneliti Islam dari/oleh sarjana Barat itu, pada mulanya didorong oleh semangat atau niat untuk pejajahan Barat di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia. Contoh Dr. Snouck Hurgronje dan Dr. van der Vlaas. Dr. Goldzinger di negeri-negeri Muslim lainya. Goldziher satu-satunya Orientalis yang bisa menembus pendidikan di Al Azhar Kairo.Padahal Al Azhar tersebut paling ketat sebagai benteng kemurnian ajaran Islam. Goldziher-lah biangya penyebar faham Islam dari Barat itu, maka dari sinilah awal mulanya sekularisme dan pluralisme ‘merasuki’ intelektual muda Islam. Misal Dr. Nurcholis Majid dan kemudian Ulil Abshar Abdallah. Wallahu ‘alam.