A. Hassan seorang ulama yang ahli dalam menulis dan berdebat. Banyak karyanya digemari para pembaca bahkan ia termasuk 10 orang pengarang Islam terkemuka tahun 1957 versi Himpunan Pengarang Islam. Selain piawai dalam menulis, ia juga ahli dalam berdebat. Dari orang atheis, ahmadiyah bahkan tokoh Islam yang lain pun pernah berdebat dengannya.

Pernah suatu sebagaimana diceritakan Tamar Djaja dalam Riwayat Hidup A.Hassan ketika A.Hassan berdebat dengan A. Ayyub, tokoh Ahmadiyah Qadian, ia membacakan sebuah hadits yang menunjukkan tidak ada Nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. A.Hassan kemudian ditanya, “hadits itu riwayat siapa?” A.Hassan menjawab tak tahu. “di kitab mana ada tersebut” tanya A. Ayyub. “tidak tahu, apakah tuan suka pakai atau tidak? Tuan boleh tolak kalau tidak suka.” Jelas A. Hassan. A. Ayyub yang mendengar penjelasan ini kemudian mengatakan “Tentu saya tolak, lantaran hadis yang tidak ketahuan riwayat dari mana diambil, dari pasar manakah dari kitab saraf, atau kitab nahwu, atau dengar-dengar orang berkata di jalan-jalan” pendukung Ahmadiyah yang mendengar hal ini ada yang menertawakan. “Hadis yang dikata-katai oleh tuan A. Ayyub dan diejek-ejek itu tersebut dalam kitab nabinya sendiri. Ini dia. Hadis itu tersebut di kitab Mirza Tuhfah Bagdad pagina 11. Senjata makan tuan” bungkam A. Hassan

A. Hassan, tokoh persis yang lahir tahun 1887 di Singapura memiliki kisah hidup yang unik. Anak dari pasangan Ahmad dan Muznah ini, diakhir usia senjanya harus menjalani amputasi kaki. Ia yang sedari awal sudah sakit sewaktu menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air dalam keadaan sakit. Kemudian adapula penyakit baru, ketika memakai sepatu, jari kakinya yang lecet karena himpitan kukunya. Awalnya A. Hassan membersihkan dan kompres. Ternyata kaki yang terluka itu infeksi.

A.Hassan menceritakan “Semenjak tahun 1949 dua-dua kaki saya sampai lutut tidak merasa, tetapi saya bisa berjalan seperti biasa, karena yang tidak merasa itu hanya kulitnya, yakni kulit kaki saya itu ditusuk dengan jarum atau dikenakan bara api umpamanya, tidak merasa. Di dalam tahun 1957 saya tidak keluar dari rumah melainkan kira-kira seminggu selaku buat dua tiga jam dengan memakai sepatu. Kira-kira pada permulaan Agustus tahun 1957 saya dapati kaki kiri saya berdarah. Sesudah diperiksa baru ketahuan bahwa jari kaki yang paling kecil itu panjang dari biasa dan rupanya dengan himpitan sepatu, kuku itu telah melukai jari yang kedua. Saya bersihkan dan kompres, tetapi tidak menolong bahkan telah infeksi. Maka saya mita pertolongan dokter R M Sukasno Bangil. Sesudah diobati beberapa hari, ia nasehatkan supaya ke rumah sakit saja.”

Pada tanggal 21 Agustus 1957 A. Hassan pun dibawa ke rumah sakit umum di Simpang Surabaya. Setelah dirawat beberapa hari dan tidak ada perubahan, Dr. Sutojo mengatakan bahwa kaki A.Hassan harus diamputasi. A.Hassan pun diberi tempo 3-4 hari untuk memikirkan apakah ia bersedia kakinya diamputasi. A. Hassan mengatakan “bahwa sekiranya tiada obat lain saya harap tuan laksanakan memotongnya” sebagaimana yang ditulis sendiri oleh A.Hassan tanggal 1 Oktober 1957 yang kemudian dimuat oleh Tamar Djaja dalam Riwayat Hidup A.Hassan. Pada tanggal 29 Agustus 1957 A.Hassan dibawa ke kamar operasi. Tamar Djaja mengatakan “di dalam umur yang telah uzur itu, kakinya harus dipotong pula. Tapi buat dia semuanya adalah biasa. Bahkan bagaimana cara pemotongan kaki itupun ditulisnya dalam sebuah siaran tertentu untuk diketahui khalayak ramai”[1]

Mengetahui kaki A.Hassan diamputasi M. Natsir mengirimkan kabar bahwa ia akan pergi ke Bangil untuk menjeguk A.Hassan. Tetapi karena tiba-tiba berhalangan, akhirnya M. Natsir mengutus H.D.P. Sati Alimin untuk menjeguk A.Hassan. Pergilah Alimin ke rumah A.Hassan, setiba di rumah A.Hassan sudah ada 8-9 orang yang bertamu. Setelah dipersilahkan duduk dan bertanya kabar perihal keluarga. Alimin pun bertanya kepada A.Hassan bagaimana awal mula hingga kakinya diamputasi. Tanpa menjawab pertanyaan Alimin, A. Hassan mengambil 2 lembar kertas yang ternyata para tamu yang lain pun juga mendapat 2 kertas tersebut. Alimin pun membaca judul yang tertulis di kertas itu “Ringkasan riwayat kaki saya dipotong, tertanggal: Surabaya 1 Oktober 1957”. “Ini kan lebih praktis, tuan bisa baca nanti di spoor (kereta api) atau di rumah sambil tiduran dengan tenang. Tuan akan tahu riwayat dipotong itu dan saya tidak capek dan tidak buang tempo untuk menjawab pertanyaan yang tentu serupa. Jadi kalau saya jawab itu ke itu juga, kita kan rugi waktu. Sekarang mari kita ngomong soal lain-lain yang ada gunanya.” A.Hassan memberikan penjelasan. Para tamu yang hadir sontak tertawa mendengar penjelasan A.Hassan yang memang benar adanya. Sebagaimana dalam Guru Kita A. Hassan ditulis H.D.P Sati Alimin.[2]

Pada hari itu hari Jumat tamu-tamu berangsur pada pergi. A. Hassan menyarankan agar Alimin shalat jumat di masjid dekat rumah dan Alimin diminta jadi khatibnya. “Tuan di sini saja berjumat tuan saja jadi khatib di masjid kita dan habis shalat kita makan. Saya sendiri belum bisa ke masjid”. Pada saat itu karena masih ada waktu sebelum ke masjid. Alimin mencoba menggali kembali informasi perihal amputasi kaki A. Hassan. Akhirnya A. Hassan menceritakan agak terperinci mengenai amputasi kakinya yang tidak ia tuliskan di kertas informasi itu. “Ustaz, tidak ada jalan lain melainkan kaki ustaz ini harus dipotong, dibuangkan. Jadi bermusyawaratlah ustaz dengan anak keluarga ustaz” cerita A.Hassan menirukan saran dokter. A. Hassan saat itu menjawab spontan “Dokter keluarga saya bukan dokter. Jadi mereka tidak ahli. Yang ahlinya adalah dokter sendiri. Malah kepada saya sendiri pun dokter tak perlu musyawarat, hanya sekedar memberi tahu saja. Kalau dokter berpendapat harus dipotong, ya potonglah. Sesuatu janganlah diserahkan bukan kepada ahlinya. Lantaran musyawarah-musyawarah begini, akhirnya terpaksa dipotong 2 cm lebih atas daripada mestinya.” A.Hassan walaupun terkenal sebagai pendebat ulung dan tegas. Ia juga memiliki jiwa humoris. Alimin mengatakan humor A. Hassan adalah humor yang benar. A. Hassan menceritakan kepada Alimin “dalam keadaan begini, saya ingin juga memenuhi undangan kawan-kawan kita di Malaysia dan Penang. Cuma yang saya risaukan, bagaimana saya harus buang air besar dalam keadaan kaki telah dipotong begini di hotel atau di rumah sahabat. Syukur-syukur saya berhasil membuat sebuah closed yang dapat dilipat dan bisa dibawa ke mana pergi, seakan-akan kita membawa tas saja. Saya sedang memikirkan closed macam itu sekarang” mengomentari hal ini Alimin berujar saya kira kalau closed demikian beliau dapatkan dan umur beliau masih panjang, beliau akan benar-benar pergi memenuhi undangan dari Malaysia itu.[3]

Oleh: Aco Wahab – Alumni Ma’had Aly Al-Ghazali


[1] Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan (Jakarta: Mutiara Jakarta), p. 33.

[2] H.D.P. Sati Alimin, “Guru Kita A.Hassan”, in Riwayat Hidup A. Hassan (Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980), pp. 139–40.

[3] Ibid., p. 141.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here