Usianya tak lagi muda. Jenggotnya dan helaian rambutnya kini putih mengkilap. Sesekali ia mengembalikan posisi kaca mata bulat tebalnya ke pangkal hidungnya. Di usianya yang menjejak kepala enam, jejak langkahnya semakin cepat, seperti masa mudanya yang dihabiskan di jalanan sebagai wartawan, lincah. Empat Bulan, sudah, ia tinggal di Mesir. Menanti dalam gerak penuh harap. Menanti sebuah kata yang terucap. Secarik kertas, dan sekecup tinta hitam, tanda kedaulatan RI, tahun ’47.
Haji Agus Salim. Tubuhnya yang mungil tak menghalanginya menjadi orang besar. Cahaya pada zamannya. Ia bak ensiklopedi hidup, yang berjalan lincah, dikerubungi pelbagai pihak saat di Mesir, mulai dari rakyat kecil, tokoh, hingga wartawan yang mengerubutinya. Para politikus menggelarinya ‘siasi mumtaz’ (politikus istimewa), golongan cendekiawan menyebutnya ‘failasuf’ (filosof), dan kalangan wartawan memanggilnya ‘sohafi labiq’ (wartawan gelir, licik) dan kadang-kadang juga menamainya ifrit (syaitan), dengan arti ‘mewalahkan’, tetapi tetap disukai karena humornya penuh sindiran.
Pimpinan partai politik Mesir mengatakan bahwa Indonesia beruntung memiliki diplomat ulung, yang demikian lincah dan cepat membaca apa yang terdapat dalam kepala orang lain. Duta Besar Lebanon, Abu Ezzedin mengatakan bahwa orang seperti pak Salim tak kalah dikenal dalam masyarakat Barat seperti halnya filosof Bernard Shaw.
Sudah berhari-hari, angin panas Kairo membelai jalanan. Terik panas Kota Metropolitan itu tak menghalangi Agus Salim berkeliling negeri Piramid, mengenalkan negeri di seberang sana. Mobil-mobil jeep hitam, dan kuda-kuda, delman beredar sepanjang jalan. Namanya mulai dikenal sebagai orang Indonesia. Indonesia? Negeri apa itu? Di mana? Seperti apa? Rasa-rasanya, tak pernah terdengar sebelumnya.
Indonesia? Begitu asing di sana. Namun senyum itu tersimpul, ketika mengetahui bahwa Soekarno menjadi pemimpinannnya. Bahwa Islam menjadi agama mayoritas penduduknya.
Tiga kali sudah, Agus Salim masuk gedung-gedung tua di Kairo. Institute Georgrafi Kerajaan, Universitas Kairo hingga jalanan Ibu Kota. Gedung tua dengan bata rapi, dan dinding tebal coklat itu menjadi saksi. Agus Salim berbicara dengan lantang, dihadapan para cendikiawan dan tokoh Mesir. Kadang dengan bahasa Prancis, kadang dengan bahasa Arab, terkadang Inggris.Ribuan pasang mata tertuju kepada ucapan beliau.
Senyap. Sunyi. Begitu berat rasanya, perjuagan RI, setelah ratusan tahun VOC menduduki Indonesia. Tak lama jepang, dan juga kini, suaranya tak terdengar. Hati-hati berdegup kencang, terpukau. Indonesia? Kini ia sayu-sayup terdengar. Di seberang laut sana, ada negeri yang telah merdeka, namun tak ada yang mengakuitnya…Hati ini berdegup kencang.
Akankah kita biarkan? Dalam senyap, semua merenung…dalam senyap, semua termenung..
Usai acara, para wartawan terenyuh, mengundang Pak Salim (wartawan senior Indonesia), ke gedung Persatuan Wartawan Mesir. Hafiz Mahmud, ketua Persatuan Wartawan Mesir langsung menjamunya. Di hadapan ratusan wartawan, Sorot Mata Haji Agus Salim tak dapat menahan haru. Rasa syukur tak terucap. Media Mesir yang berkali-kali membantu menyuarakan kemerdekaan RI. Kefasihan bahasa arabnya memukau, terjalin ikatan kuat antara mesir dan Indonesia.
Riuh sudah ruangan itu. Gemuruh tepuk tangan, dan beliau menutup dengan beberapat kata kekaguman (I’jaab). Genggaman tangan erat, dari hafiz Mahmud, menjadi persahabatan yang seakan berjalan terus hingga dua orang wartawan itu wafat. Kairo, gemerlap Ibu Kota Mesir lagi-lagi menjadi saksi bisu.
Haji Agus Salim, orang yang menarik perhatian para wartawan Mesir. Kadang para wartawan dibuat kecapekan karena begitu cepatnya jawaban Agus Salim, atau bahkan karena kepanjangan jawabannya.Pernah, suatu saat wartawan Akhbarul Yaum, media terbesar di Mesir bertanya Pak Salim tentang Kairo. Belia langsung menjawab ‘An Nur wan –Nar”. (Cahaya dan Api), lalu beliau berdiam dan wartawan itu berdiam pula karena tepat dan cepatnya jawaban itu.
Purnama berlalu. Malam yang lembut, cahanya menyinari tiap jengkal Kairo. Malam itu begitu tenang. Malam itu, beliau diundang bertemu dengan M. Ali Taher, pempimpin Palestina yang simpati dengan kondisi Indonesia. Malam itu, diundang pula para pemimpin Mesir, juga dunia Islam guna menghormati Haji Agus Salim, dan bersiap menyatakan dukungan kepada RI.
Baru saja selesai makan dan bersiap “ngobrol”, Haji Agus Salim terdiam. Sebentar lagi, harap terucap. Impian selama berbulan-bulan, setahun lebih, tak terperi. Haji Agus Salim termenung, berjalan sendiri, menuju pintu luar, tanpa mengucap sepatah “kalam” atau “salam”. Para hadirin tercengang-cengang. Saya dan juga HM Rasyidi, sebagai orang satu daerah itu menyusulnya.
Malam itu, gemerlap Kairo tepat berada di hadapan. Teringat negeri yang jauh di sana. Tak kuat Agus Salim, ketika akan berangkat melakukan delegasi, dirinya masih akan ‘makan-makan’. Dalam waktu yang sama, negeri nan jauh di sana, di dalam relung hatinya yang terdalam, tak tahu kini seperti apa. Purnama berlalu.
Malam itu, angin dingin membelai Hotel Continental. Hotel klasik tiga lantai, dengan gaya romawi bercampur material local itu sungguh memikat. Dengan deretan pohon seperti kurma menjulang. Cahaya bulan yang keperak-perakan itu menyinari beranda. Terdengar lantunan dendang rindu negeri nan jauh di sana dari bibir Pak Salim.
Alunannya sangat syahdu. Lama-lama, lagu itu semakin lantang, memecah keheningan malam. Kami terdiam, melirik dari balik punggungnya. Melihat apa yang terjadi.
Tiba-tiba angin seakan berhenti. Malam itu, dalam syahdunya, sudut Kairo seakan-akan berhenti. Suasana sunyi-senyap. Pak Salim berdiri, menatap kejauhan, berdiam sejenak. Bulir bening berkumpul di sudut matanya. Tetes demi tetes air membasahi lantai. Air megalir deras. Suara itu begitu haru..isak tangis tersedu-sedu..tak kuat lagi menahan rasa dalam dada yang membuncah.
Kami terdiam, tak berani bertanya.
Malam itu seakan muram, larut dalam sedih. Syahdu berbalut kesedihan melanda kami. Ada apa gerangan? Tiba-tiba kesunyian itu terpecah dengan ucapannya beliau “lagu itulah yang dinyanyikan anak saya waktu pelor Belanda menembus dadanya.”
Kemudian beliau diam sejenak. Kami pun sejurus terdiam. Seorang ayah yang teringat anaknya yang telah wafat, sambil berdendang lagu negerinya. Beliau menoleh, menunjuk seragamnya yang tengah dipakai (juga sehari-hari), dan berkata ,”baju inilah yang dipakainya ketika ia jatuh syahid!”.
Saat itu aku berpikir bahwa terlihat kalimat syahid menjadi penawar bagi hatinya yang luka dan duka itu. Tangis itu kian deras. Tak kuasa air mata ini menetes. Syahid, sungguh, kalimat yang menenangkan. Jannah yang menanti di sana, teringat kampung abadi. Air mata beliau, air mata yang tertumpah di Kairo menjadi bagian dari sejarah. Air mata utusan Indonesia, Air mata Indonesia di jantung Ibu Kota Kairo.
Air mata yang terkulai, luluh dengan kalimat syahid. Kairo menjadi saksi, bahwa air mata dan kalimat syahid yang menjadi penawar berada di sana. Haji Agus Salim mungkin tak sendirian. Kairo, selalu berkisah tentang air mata dan para syuhada. Air mata yang mengalir, karena tetesan darah para syuhada, seperti halnya kisah Haji Agus Salim. Air mata di sudut Kairo.
Sejarah selalu berulang.Selalu ada kisah dan hikmah di sana. Amru Bin Ash, Agus Salim, hingga kini…Air mata itu mengalir di sudut Kairo…Purnama berlalu…Syukur mengalir tiada henti..negeri nan jauh di sana, yang terkenang Agus Salim, kini menjadi tempat kita, penerusnya berpijak… (Bersambung….)
Oleh : Rizki Lesus