Indonesia dan Nusantara merupakan dua kata yang sering dipakai banyak kalangan ketika berbicara tentang Indonesia ataupun sebaliknya, Nusantara. Saat ini, berdasarkan catatan statistik Indonesia menjadi negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di seluruh dunia. Presentase Muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia. Dari 205 juta penduduk Indonesia, dilaporkan sedikitnya 88,1 persen beragama Islam.[1] Data statistik ini tidak dapat diabaikan. Dengan jumlah yang besar ini, tentu bukan ada secara tiba-tiba. Ada proses yang panjang di sana. Relevansinya, sejak kapan Nusantara bersentuhan dengan Islam?
Berbagai teori masuknya Islam di Nusantara, telah dibahas oleh banyak ahli berdasarkan bukti sekaligus relasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Kesamaan mazdab, pemahaman keagaamaan, serta cara-cara penyebaran paling banyak diperbincangakan. Dengan demikian, kesimpulan masuknya Islam di Nusantara, tampaknya disepakati oleh ahli sejarah baik dalam maupun luar dengan “Teori Arab”. Beberapa pertimbangan yang dibahas dan cukup krusial adalah masalah waktu. Apakah abad ke -7, abad ke-12, ataukah abad ke-13? Azyumardi Azra, lebih condong dan memberikan kesimpulan bahwa, pada abad ke-7 memang benar sudah mulai adanya Muslim yang menetap di wilayah Nusantara. Tepatnya di Sumatera. Namun, aktifitas penyebaran Islam yang intensif baru terjadi pada abad-ke 12. Ia juga mengiyakan bahwa adanya kontak Nusantara dengan pedagang dari Arab dan Persia. Pada mulanya, kontak tersebut sebatas pengembaraan yakni persinggahan sementara oleh kapal-kapal Arab dan Persia yang sebenarnya bertujuan berdagang ke Cina. Seiring berjalannya waktu, aktifitas perdagangan itu berkembang dan menjalin hubungan yang lebih luas. Misal, kegamaan, sosial, dan politik. Hal itu menurutnya akibat kebangkitan Timur Tengah sehingga penyebaran Islam di Nusantara menjadi mungkin.[2]
Nusantara memang unik. Letaknya cukup strategis. Kerajaan terbesar sebelum datangnya Islam sempat menjadikan Nusantara menjadi rute perdagangan Internasional. Ada masa dimana pelabuhannya sangat masyhur. Pelabuhannya ramai, dan tak pernah sepi dari pengunjung. Walhasil, Nusantara mempunyai hubungan yang kuat dengan berbagai wilayah luar. Sejak dibenarkan “Teori Arab” menjadi sejarah awal masuknya Islam di wilayah tersebut, Nusantara dalam perkembangannya memiliki hubungan yang panjang dengan Islam. Berbagai catatan sejarah semakin menempati ruang yang lebar. Pada abad ke- 7 M / 132 H para pelayar Muslim dari Khilafah Bani Umayyah turut berperan dalam penyebaran Islam. Mu’awiyyah tidak saja sebagai tonggak perkembangan wilayah Islam yang semakin hari semakain meluas. Pun, kekuatan angkatan lautnya yang tak bisa dipandang sebelah mata. Ia berhasil mencetak pelayar-pelayar yang hebat dalam mengarungi samudera.
Kepemimpinan Khalifah ‘Umar b. ‘Abd ‘Aziz mengubah pandangan dunia terhadap Khilafah Bani Umayyah. Jika sebelumnya, para pendahulunya mendapat julukan pemimpin yang otoriter, tapi tidak untuk ‘Umar b. ‘Abd ‘Aziz. Dalam kurun waktu 29 bulan ia mendedikasikan dirinya, ilmunya, dan seleuruh kemampuannya untuk rakyat dan daulah. Salah satu fenomena yang patut disoroti adalah saat berbondong-bondong orang memeluk Islam. Menurut Fahmi Herfi Ghulam Faizi, beberapa sebab banyaknya orang yang masuk Islam yaitu karena mereka menyaksikan kesempurnaan, kebaikan, dan keindahan Islam saat dipimpin oleh Umar b. ‘Abd ‘Aziz. Sampai-sampai ‘Adi bin Arithah berkata pada khalifah:
“Amma ba’du. Sungguh orang-orang telah banyak yang masuk Islam. Aku khawatir jika pendapatan negara dari pajak menjadi berkurang”
Jawab Khalifah,
“Aku telah memahami suratmu. Demi Allah, aku lebih senang semua ummat manusia masuk Islam, sehingga aku dan kamu menjadi petani yang makan dari hasil jerih payah sendiri”[3]
Keberhasilan yang lain adalah khalifah merapikan kembali pembagian kekayaan serta pemasukan negara dengan adil. Ia paham betul, bagaimana tata kelola penyimpanan di masa sebelumnya. Jauh sebelum ia menjabat, ia melihat dan meneliti dengan cermat bagaimana kondisi penyimpanan yang menyimpang. Hingga suatu ketika ia mengkritik Sulaiman b. Abd Malik dengan berkata:
“ Sungguh aku melihatmu membuat orang kaya semakin kaya dan orang miskin tetap dalam kemiskinannya”
Kemudian, ia mengubah itu semua di waktu ia memegang tampuk kekuasaan dengan melarang para gubernur dan pejabat negara untuk menjadikan uang umat sebagai modal perniagaan. Munculnya seruan untuk meningkatkan infak dan juga perhatian terhadap kelompok masyarakat yang tidak mampu dan lemah. Darinya kita bisa lihat sosok pemimpin yang melunasi hutang orang-orang yang terlilit dengan hutang.
Fenomena menarik lainnya di era ‘Umar b. ‘Abd ‘Aziz selain kemasyhurannya dalam perekonomian negara adalah surat dakwah khalifah. Ash-Shalabi dalam Perjalanan Hidup Khalifah Yang Agung Umar Bin Abdul Aziz Ulama & Pemimpin Yang Adil sedikit menyinggung surat yang ia tuliskan kepada raja-raja Negeri al-Hind. Melalui surat tersebut khalifah mengajak mereka kepada Islam, memberikan mereka jaminan akan berkuasa di negeri mereka, mereka juga akan mendapatkan hak yang sama dengan kaum Muslimin. Pun, mereka memikul kewajiban yang sama dengan kaum Muslimin.[4] Riwayat lain yang menguatkan adanya korespondensi masa ‘Umar b. ‘Abd ‘Aziz dengan Raja-raja al-Hind adalah ditemukannya bukti surat kepada Raja Sriwijaya. Sriwijaya sendiri merupakan kerajaan yang besar , yang memiliki kekeuasaan wilayah melintang sejauh hamparan seluruh Sumatera, Semenanjung Malaya, dan daratan Jawa. Kerajaan Sriwijaya juga telah tercatat memainkan peran sentral yang menghubungkan perdagangan di seluruh Nusantara dengan Ibukotanya Palembang. Penulis Arab biasa menyebutnya dengan Zabaj. Kekuasaannya berlangsung dari pertengahan akhir abad ke – 7 sampai akhir abad ke-14.[5] Tampaknya, sangat tepat jikalau Sriwijaya adalah bagian dari al-Hind, yang dalam bahasan beberapa tokoh cukup berbeda pendapat. Namun, Fatimi lebih sepakat dan menyimpulkan bahwa al Hind sebagaimana dikatakan oleh Reinaud:
“ Orang-orang Arab telah memperluas India sejauh kepulauan Jawa”[6]
Korespondensi antara Kerajaan Sriwijaya dengan Kekhilafahan Bani Umayyah tampaknya menjadi perhatian serius oleh Fatimi. Korespondensi Kekhilafahan Bani Umayyah dengan kerajaan Sriwijaya ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul The Two Letters From The Maharaja To The Khalifah. Sebuah tulisan khusus mengkaji surat dari Maharaja kepada khalifah. Dan disanalah akan dijumpai kisah dari Nu’aym b. Hammad yang telah mengabadikan surat tersebut. Namun, menurut Fatimi surat ini mengindikasikan kesamaan yang benar-benar mirip.
“Nu’aym b. Hammad telah menulis, “Raja al-Hind mengirim surat untuk Umar b. ‘Abd Aziz, sebagai berikut: Dari Raja yang merupakan keturunan dari seribu raja, yang permaisurinya juga, adalah keturunan seribu raja, yang didalam kandangnya memiliki seribu gajah, dan yang memiliki wilayah dua sungai yang mengairi tanaman gaharu, yang terdapat tanaman herbal, pala, dan kamper yang keharumannya menyebar ke jarak dua belas mil. Untuk Raja Arab, yang tidak menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Saya telah mengirimkan kepada Anda, hadiah, yang tidak banyak, tetapi (hanya) sebuah salam dan saya berharap bahwa Anda dapat mengirimkan kepada saya seseorang yang bisa mengajari saya Islam dan memerintahkan saya dalam Hukum Islam, [atau dalam versi lain: Mungkin mengajari saya Islam dan menjelaskan kepada saya, perdamaian.].[7]
Fatimi juga menunjukkan bukti lain yang dikutip oleh Ibn Taghri-Berdi dari karya seorang periwayat yang handal, yang tak lain adalah Ibnu Asakir (499/1105-571/1176):
“Saya telah mengirim Anda hadiah batu mulia amoer, wewangian, kamper. Terimalah, dan jadikan aku sebagai saudara dalam Islam”
Surat tersebut terjadi pada tahun ke 99 H, atau 717-718 M. Lebih dalam lagi Fatimi meyakinkan kita bahwa surat yang ditulis oleh Umar’ b. ‘Abd ‘Aziz tidak saja mengajak masuk Islam. Namun, khalifah menginginkan mereka juga memberikan kesetiaan kepada Khilafah Bani Umayyah. Mereka harus mempertahankan wilayah mereka masing-masing, dan juga hak-hak mereka dijamin sama dengan hak kaum Muslimin. Dan yang terpenting adalah keterikatan mereka dengan kewajiban atau konsekuensi yang diberikan Khalifah ‘Umar kepada mereka. Raja-raja menyepakatinya, bahkan cenderung tunduk, status mereka yang berubah menjadi Muslim menjadi sebuah keharusan mengubah nama dengan nama Islam.
Ia membuktikan keabsahan surat tersebut dengna melihat kondisi yang terjadi di Nusantara pada masa itu. Tepatnya, kekuasaan Sriwijaya menjadi salah satu kerajaan terbesar tidak hanya di Nusantara saja, tetapi di Semenanjung Malaya. Dan sangat mungkin melakukan hubungan dengan negara-negara lain di luar wilayah Sriwijaya. Yakni, korespondensi dengan Khilafah Bani Umayyah. Bahkan, kebenaran surat dari Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dikuatkan dengan laporan dari China, bahwa Sriwijaya mengirim Zanji yang berarti seorang budak. Dalam pandangan Fatimi hal tersebut adalah bukti nyata adanya relasi Sriwijaya dengan orang Arab. Bukti China tersebut menurutnya juga menyebutkan nama Raja dari Kerajaan Sriwijaya, yaitu She-li-pa-mo (Srindavarman). Walhasil, Islam benar telah diterima oleh Raja al-Hind, yang disini Sriwijayalah yang dimaksudkan.
Point penting yang Fatimi tunjukkan kepada khalayak umum adalah surat dakwah khalifah ‘Umar b. ‘Abd ‘Aziz menunjukkan besar dan kuatnya keinginan politik Umat Islam pada saat itu. Jelas, kajian Fatimi telah membangkitkan minat ilmuan Muslim khususnya Asia Tenggara. Berharap, besarnya minat untuk menggali sejarah Islam lebih dalam, dan khsusnya di Kawasan Timur.
Demikan, relevansi kajian Fatimi terhadap surat khalifah ‘Umar b. Abd ‘Aziz adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Penting untuk didalami lagi dan juga melakukan kajian lebih konprehensif terhadap Surat ‘Umar b. Abd ‘Aziz kepada Kerajaan Sriwijaya. Betapa informasi tersebut menambah keyakinan Umat Muslim untuk belajar darinya. Barangkali, korespondensi tersebut mempunyai hubungan yang lebih dari keduanya. Saling berpengaruh antara satu dengan yang lainnya. Fakta sejarah tersebut juga telah menunjukkan pada kita, bahwa sedari dulu, sejak zaman Rasululloh Muhammad shallallohu ‘alaihi wassalam kewajiban dakwah tidak pernah berhenti. Bahkan, kekuatan negara bisa lebih efektif, dan efisien untuk untuk mengajak kekuasaan yang bukan didasarkan pada Islam untuk menerima Islam. Seperti Sriwijaya. Wallahu’alam bisshowab
Oleh: Rizka K. Rahmawati, S. Hum – Alumni Program Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Daftar Pustaka
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Perjalanan Hidup Khalifah Yang Maha Agung Umar Bin Abdul Aziz Ulama dan Pemimpin Yang Agung. Jakarta: Darul Haq. 2012
Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Penerbit Mizan. 1994.
Fatimi, S. Q. “Two Letters From The Maharaja To The Khalifah” , Karachi: Islamic Studies, 2, 1. 1963.
Slamet Muljana. Sriwijaya. Yogyakarta: Lkis. 2012
==========================================
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/05/27/noywh5-inilah-10-negara-dengan-populasi-muslim-terbesar-di-dunia. Di akses, 25/05/2016, pukul 14.50 WIB.[8]
[1] http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/05/27/noywh5-inilah-10-negara-dengan-populasi-muslim-terbesar-di-dunia
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Penerbit Mizan, 1994), hlm. 36.
[3] S. Q Fatimi, “Two Letters From The Maharaja To The Khalifah” , Islamic Studies (Karachi), 2, 1(1963), hlm. 123.
[4] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Perjalanan Khalifah Yang Agung Umar Bin Abdul Aziz Ulama dan Pemimipin Yang Agung (Jakarta: Darul Haq, 2012), hlm. 453.
[5] Skamet Muljana, Sriwijaya (Yogyakarta: Lkis, 2012), hlm. 111.
[6] S. Q Fatimi, “Two Letters From The Maharaja To The Khalifah” , Islamic Studies (Karachi), 2, 1(1963), hlm. 123.
[7]Ibid., hlm. 121