Pemberontakan diawali di Silungkang. Massa bergerak saat tengah malam tahun baru 1927. Namun persiapan yang tak matang membuat pemberontakan itu dapat dipatahkan.
Sebelum Silungkang, pemanasan’ menuju pemberontakan bukan terjadi di Sumatera Barat saja. Tetapi sampai ke Aceh. Di Aceh propaganda komunisme, juga menempuh kisah yang sama. Marxisme tak banyak diminati masyarakat aceh kecuali bagi sejumlah orang non aceh atau yang tak sepenuhnya berdarah Aceh di perkotaan. Namun ketika propaganda komunisme mengawinkan antara komunisme dengan Islam, dengan tujuan membebaskan orang-orang dari pajak dan kerja paksa serta menggelorakan penghancuran kompeni di seluruh Aceh dan Sumatera, oleh Partai Komunis, masyarakat segera menoleh.[1]
Tahun 1924 terjadi pemberontakan Bakongan di satu kecamatan kecil di Selatan Aceh dan menewaskan 119 orang aceh dan 21 serdadu Belanda. Dua Pemimpinnya T. Raja Tampo dan Pang Karim diburu oleh Belanda. Di penghujung tahun 1925, sekitar 18 orang Aceh ditangkap setelah mereka berusaha menyerang transportasi Belanda di Blang Kejeren. Di bulan Juni 1926, tangsi militer di Blang Kejeren menjadi direncanakan diserang, namun berhasil digagalkan. 62 orang ditangkap. Apa yang terjadi di Aceh segera disusul dengan lebih dahsyat di Minangkabau, tepatnya di Silungkang, tempat propaganda komunisme atau Islam revolusioner tumbuh subur.[2]
Silungkang adalah wilayah di Sumatera Barat yang menjadi penghubung antara Padang dengan Sawah Lunto. Jarak dari Silungkang ke Padang 105 km, sedangkan dari Silungkang ke Sawah Lunto hanya 6 km saja. Sawah Lunto adalah sebuah wilayah pertambangan batubara Ombilin. Sawah Lunto menikmati posisi sebagai wilayah yang dilalui oleh jalur kereta api dari tambang Ombilin ke Teluk Bayur. Penduduk Silungkang sebagian berdagang dan menjadi maju. Para pedagang inilah yang kemudian menjadi orang-orang pertama yang menerima Sarekat Islam dan bergerak di dalamnya.[3]
Sarekat Islam memiliki pengaruh yang kuat di Silungkang. Sebuah kebijakan pilih kasih pemerintah kolonial dalam soal pengangkutan beras pernah membuat SI Silungkang bergerak memboikot kereta api demi membantu rakyat yang mengalami krisis pasokan beras. Peristiwa ini begitu melekat di benak rakyat sehingga SI Silungkang mendapat dukungan masyarakat Silungkang.[4]
Pada tahun 1924, SI Silungkang berubah menjadi Sarekat Rakyat. Meski Sarekat Rakyat sebenarnya secara struktural adalah organ di bawah PKI, namun rakyat Silungkang tak peduli. Dalam benak mereka, Sarekat Rakyat adalah Sarekat Islam. Bagi mereka yang terpenting adalah menolak pemerintah kolonial yang memberatkan dengan segala pajak dan penindasannya. Di bawah kondisi tertindas inilah, propaganda menuju pemberontakan menemui lahannya yang subur di Silungkang. Dan meletupnya pemberontakan hanya soal waktu saja.
Gambar 3.3 Stasiun Silungkang. Sumber foto: Koleksi online Tropen Museum
Sabtu, 31 Desember 1926. Pasar Silungkang ramai. Salah satu rumah orangi terkaya di Silungkang, Muhammad Yusuf Gelar Sampono Kayo sedang menggelar hajatan. Tamu-tamu memenuhi sekitar rumah tersebut. Namun ada yang berbeda. Semua tamu adalah laki-laki. Yang memasak pun laki-laki. Dan banyak tamu membawa parang, kelewang, kapak, dan linggis. Hari itu massa sudah berkumpul. Di dalam rumah, pemimpin sedang berembuk. Mereka menunggu kabar dari kerabat mereka, Limin, yang sejak kemarin sore diutus untuk bertemu Arif Fadhilah, tak jelas rimbanya.[5]
Penentuan nasib pemberontakan pun ditetapkan. Sabtu, malam minggu, 31 Desember 1926, pemberontakan diputuskan akan berlangsung malam itu juga. Pukul 00.00, pemberontakan dilakukan. Massa diberikan selendang merah dan senjata tajam. Sebagian memakai ‘pisau ubi’ (pistol). Massa dibagi menjadi barisan inti dan barisan cadangan. Barisan inti sebagian terdiri dari anggota garnisun militer yang membelot, dibawah kendali Mayor Pontoh. Ikut bersama mereka anggota Sarekat Rakyat. Mereka dipersiapkan untuk menyerang gedung-gedung pemerintahan dan Societeit kota Sawah Lunto. Barisan lain dipersiapkan untuk menyerang Muara Kalaban, sebuah nagari diantara Sawah Lunto dan Silungkang. Sisanya tetap di Silungkang, untuk membunuh pejabat pemerintah, kepala nagari dan orang-orang yang dianggap loyal pada pemerintah.[6]
Kepala Nagari Silungkang menjadi yang pertama dibunuh. Selanjutnya tiga orang menyusul tewas. Massa kemudian menyerang kepala Stasiun Silungkang. Namun ia berhasil melarikan diri. Seorang petugas karcis kereta api menjadi sasaran. Stasiun Silungkang juga tak luput dari sasaran. Pukul 03.00 massa kemudian kembali ke rumah Muhammad Yusuf. Tak lama mereka kemudian diperintahkan untuk membunuh Tuan Leurs, kepala Departemen Pekerjaan Umum, satu-satunya calon korban kulit putih malam itu. Ia pun berhasil dibunuh. Namun istri dan anak-anaknya tak disentuh. Massa kemudian membubarkan diri. Sebagian kembali ke rumah Muhammad Yusuf, sebagian lain ke rumah masing-masing. Pemberontakan di Silungkang tersebut menewaskan tujuh orang.[7]
Di lain tempat, barisan yang menuju Sawah Lunto sudah bergerak sejak pukul 22.00. Rombongan sebanyak 300 orang berjalan kaki menuju ke Sawah Lunto melewati Muara Kalaban. Di Muara Kalaban sebagian rombongan terjebak oleh kecurigaan petugas. Sebagian lain di bawah pimpinan Abdul Muluk Nasution tetap menuju ke Sawah Lunto. Tak lama Abdul Muluk heran karena terdengar suara ledakan dan tembakan dari arah Muara Kalaban. Padahal seharusnya serangan ke barak polisi Muara Kalaban dilakukan tepat pukul 12 malam. Abdul Muluk kemudian mengingat malam itu,
“Kami mulai gelisah disebabkan bunyi bom dari arah Sawah Lunto belum kedengaran, malah Muaro Klaban telah mendahuluinya. Menurut rencana, barisan yang dipimpin Muluk Caniago dan Karim Marokko memulai merebut tangsi polisi Muara Klaban ini seharusnya tepat pukul 12 tengah malam serentak dengan di Sawah Lunto. Mengapa sampai demikian, itulah yang menjadi pertanyaan di hati kami.” [8]
Abdul Muluk bertambah bingung karena tak lama ia mendapat kabar rencana pemberontakan di Sawah Lunto sudah diketahui aparat. Kelompok garnisun militer di bawah Mayor Pontoh juga ditangkap dan gagal melakukan pemberontakan. Kebingungan berubah menjadi kekacauan ketika mereka bertemu dengan konvoi polisi. Senjata menyalak dari konvoi polisi. Granat tangan yang dilempar rombongan Abdul Muluk tak mampu melawan konvoi. Seketika rencana hancur berantakan, Abdul Muluk bersama kawan-kawannya ditangkap.
Perlahan polisi bersama Asisten Residen Sawah Lunto berhasil mendesak para pemberontak. Meski sempat terjadi pertempuran, situasi di Silungkang mulai dikuasai. 1 Januari 1927, 49 orang pemberontak ditangkap, beberapa tewas dan luka-luka. Di Padang Sibusuk, meski sempat melakukan perlawanan, pemberontakan akhirnya dilumpuhkan. Pemberontakan di Sumatera Barat ini akhirnya hanya terjadi secara signifikan di Silungkang, Muara Kalaban, Padang Sibusuk dan Tanjung Ampalu.
Gelombang bantuan militer akhirnya mematahkan perlawanan. Meskipun pemerintah kolonial telah melakukan beberapa penangkapan terhadap tokoh PKI di banyak wilayah termasuk di Sumatera Barat, tetapi pemberontakan ini tetap mengejutkan banyak pihak baik kelompok Islam maupun pemerintah kolonial. Surat kabar yang menjadi corong Partai Sarekat Islam, yaitu Bendera Islam tanggal 13 Januari yang melaporkan peristiwa pemberontakan ini menulis,
“Dengan tidak didoega terlebih doeloe kaoem merah di Siloengkang, Soengai Lasih, Tandjoen Ampaloe, Moera Kalaban, Moearo Sidjoeng-djoeng, Padang Siboesoek dan lain lain tempat dalem bilangan afdeeling Tanah Datar soeda lakoekan pemberontakan terhadaep pada pemerentah Olanda dengen maksoed teroetama sekali oentoek lepasken sekalian orang orang hoekoeman di Sawah Loento dan Moeara Kalaban, dengen pertoeloengan siapa kaoem merah bisa harep dapetken bantoehan boeat boenoe mati pada bestuur, militair dan politie.”[9]
Pada 12 januari 1300 orang ditangkap, kebanyakan berusia 17 – 25 tahun. Pada Februari jumlah yang ditangkap mencapai 4000 orang. Baru pada 28 Februari 1927 pemerintah kolonial benar-benar mengamankan situasi.[10] Ribuan orang yang ditahan menjadi disika. Peradilan massal digelar. Sebagian dijatuhi hukuman mati. Salah satunya adalah Kamaruddin Alis Manggulung, Ketua Sarekat Rakyat Silungkang. Pekik Takbir dan kalimat Tauhid menjadi kalimat terakhir yang terucap dari bibirnya. Bagi kebanyakan rakyat Minangkabau, pemberontakan tersebut adalah perlawanan terhadap penguasa kafir.
Gambar 3.6 Rel yang dirusak saat pemberontakan. Sumber foto: Koleksi online Tropen Museum
Abdul Muluk Nasution, termasuk salah satu yang beranggapan demikian. Ia adalah salah seorang pemimpin rombongan yang ditugaskan menyerang Sawah Lunto akhirnya dihukum 12 tahun penjara. Ia menyebutkan, “Tak diragukan lagi, bahwa pemberontakan tahun 1926-1927 didalangi oleh PKI dengan menggunakan pelaku-pelaku sebagai pion (korban) anggota-anggota Sarikat Islam, tetapi kemudian dapat dipengaruhi oleh PKI. Ajaran-ajaran dan kursus-kursus yang diberikan di masa sebelum pemberontakan hanyalah mengenai keburukan-keburukan kapitalisme dan penjajah (imperialisme) serta ajaran-ajaran sosialisme-relijius dan mengobarkan semangat jihad di sabilillah berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits.”[11]
Sebelas tahun kemudian, 1 Januari 1938 Abdul Muluk mengingat sebuah peristiwa yang tak dilupakannya. Ia akan berpisah dengan Sulaiman Labai, salah satu pemimpin pemberontakan Silungkang. Sulaiman Labai diusianya yang menginjak 60 tahun dan masih harus belasan tahun lagi menjalani hukuman, meninggalkan wejangan kepada Abdul Muluk Nasution. Sulaiman Labai berkata,
“Pemberontakan kita terhadap kolonial Belanda dengan segala akibat penderitaan kita ini bukanlah suatu kesalahan bahkan pendapat dari hati nurani rakyat Belanda sendiri karena mereka pun pernah berontak menentang kolonial Spanyol. Tetapi suatu kesalahan untuk zelf korreksi bagi kita khususnya ummat Islam ialah, tanpa kita sadari karena kebodohan kita telah diperalat oleh PKI karena kita terpecah-pecah menjadi Sarikat Islam Putih dan Sarikat Islam Merah (Sarikat Rakyat). Semoga kesalahan ini menjadi pelajaran bagi anak cucu kita hingga tidak terjadi lagi, antara lain tidak harus ada Sarikat Islam Putih dan Sarikat Islam Merah, tidak ada lagi NON dan KOO, tidak ada yang dinamakan kaum muda atau kaum tua, tetapi semua ummat Islam harus bersatu; dengan demikian tidak mungkin kita bisa dipecah-pecah atau diinfiltrasi oleh musuh-musuh kita. Agar organisasi Islam tidak diperalat oleh fihak lain maka hendaklah kita mengerti betul berorganisasi dan berpolitik.”[12]
Bersambung ke PKI, Agama dan Soviet
Kembali ke Kaum Merah di Ranah Minang (1)
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Tulisan ini kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
[1] Reid, Anthony. 2002. Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional. Depok: Komunitas Bambu.
[2] Ibid
[3] Zed, Mestika.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Zed, Mestika dan Nasution, A. Muluk. 1981. Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1926-1927. Jakarta: Mutiara
[7] Zed, Mestika. 1981
[8] Nasution, A. Muluk. 1981.
[9] Surat kabar Bendera Islam 13 Januari 1923
[10] Zed, Mestika
[11] Nasution, A. Muluk. 1981.
[12] Ibid
[…] Bersambung ke bagian 2: Pemberontakan Kaum Merah di Silungkang […]
[…] Kembali ke Kaum Merah di Ranah Minang (2) […]