Pemberontakan komunis di Minangkabau berjalan tak bersamaan dengan di Jawa. Perselisihan antara pengikut PKI Batavia dan Tan Malaka memecah gerakan komunis di sana. Meski demikian, agama tetap menjadi titik tolak utama gerakan dan pemberontakan di Minangakabau.
Perlawanan terhadap kolonialisme bagi orang minang bukan hal baru. Dari Perang Paderi yang dahsyat hingga pemberontakan Kamang, menjadi bukti sulitnya orang minang tunduk pada penjajahan. Agama menjadi titik tolak segala perlawanan tersebut. Termasuk ketika komunisme melawan kolonialisme di Minangkabau. Komunisme mencapai Sumatera Barat bukan lewat jalan yang lazim bagi gerakan kiri. Ia masuk melalui pintu agama. Bersamaan dengan gerakan reformasi agama yang dibawa oleh para kaum muda, komunisme menyelinap masuk ke pemikiran kaum muda di minangkabau.
Kolonialisme menjerat rakyat minang dengan penghapusan hak ulayat rakyat minang terhadap tanah mereka dan system tanam paksa kopi yang membebani pundak mereka hingga 1915. Ironisnya setelah tanam paksa dihapuskan, sistem pajak uang langsung diberlakukan pada tahun yang sama. Perubahan sistem pajak ini turut mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pajak yang menimpa rakyat bukan hanya satu tetapi berbagai macam, dirasakan sebagai timpaan yang bertubi-tubi.
Paham komunisme sendiri masuk ke Minangkabau, tepatnya di Padang Panjang pertama kali di tahun 1923. Pelopornya adalah Haji Achmad Chatib gelar Datuk Batuah. Datuk batuah adalah seorang yang hidup dengan latar pendidikan agama yang kental. Ia sempat menimba ilmu di Mekkah dari tahun 1909 sampai 1915. Ia kemudian kembali ke Padang Panjang dan mengajar di Sumatera Thawalib, sebuah sekolah yang dikelola para tokoh reformis Islam di Minangkabau seperti Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Syaikh Djamil Djambek. Di Sumatera Thawalib, Datuk Batuah menjadi ketua penasehat organisasi pelajar di sekolah itu. Buya Hamka menceritakan bahwa ayah beliau, Haji Rasul, bersama Datuk Batuah sering berkeliling untuk berdakwah.
Tahun 1923, Datuk Batuah kemudian ke Jawa dan ia bertemu dengan Haji Misbach yang amat menarik perhatiannya. Ia juga bepergian ke Aceh, tempat ia bertemu dengan seorang pemuda keturunan India-minangkabau bernama Natar Zainuddin. Natar Zainuddin telah menerima ajaran komunis yang didapatnya dari Jawa. Ia bekas kondektur trem di Aceh diusir dari Aceh setelah terlibat pemogokan bersama VSTP.[i] Kembali ke Minangkabau, Datuk Batuah membawa ajaran komunis ke Sumatera Thawalib. Ia, bersama Djamaluddin Tamim, seorang jurnalis yang juga tokoh Sarekat Islam -yang kemudian condong ke SI merah- mengenalkan komunisme melalui klub debat. Mereka membentuk klub debat bernama International Debating Club dan Buffet Merah, sebuah klub debat yang bertempat di kantin sekolah. Di sanalah ia mengenalkan apa yang disebut ilmu ‘kuminih.’[ii]
Ilmu ‘kuminih’ atau komunisme yang diajarkan bukanlah marxisme-leninisme, melainkan sesederhana membenci penguasa kafir. Dengan dalil-dalil agama terutama surah At Taubah dan surah Al Anfal, kebencian terhadap penguasa kafir menjadi landasan ilmu kuminih. Tak jadi soal bagi orang Minangkabau apa itu PKI atau kuminih, yang terpenting adalah perlawanan terhadap kolonialisme yang menjadi pengisi gerakan Islam di Minangkabau yang sedang melemah. Sarekat Islam di Minangkabau telah mengecewakan mereka. Pemimpinnya telah memperkaya diri sendiri. Kuminih ini mengisi kekosongan di rakyat Minangkabau akan perlawanan terhadap penjajah. Datuk Batuah menyebutnya ‘Islam Revolusioner.’ Istilah ini mengingatkan kita pada istilah yang sama dipakai oleh Ahmad Dasoeki dari kelompok Moe’alimin di Surakarta yang juga mendukung komunisme. Pertentangan kelas-nya cukup antara yang dijajah dan menjajah. Buya Hamka menyebutkan,
“Rasa melawan dan tidak puas kepada pemerintah Belanda sadjalah jang menyebabkan mereka memasuki komunis. Kursus berdalam-dalam tentang histori-materialisme belumlah dimasukkan kepada mereka. Jang terpenting lebih dahulu ialah rasa menentang ‘kapitalisme-imperialisme. Di Minangkabau belum ada pergerakan rakjat jang radikal. Sudah mati sedjak patahnja perlawnan menolak belasting di Kamang. Maka mana jang masuk lebih dahulu, itulah jang lebih dahulu pula akan dimakan mereka. Rasa bentji kepada pendjadjahan telah tersalur dalam komunis.”[iii]
Retorika seperti ini sangat menarik minat murid-muridnya. Di mana-mana masa itu kaum komunis menarik hati masyarakat. Buya Hamka menyebut bahwa saat masih remaja, ia bersama kawan-kawannya kerap melagukan Internationale. Majalah Medan Moeslimin pimpinan H. Misbach dibaca pula di Padang Panjang. Di International Debating Club, tergantung gambar-gambar Semaoen, Tan Malaka, Darsono dan lainnya.[iv] Namun lambat laun para ulama seperti Haji Rasul mulai menyadari kekeliruan di yang berkembang di Sumatera Thawalib. Sekolah itu pun terpecah menjadi dua. Antara yang tertarik dengan yang menolak komunisme. Haji Rasul dan kawan-kawannya bukannya tak bereaksi melawan komunsime. Namun para propagandis komunisme tetap terus merangsek. Bahkan perdebatan pernah dilangsungkan diantara mereka.[v] Pernah pula Haji Rasul bertanya pada anaknya (Buya Hamka),
”Malik, apakah engkau masuk komunis pula?“
”Tidak Abuya,“ jawab Buya Hamka
”Hati-hati! Pengalamanmu belum ada. Lahirnya komunis di sini membawa-bawa agama; pada batinnya hendak menghapus agama,” ujar Haji Rasul.[vi]
PKI sebelum kehadiran Datuk Batuah sebetulnya pernah sempat hadir di Padang. Ketika itu dibawa oleh pemuda bernama Magas. Namun ide komunisme yang dibawanya tak laku, karena bernuansa sekuler. Barulah setelah komunisme bercampur Islam, komunisme yang disebut ‘Islam Revolusioner’ ini berkembang pesat. Ia bersama kawan-kawannya menerbitkan Pemandangan Islam dan Djago-Djago. Sebuah media revolusioner yang menggelorakan oposisi terhadap pemerintah kolonial. Gerakan ini bahkan berhasil merekrut seorang Kepala Negeri Kota Lawas.[vii]
Tanggal 4 November 1923, sekumpulan ulama berkumpul untuk menentang gerakan komunis tersebut. Namun Datuk Batuah dan kelompoknya terus bergerak. Seminggu kemudian, 11 November 1923, pemerintah kolonial menangkap Datuk Batuah dan Natar Zainuddin. Keduanya kemudian diasingkan ke Kalabahi dan Kafamananoe, Timor.
Sepeninggal Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, komunisme bukannya menghilang. Para pengikutnya kemudian aktif di Sarekat Rakyat. Hal ini menjadi unik, karena para pengikutnya lebih memilih Sarekat Rakyat ketimbang PKI, meskipun pengurus pusat PKI telah membubarkan Sarekat Rakyat. Namun di Sumatera Barat, organisasi tersebut tetap menggeliat. Sejarawan Mestika Zed menyebut kemungkinan karena masyarakat Minangkabau trauma dengan istilah partai yang memiliiki konsekuensi berat di mata pemerintah kolonial, karena kerap diintai oleh aparat kolonial.[viii] Kita juga dapat menilai bahwa gerakan Sarekat Rakyat lebih dipilih karena PKI selepas Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, bergerak kembali ke arah sekuler, terutama di pesisir Barat Sumatera. Nantinya kita akan melihat kecondongan ini membawa gerakan kiri di Minangkabau menjadi sangat khas.
Bulan Mei tahun 1925, diadakan konferensi di Padang Panjang. Konferensi ini kemudian memilih Zainuddin, seorang mantan kondektur kereta api sebagai ketua PKI. Konferensi itu juga memutuskan semua cabang lokal di Sumatera barat yang selama ini cenderung bergerak secara independen di bawah nama Sarekat Rakyat, kini dikendalikan dari Padang sebagai pusatnya. Akan tetapi struktur ini tak berlangsung lama, pengurus pusat PKI menurunkan derajat PKI Padang tadi hanya menjadi cabang saja. Sedangkan cabang-cabang lain diturunkan menjadi sub-cabang. Kemudian Haji Muhammad Nur Ibrahim dan Sutan Said Ali tampil sebagai pemimpin PKI di Padang.[ix]
Peristiwa ini ini segera menimbulkan ‘perlawanan’ dari PKI Padang Panjang. Kepengurusan Pusat dipindahkan ke Padang Panjang dan diketuai oleh Arif Fadhilah, seorang pengikut Tan Malaka. Hal ini terjadi karena kemungkinan mereka khawatir akan PKI yang semakin sekuler di bawah pengaruh pengurus pusat di Batavia.
Arif Fadhilah kemudian membawa PKI kembali ke arah relijius. Unsur-unsur agama yang tadinya dilecehkan pengurus PKI Padang, kini kembali mencuat. Rapat-rapat digelar kembali. Selama tahun 1925 ini PKI banyak bergerak dan menerbitkan berbagai publikasi. Namun hal ini mendapat tentangan, baik dari kaum ulama maupun kaum adat dan yang paling keras adalah dari pemerintah kolonial itu sendiri. Banyak media massa yang diterbitkan oleh mereka disensor dan dibredel oleh pemerintah kolonial.
Bulan Januari 1926, Sutan Said Ali, salah seorang pengurus PKI, kembali dari pertemuan Prambanan. Ia mulai mengabarkan rencana pemberontakan tersebut di pengurus Minangkabau. Pengurus Padang Panjang kemudian memutuskan menyebarkan propaganda secara besar-besaran untuk rencana pemberontakan tersebut. Melalui pegawai-pegawai jawatan kereta, pekerja-pekerja di tambang Sawah Lunto, dan serikat pekerja di pelabuhan Teluk Bayur, propaganda itu disebarluaskan. Namun keadaan mulai berbelok. Bulan Mei 1926, Sutan Said Ali ditangkap pemerintah kolonial. Sutan Said Ali, bagaimanapun adalah representasi dari pengurus PKI sekular di Sumatera Barat. Ia kurang disukai karena diketahui tinggal serumah dengan seorang perempuan tanpa ikatan nikah. Bagi masyarakat Minangkabau yang relijius tentu saja hal ini menjadi masalah.[x]
Di kalangan pengurus pusat PKI di Jawa, perpecahan mulai terjadi. Tan Malaka yang menolak rencana pemberontakan tersebut di pengasingan mulai menyebarkan pengaruhnya. Di Padang Panjang, pemimpin PKI adalah Arif Fahdilah, seorang pengikut Tan Malaka.[xi] Rencana ini mulai menemui persoalan. Arif Fadhilah menolak rencana pemberontakan ini. Mereka mencoba menjelaskan sikap mereka yang menolak rencana ini. Sejak tertangkapnya Sutan Said Ali, Pengurus pusat PKI di Batavia jelas tak banyak pengaruhnya di Sumatera Barat. Namun bukan berarti tak ada pengurus PKI di Sumatera Barat yang menyetujui rencana pemberontakan. Baharuddin Shaleh adalah salah satunya. Meski ia gagal meyakinkan Arif Fahdilah, namun diam-diam ia tetap mempengaruhi pengurus lain di Padang, Padang Panjang dan Silungkang untuk tetap menjalankan rencana pemberontakan. Dan hal ini membawa hasil, terutama di Silungkang, sebuah daerah di Sumatera Barat, yang secara kondisi memadai untuk dipengaruhi recana pemberontakan.
Bersambung ke bagian 2: Pemberontakan Kaum Merah di Silungkang
Kembali ke Pemberontakan Kaum Merah
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
[i] Reid, Anthony. 2012. Sumatera; Revolusi dan Elite Tradisional. Depok: Komunitas Bambu
[ii] Zed, Mestika.
[iii] Zed, Mestika. Dan Hamka.. 1957.
[iv] Hamka. 1979. Kenang-Kenangan Hidup jilid 1. Jakarta:Bulan Bintang
[v] Hamka.. 1957.
[vi] Ibid
[vii] Zed, Mestika.
[viii] Ibid
[ix] Ibid
[x] Ibid
[xi] McVey, Ruth. 2010. Kemunculan Komunisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
[…] Kaum Merah di Ranah Minang (1) […]
[…] Bersambung ke Kaum Merah di Ranah Minang (1) […]
Nice