Di Batavia dahulu, Orang Selam adalah sebutan pembeda orang Betawi dari kelompok etnis lain. R. A. Sastradama, seorang turis lokal dari Surakarta yang berkunjung ke Batavia tahun 1870 menuturkan bahwa pendudukan kota itu umumnya menyebut diri orang Selam. Istilah Selam adalah pengucapan lokal untuk kata Islam
Suku/etnis Betawi adalah salah satu suku/etnis yang ada di Indonesia, dan diyakini sebagai penduduk asli wilayah Jakarta dan sekitarnya. Meskipun secara geografis mereka penduduk pulau Jawa, namun secara sosio-kultural mereka lebih dekat dengan Melayu. Pada masa sekarang ini, masyarakat Betawi yang dikatakan sebagai warga asli Jakarta ini sebagian besar sudah terpinggirkan dari pusat-pusat kota Jakarta akibat pembangunan.
Kebanyakan masyarakat Betawi kini meninggali wilayah Jakarta pinggiran dan sekitarnya seperti Depok, Tanggerang, Bekasi, atau Parung. Selain karena pembangunan besar-besar di Jakarta yang menyebabkan tempat tinggal masyarakat Betawi tergusur, banyaknya pendatang dari luar Jakarta ikut memberikan pengaruh atas memudarnya kebudayaan Betawi di Jakarta.
Namun, jika kita telisik lebih jauh lagi ternyata etnis Betawi ini sendiri memiliki sejarah yang panjang sebagai warga asli tanah Jakarta. Selain itu mereka juga memiliki kebudayaan dan kearifan lokal tersendiri yang menjadi ciri khas mereka yang menambah keragaman Bangsa Indonesia. Agama Islam sendiri memberikan warna yang cukup banyak dalam kehidupan masyarakat Betawi. Karena itu nilai-nilai ajaran agama Islam pun sering kali mempengaruhi suatu kebudayaan orang Betawi.
Sejarah dan Asal-Usul Orang Betawi
Para ahli memiliki kesulitan dalam melacak asal-usul suku Betawi ini karena kurangnya sumber dan peninggalan yang ada. Adapun kata Betawi sendiri merupakan kata turunan dari kata Batavia, sebutan kota Jakarta pada masa Kolonial Belanda yang diberikan oleh J. P. Coen. Selanjutnya, orang-orang yang tinggal di Batavia disebut Betawi. Dalam konteks ke-Jakarta-an etnis Betawi jelas merupakan penduduk Jakarta dengan ciri-ciri bahasa, budaya, dan adat-istiadat yang berbeda dari pendatang lainnya.
Menurut pendapat Ridwan Saidi, orang-orang asli Betawi sudah ada sejak sebelum kedatangan bangsa Barat, meskipun saat itu kata Betawi belum dikenal, namun sudah ada orang-orang yang tinggal di daerah yang sekarang disebut kota Jakarta itu. Pendapat ini diambil oleh Ridwan Saidi atas beberapa alasan, pertama menurut Prof. Slamet Mulyana, mengungkapkan bahwa di daerah Condet, Jakarta Timur telah ditemukan kapak genggam dari zaman neolithikum. Hal ini memberikan bukti bahwa kawasan Condet sudah ada hunian sejak zaman pra-sejarah (Saidi, 2004: 4).
Kedua, adanya prasasti Tugu yang berasal dari abad ke-5 M yang ditemukan di simpang tiga Kramat Tunggak, Tanjung Priok. Batu ini berasal dari zaman Tarumangera, oleh orang-orang berbahasa Croel disebut sebagai Tugu, tapi orang Betawi menyebutnya sebagai Tunggak, dan sebagian masyarakat menganggap batu ini keramat, maka disebutlah daerah itu Kramat Tunggak. Dalam prasasti Tugu ini disebutkan tentang penggalian Sungai Chandrabagha oleh Raja Purnawarman.
Pada tahun ke-22 pemerintahan Raja Purnawarman digali pula Sungai Gomati sampai ke Laut dan dikerjakan selama 21 hari. Setelah selesai, diadakan upacara besar dan Raja menghadiahkan 100 ekor lembu kepada rakyat dan para Brahmana. Jadi saat masa Tarumanegara itu sudah banyak orang-orang atau komunitas masyarakat, terbukti dengan adanya upacara penghormatan yang dilakukan oleh Purnawarman itu, dan juga tentu para pekerja yang juga banyak untuk menggali sungai yang panjang tersebut (Saidi, 2004: 5).
Ketiga, bahwa nama-nama seperti Angke, Ancol, dan Kalimati berasal dari khazanah purba yang berasal dari bahasa Sansakerta, atau mengimitasi dari nama-nama tempat di India. Misalnya nama Angke berasal dari bahasa Sansakerta yakni Ankee yang artinya air yang dalam. Sedangkan Ancol juga asalnya adalah dar bahasa Sansakerta yang artinya air yang menggenang (Saidi, 2004: 6).
Hingga abad ke-10, sudah ada pembentukan komunitas baru yang membentuk suatu etnis baru hasil dari proses asimilasi orang-orang yang awalnya berbahasa Sunda Kuno dengan pendatang baru dari Kalimantan Barat yang berbahasa Melayu Polinesia. Kelompok ini sampai abad ke-19 M disebut sebagai orang Melayu Jawa. Kelompok etnik ini pada tahun 1865 M sudah menyebut dirinya sebagai orang Betawi (Saidi, 2004: 41). Penyebutan orang Betawi adalah plesetan dari nama kota Batavia karena masalah transliterasi Arab Batavia yang menjadi ba-ta-wau-ya (Saidi, 2004: 16).
Sejak dahulu memang daerah yang kini bernama Jakarta ini memang selalu ramai disinggahi oleh berbagai bangsa di dunia mulai dari Arab, India, Cina, hingga Eropa sehingga campuran budaya, akulturasi, sering terjadi di etnis Betawi. Karena itu banyak pula dari etnis Betawi namun berdarah Arab, atau bahkan Cina.
Bangsa Eropa yang datang seperti Portugis dan Belanda pun banyak yang menetap dan mereka banyak membawa budak-budak dari luar, namun sejumlah tokoh sejarawan dan budayawan Betawi membantah jika disebutkan bahwa etnis Betawi ini adalah keturunan budak yang dibawa oleh orang Barat. Karena sebelum kehadiran mereka pun sudah ada penduduk lokal asli meskipun saat itu belum disebut sebagai orang Betawi.
Infiltrasi Islam Terhadap Masyarakat Betawi
Ada dua pendapat tentang masuknya Islam ke tanah Betawi. Pertama menyatakan bahwa Islam datang dibawa ke Sunda Kalapa oleh Fatahillah saat dia menaklukan dan mengalahkan Portugis di Sunda Kalapa pada 1527 M. Pendapat kedua, menyatakan bahwa Islam dibawa ke Sunda Kelapa oleh Syekh Quro pada abad ke 15 M, lebih awal dibandingkan oleh Fatahillah, Ridwan Saidi seorang sejarawan dan budayawan Betawi adalah salah satu tokoh yang mendukung pendapat kedua ini (Kiki, 2011: 29).
Bahkan menurut Ridwan Saidi, setidaknya ada lima fase tentang perkembangan Islam di tanah Betawi (Kiki, 2011: 30):
- Fase awal penyebaran Islam di Betawi dan Sekitarnya (1418-1527 M), oleh Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawa Bangke.
- Fase lanjutan penyebaran Islam (1522-1650 M), oleh Fatahillah, Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri Kampung Padri, dan Kong Ja’mirin Kampung Marunda.
- Fase lanjutan kedua penyebaran Islam (1650-1750 M), oleh Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid Al Manshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu, Demak yang berbasis di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang.
- Fase perkembangan Islam (1750-sampai awal abad ke-19), oleh Habib Husein Alaydrus Luar Batang dan Syekh Junaid Al-Betawi, Pekojan.
- Fase kedua perkembangan Islam dari abad ke-19 hingga sekarang.
Kisah yang biasa beredar ialah masuknya Islam dibawa oleh Fatahillah ketika ia menaklukan Sunda Kalapa. Fatahillah sendiri memiliki beberapa nama sebutan antara lain Falatehan, Fadhilah Khan, Ratu Pase, hingga Ratu Sunda Kalapa. Ia lahir di Pasai pada 1490 M (Fadhli HS, 2011: 42).
Atas persetujuan Sultan Trenggono dari Demak, dan Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dia berhasil menguasai Sunda Kalapa dan mengubah nama daerah tersebut menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527 M. Sejak saat itu, dengan bantuan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, ia menyebarkan agama Islam di sana (Fadhli HS, 2011: 43).
Islam di Betawi memang memberikan nafas tersendiri yang cukup kuat pada kebudayaan dan beberapa kesenian Betawi. Islam bahkan memberikan identitas sosio-kultural kepada orang Betawi yang dalam kurun waktu yang lama disebut dan menyebut diri mereka sebagai orang Selam. Betawi merupakan mosaik kebudayaan yang memiliki tekstur Islami tanpa kehilangan nuansa tradisionalnya.
Meski demikian perlu kita ingat pula bahwa masyarakat Betawi pun sebenarnya tidak mutlak bersifat homogen, justru kebudayaan Betawi pun cukup beragam bukan hanya dikembangkan oleh mereka yang berdarah Melayu dan Islam, tapi oleh orang-orang Arab, Cina, dan yang beragama Kristen pun juga merupakan pendukung yang kuat kebudayaan Betawi (Saidi, 2004: 218).
Susan Blackburn, penulis buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun bahkan mengungkapkan setidaknya ada dua ciri khas dari etnis Betawi, pertama ialah mereka beragama Islam dan fanatik terhadap agamanya, hal ini kemungkinan akibat berdatangannya para pedagang dan mubaligh dari daerah Arab ke tanah Betawi, selain itu juga bisa jadi akibat tekanan bangsa Eropa yang menjajah mereka.
Kedua yang jadi ciri khas Betawi ialah mereka berbicara dengan bahasa mereka sendiri, hal ini mengagumkan mengingat di wilayah mereka terjadi percampuran berbagai suku bangsa, namun mereka bisa mempertahankan bahasa mereka sendiri (Blackburn, 2011: 90).
Mengidentikkan ciri khas Betawi dengan Islam sebagaimana pendapat Susan Blackburn tentu bukan tanpa alasan. Di Batavia dahulu, Orang Selam adalah sebutan pembeda orang Betawi dari kelompok etnis lain. R. A. Sastradama, seorang turis lokal dari Surakarta yang berkunjung ke Batavia tahun 1870 menuturkan bahwa pendudukan kota itu umumnya menyebut diri orang Selam. Istilah Selam adalah pengucapan lokal untuk kata Islam (Aziz, 2002: 74).
Penjajah Belanda dan Masyarakat Muslim Betawi di Batavia
Masyarakat Betawi yang menempati wilayah Jayakarta tentu akan berinteraksi langsung dengan pihak VOC Belanda ketika awal kedatangannya sebab Batavia merupakan pusat pemerintahan saat itu. Ketika J. P. Coen menaklukan Jayakarta, orang-orang Islam diperkirakan mundur ke pedalaman. Daerah yang dituju antara lain ke Timur menyisir Kali Sunter sampai Jatinegara Kaum, di sana mereka mendirikan Masjid Assalafiyah pada tahun 1620 M. Sehingga saat itu pusat kegiatan Islam tidak terletak di pusat kota Batavia.
Masjid sebagai pusat keagamaan di abad ke-17 terletak di Jatinegara dan bukan di pusat. Masjid-masjid yang berdiri saat itu selain Masjid Assalafiyah, diantaranya adalah Masjid Al-Atiq yang didirikan pada 1630 M di Kampung Melayu, Masjid Al-Alam pada tahun 1655 M di Cilincing, dan Masjid Alam di Marunda pada 1663 M (Fadhli HS, 2011: 47).
Pemerintah Hindia-Belanda sempat menyudutkan agama Islam, sebagaimana menurut F. de Haan yang dikutip oleh Abdul Aziz, bahwa pemerintah sempat melarang pendirian masjid di Batavia, juga melarang adanya upacara khitanan ataupun pengajian, mereka yang mengadakan kegiatan keagamaan di tempat umum selain agama Kristen maka akan mendapat sanksi berupa penyitaan harta benda (Aziz, 2002: 44).
Akan tetapi pelarangan ini mulai melunak ketika masuk abad ke-18 sehingga mulai bermunculan masjid-masjid di wilayah kota seperti masjid Al Mansur di Kampung Sawah, Jembatan Lima yang didirikan pada tahun 1717 M, lalu juga masjid Pekojan di Perkampungan Arab pada tahun 1755 M (Aziz, 2002: 45). Kemudian ada juga masjid Kebon Jeruk yang didirikan pada tahun 1718 M oleh rombongan penduduk China Muslim yang pimpin oleh Chan Tsin Wha bersama istrinya yakni Fatima Hwu yang mana mereka mengungsi ke Kebon Jeruk karena di China terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama Budha (Setiati, et al., 2009: 122).
Betapapun kuatnya tekanan dari penjajah Belanda, umat Islam di Betawi tetap memegang teguh agamanya. Dalam hal ini Buya Hamka dalam Seminar Perkembangan Islam di Jakarta tahun 1987 mengatakan: “Sungguhpun begitu adalah sangat mengagumkan kita, menilik betapa teguhnya orang Betawi atau orang Jakarta memeluk agama Islam. Selama 350 tahun itu, di antara penjajah dengan anak negeri asli masih tetap sebagai minyak dan air…” (Fadhli HS, 2011: 58). Menguatnya ruh keislaman di kalangan masyarakat Betawi ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari peran ulama.
Sekitar 200 tahun lalu pada masa pemerintahan Inggris (1808-1816), Sir Thomas Stanford Raffles bahkan memuji kegigihan perjuangan ulama Betawi memajukan rakyatnya. Pujian ini disampaikan dalam peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap, sebuah lembaga kesenian beranggotakan warga Kristen. Prihatin terhadap keberhasilan dakwah ulama Betawi, dia meminta lembaga itu belajar dari mereka (Derani, Jurnal Al-Turas, 2, Juli 2013: 232).
Ulama di Betawi
Masyarakat Betawi menggunakan klasifikasi ulama ke dalam tiga kriteria, pertama adalah Guru, yaitu ulama yang mempunyai keahlian dalam suatu disiplin ilmu dan punya otoritas untuk berfatwa dan mengajar kitab. Kemudian ada Mu’allim, yaitu ulama yang mempunyai otoritas untuk mengajarkan kitab namun tidak untuk berfatwa. Kriteria terakhir ada Ustadz yang mengajarkan ilmu pengetahuan dasar Islam termasuk membaca Al Qur’an. Selain itu juga ada sebutan habib atau sayyid untuk mereka para ulama yang berasal dari Arab dan merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw (Fadhli HS, 2011: 69).
Sejak abad ke-18 agama Islam di Batavia disiarkan oleh orang Arab dan orang Betawi, Jawa, Banten, dan Bugis. Saat itu juga banyak orang China yang masuk Islam. Salah satu ulama asal Arab yang menyebarkan Islam di Batavia saat itu ialah Habib Husain Alaydrus dari Hadramaut dan mendirikan Masjid Kramat Luar Batang pada 1735 M (Fadhli HS, 2011: 47). Selain itu ada juga Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (1822-1924) yang juga dikenal sebagai Mufti Betawi.
Sayyid Usman lahir di Pekojan, dan sempat belajar di Mekkah dan Hadramaut sebelum akhirnya kembali ke Batavia pada 1862 M. Di Batavia ia mengabdikan dirinya untuk berdakwah, mengajar, dan menulis. Dia mulai mengajar di Masjid Pekojan (Fadhli HS, 2011: 80). Memang dalam hubungannya dengan Belanda, ia tidak terlalu keras, dalam persoalan politik ia menginginkan perdamaian di Hindia Belanda dan penegakkan hukum guna keamanan (Fadhli HS, 2011: 81). Sayyid Usman juga cukup produktif dalam mengarang kitab, ia bahkan memiliki percetakan sendiri di Tanah Abang (Fadhli HS, 2011: 83).
Lalu ada juga Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau biasa dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang. Lahir pada 20 April 1869 M di Kwitang. Ayahnya adalah Habib Abdurrahman, menikah dengan Nyai Salmah binti Haji Ali, putri asli Betawi. Saat berusia 12 tahun, Habib Ali sudah dikirim ke Hadramaut untuk belajar. Di sana ia memiliki guru antara lain Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Mahsyur, dan lainnya.
Ia juga sempat belajar ke Mekkah dan Madinah. Kemudian ia kembali ke Indonesia pada tahun 1889 M (Fadhli HS, 2011: 94). Di Kwitang ia mulai mendirikan majelis ta’lim yang diikuti banyak masyarakat bahkan dari luar daerah. Di antara para muridnya yang menjadi ulama besar yakni Mu’allim Thabrani Paseban, KH. Abdullah Syafi’i, KH. Syafi’i Hadzami, KH.Thohir Rohili, KH. Muhammad Naim, dan masih banyak lagi.
Para habib dan ulama dari Arab memang memiliki peranan yang cukup besar dalam penyebaran Islam di Batavia. Selain itu hubungan dengan Timur Tengah terutama melalui perjalanan ibadah haji juga memperkaya jaringan keulamaan dari Betawi. Di abad ke-18 dan 19 sudah banyak orang Betawi yang melakukan ibadah Haji ke Mekkah. Tidak sedikit diantara para jama’ah haji itu bermukim terlebih dahulu di Mekkah untuk belajar Islam.
Di antara orang Betawi yang bermukim di Mekkah sana adalah Abdurrahman Al-Mashri Al-Batawi (Fadhli HS, 2011: 73). Juga ada Syaikh Junaid Al-Batawi yang telah menetap di Mekkah sejak 1834 M, di sana ia sering menampung dan mengajari jama’ah haji asal Betawi, dan salah satu muridnya ialah Syaikh Nawawi Al-Bantani (Fadhli HS, 2011: 75).
Di abad ke-19 hingga awal abad ke-20 bahkan dikenal beberapa ulama Betawi di Batavia yang amat populer, di antaranya:
- Guru Manshur dari Jembatan Lima
Nama lengkapnya ialah Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri bin Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya, dan dilahirkan pada 1878 M. Guru Manshur merupakan keponakan dari Syaikh Junaid Al-Batawi karena ayahnya, KH. Abdul Hamid, adalah adik kandung Syaikh Junaid. Di usia 16 tahun ia pergi ke Mekkah untuk belajar dan kembali lagi ke Batavia. Guru Manshur pernah mengajar di Jam’iyatul Khair pada 1907 M bersama dengan Syaikh Ahmad Sookarti dan KH. Ahmad Dahlan (Fadhli HS, 2011: 108).
Di antara beberapa muridnya ialah KH. Firdaus (Mu’allim Rojiun Pekojan), KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary, KH. Abdul Rasyid (Mu’allim Rasyid, dari Tugu Selatan Jakarta Utara), dan Muallim KH. Syafi’i Hadzami (Kiki, 2011: 68).
- Guru Marzuqi dari Cipinang Muara
Nama lengkapnya ialah Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa’ad bin Ahmad Al-Fathani. Ia dilahirkan pada 23 September 1877 M di Rawa Bangke atau sekarang bernama Rawa Bunga (Mirshod: 2). Di usianya yang ke 12 tahun, Ibundanya menitipkan Marzuqi kecil kepada seorang ulama di Rawa Bangke, Syaikh Anwar untuk dididik. Selama empat tahun sejak 1889-1893 M itu ia sudah menguasai pelajaran baca Al Qur’an dan ilmu dasar Islam dengan baik. Atas restu ibu dan gurunya, ia melanjutkan pendidikannya kepada Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan atau biasa dikenal Sayyid Usman Muda yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Sayyid Usman bin Yahya yang merupakan Mufti Betawi itu (Mirshod, et al.,: 4).
Pada 1907 M, Guru Marzuqi melanjutkan pembelajarannya ke Mekkah. Di Mekkah selama tujuh tahun ia banyak berguru kepada ulama di sana seperti Syaikh Utsman As-Sarkawi, Syaikh Mahfudz At-Termasi, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Marzuqi Al-Bantani, Syaikh Umar Syattho, dan masih banyak lagi guru lainnya (Mirshod: 7).
Sekembalinya dari Mekkah, Guru Marzuqi mulai mendirikan pesantren dan mengajar di Batavia, tepatnya di Rawa Bangke kemudian berpindah ke Cipinang Muara. Guru Marzuqi dikenal sebagai Gurunya Ulama Betawi sebab banyak murid hasil dididikannya menjadi ulama terkemuka di kalangan Betawi. Di antaranya ada KH. Abdullah Syafi’i, KH. Noer Ali (Pahlawan Nasional), KH. Thohir Rohili, KH. Achmad Mursyidi, KH. Ahmad Zayadi Muhajir, dll (Kiki, 2011: 91).
- Guru Mughni dari Kuningan
Nama lengkapnya ialah Mughni bin Sanusi bin Ayyub bin Qais, lahir di Kampung Kuningan sekitar tahun 1860 M. Keluarganya merupakan keluarga yang sangat taat dalam menjalankan agama Islam. Awalnya ia belajar dari ayahnya, H. Sanunsi, kemudian karena kecerdasannya membuat ayahnya bertekad untuk mengirimnya belajar ke Mekkah. Di Mekkah ia belajar dengan para gurunya antara lain Syaikh Sa’id Al-Babshor, Syaikh Muhammad Sa’id Al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Syaikh Muhammad Umar Syattho, Syaikh Ahma Khatib Al-Minangkabawi, hingga Syaikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (Kiki, 2011: 128).
Selama di tanah suci, Guru Mughni juga berteman baik dengan Guru Marzuqi karena mereka memiliki guru yang sama. Bahkan setelah keduanya kembali dari tanah air, hubungan mereka tambah erat dengan pernikahan antara putra Guru Mughni yakni KH. Ali Sibromalisi yang menikah dengan putri Guru Marzuqi yakni Hj. Syaikhoh (Fadhli HS, 2011: 87).
Pada tahun 1926 M, Guru Mughni juga mendirikan madrasah Sa’adatud Dara’in yang saat itu menjadi satu-satunya madrasah di Kuningan. Awalnya bangunan madrasah itu hanyalah rumah kediaman ayahnya. Dalam hal pendidikan memang Guru Mughni agak ketat, ia tidak mengizinkan keluarganya ada yang masuk ke sekolah Belanda, hal ini sebagai wujud perlawanannya (Fadhli HS, 2011: 89). Di antara para muridnya yang menjadi ulama Betawi ialah Guru Abdul Rachman dari Pondok Pinang, KH. Mughni dari Lenteng Agung, KH. Muhammad Naima tau Guru Naim dari Cipete, KH. Hamim dari Cipete, dan masih banyak lagi (Kiki, 2011: 130).
- Guru Madjid dari Pekojan
Nama lenkapnya adalah Abdul Madjid, lahir di Pekojan pada tahun 1887 M. Ia juga bermukim dan belajar ke Mekkah sebelum pada akhirnya berdakwah dan mengajar di Batavia. Selain belajar dari ayahnya, KH. Abdurrahman, di Mekkah ia belajar dengan gurunya yakni Syaikh Mukhtar Atharid dam Syaikh Sa’id Al-Yamani (Kiki, 2011: 144). Di antara para muridnya yang menjadi ulama Betawi antara lain Mu’allim Thabrani Paseban, KH. Abdul Ghani, KH. Abdul Rozak Ma’mun dari Tegal Parang, KH. Soleh dari Tanah Koja, KH. Abadullah Syafi’i, KH. Nahrawi dari Kuningan, KH. Sa’idi dari Ciputat, KH. Bakir dari Rawa Bangke, KH. Tohir Rohili, dll (Kiki, 2011: 147).
- Guru Khalid dari Gondangdia
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khalid, ia dilahirkan di Bogor dan menikah dengan perempuan asal Gondangdia. Informasi mengenainya masih sulit ditemukan. Akan tetapi diketahui bahwa Guru Khalid juga sempat bermukim di Mekkah untuk belajar. Gurunya di antaranya ialah Syaikh Mukhtar Atharid dan Syaikh Umar Bajunaid. Sedangkan murid-muridnya yang belajar dan menjadi ulama ialah Guru Yakub dari Kebon Sirih, Guru Ilyas dari Cikini, Guru Mujib dan Tanah Abang, KH. Mukhtar Siddik dari Kemayoran, dan masih banyak lagi (Kiki, 2011: 151).
- Guru Mahmud Romli
Amat sedikit informasi mengenai dirinya. Namun diketahui nama lengkapnya ialah Mahmud bin H. Romli. Ia bersama keluarganya sempat berangkat ke tanah suci, hanya saja keluarganya meninggal di sana sehingga ia mengembara sendiri di Arab hampir selama 17 tahun. Di antara para muridnya yang menjadi ulama ialah KH. Muhammad dari Cakung Barat, Mu’allim Syafrie dari Kemayoran, dan Mu’allim KH. M. Syafi’i Hadzami. (Kiki, 2011: 157). Semasa hidupnya Guru Mahmud pernah mendirikan madrasah Muawanatul Ikhwan di Menteng dan pernah menjadi ketua Masjid Tangkuban Perahu sejak 1908 M (Fadhli HS, 2011: 92).
Keenam ulama asli Betawi itu, yakni Guru Manshur, Guru Marzuqi, Guru Mughni, Guru Madjid, Guru Khalid, dan Guru Mahmud, dikenal sebagai “enam pendekar” ulama Betawi (Aziz, 2002: 48). Mereka dikenal dengan sebutan tersebut berkat keilmuan dan pengaruhnya terhadap dakwah Islam di kalangan masyarakat Betawi pada abad ke-19 hingga ke-20.
Kesimpulan
Masyarakat Betawi memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Sebagai masyarakat yang menghuni sebuah wilayah yang strategis dalam jalur perdagangan dunia, tidak mengherankan apabila dalam perjalanannya berbagai budaya dari luar banyak masuk dan memengaruhi kehidupan masyarakat Betawi. Meskipun begitu, Islam yang telah hadir lama dan mengakar di tengah masyarakat Betawi memiliki pengaruh yang besar dan signifikan dalam membentuk nilai dan kebudayaan Betawi. Setiap kisah sejarahnya bahkan tidak lepas dari Islam dan para ulamanya.
Di tanah Betawi ini terdapat banyak ulama besar yang berjasa dalam dakwah Islam. Mulai dari ulama yang berasal dari luar seperti Hadramaut seperti Habib Usman dan Habib Ali, hingga ulama asli putra Betawi seperti Guru Manshur dan Guru Marzuqi. Namun karena keulamaan mereka, masyarakat Betawi amat menghormati mereka tanpa pandang apakah mereka dari dalam atau luar Betawi, hal ini sebab kecintaan dan semangat mereka terhadap agama juga. Bahkan sejarawan seperti Susan Blackburn hingga Ridwan Saidi dan Buya Hamka pun mengakui bagaimana kefanatikan masyarakat Betawi terhadap Islam, dan kuatnya pengaruh Islam terhadap masyarakat Betawi. Tidak heran apabila masyarakat Betawi dapat bertahan meskipun di tengah gencarnya tekanan dari pihak kolonial Belanda yang menjadikan Batavia, tanah tempat mereka tinggal sebagai pusat pemerintahan kala itu.
Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daftar Pustaka
Aziz, Abdul. 2002. Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos.
Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta.
Derani, Saidun. 2013. Ulama Betawi Perspektif Sejarah. Jurnal Al Turas Vol. XIX No. 2: 217- 239
Fadli HS, Ahmad. 2011. Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press.
Kiki, Rakhmad Zailani, dkk. 2011. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta.
Mirshod, Ahmad, dkk. Tanpa Tahun. Biografi Guru Marzuqi bin Mirshod Serta Pemikirannya dalam Bidang Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf. Forum Silaturahmi Keluarga Guru Marzuqi bin Mirshod. Tidak Diterbitkan.
Saidi, Ridwan. 2004. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya. Jakarta: PT. Gunara Kata.
Setiati, Eni, dkk. 2009. Ensiklopedia Jakarta : Jakarta Tempo Doeloe, Kini, & Esok. Jakarta : Lentera Abadi