Muqaddimah

Islam menunjukkan kebangkitannya di Kalimantan pada abad ke-19. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya jumlah orang-orang Banjar yang naik haji.[1] Sejarah haji sendiri di Nusantara berusia setua sejarah Islam sendiri, karena haji sendiri tak terpisahkan dari Islam, Haji merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan jika bagi mereka yang mampu. Jadi haji tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Islam Nusantara dari masa-masa awal, masa perkembangan, hingga saat ini.

Para haji ini tidak hanya sekedar pergi untuk menunaikan ibadah haji tapi mereka juga belajar mendalami kajian Islam. Salah satu ulama yang terkenal dari Kalimantan adalah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, ia telah belajar mendalami Islam di Makkah pusat dunia Islam selama lebih dari tiga puluh tahun dan lima tahun di Madinah. Ketika kembali dari Makkah, ia menjadi guru agama di Kesultanan Banjarmasin dan mempunyai pengaruh yang besar.[2]

Perkembangan Islam semakin pesat di masa hidupnya Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ada beberapa gerakan dakwah yang dilakukannya. Di antaranya adalah beliau membangun pusat pendidikan dan dakwah di Dalam Pagar-Martapura, menjadikan Islam sebagai hukum positif di Kerajaan Banjar dengan mendirikan Mahkamah Syariah, di mana Sultan Adam kemudian membukukan aturan syariat tersebut dalam Undang-Undang Sultan Adam (UU-SA) yang memuat aturan pidana dan perdata yang berlaku untuk seluruh kekuasaan Kesultanan Banjar.

Lukisan sebuah Masjid di Pasaiyangan, Banjar tahun 1861 karya H.M. van Dorp. Sumber foto: Koleksi digital KITLV . http://hdl.handle.net/1887.1/item:855975

Kekuasaan Kesultanan Banjar saat itu selain mencakup seluruh wilayah Kalimantan Selatan, juga sampai ke Tanah Grogot Kaltim, Bulungan, Kotawaringin Sampit dan Pangkalan Bun (Kalteng) dan Sambas Kalimantan Barat. [3] Ahmad Mansur Suryanegara mengatakan Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat baik di kalangan Sultan dan rakyat. Beliau sangat dihormati karena memiliki ilmu yang tinggi.  Bahkan pemerintah kolonial Belanda berani melakukan intervensi ini setelah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari wafat.[4] Syaikh Muhammad Arsyad dan keturunannya berhasil menjadikan penguasa Kesultanan Banjar bersama rakyatnya militan ketika berhadapan dengan penjajah Belanda.[5]

Para haji tidak hanya sekedar menjalankan rukun Islam kelima saja, akan tetapi ia menjadi bagian warga dunia yang memungkinkan menjadi sarana penyebaran ide-ide pergerakan Islam internasional seperti Pan-Islamisme. Para Haji Nusantara sendiri menyerap informasi itu dan membawanya ke Indonesia sehingga menjadi semangat anti-kolonial dan benih-benih gerakan perlawanan pada pemerintah kolonial. Gerakan perlawanan pada penjajah, banyak dipimpin oleh guru-guru ngaji dan para kyai yang bergelar haji sehingga pada abad ke-19, pemerintah kolonial pernah mengeluarkan keputusan (resolusi) yang disebut Ordonansi 1825 untuk mengetatkan syarat-syarat ibadah haji, membatasi jumlahnya dan mengontrol aktifitas mereka baik di Mekkah maupun di Hindia Belanda.[6]

Peran Haji Dalam Perang Banjar

Perang Banjar merupakan perang terlama di Nusantara dalam melawan pemerintah kolonial Belanda, tahun 1859-1906. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah. Perang ini awalnya meletus pada tanggal 28 April 1859 (24 Ramadhan) di Pengaron, Tambang Batu Bara Orange Nassau. Serangan pasukan Antasari ini sangat luar biasa, karena luar biasanya inilah, membuat Andressen, Panglima Tentara Belanda Afdeling Borneo Selatan dan Timur, mengambil keputusan untuk mengumumkan In Staat Van Oorlog en Verzet (Negara dalam keadaan darurat perang). Sehingga pemerintah kolonial Belanda meningkatkan operasi militer dengan berbagai usaha dan dukungan sarana perang, baik pasukan altileri dan kavaleri. Kapal-kapal perang seperti Arjuna, Montrado, Celebes, Boni dan Onrust berpatroli di Sungai Barito dan Sungai Martapura. Untuk melengkapi semua bahkan mendatangkan pasukan seperti Batalyon IX Militer Belanda yang telah memiliki pengalaman berperang di Jawa, Aceh, dan Sulawesi.[7] Peningkatan kewaspadaan Belanda dengan segala upayanya tidak menyurutkan semangat rakyat Banjar dalam berperang melawan musuh, yang memang telah difatwakan sebagai musuh kafir yang dinyatakan oleh organisasi agama Islam Beratip Beramal yang tersebar di Banua Banjar, terutama di Hulu Sungai. [8]

Para Haji Banjar ini memiliki peran dalam perlawanan tersebut. Andresen menyebutkan bahwa sebelum perang pecah tahun 1859, para haji Banjar adalah yang terbesar jumlahnya di kepulauan Indonesia. Bahkan Rheinische Missiongesellschaft mencatat terdapat rata-rata tiap tahun 100-200 orang jamaah haji.[9] Hampir setiap desa terdapat haji-haji dan mereka merupakan elite agama yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat.[10] Bagi masyarakat muslim Banjar, menjadi hajimerupakan suatu tujuan hidup.[11] Ketertarikan menjadi haji merupakan bentuk ikatan moral dan iman antara pemeluk Islam Banjar dengan Makkah dan Madinah. Masyarakat yang memakai gelar haji bukan hanya menjadi status sosial saja akan tetapi sebagai konsekuensi keimanan. Oleh sebab itu, mereka akan menjaga akhlaknya dari perbuatan tercela.[12]

Dalam stratifikasi sosial Banjar pada abad ke-19, para haji menjadi elite agama. Sejumlah besar haji di Kalimantan berasal dari kelompok terbesar dan daerah terkaya (Amuntai, Benua Lima) dari Kesultanan Banjarmasin. Helius Sjamsuddin mengatakan “Kemakmuran secara ekonomis para haji memberikan mereka peranan penting, tidak saja dalam perdagangan dan ajaran-ajaran Islam, tetapi juga di dalam mempertahankan tradisi politik dari Kesultanan Banjarmasin. Para haji ini memberikan dimensi keagamaan pada seluruh perlawanan. Ajaran Islam yang paling menonjol yang berhubungan dengan perlawanan itu adalah jihad dan harapan mesianis pada Imam Al-Mahdi. Lebih-lebih lagi, sejumlah haji dan para pemimpin perlawanan menggunakan tarekat tertentu dalam bentuk Beratib Beramal sebagai alat untuk melaksanakan ideologi mereka dan tarekat menjadi suatu ujung tombak yang sangat kuat terhadap musuh selama perlawanan.[13]

Jihad menjadi sebuah respon perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Para pemimpin perlawanan Banjar dan para haji yang ikut dalam perang Banjar menafsirkan jihad sebagai Perang Sabil melawan orang-orang Belanda kafir dan para pendukungnya. Mereka menganggap ekspansi militer yang dilakukan pemerintahan kolonial di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (bekas Kesultanan Banjarmasin lama) sebagai perluasan kekuasaan orang-orang kafir. Ditambah lagi kehadiran misionaris Kristen dianggap sebagai agama orang-orang kulit putih, “agama Eropa, agama Barat atau agama Belanda”, kaum muslimin mengganggap kehadiran misionaris Kristen ini sebagai bentuk kristenisasi yang merugikan kaum muslimin.

Sebagai konsekuensi dari sikap ini, kaum muslimin mempunyai hak melancarkan suatu perang sabil sebagai tindakan ofensif dan defensif. Penyerangan dan pembunuhan orang-orang Eropa misalnya di tambang batu bara Pengaron dan Kalangan pada bulan April 1859 dan pembunuhan para misionaris di Pulau Petak dan di daerah Sungai Kahayan bawah. Helius Sjamsuddin mengatakan bahwa ini tampaknya merupakan suatu tindakan ofensif mereka. Namun secara keseluruhan penyerangan ini adalah suatu tindakan defensif terhadap ekspansi kolonialisme Belanda dan kristenisasi orang-orang kulit putih. Rheinische Missionsgesellschaft mengklaim bahwa pembunuhan terhadap para misionaris  itu bukan suatu tindakan anti-Kristen, tetapi lebih merupakan anti-kulit putih pada umumnya. Helius mengatakan dalam kekeruhan yang membingungkan itu amat sulit bagi mereka yang melakukan perlawanan untuk membedakannya.[14]

Lukisan Pengaron karya H.M. van Dorp. Sumber foto: Koleksi digital KITLV. http://hdl.handle.net/1887.1/item:855737

Walaupun demikian adapula para haji yang menjadi kolaborator Belanda karena kepentingan pribadi, seperti Haji Isa yang mendukung Belanda dalam menengahi Hidayatullah dan Belanda pada awal perang meskipun ia mempunyai hubungan keluarga aristokrat Banjar di Martapura.[15] Adanya para haji kolaborator tidak menghambat para haji yang melakukan perlawanan untuk memobilasasi kaum Muslimin pedalaman untuk mengambil bagian dalam perlawanan itu dengan menggunakan semangat jihad fi sabilillah. Namun berbeda dengan jihad-jihad di kepulauan Indonesia lainnya, dalam Perang Banjar ini dikombinasikan dengan harapan-harapan mesianis dan kepercayaan-kepercayaan millenarian dan nativistik dari gerakan Muning, meskipun gerakan ini berusia singkat, ia menjadi kekuatan dalam semangat jihad. Gerakan Muning ini adalah semacam asimilasi antara ajaran Islam dan tradisi rakyat. Menurut Helius, Gerakan Muning inilah yang mengungkapkan dua kecenderungan sikap para haji.[16]

Azyumardi Azra mengklarifikasikan karakter Haji dalam perjuangan rakyat Banjar ke dalam dua kategori, yaitu: Pertama, para haji yang berpihak kepada Pangeran Hidayatullah. Pada umumnya para haji ini berdomisili di daerah pedesaan, tepatnya di Hulu Sungai dan Martapura. Keberpihakan ini lebih karena melihat figur Hidayatullah sebagai simbol perlawanan politik, sekaligus simbol keshalihan, kealiman dan ketakwaan.[17] Helius Sjamsuddin menyebutkan bahwa kebanyakan haji dari pedalaman (rural) ini merupakan pendukung-pendukung utama Islam dan tradisi politik dalam bentuk Kesultanan Banjarmasin. Antasari dan Hidayatullah misalnya memperoleh dukungan-dukungan dari para haji pedalaman Amuntai dan para aristokrat Martapura. Mereka mewakili tradisi-tradisi aristokrat dan pedalaman yang menentang perubahan sosial dan politik yang dipaksakan Belanda.[18]

Kedua, para haji yang memberikan dukungannya kepada kolonial Belanda. Para haji ini umumnya pedagang yang berada di daerah perkotaan, tepatnya di Kota Banjarmasin. Keberpihakan mereka didasari pada perhitungan pragmatis demi lancar dan stabilnya usaha dagang yang mereka lakukan.[19] Helius mengatakan para haji kota (urban) Banjarmasin lebih realistis jika tidak mau dikatakan mempunyai kepentingan pribadi baik kepentingan ekonomi maupun pemahaman yang berbeda tentang Islam. Mereka lebih peduli dengan kelangsungan perdagangan mereka yang menguntungkan daripada masalah politik yang dihadapi oleh Kesultanan Banjarmasin.

Kekacauan politik dapat mengakibatkan terhentinya perdagangan mereka yang berimbas pada kerugian dan Belanda saja yang dapat memberikan mereka perlindungan. Oleh sebab itu para haji urban ini mencoba bersikap netral dalam konflik bahkan secara terbuka mendukung Belanda.[20] Azra mengatakan bahwa sikap haji kategori kedua inilah yang menyebabkan gagalnya perjuangan Hidayatullah yang mengakibatkan ia ditangkap.[21]

Ia kemudian beserta istri, anak-anak, ibu dan anggota keluarga diasingkan ke Cianjur di Keresidenan Preanger, Jawa Barat.[22] Walaupun dalam Perang Banjar ini, beberapa pimpinan pasukan tertangkap menyerah dan terbunuh, Antasari tidak pernah menyerah dan bahkan tidak pernah tertangkap oleh Belanda. Perjuangan ini terus dilanjutkan oleh anak cucu Pangeran Antasari dan Temenggung Surapati. Perang terlama di Nusantara ini berakhir dengan menyerahnya keturunan Antasari, Gusti Berakit.

Oleh: Aco Wahab – Alumni Ma’had Aly Imam Al-Ghazali dan peminat sejarah Banjar


[1] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.269

[2] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.269

Ahmad Barjie, Cuplikan Sejarah Banjar, Banjarbaru: Penakita Publisher, 2018, h.4

[3] Ahmad Barjie, Cuplikan Sejarah Banjar, Banjarbaru: Penakita Publisher, 2018, h.33

[4] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani, 2009, h.237

[5] Ahmad Barjie, Cuplikan Sejarah Banjar, Banjarbaru: Penakita Publisher, 2018, h.33

[6] Jajat Burhanudin, Islam dan Transformai Sosial Budaya Masyarakat Nusantara dalam Abdul Hadi WM dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Jilid I, Jakarta:  Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015, h.251

[7] M. Syamsiar Seman, Pangeran Antasari  dan Meletusnya Perang Banjar, Banjarmasin: Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan Kalimantan Selatan, 2011, h. 15

[8] M. Syamsiar Seman, Pangeran Antasari  dan Meletusnya Perang Banjar, Banjarmasin: Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan Kalimantan Selatan, 2011, h. 15

[9] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.269

[10] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.128

[11] Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin (Abad Ke-15 Sampai Ke-19), Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016, h.419

[12] Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin (Abad Ke-15 Sampai Ke-19), Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016, h.423

[13] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.271

[14] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h. 272

[15] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.273

[16] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.272

[17] Muhdi, “Perjuangan Hidayatullah dan Perjuangan Melawan Belanda di Kerajaan Banjar Tahun 1859 – 1862” dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Melintasi Tradisi, Pangeran Hidayatullah Sultan Tanpa Mahkota, Banjarmasin: Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan LK-3, Edisi 18 Tahun VII, Januari-Februari 2010, h.17

[18] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.273

[19] Muhdi, “Perjuangan Hidayatullah dan Perjuangan Melawan Belanda di Kerajaan Banjar Tahun 1859 – 1862” dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Melintasi Tradisi, Pangeran Hidayatullah Sultan Tanpa Mahkota, Banjarmasin: Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan LK-3, Edisi 18 Tahun VII, Januari-Februari 2010, h.18

[20] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.273

[21] Muhdi, “Perjuangan Hidayatullah dan Perjuangan Melawan Belanda di Kerajaan Banjar Tahun 1859 – 1862” dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Melintasi Tradisi, Pangeran Hidayatullah Sultan Tanpa Mahkota, Banjarmasin: Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan LK-3, Edisi 18 Tahun VII, Januari-Februari 2010, h.18

[22] Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, h.193-194

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here