“Yang menganjurkan doa bersama, atau perayaan ‘Lebaran-Natal’, atau barangkali nanti ‘Natal-Maulid’, bukanlah orang yang mempunyai kesadaran agama, melainkan orang-orang yang sekuler, yang baginya masa bodoh , apakah Tuhan satu atau beranak, sebab bagi mereka agama itu hanya iseng!”
Itulah sepenggal dari tulisan Buya Hamka terdapat pada buku Dari Hati ke Hati. Sebuah buku kumpulan tulisan Buya Hamka yang dimuat majalah Panjimas periode 1967 – 1981. Buya Hamka yang sudah kita kenal sebagai salah satu ulama besar Indonesia, merupakan salah satu tokoh Islam yang sangat produktif dalam menulis. Beliau bukan saja dikenal sebagai ulama, tapi juga sastrawan, sejarawan dan politikus Islam.
Yang menarik dari buku ini adalah tulisan – tulisan beliau pasca Orde Lama dan beralih ke Orde Baru. Di masa Orde Lama beliau ditahan semena-mena oleh pemerintah Soekarno yang pro komunis dengan tuduhan kontra revolusi dan anti Pancasila. Penyebabnya adalah Buya Hamka termasuk salah satu politisi dari Masyumi yang memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, anti komunis dan menentang demokrasi terpimpin Soekarno. Maka menarik, dalam buku ini kita lihat tulisan beliau yang menegaskan ia dan umat Islam tidak anti pancasila, karena pokok pangkal segala sila ialah percaya kepada Tuhan, dan Tuhan itu esa adanya. Tidak beranak, tidak dia diperanakkan, tidak dia satu dalam tiga dan tiga dalam satu (Ketuhanan Yang Maha Esa, hal 242). Dan menurut beliau, sila-sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Disinilah tampak, Buya Hamka begitu gerah dengan tuduhan umat Islam anti Pancasila, karena dikatakan bahwa umat Islam setengah hati menerima Pancasila, atau umat Islam hendak mengganti Pancasila dengan yang lain. Namun Buya Hamka malah menganggap orang yang menuduh demikian adalah pancasilais munafik, yang,
“Bertahun-tahun lamanya dasar Negara Pancasila itu dipermainkan diujung bibir dan telah dimuntahkan dari hati. Menjadi isi dari pidato untuk orang banyak , tetapi dilanggar dalam kehidupan sehari-hari.”
Seperti yang kita tahu, Buya Hamka yang tergabung dalam Masyumi serta fraksi Islam lainnya, pada sidang konstituante 1957- dalam upaya mencari dasar Negara- mengusulkan Islam sebagai dasar Negara. Menurut beliau Pancasila akan tumbuh subur dalam lingkup Islam. Namun seiring konstelasi politik yang makin memanas, dibubarkannya konstituante, serta dihantamnya Masyumi oleh Soekarno, umat Islam semakin terpojok dan dituduh anti Pancasila serta kontra-revolusi. Buya Hamka pun dipenjara dan disiksa oleh rezim Soekarno. Bagi Buya Hamka, beliau tidak berkeberatan dengan Pancasila, asal ditafsirkan secara benar, yaitu Pancasila yang bertauhid, bukan ditafsirkan seenaknya. Inilah upaya Buya Hamka dengan ‘mengislamkan’ tafsir Pancasila maka umat Islam masih berhak untuk memperjuangkan syariat Islam di Indonesia. Menurut beliau,
“Yang penting bagi kita bukan nama, tapi pengakuan di negeri ini, Islam adalah mayoritas, diberi hak melakukan kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan Islam sendiri.”
Hal lain yang sangat menarik tertuang dalam buku ini adalah kritik Buya Hamka,terhadap gencarnya kristenisasi dan sekularisme pada awal Orde Baru. Suatu hal yang sangat menampar muka kaum muslimin. Menurutnya, “sikap toleransi umat Islam di Indonesia dibalas dengan tamparan. ” Memang, saat awal Orde Baru, begitu membanjirnya arus kristenisasi yang menurut beliau membonceng Pancasila. Umat Islam ditekan agar menerima kegiatan kristenisasi dengan dalih toleransi, jika tidak, akan mendapat cap anti Pancasila. Kegiatan lain yang dikecam oleh Buya Hamka adalah doa bersama yang menurutnya merusak agama, serta,
“…memaksa orang menelan sesuatu yang berlawanan dengan inti kepercayaannya.”
Gelombang kristenisasi pada saat itu juga ditambah lagi dengan gerakan sekularisasi yang menjangkiti umat Islam. Sehingga beliau berkata dengan keras sekali, bahwa mereka itu adalah pengkhianat-pengkhianat Islam. (Harapan Kepada Pemuda, hal. 142)
Buku ini bukan saja bercerita tentang Pancasila, kristenisasi atau sekularisasi, namun juga sejarah dan keimanan. Namun terasa sekali, inilah sikap dan perlawanan Buya Hamka dalam membendung dan meluruskan ketiga hal tadi. Beliau memang ulama yang konsisten dan berani dalam bersikap. Semua itu terpancar dari buku ini. Sikap yang terus dipegangnya selama pena masih bisa menulis dan mulut masih bisa berkata.
Judul : Dari Hati Ke Hati. Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik.
Penulis : Hamka
Penerbit Pustaka Panjimas Jakarta
330 halaman.
Cetakan kedua 2002.
Oleh : Beggy