Kolonel Karel van der Heijden memang gagal di Samalanga. Namun ia berhasil mencengkeram kembali satu per satu wilayah di Aceh Besar dan sekitarnya. Van der Heijden berhasil menaklukkan Krueng Raba hingga Mon Tassik. Pasukannya juga terus mengejar pasukan Habib Abdurrahman yang tercerai berai hingga Mukim XXII dan XXVI. Taktik membakar desa-desa dilakukan van der Heijden agar perlawanan padam. Selama 2 minggu operasi militer dalam bulan Juni dan Agustus, semua kampung di Mukim XXII yang membantu perlawanan dalam bentuk apapun, atau tampak membantu pejuang Aceh, dihancurkan. Kebanyakan dilakukan oleh unit khusus.[1] Kampung-kampung yang menembak pasukann Belanda seperti Lamkrak, Klieng dan lainnya dibakar habis. Pasukan Belanda bukan saja membakar kampung-kampung, tetapi juga mengambil bahan makanan dari kampung-kampung yang mereka bakar lalu ditinggalkan penghuninnya.[2]
Begitu brutalnya praktek ini sehingga militer Belanda mengeluarkan peringatan pada bulan Juli dan Agustus 1878, agar patroli tak menyentuh properti di perkampungan dan hanya menembak untuk pembelaan diri.[3] Karel van der Heijden sedang mempraktekkann satu taktik brutal di Aceh. Mereka bukan saja menjarah desa dan gudang penyimpanan makanannya, tetapi juga menebang pohon-pohon, kebun-kebun dan tanaman pentinng lainya untu membangun benteng pasukan Belanda.[4] Seorang gadis cilik yang mereka interogasi beberapa pekan setelah penghancuran perkampungan, mengungkapkan bahwa orang-orang kampung mdenderita kelaparan dan keluar dari kampungnya, bertahan hidup hanya dengan makan buah-buahan.[5]
Kekejaman pasukan van der Heijden tak menyurutkan pasukan Habib Abdurrahman Az-Zahir. Mereka terus menyerang basis-basis pasukan Belanda. pada 7 Juni 1878 misalnya, pasukan Habib menyerang pengawalan militer di rumah sakit Pantai Perlak untuk merebut persenjataan Belanda. Sejak bulan-bulan sebelumnya pun serangan kerap dilakukan. Termasuk operasi sabotase para pejuang Aceh untuk mematikan hubungan komunikasi. Tiang-tiang telepon dirubuhkan. Pada 26 Mei 1878, operasi sabotase menyebabkan hubungan telepon dari Uleulhue dan Kutaraja terputus.[6]
Pada 23 Juli 1878 Van der Heijden mulai menyerang Benteng pertahanan Habib Abdurrahman az-Zahir di Mon Tassiek. Lima hari kemudian benteng ini jatuh. Setelah itu menyusul Tjot Glumpang dan Tjot Lepong. Pertempuran terakhir Habib terjadi di Lhong I (Pasar Sibreh). Namun pasukannya terus menelan kekalalahan. Serangan Belanda lebih bertenaga karena dukungan satu batalion pasukan tambahan yang tiba di Aceh pada 4 Juli 1878.[7]
Pada 25 Agustus 1878, serangan ini menuai hasil. Di Pos Belanda di Lam Baro, muncul tiga orang utusan Habib Abdurrahman az-Zahir. Mereka membawa permohonan tertulis dari Sang Habib yang berisi tentang permohonan ampun serta penyerahan diri. Surat bertanggal 3 September 1878 ini memuat beberapa poin persyaratan. Pertama, Habib Abdurrahman bebas (bukan tawanan perang). Kedua bersama 400 pengiringnya berhak memilih negeri Arab sebagai tempat tinggal. Ketiga, Habib menerima pensiun 10 ribu dollar setahun sampai ia wafat. Keempat, diantarkan ke negeri baru (Arab) sebagai tamu Belanda yang dihormati.[8]
Habib memang telah kehilangan asa berperang melawan Belanda. Sejak misi diplomasinya gagal di luar negeri, ia terus mengupayakan perjanjian damai dengan Belanda. Ketika ia memimpin peperangan di Aceh, usulan perdamaiannya ditolak oleh para tokoh-tokoh lainnya. Pun ketika Benteng Mon Tassik telah jatuh, sekali lagi ia mengusulkan perdamaian. Namun usulnya kembali dtolak.[9]
Tuntutan Habib bukannya ringan. Biaya yang dikeluarkan akan sangat besar. Tetapi Van Lansberge dan Van der Heijden yakin, menyerahnya Habib akan mengubah jalannya peperangan.[10] Pada 13 Oktober 1878, Habib Abdurrahman az-Zahir dan Teuku Muda Baet menyerah di Kutaraja. Belanda mengabulkan keinginannya ke Mekkah. Bersama 20 orang pengikutnya, ia tinggal di sana dan diberi uang pensiun sebesar 1000 $ tiap bulannya dengan syarat ia harus tetap tinggal di Arab.[11] Sebelum berangkat dengan kapal Curacao ke Jeddah pada 24 Desember 1878,[12] Habib sempat menganjurkan pada pemimpin Aceh agar menyerah. Suaranya hanya dianggap angin lalu [t’Veer, 1985: 94]. Di Mekkah ia dijauhi oleh orang-orang Aceh di sana, karena mereka menganggapnya pengkhianat.[13]
Selepas tinggal di Arab, Habib bukannya melupakan Aceh. Bahkan 6 tahun setelah kepergiannya, pada Oktober 1884 ia mengirim surat pada pemerintah kolonial Belanda yang berisi cara-cara agar menundukkan Aceh. Dalam surat yang memakai titel dirinya ‘Mangkubumi Aceh’ tersebut, Habib menyebutkan beberapa saran.
Pertama ia menyarankan agar pemerintah Belanda mengangkat seorang “Islam yang berwatak mulia , berketurunan tinggi” untuk mengurus soal Aceh dan diberi gelar raja. Kedua, Ia menyebut seorang yang diangkat tersebut harus benar-benar setia pada Belanda. Ketiga, setelah diangkat, barulah pemerintah Belanda mengirim surat-surat pada penguasa dan pemuka di Aceh agar mentaati figur (mangkubumi) yang diangkat tersebut. Keempat, hukum agama dan pelaksanaannya dijalankan dengan sebuah dewan yang berisi pemuka rakyat, ulama dan kaum bangsawan yang dipilih rakyat. Kelima, wewenang mangkubumi tersebut harus ditulis dalam undang-undang. Keenam, Habib memimnta agar jabatan mangkubumi tersebut dianggap sebagai pelaksana hukum-hukum agama dan dunia, dan harus dihormati, agar menjadi pemandu rakyat.
“Pendeknya dapatlah diharapkan bahwa maksud pemerintah Belanda untuk mengamankan negeri itu akan tercapai dan memberikan kemakmuran kepada rakyat berkat pemerintah yan adil, seperti dapat dilihat dari cara memerintah yang baik dan kemurahannya bagi rakyat dengan memberikan kebebasan dibidang agama dan kemasyarakatan yang akan mencapai kemajuan di bawah pemerintahan yan adil,” demikian jelas Habib dalam penutup suratnya.[14]
Habib jelas masih berhasrat ingin menjadi penguasa Aceh. Usul ‘Mangkubumi’ tersebut dapat kita duga, tak lain adalah agar pemerintah Belanda mengangkat dirinya. Sampai ia wafat di Mekkah pada tahun 1896, saran dalam surat itu tak pernah dilaksanakan oleh Belanda. Tetapi menariknya, pemerintah Belanda nantinya justru mendengar saran-saran dari orang yang menjadi perantara memberikan surat itu dari Habib ke pemerintah Belanda. Perantara itu bernama Christiaan Snouck Hurgronje. Tetapi sementara itu di Aceh, pasukan Belanda menggila. Melakukan pembersihan besar-besaran secara brutal di bawah van der Heijden.
Pembersihan Aceh Besar
Jatuhnya Mon Tassiek ke tangan Belanda membuat banyak orang menderita. Anak-anak dan perempuan yang mengungsi begitu menderita. Ketika kembali ke kampungnya hanya mendapati benteng Belanda.. Masjid Bilul misalnya, dijadikan pos Belanda. Tempat tinggal mereka banyak yang telah berubah menjadi pos Belanda.
Hingga tahun 1879, van der Heijden terus melakukan praktek operasi militer yang brutal. Pada Maret 1879, van der Heijden mulai bergerak maju dari Mon Tassiek menuju hulu sungai. Pada 1 April ia menaklukkan Indrapuri. Pada April 1879, ia meminta penduduk Mukim XXII untuk menyerah. Ia juga menjanjikan Masjid Indapura dan Mon Tassiek yang diduduki akan dikembalikan pada rakyat Aceh. pada hulubalang, ulama dann pemimpin Aceh lainnya, Gubernur Militer Aceh tersebut mengatakan:
“Kalian semua telah sangat mennderita karena kesalahan kalian sendiri; Kalian tidak mengerti tujuan dari Pemerintah Belanda. Tujuannya ingin membuat kalian bahagia tanpa membuat perubahan pada institusi di negeri kalian…Saya sangat sedih mengetahui dampak dari penderitaan rakyat dan saya mau melakukan segala upaya untuk menghindarkannya dari kondisi itu.”[15]
Nyatannya omongan Van der Heijden hanyalah bualan belaka. Sebulan kemudian, tepatnya 9 Juni, Gle Yueng, rumah Panglima Polem ditaklukkan. Sebulan kemudian, Setelah menyelesaikan operasi militer pada 1 Juli 1879, Ia tetap membakar kampung-kampung terus ke utara hingga ke Mukim XXVI.[16]
Seulimeum, 37 kilometer dari laut ditaklukkan pada 18 Agustus 1878. Perjalanan panjang itu meninggalkan desa-desa yang hangus dibakar.[17] Menjelang musim panen, ia justru melaksanan operasi militer ke timur. Operasi jelang masa panen ini untuk membuat orang-orang Aceh kelaparan.[18] Van der Heijden pun belum puas dengan situasi di Batee Iliek. Atas satu peristiwa provokasi Pasukan Belanda yang masuk ke Batee Iliek, perlawanan bangkit Kembali. Van der heijden pada 13 Juli 1880 kembali melancarkan serangan ke Batee Iliek. Pasukan Belanda berangkat bersama Panglima Tibang, mantan pembesar kesultanan Aceh yang kini berpihak pada Belanda.[19]
Di Samalanga, Pasukan Belanda di bawah Schmilau dan Steenvelt tak berhasil mendapat dukungan pemimpin Samalanga seperti Teuku Chi Bugis dan Pocus Mueligo. Mereka tetap terus merangsek menuju Batee Iliek. Pertempuran sengit terjadi di pertahanan Batee Iliek yang dilindungi bambu.[20] J.P. Schoemaker yang tergabung dalam pasukan Infanteri menceritakan beratnya menembus ‘benteng’ bambu tersebut;
“Rintangan sebagai ini tidak mungkin di rusak dengan tembakan meriam apalagi untuk dipotong dengan pedang apa juga. Ketika seorang perwira membawa pasukannnya menerobos rintangan sebagai itu dari arah sebelah selatan, mereka dihujani tembakan oleh pihak Aceh, sehingga konyol. Dari sebelah barat juga dilakukan percobaan sama, tapi mereka cepat saja “dihabiskan” oleh pejuang Aceh. Barisan pembantu yang datang menolong korban dihujani batu besar-besar, bannyaklah mereka yang pecah kepalanya atau pingsan. Ketika pasukan induk coba maju, pasukan pejuang Aceh yang tiba-tiba muncul dari belakang bukit mengadakan serangan kelewang mendadak, membuat Belanda lagi-lagi menderita korban.”[21]
Van der heijden mencoba sekali lagi menyerang Batee Iliek, namun gagal. Benteng Batee Iliek ketika itu dipimpin oleh Habib Bramin. Diperkirakan terdapat 16 ribu pejuang Aceh saat itu. Namun perkiraann ini diragukan. Moh. Said memperkirakan terdapat seribu pejuang Aceh di sana. Satu hal yang pasti, Van der Heijden tidak pernah berhasil menaklukkan Batee Iliek.[22]
Selama Van der heijden di Aceh diperkirakan setidaknya ada 30 ribu orang Aceh yang syahid antara 1874 sampai 1880 dan 400 sampai 500 kampung dibakar menjadi abu.[23] Hal ini segera menjadi polemik besar di Belanda. Taktik bakar habis Van der Heijden menjadi pembicaraan panas.
Laporan-laporan operasi militer selama van der Heijden bercokol di Aceh dihaluskan bahasanya untnuk menutupi jejak kebrutalan mereka. Kata ‘tuchtiging’ atau hukuman menjadi istilah halus untuk membakar rumah, menghancurkan panen dan merubuhkan pohon buah-buahan. Sebelum Perang aceh, populasi penduduk Aceh Besar diperkirakan ada 300-400 ribu orang. Namun pada tahun 1880, pemerintah kolonial di Aceh menghitung hanya 50 ribu jiwa. Angka ini mungkin tidak presisi, tetapi tampak jelas angka kematian begitu tinggi, dan mayoritas orang mengungsi ke luar wilayah itu.[24]
Mantan Gubernur Aceh, van Swieten mengkritik habis Van der Heijden. Van der Heijden bukan saja menuai kritik dari sesama koleganya, tetapi juga dari para pedagang di Penang. Sejak Desember 1878, ia menyatakan seluruh Aceh tertutup untuk pelayaran, kecuali Idi dan Uleelheue. Secara taktik, tujuannya adalah untuk menutup jalur perbekalan militer bagi pejuang Aceh. Semua perdagangan luar negeri diarahkann ke Uleelheue.[25] Sontak hal ini menimbulkan kemarahan dari para pedagang Inggris di Penang. Upaya van der Heijden ini dianggap sebagai upaya Belanda mengganti Penang sebagai pusat perdagangan di Sumatera.[26]
Selain kritik atas praktek brutal Van der Heijden, tekanan lain pada kehadiran militer Belanda di Aceh berasal dari sektor keuangan. Pada tahun 1867, pengeluaran Belanda untuk anggaran Hindia-Belanda sebesar 123 juta gulden. 28 juta gulden dihabiskan untuk pertahanan. Namun, empat tahun setelah Perang Aceh pecah, yaitu tahun 1877, pengeluaran naik hingga 143 juta gulden. Beban pertahanan melonjak hingga 36 juta gulden. Hingga tahun 1877, kopi masih menjadi pemasukan besar untuk Belanda. 45 juta gulden masuk ke kantong mereka. Namun tahun-tahun berikutnya, angka itu terus menurun. Bahkan 10 tahun kemudian, angka itu terus melorot sampai lebih dari separuhnya.[27]
Pada 1880, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Lansberge mulai ‘membujuk’ secara halus agar Van der Heijden mengundurkan diri. Meski Van der Heijden tak menerima bujukan itu, Lansberge tetap berharap penggantinya selambat-lambatnya diangkat pada tahun 1881. Van Lansberge ingin sekali menyudahi Perang Aceh di bawah kepemimpinannya. Maka ia meminta Van der Heijden dan A. Pruys van der Hoeve menyusun laporan tentang persiapan pemerintahan sipil di Aceh.[28]
Laporan itu selesai pada Oktober 1880. Laporan itu menyebutkan bahwa pemerintahan sipil masih lama dapat diterapkan di Aceh. Nantinya pemerintahan sipil akan di pimpin oleh Gubernur Aceh (setingkat residen) dan dibantu tiga asisten residen. Guberur Aceh haruslah seorang militer dan merangkap menjadi pemimpin angkatan bersenjata setempat.[29] Satu pesan kuat bahwa Van der Heijden tak hendak buru-buru pergi keluar Aceh. Namun Van der Heijden tak mampu mempertahankan posisinya ketika pada 1881, skandal kebrutalan dan kebobrokan kepemimpinannya meledak di media massa. Kali ini menyangkut persoalan soal pungutan liar di pelabuhan Uleelheue. Kemudian soal korupsi oleh kepala kantor Kutaraja sebesar 10 ribu gulden. Dan yang paling membuat kekuasaan Van der Heijden terhuyung adalah kekejaman Kapten Kauffman, seorang pengurus kamp pekerja paksa di Kutaraja.
Kapten Kauffman memang amat kejam. Ia sering menyuruh menghajar narapidana dengann rotan yang direndam air kencing. Banyak dari korbannya meninggal dunia. Nasib para narapidana kerja paksa ini memang tragis. Mereka adalah orang-orang yang ‘tak bersuara.’ Sebagai narapidana kerja paksa, mereka hidup dirantai. Oleh sebab itu mereka dikenal dengan sebutan ‘orang rantai.’ Kadang mereka disebut sebagai ‘beruang.’
Sejak berkobarnya Perang Aceh, kebutuhan tenaga kerja paksa ini begitu melonjak. Apalagi banyak dari mereka yang mati di Aceh. Praktis, sejak 1873, setiap narapidana yang divonis lebih dari setahun hukuman, dikirim ke Aceh. Antara tahun 1879 sampai 1890, setengah dari mereka tewas.[30] Kehidupan mereka memang tragis. Secara satir, sejarawan Paul van t’Veer menyebut “mereka tidak memerlukan kandang yang kering, merkea tidak memerlukan hari istirahat, tidak memerlukan makanan luar biasa. Makanan mereka cukup apa yang tersisa. Tempat diam mereka cukup gubuk dari ranting-ranting, mereka habis kena hajar dan mereka mati seperti tikus.”[31]
Kematian mereka memang mengenaskan, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk para napi malang ini hanya sedikit. Napi ini menggantikan peran kuda-kuda pembawa beban yang memakan biaya tak sedikit.[32] Penghematan memang menjadi kata kunci. Oleh sebab itu van der Heijden tak keberatan dengan kebrutalan Kapten Kauffman. Sebab Kauffman telah berhasil menekan biaya makanan dan pengeluaran lainnya untuk para napi.[33]
Berbagai skandal ini membuat parlemen Belanda tidak menolerir karir van der Heijden di Aceh. Ia dipindahkan menjadi Direktur-Komandan Koninjlijk Militair Invalidenhuis Bronbeek (Wisma Penderita Cacat Militer Kerajaan Bronbeek). Bersama para veteran Belanda yang cacat akibat perang Aceh, van der Heijden si mata satu menghabiskan sisa hidupnya hingga tahun 1900.[34]
Pada Maret 1881, Pruys van der Hoeven diangkat menjadi Gubernur Aceh.[35] Ia adalah Gubernur sipil pertama di Aceh. Ia kemudian mengubah haluan kebijakan di Aceh dengan membatasi patroli, di sekitar pos-pos Belanda saja. Ketertiban dan Keamanan akan di jaga oleh polisi Aceh yang baru.[36] Meski demikian, hal itu terbukti menjadi sasaran empuk para pejuang Aceh, terutama di bawah kepemimpinan seorang ulama bernama Teuku Chik di Tiro.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Sebelumnya: Perang Rakyat di Aceh – 5
Berikutnya: Teungku Chik di Tiro: Ulama di Balik Perang – 7 (Habis)
[1] Kreike, Emanuel. 2012. Genocide in the Kampongs? Dutch Nineteenth century colonial warfare in Aceh, Sumatera. Journal of Genocide Research, 14: 3-4, hlm. 302.
[2] Said, Mohammad. 2007. Aceh Sepanjang Abad. Jilid 2. Medan: Harian Waspada, hlm. 143-144
[3] Ibid.
[4] Kreike, Emanuel. 2012, hlm. 303.
[5] Ibid.
[6] Said, Mohammad. 2007, hlm. 187.
[7] Said, Mohammad. 2007, hlm. 189.
[8] Said, Mohammad. 2007, hlm. 190 da Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 94.
[9] Reid, Anthony. 1972. Habib Abdurrahman az-Zahir (1833—1896). Indonesia, Vol. 013, hlm. 58.
[10] Van t’Veer, Paul. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers.
, hlm. 94.
[11] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 94 dan Reid, Anthony. 2005, hlm. 199-200.
[12] Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna, hlm. 21.
[13] Reid, Anthony. 1972, hlm. 59.
[14] Zentgraaf, H.C. 1983, hlm. 24-25.
[15] Kreike, Emanuel. 2012, hlm. 304.
[16] Ibid.
[17] Anthony. 2005. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 202.
[18] Kreike, Emanuel. 2012, hlm. 303.
[19] Said, Mohammad. 2007, hlm. 145.
[20] Ibid.
[21] Said, Mohammad. 2007, hlm. 146.
[22] Said, Mohammad. 2007, hlm. 147-148.
[23] Kreike, Emanuel. 2012, hlm. 304.
[24] Kreike, Emanuel. 2012, hlm. 304.
[25] Reid, Anthony. 2005, hlm. 207.
[26] Reid, Anthony. 2005, hlm. 213.
[27] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 115.
[28] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 109.
[29] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 109-110.
[30] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 136.
[31] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 137.
[32] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 136.
[33] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 111.
[34] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 112.
[35] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 111.
[36] Van t’Veer, Paul. 1985, hlm. 112.