Peranannya dalam perang Aceh, khususnya tahun 1874 hingga 1891 tak dapat dikesampingkan. Nama besar keluarga di Tiro dimulai dari Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut. Seorang ulama yang memimpin Dayah Tiro. Dayah ini terletak di Gampong Tiro, di kiri dan kanan Sungai Pidie. Pidie telah lama menjadi satu pusat Pendidikan Islam di Aceh. Rakyat Aceh mengirimkan anak-anak mereka ke Pidie agar mendapatkan Pendidikan Islam.

Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin kemudian menyerukan agar orang-orang Pidie melakukan perang Sabil ke Aceh Besar. Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin pun mengangkat salah satu anggota keluarganya, yaitu Syaikh Muhammad Saman sebagai tangan kanannya untuk membantu mengerahkan rakyat berperang sabil melawan Belanda.[1]

Kelak, keputusan mengangkat Syaikh Muhammad Saman ini menjadi keputusan yang tepat. Pasca wafatnya Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin, Syaikh Muhammad Saman menjadi penggantinya dan dikenal sebagai Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Ayah Muhammad Saman adalah Teungku Syekh Abdullah dari Kampung Garot. Ibunya adalah Sitti Aisyah, kakak dari Teungku Muhammad Amin Dayah Cut.[2] Kepemimpinan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman sebagai ulama menjadi suatu kedudukan penting di masyarakat Aceh. Bersama Sultan dan Tuanku Hasyim, ia sangat berpengaruh di rakyat Aceh untuk menggelorakan jihad fi sabilllah.

Ulama yang Diburu Belanda

Pengaruh Teungku Chik di Tiro semakin meningkat sejak tahun 1882. Hal ini dapat dilihat dari satu instruksi rahasia oleh pemerintah Hindia Belanda yang memerintahkan Gubernur Aceh untuk memberi hadiah bagi orang yang sanggup menyerahkan pemuka Aceh seperti Teungku Chik di Tiro, hidup atau mati, sebesar 1000 dollar.[3] Apa yang menyebabkan Belanda begitu bernafsu menghabisi Teungku Chik di Tiro? Hal ini karena begitu efektif dan masifnya dakwah Teungku Chik di Tiro. Lewat kenduri-kenduri, ia menyebarluaskan ajakan Perang Sabil dan memerangi kaphe (kaum kuffar-peny). Lewat kenduri pula ia memperoleh berbagai informasi.[4]

Dakwah Teungku Chik di Tiro bukan menyasar rakyat jelata Aceh saja, tetapi juga mengingatkan para uleebalang dan keuchik yang telah berpaling kepada Belanda agar kembali ke jalan Perang Sabil. Penyampaian surat-surat ini biasanya didelegasikan kepada para pemimpin agama seperti Teungku Polem di Njong, Teungku Awe Geutah di Peusangan, dan lainnya.[5]

Salah satunya adalah suratnya kepada semua uleebalang, Imum, wakil, keuchik termasuk Teuku Baid, uleebalang dari Tujuh Mukim. Teungku Chik di Tiro Muhammad dalam suratnya mengajak para pemimpin itu dengan surah Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada makruf dan mencegah dari yang munkar.”

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman kemudian melanjutkan:

“Hai Teuku Baid yang hulubalang Tujuh Mukim itu tiada ayak kami bahwasanya tuan-tuan itu setengah daripada hulubalang Raja Aceh dan imam kami Muslimin, padahal hanya dipertanggung oleh Allah Ta’ala pada Negeri Tujuh Mukim seperti timbangan Syar’i yang betul dan dipenyata akan tuan dalil yang nyata Qur’an dan Hadith dan Kitab. Jika tuan berbuat adil pada hukum maka beroleh pahala akan diri tuan dan akan kami ikut tuan dan jika tuan fasiq dan tuan zalim tiada tuan ikut seperti syari’at maka yang di kami Insya Allah beroleh pahala dan yang melarat itu atas tuan sahaja maka takut olehmu hai Teuku Baid bahwa di-peulamah [diperlihatkan] oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat di hadapan raja-raja orang Islam jadi engkau sehina-hina manusia dan serugi-ruginya manusia.”[6]

Pada akhirnya Teungku Chik di Tiro meminta T. Baid agar mengikuti Allah dan Rasul-Nya seta mengikut kaum muslimin dan memintanya agar membuat benteng-benteng untuk menghadapi Belanda.

Peringatan Teungku Chik di Tiro

Kepada Teuku Nek Meuraksa ia mengawali suratnya dengan menyebut dirinya seorang ‘fakir’ dan bernama”…Haji Syeh Saman Tiro, seorang hamba yang berjihad pada jalan Allah di dalam negeri Aceh Dar as Salam wal Aman.”[7]

Ia mengingatkan pada mereka agar takut kepada Allah. “Allah! Allah! Takutilah Allah dan janganlah tuan-tuan meninggal sebelum menjadi orang-orang yang beriman.”

“Janganlah tuan-tuan sampai tertipu oleh kekuasaan kaum kafir, dengan harta mereka, dengan persenjataan-persenjataan mereka serta serdadu-serdadu mereka yang baik dibandingkan dengan kekuatan kita, milik-milik kita, persenjataan-persenjataan kita dan kaum muslimin, karena tidak ada yang berkuasa, yang kaya dan tidak ada yang memiliki balatentara yang terbaik selain Allah S.w.t. Yang Mahakuasa dan tidak ada yang dapat memberikan kekalahan dan kemenangan selain Allah S.w.t Rabbal ‘alamin.”[8]

Kenyataannya, himbauan Teungku Chik di Tiro bukan saja pada kaum Muslimin di wilayah yang belum dikuasai Belanda. Pada wilayah yang telah dikuasai pun ia terus mengingatkan. Pertama, bahwa telah diwahyukan tanda-tanda kemenangan dengan mundurnya orang-orang kafir.Kedua, mereka yang berada di daerah pendudukan yang seagama hendaklah meninggikan agama Islam, berbuat baik, mencegah hal-hal yang munkar dan memerangi orang-orang kafir.[9]

Ketiga, Imam Mahdi telah lahir di Sudan dan sedang memerangi musuh musuhnya. Keempat, orang-orang yang telah dengan buktinya yang nyata membelot, hendaknya diperangi, sementara kaum Muslimin yang berada di daerah yang diduduki Belanda supaya benar-benar menjadi saudara kaum Muslimin dan hendaklah bermusyawarah, bermufakat dalam hal menguatkan agama dan membunuh mereka, merampok dan menjarah harta mereka, menipu dan mendustakan mereka dengan sekuat tenaga yang ada. Kelima, dengan izin Allah, orang-orang kafir akan dikalahkan dan melarang kaum Muslimin untuk bersikap ragu, karena kaum yang meragu bukan bagian dari kaum Muslimin.[10]

Nasihat Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman ini bahkan bukan hanya ditujukan pada kaum Muslimin, tetapi pada orang-orang Belanda. Beliau mengirim surat pada penguasa Belanda di Kutaraja. Pada tahun 1885, atau 12 tahun setelah pecahnya perang, Syaikh Saman dengan percaya diri menulis surat pada asisten Residen Belanda di Kutaraja. Dalam surat itu ia menyatakan;

“Jika boleh tuan-tuan masuk agama Islam dan menurut syari’at nabi itulah yang terlebih baik atau tuan-tuan sejahtera dunia dengan tiada aib keji lari pontang-panting tiap-tiap sawah, selokan, hutan dan jalan dan yang terlebih jahat lagi itu siksa akhirat, dalam neraka jahanam dengan hukum Tuhan yang amat kuasa maka jika tuan-tuan masuk Islam sama-sama orang Aceh maka kami harap kepada Tuhan seru sekalian alam terpelihara daripada nyawong [nyawa] dan darah dan [h]arta dan megah dan terpelihara daripada aib keji tangkap dibawa ke mana-mana atau terbunuh dengan kehinaan barangkali jika tuan-tuan dengar dan turut seperti nasihat kami ini dapat untung baik dapat kemegahan jadi tuan akan kepala kami dan dapat harta.”[11]

Surat ini tak ditanggapi pejabat Belanda. Tiga tahun kemudian Teungku Chik di Tiro mengirimkan kembali surat peringatan kepada Belanda seraya mengingatkan bahwa Belanda sudah sekitar 16 tahun memerangi negeri Aceh, dan yang mereka dapatkan hanya uang kompeni yang habis, pedagang yang miskin, dan rakyat Aceh yang syahid serta kampung-kampung yang binasa.

Ia bertanya tidakkah Belanda memikirkan semua akibat itu. Sekali lagi ia mengajak Belanda untuk masuk Islam. “Tuan Besar masuk agama Islam mengucap dua kalimah syahadat. Insya Allah sampailah tuan dunia akhirat, sempurna dunia dapat kerajaan [memerintah] dengan senang, boleh tuan Besar perintah atas Negeri Aceh ini…”[12]

Surat Teungku Chik di Tiro sendiri akhirnya dibalas oleh Gubernur Sipil dan Militer di Aceh, Hendri Karel Frederik van Tejin. Van Tejin mengakui bahwa ia ingin perang segera berakhir karena banyaknya korban dan kehancuran. Ia berharap Teungku Chik di Tiro dapat membina kesejahteraan rakyat Aceh. Namun ia menolak menyambut ajakan masuk Islam, sebab menurutnya Belanda tidak melakukan perang agama di Aceh. Ia malah berharap bertemu dengan Teungku Chik di Tiro.[13]

Balasan van Tejin ditolak Teungku Chik di Tiro. Dengan tegas ia mengatakan bahwa tidak mungkin ada perdamaian selama orang kafir masih di negeri Aceh. Menteri Urusan Jajahan Belanda, Levinus Keuchenius turut bereaksi atas ajakan masuk Islam ulama besar Aceh tersebut. Ia memerintahkan agar Van Tejin menjawab ajakan itu dengan mengutip surat Al-Baqarah  ayat 257 yang menyebutkan tak ada paksaan dalam agama Islam. Sekali lagi, Ia mengatakan bahwa pemerintah Belanda menginginkan adanya keadilan, kedamaian dan kesejahteraan di Aceh.

Teungku Chik di Tiro menolak jawaban pemerintah Belanda ini. Pada 24 April 1889, ia menjawab lewat surat bahwa jawaban bahwa Belanda menignginkan kedamaian tidaklah masuk akal. Ia bahkan mengibaratkan hal itu bertolak belakang seperti siang dan malam, matahari dan bulan, munafik dengan mukmin. Ia kemudian menjawab bahwa ia berharap pada Allah Belanda akan binasa.[14]

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman adalah ulama cerdas yang tak bisa dibohongi oleh retorika dan muslihat kata-kata pejabat Belanda. Ia bukan saja ulama yang disegani, tetapi juga arsitek jihad fi sabilillah di Aceh. Kedudukannya menjadi sangat penting. Ketika kepemimpinan perang dipimpin oleh Mangkubumi Habib Abdurrahman az-Zahir, dukungan ulama-ulama terutama Teungku Chik di Tiro menjadi sangat berarti.[15] Pun ketika Abdurrahman az-Zahir akhirnya menyerah kepada Belanda, Sultan Aceh memberi kewenangan kepemimpinan pada Teungku Chik di Tiro. Oleh Sultan Aceh Muhammad Daud Syah ia diberi stempel ‘chap shikureueng.’ Stempel ini memberinya kedudukan sebagai pemimpin agama tertinggi di negeri itu.[16]

Cap atau stempel Tgk Cik Di Tiro. Sumber foto: Herman Syah – Hermankhan.com

Pengaruhnya memang tak tertandingi oleh ulama-ulama lain di Aceh. Sejarawan Anthony Reid menyebutnya ahli teori dan strategi perang suci yang cerdas. Sementara, Henri Carel Zentgraaff seorang jurnalis, menyebutnya sebagai orang yang mengorganisir Perang Sabil. Zentgraaff menilai seruan Teungku Chik di Tiro berdampak besar pada rakyat Aceh. Seruan Teungku Chik di Tiro pada pejabat Belanda menurut Zentgraaff,

“…ia dirumuskan persoalannya dengan sederhana sekali: Menganut agama Islam dan hidup berdamai dengan orang-orang Aceh atau diusir dari daerah itu secara kekerasan dengan ancaman: masuk neraka di akhirat.”[17]

Zentgraaff memang tidak salah. Bagi Teungku Chik di Tiro perlawanan terhadap kaum kaphe (kafir) bukanlah pilihan melainkan satu keharusan. Tawaran Belanda untuk berdamai dan menawarkan kedudukan sebagai mufti tak dipedulikannya.

Ia semakin berperan dalam perang Aceh ketika Habib Abdurrahman az-Zahir menyerah pada pemerintah Belanda. Sebagai ulama yang diangkat oleh Sultan sebagai pemimpin agama, membuat pengaruh Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman semakin menghujam ke rakyat. Sejak 1878, ia mendirikan basis perlawanan gerilya di Keumala. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya berkeliling di pantai Utara dan di Aceh Besar.[18]

Ia berkeliling ke berbagai wilayah mengobarkan semangat agar rakyat melakukan jihad fi sabilillah memerangi kaphe penjajah. Lewat kenduri-kenduri ia menyerukan perlawanan. Bahkan seruan perlawanan ini disisipkan melalui hikayat seperti Hikayat Perang Sabil yang berisi kisah-kisah kepahlawanan dan ganjaran akan amal jihad. Kepada kaum muslimin yang tak bertempur Teungku Chik di Tiro mengumpulkan zakat untuk membiayai perlawanan kaum muslimin.[19] Ia juga memberi imbalan pada kaum muslimin yang berhasil merebut senjata dari kompeni. Satu hal yang paling penting, ia adalah otak di balik penyerangan-penyerang terhadap pos-pos militer Belanda. Kelompok mujahid di bawah asuhannya mendapat pelatihan berat yang menekankan pada latihan-latihan keagamaan.[20]

Orang-orang Pidie memegang senjata. Sumber foto: Koleksi digital KITLV

Pada tahun 1886 saja misalnya, lebih dari empat kali pos-pos Belanda diserbu pejuang Aceh di bawah komando Teungku Chik di Tiro. Setahun kemudian, lebih dari 400 orang pasukan Chik di Tiro berhasil menembus pertahanan Belanda.[21] Gubernur Van Tejin dalam laporannya tahun 1887 menyatakan bahwa sebagian rakyat di Aceh Besar telah menyerah dan kembali pada kehidupan mereka semula. Laporan itu menyebutkan bahwa perlawanan-perlawanan di Aceh Besar hanya dilakukan oleh 150 orang pengikut Teungku Chik di Tiro dan anaknya Teungku Muhammad Amin. Teungku Muhammad Amin memang tak sehebat ayahnya dalam ilmu agama, namun ia menjadi pemimpin militer yang handal.[22]

Klaim van Tejin ialah pejuang Aceh membebani penduduk setempat untuk memberi mereka makan. Van Tejin menganggap rakyat Aceh tidak menyukai mereka dan ingin agar pejuang di bawah Teungku Chik di Tiro segera pergi dari kampung mereka. Maka Belanda mengira kelompok yang bergabung di bawah ulama besar dan keluarganya ini hanyalah perampok dan orang-orang berbahaya yang memadukan nafsu merampok dengan perang melawan orang kafir, bukan karena keyakinan mereka mengusir Belanda dari tanah air mereka.[23]

Di sinilah kita dapat melihat ketidaktahuan Van Tejin akan pengaruh Islam di Aceh. Perang geriliya tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bantuan penduduk setempat. Justru nyawa perang tersebut terletak dari suplai dan dukungan penduduk setempat yang seringkali mengandalkan logistik dari rakyat setempat. Van Tejin tak pernah memahami motivasi jihad fi sabilillah rakyat Aceh. Menurut sejarawan Aceh Teuku Ibrahim Alfian dalam karyanya Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1913 pengikut Teungku Chik di Tiro adalah orang-orang miskin yang datang dari Pidie, Gigeng, bahkan Tanah Gayo yang tidak mempunyai harta apa-apa dan tidak akan kehilangan apa-apa. Mereka hanya mengikuti petunjuk ulama yang menyerukan kemuliaan jihad fi sabilillah dan ganjaran yang akan diterima oleh mereka.[24]

Takdir Allah menentukan nasib Teungku Chik di Tiro. Pada 25 Januari 1891, Teungku Chik di Tiro wafat. Tersiar kabar bahwa beliau diracun oleh anaknya sendiri, Teungku Muhammad Amin. Namun kabar itu sendiri tak dapat dibuktikan kebenarannya. Tampaknya itu merupakan propaganda yang dihembuskan pemerintah kolonial.[25] Lagipula hal ini tentu bertolak belakang dengan kenyataan bahwa ayah dan anak ini bahu-membahu berjihad di Aceh.

Wafatnya ulama besar ini membuat Belanda membutuhkan satu petunjuk tentang dampaknya bagi rakyat Aceh. Pemerintah kolonial akhirnya mengutus Snouck Hurgronje ke Aceh untuk mengumpulkan informasi untuk mengetahui sikap para ulama setelah wafatnya Teungku Chik di Tiro. Selain itu penyelidikan ini berfungsi untuk mencari tahu bagaimana pengaruh para ulama dan jalan apa yang ditempuh Sultan Aceh untuk memenuhi kehendak para ulama.[26] Dari wafatnya ulama inilah Belanda akhirnya membuka jalan baru dalam peperangan di Aceh: kebijakan yang bersandar pada pengetahuan sang orientalis, Christiaan Snouck Hurgronje. (Habis)

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Sebelumnya: Takluknya Sang Habib dan Perang yang Brutal – 6


[1] Alfian, Ibrahim. 2016. Perang Aceh, 1873 – 1912: Perang di Jalan Allah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.126.

[2] Jakub, Ismail. 1960. Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman), Pahlawan Besar dalam Perang Aceh (1881-1891). Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 51.

[3] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 127.

[4] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 128.

[5] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 128.

[6] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 129.

[7] Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna, hlm. 28.

[8] Zentgraaf, H.C. 1983, hlm. 28-29.

[9] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 129-130.

[10] Ibid.

[11] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 134.

[12] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 136.

[13] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 136.

[14] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 137.

[15] Reid, Anthony. 2005. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 223.

[16] Reid, Anthony. 2005, hlm. 273.

[17] Zentgraaf, H.C. 1983, hlm. 29.

[18] Reid, Anthony. 2005, hlm. 273.

[19] Zentgraaf, H.C. 1983, hlm. 27 dan. Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 150.

[20] Reid, Anthony. 2005, hlm. 274.

[21] Reid, Anthony. 2005, hlm. 274.

[22] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 133.

[23] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 133.

[24] Alfian, Ibrahim. 2016, hlm. 133.

[25] Jakub, Ismail. 1960, hlm. 144.

[26] Reid, Anthony. 2005, hlm. 294.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here