Perhatian yang besar terhadap sejarah dan kebudayaan di Nusantara diberikan oleh Hamka di sepanjang masa hidupnya. Hamka pada bukunya Dari Perbendaharaan Lama yang ia tuliskan pada tahun 1963, menyebutkan akan latar belakang yang menjadi kerisauan dan kepentingannya dalam menuliskan sejarah, yaitu sebagai bagian dari pada adab kita dalam memandang sejarah serta kebudayaan yang menjadi milik kita di Nusantara. Beliau menyebutkan bahwa, penyelidik-penyelidik Belanda menyusun sejarah bangsa-bangsa kita dari kerajaan-kerajaan di zaman purbakala, tetapi mereka melihat dan menuliskannya dari kacamata luar -sebagai asing penjajah-, yang mereka banggakan adalah kemenangan mereka dan kekalahan nenek moyang kita, kepintaran mereka dan kebebalan nenek moyang kita, ataupun rasa kemegahan bangsa Belanda dapat menaklukkan suku-suku bangsa Indonesia yang jauh lebih benar daripada mereka menurutnya. Dan kadang-kadang terselip juga rasa kebencian orang Belanda Kristen kepada suku-suku bangsa Indonesia Islam. Sedang Hamka sendiri melihat dan mengakui dirinya sebagai seorang Muslim Indonesia, yang berbeda dengan apa yang dikenalinya melalui sejarah yang dituliskan oleh mereka.[1]
Pada bukunya Sejarah Umat Islam, yang ditulis oleh Hamka selama 22 tahun (1939-1961M) dalam empat jilid. Hamka menuliskan karyanya tersebut melalui penelitiannya pada sekitar seratus kitab dan naskah sejarah di negeri-negeri Melayu –Indonesia, Malaysia, Brunai dan lainnya-. Jilid keempat dari buku Hamka mengupas tentang “Sejarah Umat Islam di Indonesia”, beliau sebut sebagai karya terlengkap tentang Sejarah Indonesia pada masanya. James R. Rush seorang orientalis Amerika dalam bukunya Adicerita Hamka pun mengakui Hamka sebagai penyusun “draf pertama sejarah” khususnya tentang Sumatera, termasuk yang cukup lengkap tentang Nusantara. Sehingga Hamka menjadi guru besar dan semasa hidupnya banyak menjadi dosen tamu di berbagai universitas di Indonesia dan Malaysia serta lainnya, untuk memberikan penerangan bagi mahasiswa dalam pengetahuan dan otoritasnya dalam sejarah.[2]
Beliau secara serius meneliti dan menuliskan tentang bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, sejarah keilmuan dan kebudayaan Islam di Nusantara, sejarah pemikiran tokoh-tokoh ulama di Nusantara dan dunia, sampai sejarah sebelum dan ketika diutusnya Rasulullah, hingga masuknya Islam di Nusantara, merupakan bagian dari tema sejarah yang banyak ditulis oleh Hamka, baik secara khusus atau pun bebas.
Saat tidak banyak tokoh yang memiliki kesadaran dan usaha yang sama seperti Hamka tentang sejarah, di masa itulah ia telah bersungguh-sungguh menuliskannya. Tidak hanya apresiasi yang didapatkannya, namun kritikan atas usahanya tersebut juga tidak lepas diberikan oleh tokoh Islam yang tidak memahaminya.
Hamka pernah dicibir oleh salah satu tokoh pergerakan Islam, bahwa ia dikatakan sibuk membuang waktu untuk meneliti sejarah masuknya Islam, juga aktif dalam kebudayaan, sementara musuh Islam sibuk bekerja menghapuskan Islam dari Indonesia. Maka Hamka menjawab, bagaimana dia mau menjadi pemimpin jika pemikirannya sedangkal atau sesempit itu dengan mengkritik seminar-seminar sejarah yang Hamka lakukan. Kemudian Hamka menimbali “Kenapa tidak bisa dikatakan ilmiyah hasil penyelidikan itu hanya karena sumbernya bukan Snouck Hurgronje, Goldzier atau Zwimmer”, menyebut nama-nama Orientalis, untuk menunjukkan kekurangan yang terjadi dan tidak diperhatikan oleh umat Islam. [3]
Padahal menurut Hamka, adapula yang mengatas namakan “ilmiah”, namun sejatinya hanya sebuah istilah untuk membaluti dan memperalat keilmuan mengikuti kehendak intelektual, sebagaimana kata terpimpin yang dipakai saat Orde Lama, demi menjaga hegemoni penguasa. Hamka menyebutkan:
Ini “Studi Terpimpin” yang digunakan untuk mengelabui mata orang yang menerima Islam sebagai agama pusaka nenek moyangnya tetapi tidak mendapat peluang untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri. Lalu dicari “ilmiah” Islam dari guru-guru bangsa Barat yang “mengatur” suatu macam ilmu tentang Islam menurut apa yang mereka kehendaki, karena pengaruh penyerbuan dan ekspansi agama atau kolonialisme.[4]
Meskipun Hamka berterima kasih kepada para penyelidik Belanda -orientalis- yang telah melakukan studi atau penelitian mendalam serta pengumpulan data tentang sejarah masa kerajaan-kerajaan Islam, adat istiadat dan perkembangan kebudayaan Islam di Nusantara sejak lama. Namun Hamka tetap memperingatkan bahwa, tidak semua hal itu bisa kita telan mentah atau terima begitu saja dari mereka, harus ada yang disisihkan, karena bagi Hamka ada dua hal yang tidak bisa terlepaskan dari mereka sebagai bangsa asing yang memiliki kepentingan dalam menuliskan sejarah.
Pertama ialah untuk kepentingan kolonial -menjaga eksistensi penjajahannya-, dan kedua untuk kepentingan menyebarkan nilai agama atau kebudayaannya. Sehingga Hamka pun mengingatkan bahwa mereka -masyarakat muslim Indonesia- harus menyadari, bahwa yang menulis itu bukan “kita”, maka Hamka menjelaskan “untuk itu tidaklah cukup kalau kita hanya semata-mata seorang Islam padahal tidak mempunyai pandangan hidup sebagai Muslim, khususnya dalam melihat sejarah.” [5]
Namun Hamka bersyukur karena dalam membina kepribadian Indonesia, masih ada pemimpin-pemimpin negara kita yang selalu menganjurkan untuk meninjau kembali sejarah Tanah Air kita dengan perasaan kita sebagai bangsa Indonesia, terutama lagi bagi seorang Islam yang akan melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Dan ia bersyukur beberapa kali seminar tentang sejarah Tanah Air kita, telah diadakan dan pada bulan Maret 1963, dan telah diadakan pula “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Sumatera Utara” di Medan yang dibawakan oleh Hamka.
Maka dari itu mulai tumbuh dengan suburnya penilaian sejarah dengan pandangan kita sendiri sebagai bangsa. Perasaan inilah yang ingin dipupuk oleh Hamka. Ia pun mengharapkan, semoga perjuangan di masa lampau akan bertumbuh di tengah-tengah kita saat ini, “seakan-akan mereka hidup di tengah-tengah saudara atau saudara hidup di tengah-tengah mereka” sebut Hamka. Bagi Hamka itulah modal kita menghadapi zaman kini dan zaman depan, karena kesadaran dan kerinduannya akan masa lalu, serta harapannya yang tidak terputus pada masa depan.
Sebab telah banyak upaya untuk mengasingkan dan memberi stigma negatif terhadap Islam sejak masa kolonial di Nusantara. Belanda misalnya mencoba menghilangkan istilah dan simbol-simbol yang berbau Islam, bahwa Islam bukanlah agama asli nenek moyang serta tidak sesuai dengan pribadi bangsa, disebutkan oleh Hamka:[6]
- Islam hanya cocok dengan masyarakat unta dan minyak samin,
- Al Qur`an itu bagi kita adalah bahasa asing,
- Hapuskan segala pusaka nenek moyang yang masih berbau Arab,
- Huru Arab –huruf Melayu Jawi- adalah huruf kolot. Sebab itu harus ditukar segera dengan huruf latin.
Saat menguraikan makna QS. Al Maidah ayat 57-63, Hamka dalam kitabnya tafsir Al Azhar misalnya menyinggung tentang bagaimana nilai-nilai sejarah yang salah ditanamkan secara sistematis oleh penjajah, bahwa masyarakat hendaklah lebih mempercayai dan mencintai Gajah Mada dengan kerajaan Majapahitnya yang dianggap pernah berjasa dalam menyatukan Nusantara, sedangkan Raden Patah pemimpin Kerajaan Islam Demak yang telah membuatnya berpecah. Mereka berusaha menkaburkan sejarah, dengan memisahkan Islam dengan kebangsaan, memutus hubungan agama dan masyarakatnya di Nusantara. Beliau menulis:
“Diajarkan secara halus apa yang dinamakan nasionalisme, dan hendaklah nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah. Orang Mesir lebih memuja Fir`aun daripada mengagungkan sejarah Islam…”[7]
Buya Hamka saat dipilih menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia pertama pada tahun 1975, di masa Orde Baru. Pada khutbah pelantikannya di hadapan para ulama, tokoh bangsa, presiden dan pejabat pemerintah. Beliau mengkisahkan tentang sejarah panjang masuk dan berkembangnya Islam di berbagai pusat daerah, Hamka kemudian memberikan pengakuan dan penghargaan yang setingginya kepada para pahlawan dan pejuang bangsa, yang telah melalui usaha panjang ratusan tahun lamanya dalam memperjuangan kemerdekaan dan membina bangsa. Yang utama tidak bisa dipungkiri menurut beliau, yaitu peran sentral dan dominan para ulama hampir di semua tempat, masa dan peristiwa di Nusantara, sehingga Hamka menyimpulkan:
“Mereka itulah yang punya hak pujian, bukanlah kita wahai saudara-saudaraku. Sebab itu janganlah kita berbangga menerima pujian-pujian yang diberikan kepada ulama oleh Presiden, oleh menteri-menteri dengan setulus hati mereka. Apalagi kita jika dibandingkan oleh mereka. Kita ini hanya semata-mata penerus, saudara-saudara: dan jalan buat meneruskan itu masih terbuka dengan lebar.” (dikutip dari tulisan H.A Mukti Ali, Menteri Agama RI 1971-1978, dalam Hamka di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983)
Penghargaan Hamka terhadap sejarah memang sangat besar, oleh karena itu sebut beliau, ia merupakan rentetan peristiwa yang tidak bisa diputuskan. Generasi di masa beliau, atau di masa saat ini, hakikatnya adalah meneruskan apa yang telah dimulai, dilakukan dan diperjuangkan oleh para pendahulu. Itulah sebab pentingnya kita untuk memahami dan menjaga keberlanjutan sejarah, serta wasiat beliau akan ruang ke depan yang masih terbuka lebar untuk kita yang kemudian mengisi dan memerankannya.”[8]
Wallahu`alam bisahawab.
Oleh: Bambang Galih Setiawan – Alumni Ma’had Aly Imam al Ghazally Surakarta
[1] Lihat Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hlm. Ix.
[2] Lihat James R. Rush, Adicerita Hamka, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2017, hlm. xxv.
[3] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hlm. 97.
[4] Hamka, Studi Islam, Jakarta: 1982, hlm. 278.
[5] Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002, hlm. 5.
[6] Hamka, Dari Hati ke Hati, Jakarta: Gema Insani, 2016. hlm.28
[7] Hamka, Tafsir al Azhar – Juz VI, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hlm.300.
[8] Tim Redaksi PSH, Hamka di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm.62-63.