“Penghinaan2 atas diri kita oemat Islam selamanja akan terdjadi, selama kita tidak memperlihatkan ketjakapan kita berdiri atas kaki sendiri; mengadakan partij2 politike sendiri, selaras dengan I’tiqad dan faham kita, menggalang pergerakan per ekonomian sendiri dan lain2nja.” – Redaksi Berita Nadhlatoel Oelama

Kasus-kasus penistaan agama Islam kembali mencuat. Seolah-olah reaksi umat yang menentang tak digubris. Kasus penistaan agama memang kerap terjadi di tanah air. Bahkan sejak masa kolonial Belanda. Harapan agar ada sikap saling menghargai begitu sulit dicapai, mengingat maraknya kasus ini di Hindia Belanda. Tokoh-tokoh Islam berteriak meminta sikap pemerintah kolonial yang abai terhadap kasus penistaan agama Islam.

Salah satu periode yang banyak muncul kasus penistaan agama Islam ialah sekitar tahun 1937-1938. Di tahun-tahun ini ada banyak kasus penistaan agama Islam yang mencuat ke permukaan dan diulas media massa kala itu. Mulai dari masuknya tentara (jemaat) Bala Keselamatan ke Masjid Pesako, Minahasa dan di masjid itu, dimainkan musik dan lagu-lagu rohani Kristen.[1] Ada pula tersebarnya buletin berhuruf Arab namun berisi propaganda Kristen di Masjid Besar Solo. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, seekor anjing dibawa masuk ke dalam Masjid. Di Bernhard Theater, Manado pada 13 atau 14 April 1938, Ernst Brandt dari Bala Keselamatan, mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan umat Islam. Ia mengatakan bahwa,

“Moehammad adalah seorang miskin, penggembala, ia kawin dengan Chatidjah djanda kaja, hartanja dibikin loedes ; Moehammad  istrinja 14 perampas bini orang,  menoeroeti hawa nafsoenja, mana bisa dapat kesoetjian dari orang begitoe ; siapa2 jang tidak soeka ikoet pada agamanja ditoesoeknja, (diboenoehnja) dengan pedang terhoenoes ; orang Islam tjoema sdikit, terdiri dari orang bodoh-bodoh.”[2]

Maraknya kasus penistaan terhadap Islam ini membuat salah satu tokoh Islam bersuara di dewan rakyat, Volksraad. Tokoh tersebut adalah Wiwoho yang juga pernah menjadi anggota dari Jong Islamieten Bond. Menanggapi beragam kasus penistaan tersebut, Wiwoho mengatakan,

“Sebagaimana diatas soedah saja oeraikan, djadilah lebih djelas pengharapan ra’jat Islam, agar mendapat perlindoengan dari serangan anti Islam. Tidak lain dengan djelas menambahi wetboek van strafrecht. Saja bertanja pada pemerintah: atoeran2  mana jang mengenai delicten agama oentoek di negeri Belanda dan bagaimana boenjinja artikel dari wet itu?”[3]

Menarik untuk digarisbawahi bahwa berbagai kasus penistaan yang terjadi disimpulkan oleh Wiwoho sebagai perbuatan “anti Islam” atau dalam istilah saat ini dikenal sebagai islamofobia. Artinya sikap islamofobia telah ada sejak masa kolonial dan mendapat reaksi keras juga dari umat Islam. Reaksi keras terhadap berbagai kejadian anti-Islam ini bukan saja datang dari tokoh Islam di perkotaan, tetapi juga menjadi sorotan dari salah satu ormas Islam yang memiliki basis massa di pedesaan, yaitu Nadhlatul Ulama.

Sebagai ormas Islam yang memiliki basis massa pesantren-pesantren di pedesaan, Nadhlatul Ulama juga bereaksi terhadap berbagai aksi penistaan. Dalam kasus penistaan oleh Ernst Brand dari Bala Tentara Keselamatan di Minahasa, Nadhlatul Ulama bersama elemen umat Islam lainnya di Minahasa seperti Persatuan Arab Indonesia Gorontalo, Persatuan Persaudaraan Islam Ternate, Perkumpulan Putri Sangi Talaud, dan lainnya, bergabung dalam aksi Persatuan Muslimin Minahasa dan menggelar rapat umum pada Ahad, 1 Mei 1938.[4]

Dari Anti Islam ke Anti Arab

Nadhlatul Ulama juga banyak merespon aksi-aksi penistaan di berbagai wilayah lainnya. NU misalnya mengangkat fenomena “aliran anti-Arab.” Berita N.O. (Berita Nadhlatul Ulama) edisi 1 Januari 1938 tersebut, menilai fenomena kebencian terhadap Arab, awalnya dimulai dengan mengidentikkan perbuatan negatif dengan orang Arab seperti menjadi rentenir, semena-mena terhadap perempuan Indonesia, meminta dirinya diutamakan dan lainnya.[5] Fenomena kebencian terhadap Arab tersebut menurut redaksi Berita N.O. harus ditilik lebih dalam lagi. Awalnya perbuatan-perbuatan negatif tersebut diidentikkan dengan orang Arab, lalu

“…kemoedian – setelah otak kita benar-benar soedah dipengaroehi oleh itoe- maka dikatakannjalah bahwa mereka itoelah bangsa jang membawa tingkah tidak baik, tingkah lakoe jg meroesakkan bangsa dan kebangsaan kita. Achirnja toemboehlah aliran anti Arab dalam I’tiqad kita. Apabila aliran ini soedah mentjengkeram benar2, dan soedah mandarah daging, maka sebagai akibat jg, automatisch toemboehlah kebentjian apa2 jg bersifat Arab, terhitoeng djoega Igama jg semoela datang dari Arab, Igama Islam.”[6]

Efek kebencian ini akhirnya memang ditujukan kepada Islam. Berbagai sunnah Rasulullah seperti sorban akhirnya menjadi sasaran. Timbul rasa enggan mengamalkan dan akhirnya meninggalkan sunnah Nabi Muhammad.

“KITA SOEDAH MENINGGALKAN SOENNATOERRASOELOELLAH saw atau dengan perkataan jg lebih tadjam: KETJINTAAN KITA PADA RASOELOELLAH saw SOEDAH DAPAT DIPERKOERANGKAN, sebab mentjinta seseorang itoe menarik kepada meniroenja,” jelas redaksi Berita N.O.[7]

Ironisnya, aliran anti-Arab ini berjalan seiring dengan sikap mencintai Barat. Pihak NU menilai perbuatan meniru Barat ini diakibatkan karena mencintai Barat dan membenci Arab.

“Kini jg soedah kedjadian, mereka jang dihinggapi penjakit anti Arab, tipis ketjintaanja pada Igama Islam, koerang minatnja pada perentah2 Igama Islam, dan persaudaraan Islam. Mereka tidak lagi menghiraukan soal Falasthina, so’al jg mengenai tanah soetji oemat Islam…”[8]

Kontroversi Siti Soemandari: Penistaan dan Sikap Umat Islam

Selain soal aliran anti-Arab, salah satu kasus besar penistaan agama yang disorot oleh Nadhlatul Ulama adalah penistaan kepada Nabi Muhammad S.A.W. oleh Siti Soemandari dalam majalah Bangoen no. 8 dan 9 yang dipimpin oleh tokoh nasionalis, dr. Soetomo. Majalah Bangoen sendiri mengangkat tulisan Siti Soemandari dalam rangka mengangkat polemik tentang Ordonansi Perkawinan atau semacam undang-undang perkawinan yang hendak disahkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada dasarnya, pemerintah kolonial Belanda sudah memberlakukan Undang-Undang Perkawinan untuk Kristen pribumi, yaitu HOCI (Huwelijkes Ordonnantie Christen Indonesiers).[9] Namun pada tahun 1937, pemerintah kolonial mencoba mengajukan Undang-undang Perkawinan yang hendak mengikat semua pihak, termasuk umat Islam. Aturan ini berencana memaksa umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya, mewajibkan monogami serta melarang suami menceraikan istri secara sepihak. Rencana ini kemudiaan mendapat reaksi keras umat Islam, termasuk dari Nadhlatul Ulama. Nadhlatul Ulama sendiri telah bereaksi keras menolak rencana pemerintah ini dengan mengangkat isu ini di Berita N.O. selama beberapa edisi dan pihak Hoofdbestuur Nadhlatoel Oelama (PBNO) salah satunya diwakili oleh K.H. Abdulwahab Hasbullah menemui Gubernur Jawa Timur, Van der Plas pada 7 Oktober 1937.

Kembali kepada kasus penistaan oleh Siti Sumandari, kasus ini bermula dari sebuah tulisan Siti Sumandari yang mengangkat polemik tentang undang-undang perkawinan yang berjudul “Huwelijksordonantie en Vrouwemancipatie” (Undang-undang Perkawinan dan Emansipasi Perempuan) di Majalah Bangoen no. 8 dan 9. Salah satu yang kontroversial dari tulisan Siti Sumandari dalam artikel tersebut menyebut Nabi Muhammad sebagai pernah berzina, “seorang toea-bangka jang bengis”, dan pemaksa serta penggemar perempuan.[10] Sontak artikel dalam majalah yang dipimpin oleh dr. Soetomo ini segera menuai kecaman umat Islam. Redaksi Berita N.O. menyatakan bahwa kejadian penghinaan ini berulang-ulang. Sebab 4 tahun lalu, PBNO sendiri dalam Kongres Nadhlatul Ulama ke-9 di Banyuwangi telah menyampaikan mosi kepada pemerintah agar dibuat suatu aturan yang melindungi kehormatan agama dari “ketjemaran tangan dan gatelnja moeloet manoesia biadab.” Namun kenyataannya, selepas 4 tahun ternyata kejadian penghinaan masih terus terjadi[11]

“…sebab dengoeng soeara kita jg pertama beloem hinder dari telinganja, soedah diberikoeti kedjadian jg kedoea. Moeloet kita beloem lagi hilang boeihnja memprotest jg kedoea, diberikoeti poela oleh kedjadian jg ketiga. Beloem lagi kita toeroen dari podium tempat kita memperdengarkan protest ketiga bersoealah kita, kedjadian jg ke ampat, beroelang sedjak Madjalah “Hoa Kiaw” sampai sekarang kami ta’dapat menghitoeng lagi. Menghina Nabi, merobek2 Al-Qoeran, mengindjak2nja dan sesamanja.”[12]

Pemimpin redaksi Berita N.O. , K.H. Mahfudz Shiddiq. Sumber foto: https://tebuireng.online/biografi-singkat-kh-mahfudz-shiddiq/

Menurut redaksi Berita N.O., sikap tegas harus diambil kepada pihak-pihak yang tidak bersikap keras dan membiarkan hal itu terjadi. Kecaman ini nampaknya ditujukan kepada partai nasionalis seperti Parindra yang dipimpin oleh dr. Soetomo. Bahkan secara tegas, redaksi mengatakan bahwa,

“Penghinaan2 atas diri kita oemat Islam selamanja akan terdjadi, selama kita tidak memperlihatkan ketjakapan kita berdiri atas kaki sendiri; mengadakan partij2 politike sendiri, selaras dengan I’tiqad dan faham kita, menggalang pergerakan per ekonomian sendiri dan lain2nja.”[13]

Artikel di Berita N.O. yang mengangkat soal penistaan agama. Sumber foto: koleksi. penulis

Dorongan agar membentuk wadah (partai) politik sendiri ini tentu akibat dari ketidakpuasan terhadap sikap partai nasionalis sekular seperti Parindra yang dipimpin oleh dr. Soetomo sebagai pengurusnya. Menurut pihak NU, selama mengikuti partai-partai yang tidak menghormati Islam, selama itu pula umat Islam dianggap lemah dan bodoh.

“Selama kita MENGEMIS djangan mengharap memperoleh kehormatan!
Selama kita ta’pandai menghormati pendirian2 kita sendiri, djangan mengharap orang menghormati kita !”, tegas redaksi Berita N.O. yang dipimpin oleh K.H. Mahfudz Siddiq, Ketua Tanfidziyah HBNO (PBNU) tersebut.

Redaksi Berita N.O. memang menyuarakan sikap tegas kepada partai seperti Parindra. Sebab belum lama pula, dalam Rapat Umum Parindra (19-20 Oktober 937), M.H. Thamrin, menyatakan bahwa pergerakan agama berselisih satu sama lain. Terhadap pernyataan Thamrin ini, redaksi bertanya, bukankah partai kebangsaan yang kerap berselisih?[14]

Maka terhadap kasus penistaan dalam majalah yang dipimpin dr. Soetomo, redaksi Berita N.O. kemudian dengan lugas menyatakan,

“Betapakah kamoe mendjadi  -sebaik2nja Oemat- djikalau kamoe misih mendjadi – ma’af – pengemis?? Mengekor dibelakangnja orang atau golongan jang meloedahi moekamoe??”[15]

Parindra sendiri kemudian bereaksi terhadap polemik artikel Siti Soemandari ini. Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Parindra mengeluarkan maklumat yang ditandatangani oleh dr. Soetomo dan Soetedjo menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap artikel tersebut.[16] Sikap Parindra ini dipertanyakan oleh redaksi Berita N.O. Dalam artikelnya yang berjudul Imtichan (Ujian), sikap Parindra ini digugat. Karena dr. Soetomo adalah pemimpin dari Majalah Bangoen. Redaksi Majalah Bangoen sendiri menyatakan telah memberhentikan penanggung jawab redaksi, R.M. Soetopo Wonobojo dan Soeroto sebagai redaksi yang memberi pengantar artikel Siti Soemandari.[17]

Pemimpin redaksi Majalah Bangoen, dr. Soetomo. sumber foto: wikipedia/ANRI

Redaksi Bangoen dalam maklumat yang mereka siarkan, menyatakan: “Bangoen jg akan datang oleh redactie commisi akan diminta maaf pada oemoem dan teroetama pada donia Islam bahwa artikel terserbut telah dimuat dalam “Bangoen.”[18] Hanya saja, pihak NU meski menghargai maklumat redaksi Bangoen, namun tetap mempertanyakan kabar yang menyebutkan sikap dr. Soetomo kepada Parindra cabang Palembang yang menyatakan gembira atas timbulnya protes terhadap artikel Siti Soemandari. Menurut NU, selama dr. Soetomo tidak melakukan koreksi terhadap kabar itu, maka kritik pihak NU tetap berlaku. Redaksi Bangoen sendiri, di awal kontroversi menyatakan bahwa tiap orang merdeka menyatakan pikirannya, tetapi kemudian setelah artikel ini gempar, mengeluarkan maklumat yang berbeda.[19]

Redaksi Berita N.O. menyatakan bahwa mereka tidak sudi berunding dengan Soemandari c.s, yang disebut redaksi sebagai “machloeq Allah jg amat doerhaka itoe!”[20]

Kemarahan pihak NU merupakan luapan atas aksi berulang yang menistakan Islam. Dalam edisi yang sama di Berita N.O., redaksi menyatakan cara Siti Soemandari menistakan Islam merupakan cara yang sudah berulang. Apalagi redaksi kemudian mengungkap penistaan yang dimuat dalam surat kabar “kebangsaan” lainnya, yaitu Cheribon Revenue (edisi 13 November 1937 No. 43) yang menyerang sistem poligami dalam Islam sebagai agama yang mengizinkan perzinahan. Dalam bahasa yang frontal, redaksi Berita N.O. kemudian menulis nasib yang dialami oleh umat Islam akibat kasus-kasus penistaan ini; “Seoedah moekanja beroelang2 diloedahi, maoe apa? Mempergoenakan kekerasan dilarang negeri, memprotest ramai2, makin mendjadi tertawaan oemoem.”[21]

Menurut redaksi, hanya ada satu solusi, yaitu agar ormas-ormas Islam menyerukan kepada pengikutnya untuk memboikot surat kabar tersebut , sebab sebagian besar pembacanya adalah umat Islam. Jika dilakukan aksi boikot maka, niscaya tidak akan ada lagi penghinaan oleh koran-koran tersebut. Tetapi sebaliknya,

“…djikalau tiap2 ada penghinaan, kita lantas berdjingkerak seperti orang kesoeroepan djin, pertjajalah, kita akan tetap mendjadi badoet ditonton dengan tertawaan oleh seloeroeh doenia!!!”[22]

Jika redaksi Bangoen sudah menyatakan sikapnya atas kontroversi ini, maka Siti Soemandari sebagai penulis artikel ini sendiri justru sangat percaya diri akan tulisan kontroversialnya tersebut. Ia bahkan menolak tudingan bahwa tulisan itu bukan miliknya. Siti Soemandari bahkan menolak untuk meminta maaf dan menolak pula untuk menarik tulisannya.[23] Siti Soemandari yang lahir pada 9 Oktober 1908 ini adalah putri bungsu dari Sastrohoetomo, seorang guru di Opleiding School van Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Karirnya dalam jurnalisme dimulai tahun 1935 hingga nantinya membawa dirinya menjadi salah satu penulis perempuan, termasuk menulis biografi Kartini.[24] Kontroversi Siti Soemandari yang menuai badai kritik hebat dari umat Islam termasuk Nadhlatul Ulama, awalnya tak menggoyahkan pendirian Siti Soemandari. Hanya saja, kecaman yang datang bertubi-tubi bukan saja menyeret Siti Soemandari seorang, tetapi juga ayahnya. Sastrohoetomo, ayah dari Siti Soemandari sampai harus menulis surat terbuka menyesali perbuatan putrinya. Menurut ayahnya, sudah sepantasnya kaum Muslimin terluka dengan tulisan tersebut, sebab Nabi Muhammad S.A.W. “..adalah djoendjoengan kita.”

Sang Ayah menyesali tulisan putrinya dan merasa turut bertanggung jawab atas perbuatan putrinya tersebut. Menurut Sastrohoetomo,

“Ja Allah, ja Robbi, sajang beriboe sajang ia menoelis terseboet diatas!
Djikalau Siti Soemandari betoel-betoel menoelis kalimat jg semata2 menghina Djoendjongan kita kaoem Moeslimin, lahir dan bathin, doenia achirat, sajapoen mentjela dan menjalahkan dia djoega.”
[25]

Menurut Sastrohoetomo, perbuatan Siti Soemandari tersebut disebabkan oleh usia putrinya yang masih terlalu muda untuk menimbang dan memikirkan perkara yang dapat menimbulkan prahara di kaum Muslimin. Dan putrinya terbawa dan terhasut oleh pergaulan dengan kaum pergerakan. Dalam surat yang ditulis pada 8 Januari 1938 tersebut, Sastrohoetomo merasa perlu untuk ikut campur dan meminta maaf dan mencabut tulisan tersebut.[26]

Siti Soemandari. Sumber foto: http://soemandari-soeroto.blogspot.com/2008/09/sejarah-keluarga-soeroto-siti_3256.html

Siti Soemandari pun akhirnya goyah. Dalam tulisannya yang berjudul “Pengakoean Kami” yang ditulis 6 Januari 1938, Siti Soemandari dan Soeroto menjelaskan duduk perkaranya. Menurut Siti Soemandari, tulisannya adalah hasil permintaan dari redaksi Majalah Bangoen yang meminta adanya tulisan mengenai polemik undang-undang perkawinan. Sebagai penyeimbang, redaksi Majalah Bangoen pun telah meminta tulisan dari Abdoelghafar Ismail, mewakili pandangan umat Islam. Meski demikian, permintaan tersebut ditolak oleh Abdoelghafar Ismail.[27]

“Diwaktoe kami menoelis artikel kami jg menggemparkan doenia oemoem dan ‘alam Islam choesoesnja, oedara disekeliling kami taka da jg sengadja berniat oentoek menghina Igama Islam ataupoen Nabi Muhammad s.a.w…” demikian jelas Siti Soemandari dan Soeroto.[28]

Siti Soemandari dan Soeroto mengakui kurangnya pengetahuan mereka mengenai Islam. Menurut mereka,

“Dari sebab koerang pengetahoean kami tentang riwajatnja Nabi Moehammad s.a.w. maka kami tidak dapat menetapkan pendirian kami jang terang. Kami tidak tahoe bagaimana keterangan Igama tentang riwajat jg telah kami kemoekakan didalam toelisan kami itoe.”[29]

Mereka juga mengakui, rakyat Indonesia bisa bangkit jika agamanya diusik. Dan dalam surat terbuka yang ditulis pada 6 Januari 1938 di Semarang itu, akhirnya, Siti Soemandari dan Soeroto mengakui kesalahan mereka:

“Kami berdoea, Siti Soemandari dan Soeroto merasa sekarang kesalahan kami. Kami sekarang sanggoep mentjaboet toelisan kami di dalam Bangoen itoe. Kami sekarang sanggoep meminta maaf pada kaoem Islam.”[30]

Kasus Siti Soemandari ini memang berakhir dengan penyesalan pelaku. Tekanan dari ormas-ormas Islam termasuk Nadhlatul Ulama sangat penting untuk membuat pelaku memikirkan kembali perbuatannya. Jika kita melihat respon keras N.U. dalam soal penistaan dan kebencian terhadap Islam, maka ada beberapa pelajaran penting yang hendak ditunjukkan oleh sikap N.U.

Pertama, penistaan demi penistaan akan terjadi selama umat Islam tidak bersikap tegas dan “berdiri di atas kaki sendiri” dalam berbagai hal seperti ekonomi dan politik. Kedua, kebutuhan wadah politik umat Islam mutlak diperlukan untuk mewadahi nilai-nilai dan aspirasi umat Islam. Namun ini hanya akan terjadi jika umat Islam mampu bersatu dan mengesampingkan perbedaan di antara mereka. Hal ini sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh pendiri Nadhlatul Ulama, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Al-Mawa’iz. Sebuah kitab yang berisi nasihat bagi Umat Islam di tanah Jawa. Kitab ini mengingatkan umat Islam agar jangan berpecah-belah dalam urusan khilafiyah dan jangan terjebak dengan fanatisme golongan.

Menurut K.H. Hasyim Asy’ari,

“Wahai ulama yang fanatik pada sebagian mahzab atau pendapat, tinggalkanlah kefanatikan kalian semua dalam urusan parsial yang para ulama mempunyai dua pendapat tentangnya; ada yang mengatakan, “Setiap mujtahid itu benar” dan ada yang mengatakan, “Yang benar hanya satu, sedangkan yang salah masih diberi pahala”. Tinggalkanlah fanatisme dan jurang yang sudah rusak ini. Bersungguh-sungguhlah kalian dalam membela agama Islam. Bersungguh-sungguhlah dalam memerangi orang yang mencela Al-Quran, sifat-sifat Allah yang Maha Rahman, orang yang mengaku mempunyai ilmu batil dan akidah yang sudah rusak. Jihad dalam semua itu hukumnya wajib, maka hendaklah kalian menyibukkan diri dengan masalah tersebut.”[31]

Di pundak generasi umat Islam saat inilah pesan tersebut kini dipikul. Mampukah mereka mengambil teladan dari sikap para tokoh-tokoh Islam di masa lalu?

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) 


[1] Majalah Adil, edisi 6 Agustus 1938

[2] Majalah Adil, edisi 13 Agustus 1938

[3] Majalah Adil, edisi 13 Agustus 1938

[4] Majalah Adil, edisi 6 Agustus 1938

[5] Aliran Anti-Arab dalam Berita N.O. no.5 tahun 7, 1 Januari 1938

[6] Aliran Anti-Arab dalam Berita N.O. no.5 tahun 7, 1 Januari 1938

[7] Aliran Anti-Arab dalam Berita N.O. no.5 tahun 7, 1 Januari 1938

[8] Aliran Anti-Arab dalam Berita N.O. no.5 tahun 7, 1 Januari 1938

[9] Mujiburrahman. 2006. Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order. Disertasi. ISIM Leiden.

[10] Berita N.O. No. 5 tahun 7, 1 Januari 1938

[11] Berita N.O. No. 5 tahun 7, 1 Januari 1938

[12] Berita N.O. No. 5 tahun 7, 1 Januari 1938

[13] Berita N.O. No. 5 tahun 7, 1 Januari 1938

[14] Berita N.O. No. 5 tahun 7, 1 Januari 1938

[15] Berita N.O. No. 5 tahun 7, 1 Januari 1938

[16] Berita N.O. No.6 tahun 7, 15 Januari 1938

[17] Berita N.O. No.6 tahun 7, 15 Januari 1938

[18] Berita N.O. No.6 tahun 7, 15 Januari 1938

[19] Berita N.O. No.6 tahun 7, 15 Januari 1938

[20] Berita N.O. No.6 tahun 7, 15 Januari 1938

[21] Berita N.O. No.6 tahun 7, 15 Januari 1938

[22] Berita N.O. No.6 tahun 7, 15 Januari 1938

[23] Berita N.O. No.6 tahun 7, 15 Januari 1938

[24] De Stuers, Cora Verde. 1994. Siti Soemandari: Ter Herinnering. Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150 (1994), No.1, Leiden, p.207-208.

[25] Berita N.O. No..7 Tahun 7, 1 Februari 1938

[26] Berita N.O. No..7 Tahun 7, 1 Februari 1938

[27] Berita N.O. No..7 Tahun 7, 1 Februari 1938

[28] Berita N.O. No..7 Tahun 7, 1 Februari 1938

[29] Berita N.O. No..7 Tahun 7, 1 Februari 1938

[30] Berita N.O. No..7 Tahun 7, 1 Februari 1938

[31] K.H. M. Hasyim Asy’ari. 2021. Al-Mawa’iz dalam Mahakarya Hadratussyaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari. Jombang: Pustaka Tebuireng.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here