Du choc des opinions jaillit la verite. Karena perbenturan pendapat, terbersitlah kebenaran. Peribahasa Perancis tersebut menjadi semangat Muhammad Natsir ketika menyampaikan perlunya Islam sebagai dasar negara dalam sidang Konstituante 1957.
Natsir mewakili Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan penuh percaya diri menyatakan kehendaknya supaya negara Republik Indonesia ini berdasarkan Islam. Dalam pidatonya, Natsir mengutarakan sanggahannya terhadap pihak-pihak yang menghendaki Pancasila sebagai dasar negara.
Natsir menyanggah narasi yang sering kita dengar pada hari ini: “Jangan gunakan Islam sebagai dasar negara, sebab Islam hanyalah satu paham hidup milik satu golongan saja, sedangkan di Indonesia terdapat golongan-golongan lain selain Islam.”
Natsir menilai penolakan tersebut tidak subtantif. Penolakan tersebut, menurutnya telah mengabaikan merites, isi, dan sifat dari paham hidup Islam serta mengabaikan kenyataan bahwa paham Islam telah berakar dalam kehidupan mayoritas rakyat Indonesia.
Bahkan Natsir malah balik bertanya:
“Apa alasan umat Islam harus menerima Pancasila sebagai dasar negara, sedangkan Pancasila itupun sesungguhnya juga miliknya satu pihak saja, yang tidak mewakili lain-lain golongan yang ada di Indonesia ini? Sehingga, paham-hidup kami umat Islam tidaklah tercerminkan oleh Pancasila itu.” (Debat Dasar Negara, Islam dan Pancasila, Konstituante 1957, Pustaka Panjimas, Jakarta, hal. 11).
Adapun mengenai narasi bahwa Pancasila merupakan titik pertemuan, Natsir menegaskan bahwa titik pertemuan dalam urusan dasar negara bukanlah urusan main-main. Beliau memandang bahwa titik pertemuan yang dikemukakan oleh para pendukung Pancasila belum mencapai taraf tersebut.
Kesediaan golongan komunis untuk menerima Pancasila justru menjadi dasar kritik Natsir. “Dan apakah orang-orang yang bertemu dalam Pancasila itu harus menerima sila-sila itu kelimanya atau boleh menerima sebagian-sebagian. Sebab saudara ketua, saya melihat ada golongan yang terang-terang menolak sila ke-Tuhanan, besedia juga “bertemu” dalam Pancasila itu.” (Ibid, hal. 12).
Natsir khawatir bila banyak golongan di Indonesia terutama Islam harus bersikap seperti golongan komunis demi “bertemu” dalam Pancasila; mengorbankan paham hidupnya. Karena itulah, Natsir menyimpulkan kurang tepat jika Pancasila disebut sebagai titik pertemuan semua golongan di Indonesia.
Maka dalam kesimpulannya, Natsir menyampaikan: “Bukan semata-mata lantaran umat Islam adalah yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami mengajukan Islam sebagai dasar negara kita, akan tetapi berdasarkan keyakinan kami, bahwa ajaran-ajaran Islam yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin hidup keagamaan atas saling harga-menghargai antara pelbagai golongan di dalam negara: ”Kalaupun besar tidak akan melanda, kalaupun tinggi malah akan melindungi”.” (Ibid, hal. 14).
Tak lupa, dalam forum tersebut Natsir menyampaikan kritik atas ceramah Soekarno perihal sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada tanggal 17 Juni 1945. Natsir menilai Soekarno telah merelatifkan ujud Ketuhanan menurut perkembangan hidup masyarakat dari satu taraf ke taraf yang lain. Dari taraf hidup pengembara, ke taraf agraria sampai taraf hidup industrialisasi dan lain-lain.
Pandangan Soekarno bahwa masyarakat Indonesia telah ber-Tuhan sejak dulu kala dikarenakan mereka dulunya berada dalam taraf agraris ditentang oleh Natsir. Menurut beliau, Soekarno telah melupakan satu hal, yaitu wahyu. Karena bersumber dari Tuhan, wahyu tentu bebas dari pengaruh-pengaruh yang bersifat temporer.
“Wahyu, yang bebas daripada pengaruh-pengaruh yang bersifat temporer, seperti pengaruh agararia, nomadis atau industrialisme. Wahyu, yang memancar ibarat mata air yang memancarkan “al-iksir” penawar hidup yang bersifat abadi dan membebaskan manusia dari kesesatan dan terus meraba-raba mencari Tuhan.” (Ibid, hal. 25).
Imaji Negara Agama
Imajinasi Natsir soal negara yang berdasar agama sejatinya sudah mapan jauh sebelum majelis Konstituante dilangsungkan. Pada periode 1930-1940, ia telah menulis berbagai macam topik seputar hubungan agama dengan negara, soal cinta agama dan cinta tanah air, soal Islam dan kebangsaan.
Ketika kaum sekuler di masa itu -dan masa kini- selalu menyerukan bahwa tidak ada ayat, hadits, maupun ijma yang memerintahkan pembentukan negara agama. Maka Natsir pun menjawab bahwa hal itu benar adanya, karena negara adalah sesuatu yang natural, dengan atau tanpa agama manusia akan membentuk negara dengan sendirinya. Karena itu yang diperintahkan bukanlah membentuk negara agama, melainkan mengatur negara dengan agama.
“Memang negara tidak perlu disuruh didirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan atau tidak dengan, Islam, negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, dimana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat… Hanyalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur dan boleh menjadi wasilah yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu.” (Mohammad Natsir, Capita Selecta, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 442, 443).
Bagi Natsir, penyatuan antara agama dengan negara bukanlah sesuatu yang sulit. Bahkan ia menyindir, bahwa yang terjadi selama ini adalah perkara tersebut dibuat sulit. Natsir mencontohkan bahwa umat Islam diwajibkan menuntut ilmu, atau dengan kata lain Islam mempunyai undang-undang kewajiban belajar, maka diperlukanlah institusi negara untuk menjalankannya.
“Bagaimana undang-undang Islam ini dapat berlaku, kalau tidak ada kekuasaan pemerintahan (Negara) yang akan melaksanakan agar undang-undang tersebut dapat dijalankan?” (Ibid, hal. 441).
Begitupun dengan perintah membayar zakat, larangan berzina dan berjudi, aturan pernikahan dan perceraian, semua itu, menurut Natsir tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa kehadiran negara.
Karena bersatu dan berintegrasi, maka dalam sebuah negara agama sudah tidak ada lagi pembicaraan “ini urusan negara” dan “itu urusan agama”. Adapun kepala negara statusnya hanyalah kepala keduniaan, bukan kepala agama.
“Islam tidak mengenal “kepala agama” seperti Paus atau Patriarch. Islam hanya mengenal satu “kepala agama”, ialah Muhammad Rasulullah SAW. Beliau sudah wafat dan tak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. “Kepala agama” yang bernama Muhammad ini, telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang harus dijalankan oleh kaum muslimin, dan harus dipelihara dan dijaga supaya dijalankan oleh “kepala-kepala keduniaan”.” (Ibid, hal. 458).
Ketika ada sebuah negara yang pemimpinnya kebetulan beragama Islam, namun masih terdapat konflik antara perintah agama dengan aspirasi masyarakat, maka bisa dipastikan negara tersebut tidak berasaskan Islam. Karena, menurut Natsir, tidak ada satupun ajaran Islam yang menyengsarakan manusia, ajaran Islam selalu berujung pada kemaslahatan manusia.
“Kalau ada konflik, antara “kemauan masyarakat” dan “kemauan Islam” maka satu antara dua: atau kemauan masyarakat itu emang salah, atau “Islamnya” bukan Islam sejati, tetapi Islam bikin-bikinan.” (Ibid, hal. 459.)
Natsir dan Non Muslim
Satu pertanyaan lagi yang selalu menghampiri Natsir ketika berbicara tentang negara Islam adalah bagaimana nasib orang-orang yang bukan beragama Islam. Dalam jawabannya, ia mengatakan bahwa orang-orang di luar Islam tak perlu khawatir.
“Dalam satu negara yang berdasar Islam, orang-orang yang bukan Islam mendapat kemerdekaan beragama dengan luas. Malah lebih luas lagi dari pada apa yang mungkin diberikan oleh negara-negara di Eropa sekarang kepada agama-agama yang ada disana.” (Ibid, hal. 491).
Natsir mengungkapkan bahwa orang-orang non muslim tidak akan mendapati masalah ketika dalam sebuah negeri berlaku hukum-hukum Islam dalam urusan muamalah. Karena peraturan-peraturan itu tidak akan mengganggu agama mereka lantaran dalam agama mereka memang tidak ada aturan yang berkaitan dengan hal-hal semacam itu. Dengan berlakunya undang-undang Islam, agama mereka tidak akan terganggu, tidak akan rusak dan tidak akan kurang suatu apa.
Dalam hal memberi kebebasan terhadap orang-orang non muslim, Natsir tidak hanya berkata-kata. Setidaknya hal itu pernah dibuktikannya ketika dirinya dipercaya menjadi Perdana Menteri pada tahun 1950. Pada saat itu dia mendapatkan wewenang penuh untuk membentuk kabinet pemerintahan. Ia membentuk kabinet dengan mengabaikan peta kekuatan partai politik yang ada. Dengan penuh percaya diri, Natsir mengisi kabinetnya dengan orang-orang yang dinilainya benar-benar kompeten dan berpengalaman di bidangnya. Menariknya, ada beberapa menteri dalam kabinetnya yang bukan beragama Islam dan juga berasal dari kelompok-kelompok minoritas politik.
Jasad Mohammad Natsir memang sudah dikebumikan pada 6 Februari 1993. Namun imajinasinya tentang kemungkinan negara Islam di Indonesia masih hidup hingga detik ini. Dan aturan serepresif apapun, tidak akan mampu membunuh imajinasi, terlebih untuk sebuah imajinasi yang relevan dan sejalan dengan kemanusiaan.
Oleh: Azzam Diponegoro – Peserta kelas Literasi Memaknai Indonesia, kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) X Cadik