“Hamba yang taat ini akan menurut apapun yang Sri Baginda titahkan karena rakyat hamba yang beriman yang sudah 25 tahun ditindas oleh kekerasan Belanda yang lalim…”[1]

– Sultan Aceh Alauddin Muhammad Daud Syah kepada Sultan Abdülhamid II, 1898

 

Pasca-wafatnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mewariskan umatnya sebuah sistem kepemimpinan khas yang disebut dengan bahasa beliau sebagai Khilafah.[2] Kepemimpinan Islam dalam bentuk Khilafah yang disertai pasang-surutnya terus dipegang oleh umat Islam, mulai dari masa Khulafa’ al-Rasyidin di tangan Sahabat yang empat, kemudian beralih ke tangan dinasti Umayyah, lalu dinasti Abbasiyyah, sampai yang terakhir dipegang oleh dinasti Utsmaniyyah di Turki dan runtuh tahun 1924 silam.[3] Setelah eksistensinya tidak terdengar lagi selama puluhan tahun, tiba-tiba pada hari ini wacana penegakkan kembali Khilafah kembali membahana di tengah masyarakat. Sebagian kalangan menganggap bahwa Khilafah adalah sesuatu yang asing dan tidak pernah dikenal oleh bangsa Indonesia. Bahkan pada titik tertinggi mereka menganggap bahwa Khilafah adalah ancaman dan tidak pantas ditegakkan di dunia, apalagi Indonesia.

Dalam tulisan singkat ini, penulis ingin menggali kembali hubungan timbal-balik antara pemerintahan Khilafah Utsmaniyyah[4] di Turki dengan bangsa Indonesia-Melayu dalam rentang waktu 100-170 tahun ke belakang. Dari sana, dapat diketahui bagaimana pandangan dan sikap para orang tua kita terdahulu mengenai Khilafah yang berdiri nun jauh dari negeri mereka. Perasaan kaum Muslim di kepulauan Jawa-Melayu dahulu pada umumnya menganggap keberadaan Khalifah di Turki pada zaman mereka sebagai tempat “menaruh harapan dan dambaan”[5], ketika di saat yang sama pihak yang menjajah mereka menyebut keberadaan Khalifah dan kebijakan politik luar negeri-nya sebagai “kekacauan dan kehancuran”[6]. Proses penggalian kembali fakta sejarah (digging up the past) ini penting dilakukan, agar kita dapat mendudukan permasalahan ini dengan bijaksana dan tidak terkesan ahistoris, apalagi berkenaan dengan posisi bangsa kita sebagai negeri dengan jumlah kaum Muslim terbanyak di muka Bumi.

 

Ancaman Pax-Neerlandica

Cinta kepemimpinan dan kebanggaan, serta mencari manfaat materi. Sederhana memang, namun dua hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar-bangsa yang ada sejak awal sejarah sampai Hari Kiamat.[7] Kedua motif inilah yang menjangkiti bangsa Belanda dalam melihat wilayah Nusantara yang memuncak sepanjang abad ke-19. Sebelumnya, kehadiran bangsa Belanda di Nusantara yang diwakili oleh VOC hanyalah untuk mencari keuntungan material yang dicerminkan dalam usaha mereka dalam mencari rempah-rempah yang berharga murah untuk dijual mahal di Eropa. Namun semenjak Revolusi Prancis berkobar-kobar pada 1789, Belanda ikut tersengat dengan slogan liberte, egalite, freternite (kebebasan, persamaan, persaudaraan) yang senantiasa dielu-elukan pada Revolusi Prancis. Kenyataan pahit akan suburnya korupsi dan nepotisme pada tubuh VOC yang menyebabkan keruntuhannya sendiri membuat kekuasaan Belanda di kepulauan Melayu diambil oleh pihak Kerajaan Belanda di Amsterdam dan kemudian menempatkan para gubernur jenderalnya di Batavia. Paham Liberalisme yang ditularkan melalui Revolusi Prancis membuat Belanda tergelitik untuk melakukan politik Pax-Neerlandica, yakni usaha Belanda untuk mengekspansi hegemoni mereka dan merebut ketundukan serta ketaatan total dari penduduk tanah jajahan hanya untuk Raja Belanda.[8]

Ketika dulu VOC berkuasa, hasil bumi negeri ini tidak bisa serta merta dirampas secara langsung dari tangan rakyat, melainkan harus melalui tangan para penguasa pribumi yang bekerja sama dengan VOC terlebih dahulu. Namun dalam pandangan Pemerintah Kolonial yang sekarang, tetek-bengek birokrasi yang demikian bertentangan dengan ideologi Liberalisme yang menghendaki kebebasan individu, perdagangan, dan kepemilikan. Dengan Pax-Neerlandica, penghisapan kekayaan alam Nusantara kepada penjajah akan lebih mudah dengan mengubah pola hubungan Belanda dengan para penguasa pribumi menjadi seperti pola antara tuan dan budak. Belanda hendak mengubah loyalitas para penguasa dan rakyat di kepulauan Melayu yang beragama Islam menuju loyalitas kepada Raja Belanda secara radikal.[9]

 

 

Surat berbahasa Arab dari Sultan Aceh Alauddin Ibrahim Manshur Syah kepada Khalifah Utsmaniyyah Abdülmecid I tahun 1850. (Sumber: Başbakanlık Osmanlı Arşivi (Arsip Perdana Menteri Utsmani), Istanbul, İ.HR. 73/23511; disajikan oleh Dr. İsmail Hakkı Kadı, Dr. Annabel Teh Gallop and Dr. Andrew Peacock dalam Islam, Trade, and Politics Across The Indian Ocean hal. 36-39)

Ekspansi hegemoni Belanda dalam politik Pax-Neerlandica tentu memicu reaksi keras dari kaum Muslim di berbagai kesultanan di Nusantara. Di Sumatera, Belanda secara berantai menantang berkelahi sultan-sultan di sana dengan ronde pertama di Lampung, berhadapan dengan Raden Intan I dan keturunannya (1808), lalu mengadu domba kaum Adat dan kaum Paderi di bumi Minangkabau (1821-1827). Belanda juga memanas-manasi beberapa penguasa Sumatera yang berada dalam protektorat Kesultanan Aceh untuk memberontak dan mengalihkan loyalitasnya kepada Belanda. Bahkan serdadu-serdadu Belanda mulai ditempatkan di Pariaman, Barus, Tapanuli, Natal, Airbangis, Singkel, sampai-sampai terjadi pertumpahan darah. Kekurang-ajaran Belanda membuat Aceh naik pitam. Aceh segera melakukan berbagai langkah preventif untuk mencegah kerakusan Belanda, seperti mempergalak patroli di semua perairan sebelah Timur dan Barat Sumatera, mendirikan benteng-benteng di daerah pesisir, juga mencari dukungan dari luar negeri.[10] Sultan Alauddin Ibrahim Manshur Syah (k. 1841-1870) tentu tidak melihat penguasa yang lebih tinggi kedudukannya dari dia kecuali Khalifah Utsmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Maka Sultan Ibrahim Manshur Syah segera mengirim surat kepada Khalifah yang saat itu dijabat oleh Sultan Abdülmecid I.

Sultan Ibrahim Aceh mengirim dua surat kepada Khalifah secara berturut-turut. Yang pertama dikirim pada tahun 1849 dan ditulis dalam bahasa Arab-Melayu, sedangkan yang kedua dikirim setahun kemudian yang ditulis dalam bahasa Arab fushha serta dilampirkan juga sebuah peta kepulauan dan jazirah Melayu, dan sebagian dataran India. Setelah pembukaan berisikan doa dan pujian dalam surat yang dikirim tahun 1850, Sultan Ibrahim menulis,

أخص بذلك حضرة السلطان الأعظم و الخاقان الأفخم وارث الخلافة و السلطنة و الملك سلطان العرب و العجم و الترك الدافع لأعلام الرايات الدينية القامع لمعاندي الملة المحمدية و ناصر الإسلام و الإيمان و باسط الأمن و الأمان حضرة سعادة مولانا السلطان عبد المجيد خان خلد الله سلطانته و ملكه و جعل الدنيا بأسرها ولايته و ملكه و لا يزال لواء عدله المنثور باقيا إلى يوم النشور آمين

Saya istimewakan dengan semua itu Hadarat Sultan yang agung dan Khaqan yang besar; Pewaris Khilafah, Kesultanan dan Kerajaan; Sultan orang-orang Arab, ‘Ajam dan Turki; Pembela panji-panji keagamaan; Penghancur orang-orang yang bersikap keras kepala terhadap Agama Muhammad; Pembela Iman dan Islam; Pembentang hamparan kedamaian dan keamanan, Hadarat yang Berbahagia Tuan kami Sultan ‘Abdul Majid Khan; semoga Allah mengekalkan kerajaan dan kesultanannya, menjadikan segenap penjuru dunia sebagai kerajaan dan wilayahnya, dan semoga senantiasa panji keadilannya yang bertebaran kekal abadi sampai dengan hari dibangkitkan, amin.[11]

Dalam surat ini, Sultan Ibrahim Aceh menjelaskan kepada Sultan Abdülmecid I bahwa sesungguhnya kami seluruh penduduk Negeri Aceh, bahkan seluruh penduduk Pulau Sumatera tergolong ke dalam rakyat Daulah ‘Aliyyah Utsmaniyyah, dari generasi ke generasi semenjak Tuan kami al-Marhum Sultan Salim Khan anak al-Marhum Tuan kami Sultan Sulaiman Khan anak al-Marhum Tuan kami Sultan Salim Abu al-Futuh Khan (Abu al-Futuh: bapak pembebasan)”.[12] Yang dimaksud Sultan Ibrahim Aceh sebagai Sultan Salim yang pertama disebutnya adalah Sultan Selim II (k. 1566-1574) , putra Sultan Süleyman al-Qanuni. Memang, hubungan resmi antara Kesultanan Aceh dengan Khilafah Utsmaniyyah pertama kali terjalin di masa Selim II, sedang sultan Aceh yang menyatakan ketundukan kepada Selim II sebagai Khalifah adalah Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (k. 1537-1571).[13]

Ketika ancaman Belanda makin mengganas di tahun-tahun sebelum meletusnya Perang Aceh pada 1873, sekali lagi Kesultanan Aceh mengutus utusan untuk menemui Khalifah di Konstantinopel. Seorang Arab Hadhrami, Sayyid Habib Abdurrahman al-Zahir, dipercaya oleh Sultan Aceh untuk meminta bantuan kepada Khalifah dan dikuatkan lagi dengan petisi dari 65 pemuka-pemuka nanggore Aceh.[14] Desember 1868, petisi tersebut disampaikan kepada Khalifah Utsmani yang baru, Sultan Abdulaziz. Namun sayang, semenjak masa Abdülmecid I, Khilafah Utsmani memberlakukan sistem Tanzimat (reformasi), dimana kekuasaan Khalifah tidak lagi bersifat mutlak karena harus berbagi dengan Dewan Kementrian (Majlis-i Vukela) yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri (Sadrazam). Akhirnya figur Khalifah menjadi hanya sekedar simbolis kepala negara, sementara kekuasaan sesungguhnya ada pada sosok Sadrazam, layaknya model negara monarki konstitusional.[15] Sadrazam saat itu keberatan dengan petisi yang dibawa oleh Abdurrahman al-Zahir, karena saat itu hubungan Khilafah dengan Belanda sedang hangat, dan petisi orang-orang Aceh itu akan merusak hubungan baik antara kedua negara.

Namun begitu, kehadiran Abdurrahman al-Zahir di Konstantinopel menarik perhatian pers di sana. Mayoritas pers di sana seperti al-Jawa’ib yang berbahasa Arab, Basiret yang berbahasa Turki, dan La Turquie yang terbit baik di Prancis maupun di Turki mendukung tujuan Abdurrahman al-Zahir tentang urgensi Khilafah membantu Aceh. Tatkala Basiret pada tanggal 9 Juli 1873 menulis artikel yang memberitakan bahwa Khilafah akan mengirim delapan kapal perang ke Sumatera, para duta besar Eropa yang berada di Konstantinopel panik dan segera mendatangi kantor Sadrazam untuk mengklarifikasi berita itu. Sadrazam menilai bahwa itu adalah berita yang mengada-ada, dan kemudian menindak Basiret dengan men-banned-nya selama lima hari. Namun begitu, berita palsu tersebut dikutip oleh agen berita Reuters dan sampai ke Penang. Seorang Aceh yang berada di Penang pun menyampaikan berita tersebut kepada khalayak Aceh sehingga menghebohkan seluruh nanggore.[16]

Negara-negara Barat seperti Inggris, Belanda, Rusia, Austria, Prancis, Jerman, dan Italia senantiasa berusaha menghasut Majlis-i Vukela melalui Menteri Luar Negeri-nya Safvet Pasha, dan dilanjutkan nantinya oleh Rashed Pasha untuk tidak menolong Aceh. Inggris berusaha meyakinkan mereka bahwa permasalahan Aceh bukanlah permasalahan agama; ini hanyalah sengketa politik biasa antara pihak Belanda dengan Aceh, dan Khilafah tak sepatutnya mencampuri urusan orang lain. Alasan-alasan absurd itu dipercaya begitu saja oleh Kementrian Luar Negeri Khilafah di bawah pimpinan Safvet Pasha dan Rashed Pasha.

Pada akhirnya, jawaban Khilafah Utsmaniyyah di masa Sultan Abdulaziz terhadap permintaan Aceh hanyalah basa-basi dan penghargaan semu saja tanpa memenuhi permintaan yang substansial dari pihak Aceh. Namun begitu, menurut sumber dari Barat diketahui ada beberapa orang dari Khilafah Utsmaniyah yang secara diam-diam pergi ke Aceh, membantu kaum Muslim di sana berjuang melawan Belanda. Kemudian pada tahun 1876, di Singapura ada laporan bahwasanya dua orang ahli senjata dari Khilafah sedang dalam perjalanan menuju Aceh.[17]

 

Bayang-bayang Khalifah di Dunia Melayu-Jawa

Harus diakui, Khilafah Utsmaniyyah telah mengalami kemunduran setelah ia mengalami kegagalan dalam pengepungan kota Vienna tahun 1683. Kekalahan demi kekalahan terus menimpanya, sementara Eropa makin bangkit baik dari segi ekonomi, militer, dan tentunya teknologi. Para Sultan Utsmani sudah tidak lagi menghela kudanya untuk berjihad di negeri orang, melainkan hanya duduk di taman yang penuh bunga tulip untuk bersenang-senang. Bangsa Eropa yang melihat realita musuh abadinya pun akhirnya tertawa terbahak-bahak dan menyematkan gelar ejekan untuk Khilafah Utsmani, yakni “orang sakit Eropa” (the sick man of Europe/de zieke man van Europa). Para sultan Utsmani yang terusik dengan ejekan itu, mencoba mengejar ketertinggalan mereka. Namun bukan dengan jalan Islam mereka mencoba bangkit, melainkan dengan cara Eropa. Perlahan-lahan Khilafah Utsmaniyyah mulai mengganti gaya hidup mereka dengan gaya hidup Eropa, sampai mencapai puncaknya ketika Sultan Abdülmecid I mendeklarasikan era Tanzimat pada tahun 1839, era dimana Khilafah mulai memberlakukan sejumlah undang-undang Barat di sistem hukumnya. Utsmaniyyah telah mengambil “obat” yang akan meracuni tubuhnya sendiri.

Namun begitu, citra Utsmani sebagai pewaris Khilafah Islamiyyah tetap tidak bisa hilang begitu saja dari benak umat. Dalam kasus kaum Muslim di dunia Melayu –yang dalam tekanan penjajahan Inggris dan Belanda, Khilafah Utsmaniyyah senantiasa menjadi tempat perlindungan bagi para pencari kebaikan dan tempat kemurahan yang tidak akan kecewa orang yang mendatanginya.”[18] Walau kenyataannya, pada kasus Aceh, Jambi, dan beberapa penguasa Muslim lain di Melayu yang selalu mengirim surat permohonan bantuan kepada Khilafah, bantuan secara resmi yang diinginkan hampir tidak pernah tersampaikan. Karena toh Khilafah sendiri di pusatnya di Konstantinopel sudah dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan Barat. Tapi tetap saja, sebagaimana perkataan orang-orang Aceh kepada seorang pedagang Prancis pada tahun 1875, bahwa banyak pemimpin mereka telah memutuskan untuk tidak pernah berhenti berperang sampai Khalifah turun tangan untuk menyelesaikannya.[19]

Secercah harapan mulai bangkit kembali ketika Sultan Abdulaziz digantikan oleh keponakannya, Abdülhamid II (k. 1876-1908). Sultan Abdülhamid II berpaling dari pangkuan Barat dan mengakhiri era Tanzimat serta memegang kepercayaan kepada agama Islam sebagai jalan kebangkitan yang hakiki. Sultan Abdülhamid II berkomitmen untuk menjadi pelindung kaum Muslim dimanapun mereka berada. Kebijakan terbaru Khilafah ini berpengaruh kepada umat Islam di seluruh dunia untuk membangkitkan perlawanan terhadap penjajah dan menimbulkan kesewotan di kalangan Eropa,[20] yang nantinya kebijakan Sultan Abdülhamid II ini disebut sebagai Pan-Islamisme oleh orang Eropa.

Khilafah membuka kantor kedutaan di Singapura pada 1864 dan di Batavia pada 1883. Baik Inggris maupun Belanda sebenarnya amat keberatan dengan pembukaan konsulat Khilafah di wilayah jajahan mereka, karena dikhawatirkan para konsul Utsmani (Syahbandarhane) akan membangkitkan “fanatisme yang penuh dendam dan mudah terbakar” di kalangan penduduk terjajah.[21] Namun karena pihak Inggris dan Belanda sendiri juga ingin membuka kantor konsulat di Iskandariyah, Tunisia, Aleppo, dan Damaskus yang merupakah wilayah Khilafah, maka mau tak mau kedua negara penjajah ini juga mengizinkan Khilafah untuk membuka kantor konsulat di Singapura dan Batavia.[22]

Terbukti, para konsul Utsmani di Singapura dan Batavia sangat membuat mendidih emosi para pejabat Belanda dan Inggris. Belanda khususnya, memandang Pan-Islamisme yang diusung oleh Sultan Abdülhamid II dan para konsulnya di Batavia sebagai sesuatu yang “hanya dapat menimbulkan kekacauan dan kerusuhan.” Menurut Snouck Hurgronje, Pan-Islamisme yang disebar di negeri-negeri kaum Muslim yang berada di bawah kekuasaan Eropa sering merintangi hubungan bersahabat antara si penjajah dan yang dijajah.[23] Jadilah, Pax-Neerlandica-nya Belanda terintangi Pan-Islamisme-nya Sultan Abdülhamid II.

Galib Bey, konsul Utsmani pertama di Batavia, begitu peduli kepada para jamaah haji Jawa yang baru pulang dari Makkah dan menanyai mereka tentang perlakuan konsul Belanda di Jeddah, akomodasi di kapal, dan sebagainya. Galib Bey dan konsul-konsul setelahnya juga membagi-bagikan al-Qur’an kepada penduduk setempat atas nama Khalifah dan mencetak buku-buku akidah berbahasa Melayu yang dicetak langsung di Konstantinopel. Salah satu kegiatan Galib Bey yang sering menimbulkan keresahan pejabat Batavia adalah agitasi Galib Bey kepada penduduk Pribumi dan Arab untuk melawan peraturan diskriminatif Belanda yang disebut Orang Timur Asing (vreemde oosterlingen); dimana mereka membagi ‘kasta’ penduduk Jawa menjadi tiga: kelas Eropa (Europeanen); kelas Timur Asing (vreemde oosterlingen) dan mereka adalah orang-orang Arab, India, Cina; serta pribumi (inlander).[24] Bahkan Galib Bey pernah mengunjungi Aceh dan melaksanakan salat Jumat di Masjid Agung Baiturrahman.[25]

Mungkin konsul Utsmani yang paling menjengkelkan bagi Belanda di Batavia adalah Mehmed Kamil Bey, yang bertugas menggantikan Galib Bey dan bertugas dari November 1897 sampai Desember 1898. Kegiatannya selama di Batavia menyiratkan kesungguhannya untuk menanam perasaan anti-Belanda kepada kaum Muslimin di Hindia Belanda. Koran berbahasa Inggris yang terbit di Singapura tertanggal 29 Desember 1898 merangkum sepak terjang perlawanan Kamil Bey: “dia dengan mencolok tidak hadir dalam upacara penobatan Ratu (Belanda), seolah ingin menunjukkan kepada penduduk pribumi bahwa dia bisa bertindak merendahkan pemerintah Belanda”. Dia juga “diketahui menggoyahkan kesetiaan dua Raja pribumi di Jawa Tengah dan mengirim surat kepada seorang raja di bawah kekuasaan Belanda di Borneo atau Sumatera (Deli) untuk mencoba mempengaruhi raja agar mengurangi kesetiaannya (kepada Belanda)..”[26]

Mehmed Kamil Bey yang masih berusia 24 tahun ketika menjadi konsul Utsmani di Batavia ini juga berhasil menyekolahkan beberapa murid Jawi (Turki: Cavalı) di Konstantinopel. Bagi Belanda ini adalah suatu hal yang sangat mengerikan. Orang-orang Muslim Jawa dan Melayu yang belajar di Makkah memang mengerikan, tapi jika mereka belajar di Konstantinopel yang merupakan pusat gravitasi politik Khalifah tentu jauh lebih menyeramkan lagi. Seorang wartawan berhasil mewawancarai beberapa murid Jawi ketika mereka sampai di Port Said pada tanggal 13 Juli 1898, “mereka tahu… bahwa Sultan lebih berkuasa dan lebih kaya daripada ratu kita. Jika mereka pandai membawa diri, mereka bisa diangkat menjadi penghulu di istana Sultan dan kelak bisa kembali ke tanah air dengan kedudukan itu.”[27] Dalam koran yang sama diberitakan bahwa orang tua mereka telah menyampaikan terimakasih kepada Khalifah untuk kemurahan hatinya dan bahwa lebih banyak orang Melayu dan Jawa mengajukan permohonan agar anak-anak mereka bisa belajar di Konstantinopel. Ketika murid-murid Jawi pulang dari Konstantinopel dan berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, kedatangan mereka disambut oleh para pejabat tinggi Utsmani yang ada di Batavia. Para pemuda tersebut memakai pakaian khas Utsmani seperti tarbus, fez, dan lainnya. Para polisi kolonial yang sudah mengawasi kegiatan penjemputan mereka segera menciduk dan memaksa para pemuda tersebut untuk menanggalkan pakaian mereka “yang tidak sah” ini, bahkan mereka diancam dengan hukuman penjara. Ayah mereka berniat melaporkan perbuatan represif ini kepada Khalifah.[28]

 

Pelajar Jawi di Konstantinopel, dua bersaudara Ahmad dan Sa’id bin Abdurrahman bin Abdullah Ba Junayd dari Buitenzorg (Bogor). (Sumber: Laman Facebook Ottoman Imperial Archive, 19 Februari 2017)

Pada Maret 1898, Snouck Hurgronje yang bekerja sebagai Penasihat Urusan Pribumi dan Arab di Batavia melaporkan kepada Gubernur Jenderal bahwa ia berhasil menyabotase surat menyurat antara Mehmed Kamil Bey dan Sultan Aceh yang baru Alauddin Muhammad Daud Syah. Dalam suratnya, Sultan Aceh Daud Syah memohon kepada Sultan Abdülhamid II untuk mengirimkan bala bantuan militer guna menghadapi kelaliman kafir Belanda, bahkan dirinya sampai mengancam Khalifah apabila permintaan tersebut diabaikan. Beliau menulis,

“Hamba adalah salah seorang penguasa Islam dan semua rakyat hamba adalah kaum Muslimin yang beriman. Bagaimana mereka lalu dapat menerima bahwa rohaniawan-rohaniawan datang ke negeri mereka untuk mengajarkan agama Nasrani? Karena semua sebab itulah hamba sekarang bebas dari tanggungjawab dan menyerahkannya kepada Sri Baginda, amir al-mu’minin dan Khalifah kaum Muslimin. Jika Sri Baginda tidak menolong hamba dan agama Islam, semua hal itu akan menimpa Sri Baginda pada Hari Kiamat dalam perjumpaan dengan Perantara orang-orang yang berdosa (yaitu Muhammad) dan ketika itu ia akan (menghilangkan) kecemerlangan amir al-mu’minin dari nama Sri Baginda. Sebab, Sri Baginda telah melalaikan kepentingan kaum Muslimin yang telah meringkuk di bawah tangan kaum penindas dan juga melalaikan agama Allah serta syariat Rasul-Nya (Shallallahu Alaihi wa Sallam).”[29]

Sayang sekali, surat Sultan Aceh tersebut tidak pernah sampai ke tangan Sultan Abdülhamid II, melainkan jatuh ke tangan Snouck. Karena harapan yang ditunggu dari Khilafah tak kunjung datang, Sultan Aceh Muhammad Daud Syah mencari bantuan dari penguasa lain seperti kepada Kaisar Jepang yang pada 1905 baru saja memenangkan perang melawan Rusia, dimana “Rusia direndahkan sampai ke debu”.[30]

Bersambung ke bagian 2

Oleh: Nicko Pandawa – Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

[1] Kutipan perkataan Sultan Aceh Alauddin Muhammad Daud Syah kepada Sultan Abdülhamid II menurut terjemahan Snouck Hurgronje dalam Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, (Jakarta: INIS, 1990, seri khusus INIS Jilid II), hal. 256-257

[2] Nabi bersabda, “tsumma takunu Khilafatan ‘ala minhaj an-nubuwwah tsumma sakata” (Kemudian akan datang kembali Khilafah yang di atas metode kenabian, kemudian beliau diam). (Musnad Imam Ahmad Hadis Nomor 18596); Nabi bersabda, “al-Khilafah fi ummatiy tsalatsuna tsanah tsumma mulkan ba’da dzalika” (Khilafah di tengah umatku berlangsung selama 30 tahun, kemudian menjadi kerajaan setelah itu). (Musnad Imam Ahmad, Hadis nomor 22273)

[3] Walaupun kepemimpinan umat Islam pasca Khulafa’ al-Rasyidin disebut Nabi dengan istilah kerajaan, para ulama tetap menyebut kekuasaan mereka dengan istilah Khilafah dan pemimpinnya dengan Khalifah. Secara tekstual, hadits yang menyebutkan bahwa Khilafah hanya 30 tahun bertentangan dengan hadits lain seperti yang diriwayatkan Jabir bin Samurah, dimana Nabi menyebutkan bahwa sampai hari kiamat, umat Islam akan dipimpin oleh 12 orang Khalifah dari Quraisy. Padahal selama masa Khulafa’ al-Rasyidin hanya ada 5 orang khalifah termasuk Hasan bin Ali. Dari sini para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud Nabi bahwa Khilafah hanya 30 tahun adalah Khilafah Nubuwwah, sementara setelah itu disebut juga Khilafah, namun bukan Khilafah Nubuwwah. (Lihat: Kamal Abu Zahra, The Centrality of the Khilafah in Islam, (Hizbut Tahrir Britain), hal. 47, diakses dari http://www.khilafah.com/book-the-centrality-of-the-khilafah-in-islam/)

[4] Kekuasaan dinasti Utsmaniyyah mulai resmi disebut Khilafah setelah Selim I (k. 1512-1520) menaklukkan Mesir dan Hijaz dan mewarisi gelar Khalifah yang sebelumnya dipegang oleh Khalifah Abbasiyyah, al-Mutawakkil III. Walaupun bukan berasal dari trah Quraisy, kekuasaan Utsmaniyyah tetap sah disebut Khilafah selama struktur dan pilar sistem Khilafah tetap ada pada kepengaturan mereka, yakni adanya Khalifah, Mu’awin Tafwidh (Pembantu Khalifah), Mu’awin Tanfidz (Pembantu Khalifah dalam hal administrasi), Amir al-Jihad, Wali (Gubernur), lembaga Qadha (pengadilan), Aparat Administrasi Negara, Majelis Ummah, dan yang paling penting adalah adanya bai’at yang diberikan umat kepada Khalifah. Hal-hal demikian tetap ada sampai masa akhir kekuasaan Utsmaniyyah. (Eugene Rogan, Dari Puncak Khilafah, [Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2017], hal. 20-29; Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, [Jakarta: HTI Press, 2007], hal. 73-76)

[5] Snouck, Nasihat-Nasihat, hal. 255

[6] N. J. G. Kaptein, mengutip Snouck dalam pengantar bukunya Kekacauan dan Kehancuran: Tiga Tulisan Tentang Pan-Islamisme di Hindia Belanda Timur Pada Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX, (Jakarta: INIS, 2003), hal. xi

[7] Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Siyasiyyah li Hizbit Tahrir (terj.), (Jakarta: HTI Press, 2015), hal. 75

[8] Lihat: Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 335-349

[9] Kartodirdjo, Pengantar Sejarah…, hal. 335-349

[10] Lihat: M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), hal. 170-174

[11] Başbakanlık Osmanlı Arşivi (BOA), İ.HR. 73/23511, Istanbul; disajikan oleh Dr. İsmail Hakkı Kadı, Dr. Annabel Teh Gallop and Dr. Andrew Peacock dalam Islam, Trade, and Politics Across The Indian Ocean hal. 36-39

[12] BOA, İ.HR. 73/23511…

[13] Lihat: İsmail Hakkı Göksoy, Ottoman-Aceh Relations as Documented in Turkish Sources dalam Mapping The Acehnese Past, (Leiden: KITLV Press, 2011), hal. 68-80

[14] Göksoy, Ottoman-Aceh…, hal. 83

[15] Rogan, Dari Puncak.., hal. 128

[16] Göksoy, Ottoman-Aceh…, hal. 87

[17] Göksoy, Ottoman-Aceh…, hal. 91

[18] Perkataan Sultan Ibrahim Manshur Syah Aceh kepada Sultan Abdülmecid I, BOA, İ.HR. 73/23511

[19] Anthony Reid, Pan-Islamisme Abad XIX di Indonesia dan Malaysia dalam Kekacauan dan Kehancuran.., hal. 18

[20] Anthony Reid, The Ottomans in Southeast Asia, (Singapore: Asia Research Institute No. 36, 2005), hal. 10.

[21] Surat Van de Putte kepada Cremers, 4 Januari 1866; juga surat Read kepada Cremers, 31 Juli 1865; ARA, B.Z. Dossier 3076, dalam Reid, The Ottomans in Southeast Asia, hal. 11

[22] Reid, The Ottomans in Southeast Asia, hal. 11

[23] Snouck Hurgronje, Perang Suci Buatan Jerman (Helige Oorlog Made in Germany) dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, (Jakarta: INIS, 1996), hal. 72-73

[24] Jan Schimdt, Pan-Islamisme Antara Porte, Den Haag, dan Buitenzorg, dalam Kekacauan dan Kehancuran…, hal. 109

[25] Frial Ramadhan Supratman, Before The Etichal Policy, (Al-Jāmi‘ah, Vol. 54, No. 2, 2016), hal. 459; İsmail Hakkı Göksöy, Acehnese Appeals for Ottoman Protection in the Late Nineteenth Century, dalam From Anatolia to Aceh: Ottomans, Turks and Southeast Asia, ed. by A.C… Peacock and Annabel The Gallop (London: British Academy, 2015), hal. 93.

[26] Schimdt, Pan-Islamisme Antara Porte.., hal. 109-110

[27] Nieuwu Rotterdamsche Courant, terbitan 5 Agustus 1898. Dikutip oleh Schimdt, Pan-Islamisme Antara Porte.., hal. 115

[28] Schimdt, Pan-Islamisme Antara Porte.., hal. 119

[29] Snouck, Nasihat-Nasihat, hal. 257, dengan sedikit perubahan beberapa istilah.

[30] Schimdt, Pan-Islamisme Antara Porte.., hal. 85

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here