Menggalang Persatuan
Setelah kongres Al-Islam berhenti pada 1928-1930 –seolah-olah selama tiga tahun itu, ikatan tali persatuan umat renggang-, Partai Sarekat Islam berganti nama jadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930, berusaha mengencangkan tali itu dengan mengadakan dua kali Konferensi Komite Al-Islam pada tahun 1931 dan 1932. Namun PSII memerlukan momen khusus untuk membangkitkan partainya di kalangan organisasi-organisasi Islam lain dan dunia pergerakan.[47] Momen itu pun akhirnya datang.
Pada 25 April 1931, seorang yang berinisial “B” (Oey Bee Thay), menghina Nabi Muhammad lewat artikelnya yang dimuat di harian Hoakiau. Ia menulis Nabi Muhammad sebagai, “seorang nabi, jenderal dan legislator yangsangat menyukai wangi-wangian dan seorang yang hampir membunuh diri sendiri dan meninggal dalam keadaan gila.” Nabi Muhammad, lanjutnya, juga seorang yang, “membiarkan pengikut-pengikutnya merampas kafilah untuk menghidupi pengikut-pengikutnya ini” dan“mencintai wanita dan suka berdoa.” Segera setelah artikel ini terbit, orang-orang Islam di Indonesia terutama di Jawa mengadakan rapat-rapat umum untuk menuntut Hoakiau mencabut artikel itu.[48] Tak lama setelah itu, Komite Al Islam di Surabaya segera berdiri.[49]
Menyusul Komite Al Islam di Surabaya, berdiri juga Komite-komite Al-Islam di berbagai kota seperti Bandung, Cilacap, Majalengka, Bangil, dan Banyuwangi. Komite-komite itu segera mengkoordinasikan rapat-rapat protes. Di Palembang Komite Al-Islam memperoleh perhatian dari organisasi-organisasi Islam setempat. Setelah itu rapat-rapat serupa juga digelar di kota-kota lain, di Payakumbuh, Majalengka, Cirebon, Probolinggo, dan Bondowoso yang dihadiri oleh tokoh-tokoh PSII, seperti Tjokrominoto, H. Agus Salim, dan AM. Sangaji sebagai pembicara.[50]
Pada bulan yang sama, muncul lagi artikel yang menghina Nabi Muhammad. Artikel yang ditulis oleh pendeta J.J.Ten Berge dan dimuat di majalah Studien itu menyebut Nabi Muhammad sebagai, “seorang Arab yang bodoh yang kehidupannya senantiasa berada di dalam pelukan wanita.”.[51]
Rapat-rapat protes kemudian diorganisir untuk mengecam tulisan itu. Di Batavia, rapat umum segera diadakan di Gang Kenari dengan pembicara Tjokroaminoto dan banyak tokoh lain. Di Makasar pada bulan Juli 1931, Komite Al Islam mengadakan rapat terbuka dan di Palembang rapat protes juga diadakan. Pertemuan yang diadakan oleh Comite Central Islam memutuskan melayangkan surat tantangan, untuk debat terbuka ke pendeta Ten Berge. Karena isu SARA ini mulai membesar, polisi akhirnya menyita majalah Studien guna meredam protes umat Islam.[52]
Safrizal Rambe menilai tantangan-tantangan tersebut kemudian digunakan PSII untuk menggabungkan potensi kekuatan umat Islam. PSII dalam hal ini, lanjutnya, dipercaya kembali sebagai organisasi Islam terdepan, karena mungkin protes-protes yang dilayangkan memiliki muatan politik, dan dalam hal ini pengalaman PSII jelas lebih dibandingkan organisasi-organisasi Islam yang lain. Dipicu oleh adanya musuh bersama, ternyata ini membulatkan tekad kalangan umat Islam tuk bersatu. Sehingga jurang perbedaan di antara mereka kian menyempit. Komite Al-Islam Surabaya pun berinisatif mengundang Komite-komite Al-Islam di kota-kota lain.[53]
Konferensi Komite Al-Islam diadakan di Surabaya pada tanggal 25-28 Juni 1931 atas usaha Central komite Al Islam di bawah pimpinan Tokoh PSII, Wondoamiseno.[54] Konferensi ini membahas isu pemersatu yaitu peristiwa Studien dan Hoakiau sebagai agenda utama. Sampai-sampai komite mendatangkan penulis artikel di majalah tersebut yang telah meminta maaf secara terbuka. Komite menuntut Hoakiau menerbitkan edisi khusus yang berisi permintaan maaf yang kemudian disanggupi surat kabar ini.[55]

Agenda-agenda lain juga diputuskan, seperti mengakui pentingnya persatuan dalam menghadapi musuh-musuh dari luar, mempererat hubungan kaum muslim baik di Hindia, maupun di luar Hindia Belanda, mempropagandakan pendirian komite Al-Islam, menjaga kesucian, kemurnian, dan ketinggian agama Islam dan mengirim utusan tetap untuk konferensi buruh internasional di Jenewa, menerbitkan media Al Jihad, membentuk Baitul Mal yang dananya diambil dari zakat dan wakaf serta kembali menyelenggarakan kongres Al-Islam setiap tahunnya dan membentuk Comite Central Al Islam. [56]
Sukses mengadakan Konferensi Komite Al-Islam I, PSII selanjutnya menggelar Konferensi Komite Al-Islam II pada tahun 1932. Di konferensi ini, agenda yang dibicarakan hampir sama seperti konferensi I, seperti perbaikan organisasi kongres Al-Islam, penyelenggaraan dana Islam, pengelolaan masjid, aturan-aturan yang menyangkut studi di Mesir dan hubungan konferensi Al-Islam Indonesia dengan umat Islam seluruh dunia. Konferensi ini menjelaskan sasaran yang hendak dituju PSII adalah Pergerakan Al Islam Indonesia. Diharapkan nantinya Pergerakan Al-Islam Indonesia dapat menjadi benteng pertahanan dalam membela Islam, ketika harus terlibat dengan kelompok-kelompok lain.[57]
Dibandingkan dengan konferensi I, konferensi II kurang greget. Tampaknya ini karena menyangkut isu yang dibawa, kalau kongres sebelumnya penghinaan atas Nabi menjadi agenda bersama yang dapat mempersatukan umat, sedangkan isu yang ditawarkan di kongres II sepertinya kurang menarik rasa solidaritas. Dua tahun berjalan, Kongres Al Islam sebagai wadah persatuan organisasi-organisasi Islam, mulai terlihat mundur.[58]
Setelah itu, pada tahun 1933-1937, tak ada kongres Al-Islam. Organisasi-organisasi Islam hanya mementingkan urusan masing-masing. Akibatnya tali persatuan putus dan Centraal Comite Al-Islam mati dengan sendirinya.[59]
Di tengah kevakuman Kongres Al-Islam, terjadi polemik antara organisasi perempuan, Isteri Sedar dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Dalam Kongres Kedua Seluruh Perempuan Indonesia tahun 1935, Ketua Persatuan Muslimin Indonesia dari kalangan modernis, Ratna Sari, membalas pernyataan Isteri Sedar yang menganggap poligami memenuhi kebutuhan laki-laki dengan mengorbankan (kebutuhan) perempuan. Menurut Ratna Sari, “poligami memiliki peluang untuk mengurangi prostitusi secara signifikan. Dengan membuka pintu bagi pria untuk memiliki lebih dari seorang istri, Islam telah menyediakan solusi terbaik bagi penyakit masyarakat ini.”[60]
Waktu pasif selama lima tahun rupanya telah menyadarkan organisasi-organisasi Islam akan pentingnya wadah pemersatu. Tokoh Muhammadiyah KH. Mas Mansur merasa prihatin atas konflik yang berlarut-larut. “Pada beberapa tahun yang sudah, kita gemar berbantah-bantahan, bermusuh-musuhan di antara kita umat Islam. Malahan perbantahan dan permusuhan itu di antara ulama dengan ulama. Sedang yang dibuat perbantahan itu perkara hukum kecil-kecil saja. Adapun timbulnya permusuhan itu, karena kebanyakan kita berpegang kuat pada hukum yang dihukumkan oleh manusia. Sehingga suatu perkara di utara menyatakan sunnah, di selatan menyatakan makruh, di barat menyatakan wajib, di timur menyatakan haram, begitulah seterusnya sehingga umat Islam yang awam dibuat bal-balan oleh ulama kita. Sana benci kepada sini. Sini benci kepada sana.
Kita sekarang bukan hidup pada 25 tahun lalu (sudah), kita sudah bosan, kita sudah payah bermusuh-musuhan. Sedih kita rasakan kalau perbuatan itu timbul daripada ulama, padahal ulama itu semestinya lebih halus budinya, berhati-hati lakunya. Karena ulama itu sudah ditentukan menurut firman Allah: ‘Ulama itu lebih takut pada Allah.’ Karena ulama tentunya lebih paham dan lebih mengerti kepada dosa dan bahayanya bermusuh-musuhan.”[61]
Tokoh NU KH. Hasyim Asy’ari juga menunjukkan keprihatinannya. Pada tahun 1935 saat kongres NU ke-11 di Banjarmasin, beliau mengungkapkan, “….sampailah kepadaku suatu berita, bahwa di antara kamu semuanya sampai kepada masa kini, berkobarlah api fitnah dan pertentangan-pertentangan.
….Wahai ulama-ulama yang telah ta’ashshub kepada setengah madzhab atau setengah qaul (pendapat)! Tinggalkanlah ta’ashshubmu dalam soal-soal ‘furu’ (ranting-ranting) itu! Yang ulama sendiri dalam hal demikian mempunyai dua pendapat. Satu pendapat ialah bahwa setiap orang yang berijitihad adalah benar! Dan satu pendapat lagi: Yang benar hanyalah satu, dan yang salah dapat pahala juga!
Tinggalkanlah ta’ashshub itu dan lepaskanlah diri daripada hawa-nafsu yang merusak itu. Dan belalah agama Islam, berijtihadlah menolak orang-orang yang menghina Al-Qur’an dan sifat-sifat Tuhan. Berjuanglah menolak orang yang mendakwahi ilmu yang sesat dan kepercayaan yang merusak. Dan berjihadlah menghadapi orang-orang yang demikian adalah wajib! Alangkah baiknya jika tenagamu engkau sediakan buat itu.
Wahai seluruh insan! Dihadapanmu sekarang berdirilah orang-orang kafir yang mengingkari Tuhan. Mereka telah memenuhi segala pelosok negeri ini. Siapakah diantara kamu yang bersedia tampil kemuka untuk berbahas dengan mereka dan berusaha menuntun mereka kepada jalan yang benar?

Wahai sekalian ulama! Kejurusan inilah pergunakan ijtihadmu dan dalam lapangan inilah kalau kamu hendak berta’ashshub!
Adapun ta’ashshub kamu pada ranting-ranting agama, dan mendorongkan orang supaya memegang satu madzhab atau satu qaul, tidaklah disukai Allah Ta’ala! Dan tidaklah diridhai oleh Rasulullah SAW. Apatah lagi jika yang mendorongmu berlaku demikian, hanyalah semata-mata ta’ashshub, berebut-rebutan, dan berdengki-dengkian. Sekiranya Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hadjar, dan Ramli masih hidup, niscaya mereka akan sangat menolak perbuatanmu ini.
….Bagaimana perasaanmu! Kamu berkeras membicarakan furu’, jang dipertikaikan olehh ulama, tetapi tidak engkau engkari perbuatan haram yang dilakukan orang, yang ijma’ sekalian ulama atas haramnya, sebagai zina (pelacuran), riba (rente), minum-minuman keras dan lain-lain. Tideak ada cemburumu melihat yang demikian itu. Kamu hanya cemburu pada Syafii dan Ibnu Hajar. Sehingga yang demikian itu menyebabkan pecahnya persatuan kalimahmu dan terputusnya hubungan kasih sayang diantara kamu, sehingga orang bodohlah yang menguasai kamu, sehingga jatuhlah haibah kebesaranmu di hdapan orang awan orang yang rendah budi, yang membicarakan cacat-cela kehormatanmu dengan tiada patut. Sehingga binasalah orang-orang itu karena perkataan mereka membicarakan kamu. Karena dagingmu telah bercampur racun, sebab kamu ulama. Dan kamu telah rusak binasa karena berbuat dosa yang besar!”
Kepada ulama kaum modernis, beliau mengimbau,”Wahai ulama-ulama! Kalau kamu lihat orang berbuat suatu amalan berdasarkan kepada qaul imam-imam yang boleh ditaqlidi (dituruti), meskipun qaul itu hukumnya marjuh (tidak kuat alasannya), maka jika kamu tidak setuju, janganlah kamu cerca mereka, namun beri petunjuklah dengan halus! Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah mereka dimusuhi. Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana, dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota.”
Beliau melanjutkan, “Janganlah kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercerai-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan karena sesungguhnya yang demikian itu adalah melanggar hukum Tuhan dan dosa yang amat besar. Itulah yang menyebabkan runtuh-leburnya bangunan suatu bangsa, sehingga tertutuplah dihadapannya setiap pintu kepada kebajikan. Itulah sebabnya maka dilarang Allah, hamba-Nya yang beriman dari bertengkar-tengkaran… Tuhan berfirman, ‘Dan janganlah kamu bertengkar-tengkaran sehingga gagallah kamu dan hilanglah semangat kekuatanmu.’
….Belum jugakah tiba masanya kita insaf? Belum jugakah tiba masanya kita akan sadar dari kemabukan ini? Dan bangun dari kelalaian kita? Belum jugakah kita mengerti bahwa kemenangan kita semua bergantung kepada bantu-membantu dan persatuan yang padu diantara kita?Disertai oleh bersihnya hati hati sanubari kita diantara satu dengan yang lain?Atau akan kita lanjutkan jugakah perpecahan ini, hina menghinakan, pecah memecah, munafik, pepat di luar pancung di dalam, rasa benci memenuhi hati, dan dengki merusak kawan, dan sesat pusaka lama! Padahal agama kita hanya satu belaka:Islam! Madzhab kita hanya satu belaka:Syafi’i! Daerah kita satu belaka: Jawa (Indonesia –pen)[62]! Dan kita semuanya adalah ahlussunnah wal jamaah belaka.” (Maksudnya, dalam persatuan umat Islam di Indonesia jangan abaikan madzhab mayoritas, yaitu Imam Syafi’i[63]).
Terakhir, beliau berpesan,”Wahai kaum muslimin! Taqwalah kepada Allah dan kembalilah semua kepada kitab Tuhan-mu dan beramallah menurut sunnah Nabi-mu, dan ikutilah jejak salafmu yang soleh, supaya kamu peroleh kemenangan, sebagaimana kemenangan yang dahulu telah mereka capai. Taqwalah kepada Allah, perbaikilah hubungan di antara kamu, bantu membantulah atas kebajikan dan taqwa, jangan berbantu-bantuan di atas dosa dan permusuhan…”[64]
Tekad NU untuk mempersatukan umat tampaknya betul-betul bulat. Pada tanggal 20-24 Juni 1937, mereka mengundang organisasi Islam yang berada di luar mereka agar menghadiri Kongres NU ke-12 di Malang. Bunyi undangan itu, “…kemarilah tuan-tuan yang mulia, kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kita, marilah kita bermusyawarah tentang apa-apa yang menjadi baiknya Igama (agama-pen) dan umat, baik pun urusan Igamanya, maupun dunianya, sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan tergantung pula atas beresnya perikeduniaan.”[65]
Sikap kompromi dan toleransi seperti ini serta aksi perlawanan kaum muslimin terhadap pemerintah kolonial, kaum adat, dan penista agama, mendorong berdirinya suatu federasi Islam yang baru, bernama Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) di Surabaya pada tanggal 21 September 1937.
MIAI dibentuk atas inisiatif Tokoh NU, KH. Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan, Tokoh Muhammadiyah, KH. Mas Mansur, dan Tokoh PSII, Wondoamiseno. Dalam rapat pembentukan MIAI yang dihadiri beberapa organisasi lokal, tersusun sekretariat pertama yang diisi oleh Wondomiseno sebagai sekretaris, KH. Mas Mansur sebagai bendahara, serta KH. Muhammad Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah sebagai anggota.[66]
Sementara itu kedudukan KH. Mansur di Muhammadiyah terus menanjak. Tak hanya berhasil dipilih sebagai ketua cabang Muhammadiyah Surabaya, tetapi juga ditunjuk sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Jawa Timur. Lebih dari itu, dalam kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1937, beliau dipilih sebagai ketua pengurus besar. Konsekuensinya, beliau harus pindah ke Yogyakarta.[67]
Kepindahannya ke Yogyakarta menyebabkanadanya perubahan dalam susunan pengurus besar MIAI menjadi: KH. Muhammad Dahlan (penasihat), Wondoamiseno (Ketua), Faqih Usman dari Muhammadiyah (Bendahara), serta KH. Wahab Hasbullah, S. Umar Hubeis dari Al-Irsyad, Sastradiwirja dari Persis, dan Abdulkadir Bahalwan dari PSII (anggota).[68]
MIAI sepakat akan menjadi, “tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpuanan-perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh Indonesia.”[69]Firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 103 menjadi asas pendirian MIAI, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”[70]
Tujuan MIAI sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya, adalah untuk “menggabungkan seluruh organisasi Islam untuk bekerja sama, mendamaikan apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia baik yang telah bergabung di dalam MIAI, maupun yang belum, merapatkan hubungan di antara umat Islam Indonesia dengan umat Islam negara lain, menyelamatkan agama Islam dan umatnya, dan membangun Kongres Muslimin Indonesia.”[71]
Di balik itu, kata Prawoto Mangkusasmito, ada tujuan politik gerakan MIAI yang tersembunyi, yakni mempersatukan gerakan Islam untuk melawan kolonialisme Belanda.[72] Tampaknya ini strategi MIAI agar tak diberangus oleh pemerintah kolonial.
Kemunculan MIAI disambut positif oleh organisasi-organisasi Islam. Kalau di awal kelahirannya hanya beranggotakan tujuh organisasi, yakni PSII, Muhammadiyah, Al-Islam (Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka), Al-Irsyad (Surabaya), Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), dan Al-Khairiyah (Surabaya), maka tahun 1941 bertambah menjadi 22 organisasi, termasuk 15 anggota biasa yaitu Nahdlatul Ulama, PSII, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Jong Islamieten Bond (JIB), Persyarikatan Ulama, Al-Islam (Solo), Al Ittihadul Islamiyah (Sukabumi ), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Singli), Musyawarat Al-Tolibin (Kandangan, Kalimantan), Al-Jami’atul Washliyah (Medan), Nurul Islam (Tanjungpandan Bangka Belitung) dan tujuh anggota luar biasa, yaitu Al-Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), Majelis Ulama Indonesia (Toli-toli, Sulawesi), Persatuan Muslimin Minahasa (Manado), Al-Khairiyah (Surabaya), Persatuan Putera Borneo (Kalimantan), Persatuan India Putera Indonesia dan Persatuan Pelajar Indonesia-Malaya di Mesir (sebuah organisasi mahasiswa Indonesia dan Malaya di Mesir).[73]
Oleh: Muhammad Cheng Ho – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
[47]Safrizal Rambe, Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia:Jakarta, 2008, hlm.278
[48]Deliar Noer, Ibid, hlm. 169
[49]Safrizal Rambe, Ibid, hlm.279
[50]Ibid
[51]Deliar Noer, Ibid, hlm. 169
[52]Safrizal Rambe, Ibid, hlm.278
[53]Ibid, hlm.279
[54]Majalah Pandji islam 5 September 1938 No.25 Tahun 5 hlm.2746
[55]Safrizal Rambe, Ibid, hlm.280
[56]Ibid
[57]Ibid
[58]Ibid, hlm.280-281
[59]Majalah Pandji islam 5 September 1938 No.25 Tahun 5 hlm.2746
[60]Ratna Sari, Kedudukan Wanita dalam Hukum Islam, dalam Mizan Sya’roni, Ibid, hlm.53 Tentang Isteri Sedar lihat A.K. Pringgodigdo SH, Ibid, hlm. 196-197
[61]Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Gema Insani:Jakarta, 1996, hlm.18
[62]Ini artinya Indonesia. Kiai-kiai lama menyebut Indonesia dengan Jawa. Nama Jawa biasa digunakan oleh orang-orang Arab dulu di Mekkah untuk menyebut daerah kepulauan kita (Deliar Noer, Ibid, hlm. 262)
[63]Kholili Hasib, Indonesia Ideal Menurut KH. Hasyim Asy’ari, Koran Republika 20 Agustus 2015, hlm. 26
[64]KH. Hasyim Asy’ari dengan penerjemah Buya Hamka, Al- Mawaa’izh Sjaich Hasjim Asj’ari, Panji Masyarakat 15 Agustus 1959, hlm.5-6
[65]Safrizal Rambe, Ibid, hlm.284
[66]Deliar Noer, Ibid, hlm. 262
[67]Soebagijo, K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia, Gunung Agung: Jakarta, 1982, hlm.32
[68]Mizan Sya’roni, Ibid, hlm. 58
[69]Ibid
[70]H.Aboebakar, Ibid, hlm. 359
[71]Ibid, hlm. 348-349
[72]Prawoto Mangkusasmito, Memfokuskan Masa Lampau ke Masa Depan, dalam Ahmad Syafii Maarif, Ibid, hlm. 19
[73]Deliar Noer, Ibid, hlm.263
[…] Bersambung ke Bagian 2 […]