Ujian Menghadang MIAI
Persatuan yang MIAI serukan bukan tanpa kerikil. Setidaknya kita bisa saksikan pada empat kejadian. Kejadian pertama, terjadi perseteruan antara NU dan PSII saat kongres pertama MIAI di Surabaya tanggal 26 Februari-1 Maret 1938. NU yang ketika itu belum menjadi anggota MIAI (KH.Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan mendirikan MIAI atas nama pribadi dan baru masuk pada tahun 1939[73]), mengirim dua utusan ke kongres, yaitu Abdul Fakih dan Abdullah Ubayd. Namun NU segera menariknya kembali ketika kongres sedang berjalan.[74]
Sebab NU tak mau kongres pertama MIAI dianggap sebagai lanjutan kongres-kongres Al-Islam tahun 1920-an oleh kalangan PSII. NU ingin kongres itu sebagai awal yang baru bagi persatuan umat Islam di Indonesia. Sementara para pemimpin PSII ingin menuntut pengakuan atas usaha mereka di tahun 1920-an. NU menilai itu sebagai hasrat PSII untuk diakui sebagai imam dari organisasi-organisasi Islam, sehingga NU menganggap acara kongres sekadar untuk menutupi keinginan PSII.[75]
Oleh karena itu, NU mengusulkan agar awalan ini hendaknya membicarakan dasar-dasar MIAI dan baru kemudian membicarakan acara yang telah disusun. NU bukan hendak melenyapkan adanya kongres-kongres Al-Islam sebelumnya, namun menganggap ini bersifat “sementara” untuk mencapai maksud pada masa tertentu. Tapi ketika perdebatan memuncak dalam kongres, NU pun mencap kongres-kongres sebelumnya “tidak berguna untuk kaum muslimin.” Perasaan-perasaan seperti ini akhirnya mencair juga. Wondoamiseno dari PSII yang duduk dalam pengurus MIAI tidak mengambil tindakan terhadap NU, karena dilarang federasi.[76]
Kejadian kedua, pernah terjadi konflik di MIAI antara Abikusno dari PSII dan Wiwoho dari PII, yang masing-masing mencoba menguasai MIAI. Namun persaingan ini tidak dapat memecah MIAI sebab pada kongres di Surabaya, MIAI dapat mengeluarkan resolusi-resolusi yang penting, terutama karena usaha-usaha diplomatis Wondoamiseno.[77]
Kejadian ketiga, NU dan PSII berbeda sikap terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore. Di kongres tahun 1938 itu, NU menolak keberadaan Ahmadiyah Lahore di dalam MIAI. Sedangkan PSII toleran terhadap Ahmadiyah Lahore. Namun akhirnya sidang Dewan MIAI memutuskan penolakan terhadap organisasi tersebut. Keputusan ini diperkuat oleh sidang pleno MIAI di Solo bulan Juli 1941.[78]
Kejadian keempat, MIAI dan anggota-anggotanya, terutama PSII, berselisih mengenai sikap politik. Ketika itu, MIAI mendukung tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menginginkan Indonesia berparlemen. Namun dukungan MIAI ini bukan tanpa syarat, lebih-lebih ketika GAPI menyusun memorandum mengenai rencana konstitusi negara. MIAI dalam surat edarannya, menyatakan keinginannya membuat amandemen karena antara lain “agama mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka sudah semestinya Staatshoofd (kepala negara) Indonesia adalah orang Islam.” Ini bukan berarti “kepentingan golongan-golongan bangsa Indonesia yang lain kepercayaannya akan terlantar,” terangnya, karena “Islam dengan ajaran-ajarannya yang mencukupi kebutuhan masyarakat maju, tidaklah mungkin bertindak tidak adil.” MIAI juga menginginkan adanya kementerian yang mengurus pengadilan agama, masjid, wakaf, dan perkara-perkara yang menjadi kepentingan Islam.[79]
Mengetahui hal itu, PSII yang bertanggung jawab atas penyusunan GAPI, lalu mengumumkan bahwa surat edaran MIAI hanyalah suatu usul yang akan dipertimbangkan lebih jauh oleh anggota-anggota MIAI. Sedangkan MIAI berpendapat bahwa “sudah sepatutnya … memajukan suatu amandemen (tambahan), ialah suatu desakan kepada GAPI agar supaya tidak melupakan nasib umat Islam Indonesia yang berjumlah lebih kurang 90% daripada rakyat Indonesia pada umumnya.”[80]MIAI juga menambahkan bahwa sebelumnya mereka tidak diberitahu tentang rencana itu.[81]Meski begitu, GAPI dan MIAI menerangkan, “tidaklah ada perselisihan paham atau perselisihan pendirian tentang menuntut terapainya Indonesia berparlemen,” dan ,” bantuan serta sokongan MIAI dalam kepentingan ini dijanjikan dan telah pula dilakukan dengan sepenuhnya.”[82]Sarekat Islam dan anggota lainnya pun tetap berada dalam MIAI.
Di saat api persatuan sedang berkobar-kobar, muncul tantangan dari Partai Indonesia Raya (Parindra). Parindra memuat artikel yang melecehkan Islam di majalah Bangun , dalam dua edisi, tanggal 15 Oktober dan 1 November 1937. Artikel yang ditulis oleh Siti Soemandari itu membela rancangan undang-undang perkawinan pemerintah kolonialyang berisi penghinaan terhadap Rasulullah dan peraturan perkawinan dalam hukum Islam. Ia menulis Nabi Muhammad sebagai orang yang cemburuan dan menganggap banyak bagian dari hukum perkawinan Islam ditujukan untuk membenarkan “nafsu” Nabi. Menurut seorang penulis bernama Wibisono, artikel itu sebenarnya bermaksud melenyapkan keshalihan Nabi dan hendak menyatakan bahwa poligami itu kuno. Belakangan rancangan undang-undang itu dibatalkan karena kerasnya protes umat Islam.[83]
Kongres pertama MIAI lalu menuntut agar pemerintah mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang yang melakukan penghinaan atas Nabi dan agama Islam, meminta persoalan-persoalan agama dikembalikan pada umat Islam, mendesak pemerintah untuk menolak pemindahan wewenang pembagian waris dari pengadilan agama ke pengadilan negeri biasa (landraad), yang menurut rencana akan dipindahkan ke pengadilan negeri.[84]
Selain itu, kongres juga mencari jalan agar organisasi-organisasi Islam mau menyatukan pendapatnya mengenai awal bulan puasa dan lebaran, menuntut agar pemerintah menghapuskan bea potong hewan yang dimaksudkan untuk kurban, dan menyeru semua organisasi Islam agar memberi perhatian terhadap pemberian pelajaran agama Islam kepada transmigran Jawa di pulau-pulau lain, menyarankan kepada oganisasi-organisasi Islam agar mereka melakukan shalat ghaib untuk para korban yang jatuh dalam perang Palestina serta menuntut kepada Liga Bangsa-bangsa untuk membatalkan pemisahan Palestina sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris.[85]
Mengingat strategisnya MIAI sebagai wadah pemersatu, di samping masih banyaknya persoalan yang belum terselesaikan di kongres pertama MIAI, maka pada bulan Maret 1939, sekretariat MIAI menyebarkan undangan penyelenggaraan kongres kedua MIAI pada tanggal 2-7 Mei 1939 di Solo. Kongres itu dihadiri oleh 25 organisasi. Kali ini, kongres mengulangi pembicaraan pada kongres sebelumnya, mengenai ordonansi perkawinan atau kawin bercatat dan memutuskan untuk memberikan penjelasan mengenai perkawinan menurut Islam, agar kebiasaan berselir tercegah. Mengenai penghinaan pada Nabi dan Islam, kongres memutuskan pembentukan sebuah komisi yang diketuai Persis guna mengadakan penelitian mengenai ini dan melakukan pembelaan kalau hal tersebut terjadi. Kongres memberi perhatian pada kerukunan pemuda Islam dengan mempercayakan pada JIB untuk mengatur persoalan tersebut.[86]
Kongres juga mendesak pemerintah kolonial mengambil tindakan terhadap artikel 177 dan 178 LS (Konstitusi Hindia). Kongres menuntut pemerintah untuk tidak mencabut artikel 177 LS yang mewajibkan para misionaris Kristen memiliki izin beroperasi didaerah yang sudah ditentukan secara khusus. Dan mendesak penghapusan artikel 178 LS yang dinilai membatasi aktivitas agama Islam karena diawasi oleh kepala pribumi.[87]
Pada konferensi MIAI pleno tanggal 14-15 September 1940, MIAI mengubah Anggaran Dasar dan Tetangga serta susunan pimpinan yang disebut Dewan MIAI. Dewan itu terdiri dari lima orang wakil-wakil dari perhimpunan-perhimpunan anggota MIAI, dengan dibantu oleh sekretariat yang terdiri dari tiga orang yang diangkat oleh Dewan MIAI. Dalam perubahan tersebut, yang memegang kemudi Dewan MIAI pada periode pertama adalah KH. Wahid Hasyim dari NU (Ketua), Wondoamiseno (Wakil Ketua), S. Oemar Hoeis dari Al-Irsyad, KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, dan Soekiman dari PII (Anggota). Sekretariat diduduki oleh H. Faqieh Oesman dari Muhammadiyah (Ketua), S. Abdoelkadir Bahalwan dari PSII (Sekretaris), dan Sastradiwirja dari Persis (Bendahara).[88]
Di tahun itu masih saja muncul tulisan-tulisan yang menghina Nabi seperti pada beberapa kejadian sebelumnya. Kali ini artikel tersebut muncul di media berbahasa Inggris dari kalangan Kristen “De ChristelijkeOnderwijzer” 3 Oktober 1940 dan “De Banier” 7 November 1940. Mengetahui hal itu, Sekretariat MIAI meminta pemerintah kolonial untuk mengambil tindakan tegas pada penulis dan surat kabarnya. Peristiwa tersebut seperti kasus-kasus serupa sebelumnya, telah membuat persatuan semakin menguat. [89]
Maka dalam suasana itu, kongres ketiga MIAI yang namanya berubah menjadi Kongres Muslimin Indonesia (KMI) ketiga, dilangsungkan. Kongres ini diadakan di Solo pada tanggal 7-8 Juli 1941 dan memutuskan beberapa hal. Kongres menuntut pembebasan Dr. Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, seorang tokoh reformis muslim asal Minangkabau yang ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Sukabumi karena kritik-kritiknya. Selain itu, kongres menyarankan perbaikan dalam pengumpulan zakat fitrah, membentuk sebuah komisi di bawah pimpinan Haji Abdurrahman Sjihab dari Al Jami’atul Wasliyah untuk penyebaran Islam, dan menolak transfusi darah bila digunakan untuk keperluan yang berlawanan dengan Islam, seperti keperluan perang melawan orang Islam.[90]
Lebih dari itu, perhatian kongres juga diberikan kepada orang-orang yang bermukim di Mekkah sehubungan dengan ancaman perang dan kesulitan yang mereka hadapi karena komunikasi yang tak baik dengan keluarga mereka di Indonesia. MIAI lalu mendirikan Komite Penerimaan Mukimin. Dan komite ini berhasil memfasilitasi pemulangan mereka yang jumlahnya kurang lebih 914 orang.[91]
Apakah MIAI bergerak dalam bidang politik? Wakil Ketua Dewan MIAI, Wondoamiseno menjelaskannya dalam kongres ini,“….apabila pada suatu waktu MIAI membicarakan sesuatu peristiwa yang berkenaan dengan urusan tata negara atau politik, sama sekali bukanlah berarti bahwa MIAI terjun bekerja di dalam lapangan politik, tetapi keadaan yang memaksa, membuat MIAI merasa wajib turut membicarakan dan mempikirkan sesuatu peristiwa tadi, MIAI memandang perlu membuat perhitungan untung atau rugi bagi nasib umat Islam Indonesia pada khususnya.MIAI merasa berdosa apabila hanya tinggal diam dengan memeluk tangan apabila melihat dan mengetahui umat Islam Indonesia bakal terjerumus ke dalam lembah jurang kesengsaraan dan kenistaan, baik moril maupun materiil.”[92]Maka jangan heran kalau sebelumnya MIAI mendukung GAPI.
Selain Wondoamiseno, Ketua MIAI, KH. Wahid Hasyim juga berbicara dalam kongres ini. Beliau menyeru kaum muslimin bersatu, “….Tidak ada ucapan yang amat mudah dikeluarkan semudah mengatakan semboyan yang umum dikeluarkan orang, yaitu bersatu menyebabkan teguh dan bercerai membawa roboh. Sungguh mudah benar mengucapkan perkataan ini, akan tetapi mengerjakannya adalah yang paling sukar dan paling rumit. Persatuan dapat berwujud, apabila sekalian bagian yang akan dipersatukan suka dan mau akan bersatu,sekalian cabang-cabang yang akan dipersatukan itu rela hati dan ingin akan bersatu.
Dimisalkan arloji, dapatlah bersatu, sebab tiap-tiap roda suka dan mau bersatu; baik roda yang besar, maupun yang kecil, baik roda berputar ke kiri maupun yang berputar ke kanan, baik yang berper, maupun yang tidak, semuanya adalah suka dan mau bersatu. Tiap-tiap bagian arloji itu mempunyai anggapan bahwa kebulatan kemauan untuk bersatu adalah sangat perlu, sangat penting, sangat dihayati. Tiap-tiap bagian melihat bahwa perbedaan tempat, perbedaan kedudukan, misalnya ada roda yang dipinggir, ada roda yang di tengah, itu tidak menunjukkan rendah atau tingginya martabat dan derajat. Sekalian bagian itu adalah semata-mata merupakan badan yang satu, yaitu arloji.
Roda yang kecil dan terletak di tengah-tengah tidaklah lebih besar dan tinggi derajat dan martabatnya dibandingkan dengan roda besar yang berada di pinggir (di tepi). Pun roda besar yang berada di tepi, tidaklah merasa lebih berharga daripada roda kecil yang berada di tengah-tengah.
Organisasi suatu umat, jika ingin teguh, kokoh, dan kuat, haruslah didasarkan atas anggapan lain. Seseorang yang diletakkan di muka oleh organisasi, haruslah berada di tempat yang diuntukkan bagi dia itu,; akan tetapi jikalau organisasi menghendaki supaya ia yang di muka itu memberikan tempat kepada orang lain untuk bertempat di muka, haruslah ia berbuat sebagai kemauan organisasi. Begitupun orang yang ditentukan organisasi di belakang, haruslah ia berbuat sebagaimana yang ditentukan itu, haruslah bekerja seperti yang ditetapkan kepadanya.
Dalam pada itu, baik yang di muka maupun yang di belakang, sama saja harganya, sama saja kedudukannya, sama saja artinya. Satu untuk semua dan semua untuk satu. Bersediakah kiranya umat Islam Indonesia untuk itu? Sejarah di masa yang akan datang kelak akan membuktikan sendiri. Jikalau umat Islam Indonesia insaf sungguh-sungguh akan hal ini, tentulah ia akan bersatu, akan berhimpun menjadi satu, akan berkumpul menjadi satu. Marilah kita berjalan bersama-sama; Allah ada pada sisi kita!”[93]
Sementara itu, kekuasaan pemerintah kolonial kian terancam. Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbor, Hongkong, dan Malaya. Negeri Belanda sepakat mengikuti jejak sekutu-sekutunya dengan menyatakan perang terhadap Jepang. Pada tanggal 10 Januari 1942, Jepang mulai menyerbu Indonesia. Pangkalan Inggris di Singapura yang menurut dugaan tidak terkalahkan juga menyerah pada tanggal 15 Februari 1942. Di akhir bulan itu pula, balatentara Jepang menghancurkan armada gabungan Belanda, Inggris, Australia , dan Amerika dalam pertempuran di laut Jawa. Pemerintah kolonial pun akhirnya menyerah pada tanggal 8 Maret 1942. Berakhirlah kekuasaan mereka di Indonesia.[94] Kini, kekuasaan Indonesia berada di tangan Jepang.
KH.Wahid Hasyim, di kesempatan lain,mengungkapkan, “Kita dulu di zaman Belanda hidup berselisih-selisihan antara satu golongan dengan golongan lain. Antara golongan penghulu, golongan ulama, golongan pejabat pemerintah, golongan nasional dan lain-lainnya. Kita telah mengalami pahitnya akibat yang ditimbulkan oleh perselisihan-perselisihan itu. Kita telah merasakan kerugiannya nusa dan bangsa karena akibatnya di adu dombakan Belanda dulu itu. Maka sisa-sisa zaman yang tidak enak itu harus kita buang jauh-jauh dan kita ganti dengan semboyan, ‘Dan jadilah kamu sekalian, wahai hamba-hamba Allah, bersaudara.’”[95]
Bulan Sabit Ditutup Matahari Terbit
Di masa pendudukan Jepang, keberadaan MIAI baru diakui setelah rapat pleno antara tokoh-tokoh Islam[96] dan pejabat-pejabatJepang pada bulan September 1942 di hotel Batavia. Dalam rapat itu diputuskan untuk memindahkan markas MIAI dari Surabaya ke pusat pemerintahan militer di Batavia dan memilih Wondoamiseno sebagai ketua MIAI.[97] NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya dapat berbesar hati menerima hasil itu.
Di bawah Wondoamiseno, ada Harsono Tjokroaminoto dari PSII (sekretaris), R.H.O Djoenaedi, seorang penerbit harian Pembangoen (bendahara), Mr. Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Farid Ma’ruf dari Muhammadiyah,KH. Machfud Siddiq dan KH. Wahid Hasyim dari NU, Dr. Sukiman, dan Raden Adnan (anggota). Ketua Badan Penasihat MIAI diemban oleh KH. Mas Mansur dengan anggota KH. Hasyim Asy’ari, Dr.H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, Sayed Ali Al-Habsyi dari Masjid Kwitang Jakarta,dan Syaikh Ahmad Sorkati dari Al-Irsyad serta tiga pejabat muslim Jepang dari Shumubu(Kantor Urusan Agama): Inada, Ono, dan Abdul Hasan.[98]Tiga orang itu sengaja ditempatkan Jepang untuk mengawasi langsung urusan-urusan Islam dan bahkan menentukan kebijakan MIAI secara menyeluruh.[99]
Sejak lahir kembali di bawah pemerintahan Jepang, MIAI memang dipaksa hidup dalam latar belakang politik Jepang yang represif. Tidak jelas pula kegiatan MIAI yang dibatasi Jepang. Dan Shumubu sering kali melangkahi gerakan-gerakan politik MIAI.[100]
Meski begitu, tokoh-tokoh MIAI bukanlah kerbau yang dicucuk hidungnya. Pernah Jepang memaksa umat Islam membungkukkan badan ke istana kaisar –yang dalam bahasa Jepang disebut Saikeirei-, kemudian ditentang oleh Haji Rasul. Haji Rasul menegaskan kepada Kolonel Jepang Horie,bahwa penyembahan kaisar dan monotheisme Islam (percaya satu Tuhan) tak dapat disatukan.[101]
Diprotes seperti itu, Jepang masih belum mau menghapuskan Saikeirei. Akhirnya pejabat-pejabat Jepang dan umat Islam kemudian bertemu membahas itu di Jakarta pada pertengahan tahun 1943. Mengawali diskusi, pembicara asal Jepang, Prof.Ozaki malah menyalahkan umat Islam karena “terang-terangan mau menempati satu posisi yang khusus dan unik” di dalam masyarakat Indonesia. Parahnya lagi ia menambahkan, “Untuk memperoleh kemenangan akhir, apakah tidak mungkin orang-orang Islam membantu tentara Dai Nippon, meski ada beberapa hal pokok yang tidak menyentuh hakikat agama Islam, yang karena kondisi-kondisi yang berlaku tidak bisa diberikan (oleh pemerintahan militer?)”[102]
Gayung bersambut. KH. Mas Mansur menegaskan bahwa umat islam di Indonesia, “Terutama mereka yang telah mempunyai pengertian yang jelas terhadap semua persoalan, berpendapat bahwa kita bisa bekerjasama (dengan tentara Dai Nippon), akan tetapi dengan syarat dipakai suatu jalan yang tidak menghina agama. Namun kalau sekiranya agama dihinakan, maka haruslah disadari bahwa orang-orang Islam yakin untuk membela agamanya, apa pun yang terjadi. Dan hal ini dipahami oleh mereka semua.”[103]
Pemimpin Pemuda Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakkir, juga mengingatkan Prof. Ozaki, “….cukup banyak orang Nippon yang telah mempelajari prinsip-prinsip Islam… karena itu mereka harus tahu bahwa Islam itu bukan saja agama, akan tetapi seluruh way of life meresapi seluruh masyarakat… Perjuangan melawan imperialis Barat sudah lama kami kenal, sehingga kami menerima tujuan Nippon untuk melawannya… (Tetapi) prinsip yang harus dianut secara ketat untuk mencapai kerja sama (yang diingini) haruslah … kami dengan agama kami, kamu dengan agama kamu. Perbedaan di antara semua kepercayaan kita tidak perlu menghalangi kerjasama kita untuk mengusir Sekutu dari Asia, yang adalah rumah bagi semua agama.”[104]
Kritik terhadap Saikeirei juga datang dari instansi Jepang sendiri, yakni Shumubu,yang ketika itu diketuai olehTokoh Sarekat Islam, Dr. Hoesein Djajadiningrat. Shumubu akhirnya berhasil membujuk Jepang untuk menghapus Saikeireidalam pertemuan umat Islam. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyampaikan hal itu kepada seorang tamu muslim dari Sumatera bahwa, “Pemerintahan militer Jepang kini telah menyadari bahwa Saikeirei bertentangan dengan Islam. Konsekuensinya hal itu tidak lagi dituntut di dalam pertemuan-pertemuan umat Islam.”[105]
Tak hanya dengan kata-kata,MIAI juga turun ke lapangan. Mereka membangun kantor pusat perbendaharaan Islam (Baitul Mal) untuk menerima zakat dan menolong kaum melarat, fakir, miskin, pengangguran, pensiunan yang tak bekerja, dan lain sebagainya, serta berdakwah kepada masyarakat.[106]
Mereka juga mempublikasikan Baitul Mal secara besar-besaran dalam jurnalnya. Kemudian pada bulan Juni, mereka mendirikan kursus latihan bagi pengurus Baitul Mal. Pada bulan itu juga, mereka melakukan perjalanan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk berembuk dengan para pemimpin agama di daerah dan kecamatan serta para pejabat pemerintahan mengenai pendirian Baitul Mal yang baru. Bersamaan dengan itu, panitia pusat Baitul Mal menerbitkan peraturan yang seragam tentang Baitul Mal yang baru. Dalam tempo beberapa bulan, Baitul Mal telah didirikan di 35 kabupaten di Jawa.[107]
Perlu dicatat, keberhasilan MIAI membangun jaringan ini tanpa dukungan Shumubu. Harry J. Benda berpendapat hal ini mengancam politik Islam Jepang karena dua alasan.Pertama, Wondoamiseno dan kawan-kawannya menghubungkan Baitul Mal di setiap wilayah dengan dewan-dewan ulama setempat -yang menurut cerita telah bertindak sebagai badan-badan penasihat dalam masalah-masalah hukum agama di bidang sosial-. Dan kalau ini berhasil,menurut Harry J. Benda, menjadi tantangan bagi Shumubu untuk mengontrol ustadz-ustadz di desa.[108]
Kedua, para pemimpin MIAI berusaha membangun jaringan Islam di Pulau Jawa untuk mempersatukan umat Islam atas nama Allah, bukan atas nama Kaisar Tenno Heika.Baitul Mal, seperti ditegaskan oleh Ketua MIAI Wondoamiseno, “haruslah mencapai setiap desa, setiap kampung, sampai lembah-lembah pegunungan, dan menciptakan jiwa kesatuan… dan menjadi benteng Islam yang kokoh … Kita akan menggunakan (kantor-kantor bendahara) tersebut untuk membangun pagar pelindung di sekeliling Islam di desa-desa, terhadap mata-mata Sekutu … Marilah kita semua, para pejabat pemerintah, penghulu, ulama, kiai, membentuk suatu keluarga besar sebagaimana diperintahkan Allah ‘Wa’tashimu bihablillahi jami’an wala tafarraqu’ (berpegang teguhlah pada tali Allah dan janganlah berpecah belah.”[109]
Jepang pun bereaksi. Pada bulan September 1943, pemerintahan militer Jepang mengumumkan NU dan Muhammadiyah beserta cabang-cabangnya di seluruh Jawa, telah diberikan status hukum.Setelah itu Shumubu dan terutama pengganti Inada, Suzuki, bergabung dengan kedua organisasi Islam ini.Pengakuan resmi kalangan tradisionalis dan modernis ini secara otomatis menghilangkan status hukum organisasi Islam lainnya. Dengan begitu MIAI benar-benar diabaikan oleh Jepang.Hingga akhirnya Jepang dengan sewenang-wenang membubarkan MIAI pada tanggal 24 Oktober 1943.[110]Bulan sabit yang sedang mengorbit itu ditutup oleh matahari terbit.
Meski demikian, MIAI kelak berganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Jejak yang ditinggalkan MIAI ini setidaknya menunjukkan kepada kita bahwa persatuan umat Islam di Indonesia bukanlah fatamorgana. Pandangan kalangan umat Islamyang berbeda-beda kala itu, nyatanya tak menyempitkan dada mereka tuk terima seruan-Nya,“Dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah dan janganlah berpecah belah.”, tak melupakan pesan-Nya,“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.”,tuk menggapai tujuan bersama: menegakkan agama di bumi Sang Pencipta hingga rahmat-Nya terbentang di alam semesta.
Sudah saatnya kini kita bersatu padu! Salam ukhuwah Islamiyah!
Oleh : Muhammad Cheng Ho – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
[73]KH. Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKIS:Yogyakarta, 2013, hlm.199
[74]Deliar Noer, Ibid
[75]Ibid, hlm. 263-264
[76]Ibid, hlm. 264
[77]Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, Gramedia: Jakarta, 2014, hlm.192
[78]Deliar Noer, Ibid, hlm.264-265
[79]Ibid, hlm. 290-291
[80]Ibid, hlm. 289-290
[81]Ibid, hlm. 291-292
[82]Ibid, hlm.292
[83]Ibid, hlm.265 dan Safrizal Rambe, Ibid, hlm.285
[84]Ibid, hlm.266 dan Safrizal Rambe, Ibid, hlm.288
[85]Ibid, hlm.266, Safrizal Rambe, Ibid, H.Aboebakar, Ibid, hlm.352,
[86]Safrizal Rambe, Ibid, hlm.hlm.288-289
[87]Mizan Sya’roni, Ibid, hlm. 74-76 dan Deliar Noer, Ibid, hlm.268
[88]H.Aboebakar, Ibid, hlm.353 dan Mizan Sya’roni, Ibid, hlm. 59
[89]Safrizal Rambe, Ibid, hlm.288-289
[90]Deliar Noer, Ibid, hlm.266-267 , Safrizal Rambe, Ibid, hlm. 289, dan H.Aboebakar, Ibid
[91]Mizan Sya’roni, Ibid, hlm. 74
[92]Ibid, hlm. 290
[93]H.Aboebakar, Ibid, hlm.356-357
[94]M.C. Ricklefs dengan penerjemah Dharmono Hardjowidjono, Sejarah Indonesia Modern, UGM Press:Yogyakarta, 1995,hlm.294
[95]KH. Wahid Hasyim, Melenjapkan jang Kolot, Majalah Soeara Moeslimin Indonesia 9 Jumadil Akhir 1363/1 Juni 1944 No.11 Tahun II hlm. 3
[96]Kalangan tradisionalis yang hadir: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan KH. Wahid Hasyim. Sementara kalangan modernis diwakili oleh KH. Mas Mansur, Kasmat, Dr. Sukiman, Ki Bagus Hadikusumo, Farid Ma’ruf, dan Moh. Natsir. Para pemimpin PSII yang hadir antara lain Abikusno Tjokrosujoso, Harsono Tjokroaminoto, dan Wondoamiseno (Harry J. Benda, Ibid, hlm. 276)
[97]Harry J. Benda, Ibid, hlm.146-147
[98]Ibid, hlm. 277
[99]Ibid, hlm. 148
[100]Ibid, hlm. 176
[101]Harry J. Benda, Ibid, hlm. 155 , M.C. Ricklefs, Ibid, hlm.306
[102]Ibid, hlm, 156
[103]Ibid, hlm. 157
[104]Ibid
[105]Ibid, hlm. 158
[106]Wondoamiseno, Baital-Mal, Majalah Suara MIAI 1 Juli 1943 Tahun 1 No.13 hlm.3
[107]Ibid, hlm.180
[108]Ibid, hlm. 181
[109]Ibiddan Wondoamiseno, Baital-Mal, Majalah Suara MIAI 1 Juli 1943 Tahun 1 No.13 hlm.3
[110]Ibid, hlm. 182-183
[…] Bersambung ke Bagian 3 […]