Sikap represif yang diarahkan kepada PKI dibalas dengan rencana pemberontakan. Namun jalan menuju ke sana tak mulus. Tan Malaka dan Stalin menolak rencana itu.
Sikap Gubernur Jenderal Fock memang sangat keras terhadap gerakan komunis. Gubernur Jenderal Dirk Fock pada September 1924 mengadakan sidang Raad van Indie, khusus untuk membahas langkah-langkah mengontrol (bestrijden) komunisme. Pertama memerintahkan aparat dan penguasa lokal untuk bertindak lebih ketat terhadap pertemuan-pertemuan komunis, baik yang terbuka, tertutup maupun kursus-kursus mereka. Kedua, mengontrol lebih ketat surat-surat kabar komunis dengan menerapkan persdelicten (delik pers). Ketiga pemerintah mengeluarkan edaran untuk melarang pegawai negara mengkritik pemerintah. Pemerintah juga merintangi sekolah-sekolah rakyat yang didirikan Sarekat Rakyat yang berafiliasi pada PKI.
Rintangan dan tekanan-tekanan ini dibalas oleh kaum merah dengan melakukan aksi-aksi radikal. Selain aksi pemogokan terjadi pula pelemparan granat ke rumah-rumah pembesar Belanda dan pemboikotan terhadap perayaan-perayaan resmi pemerintah yang memuliakan kerajaan Belanda.[1] H. Misbach kemudian dituduh pemerintah kolonial terlibat dalam aksi ini. Ia kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manokwari pada tahun 1925. Selain H. Misbach, Aliarcham, pemimpin Sarekat Rakyat ditangkap setelah berbicara dalam sebuah rapat umum di Semarang. Dalam rapat tersebut, Aliarcham mengatakan,
“Terjadinya pemboman itulah buahnya hati panas. Orang yang mengebom Gouverneur General Fock tentu mempunyai sebab, karena merasa terjepit. Pada pesta Raja di Semarang terjadi pelemparan bom, pertanda telah dimulai keberanian di dada orang, menyatakan kemarahannya dan protes atas pesta diadakan waktu kemiskinan rakyat itu.”[2]
Orasi Aliarcham dalam rapat umum tersebut, memberi dalih pada pemerintah kolonial. Berikutnya para pemimpin PKI pun ikut ditangkapi, seperti Budisutjitro, dan H. Datuk Batuah. Penangkapan ini menyusul Tan Malaka, Sneevliet, Semaoen, yang sudah diasingkan dari Hindia Belanda. Aksi frontal PKI, meski berarti penangkapan pada para pemimpinnya, namun memperoleh banyak dukungan massa, karena PKI sebagai satu-satunya wadah yang bersikap frontal dan radikal terhadap pemerintah kolonial. Agitasi-agitasi PKI menjadi penarik massa yang efektif.
Setahun sebelumnya, pada Kongresnya yang kedua, di bulan Juni 1924, PKI mengubah namanya dari Perserikatan Komunis Hindia menjadi Partai Komunis Indonesia. Mereka juga memindahkan pengurus pusatnya dari Semarang ke Jakarta. Alibasah Winata sebagai ketua, Budisoetjitro sebagai sekretaris, dan Aliarcham (yang sempat dipenjara 4 bulan), Alimin serta Musso, sebagai komisaris. PKI juga menetapkan programnya pada kongres tersebut yang bertujuan untuk,
“…membentuk Pemerintah Sovyet Indonesia dan Pendidikan Nasional untuk massa rakyat yang masih terbelakang kebudayaannya. Tujuan perjuangan ialah menciptakan Masyarakat Sosialis dan sifat perjuangannya adalah Internasional.”[3]
Selang lima bulan setelah kongres tersebut, pada 29 November 1924, Winata sang ketua ditangkap. Situasi ini mendorong untuk dilaksanakannya kongres ketiga, pada bulan Desember 1924 di Yogyakarta. Sardjono dipilih sebagai ketua menggantikan Winata. Ide-ide Aliarcham untuk sebuah jalan untuk merebut kekuasaan dengan pemberontakan mulai mewarnai kongres ini.[4] Dalam surat kabar Api, Desember 1924 dimuat tulisan,
“Nafsu untuk kekuasaan atau De wil tot macht inilah yang mulai sekarang harus ditanamkan sedalam-dalamnya dalan hati massa buruh dan tani. Pada setiap waktu dan setiap tempat haruslah kita terangkan kepada si buruh dan si tani serta kasta-kasta yang setuju (sympathiseren) dengan kita bahwa pada masa ini perbaikan yang sederhana saja bagi mereka itu sukar amatlah dituntut dengan jalan damai.“[5]
Persoalan pemberontakan bukan semata-mata pikiran Aliarcham. PKI dengan agitasi-agitasinya kepada rakyat jelata untuk menumbangkan pemerintah kolonial menemui masalahnya sendiri. Agitasi-agitasi PKI memang mampu menarik massa untuk bergabung dengan PKI ataupun Sarekat Rakyat. Namun sementara agitasi terus dipompakan kepada massa, PKI tak punya jalan untuk menumbangkan pemerintah yang otoriter dan tiran. PKI tertekan sendiri oleh massanya dari bawah. Massa pengikutnya menjadi tak sabar. Di elit PKI, berbagai tekanan terhadap organisasi mereka membuat mereka mulai memikirkan pemberontakan sebagai jalan keluar.
PKI akhirnya merencanakan sebuah konferensi rahasia pada bulan Mei 1925. Namun baru terlaksana pada bulan Desember 1925. Sebelum Desember pemimpin PKI seperti Aliarcham dan Mardjohan ditangkap. Sedangkan Alimin berhasil meloloskan diri. Konferensi rahasia tanggal 25 Desember 1925 tersebut dilaksanakan di Prambanan. Sardjono sebagai ketua memutuskan pemberontakan harus dimulai. Aksi dimulai dengan pemberontakan dan dilanjutkan dengan kekerasan bersenjata dengan upaya menarik kaum tani dan prajurit ke pihak komunis. Pemberontakan direncanakan berlangsung pertengahan tahun 1926.[6]
Sikap PKI untuk merebut kekuasaan sebetulnya tak disetujui banyak pihak, terutama dari kelompok komunis itu sendiri. Komunis Internasional misalnya, meminta PKI untuk memperbaiki hubungannya dengan Sarekat Islam dan organisasi-organisasi nasionalis lainnya. Melalui Semaoen yang mewakili Komintern (setelah diusir dari Hindia Belanda), dalam surat terbukanya kepada PKI, Semaoen menyimpulkan,”…penting bagi kita untuk menyusupi organisasi Sarekat Islam, untuk terus mengusung kebijakan revolusioner di sana, guna menarik massa revolusioner ke pihak partai kita.” Taktik ini bukan hanya berlaku bagi SI, tetapi juga untuk Muhammadiyah, Budi Utomo dan kelompok intelektual lainnya juga harus disusupi.
Semaoen, tanggal 12 Juni 1925 mengingatkan, “Kita telah mewujudkan taktik ini pada awal 1923 dengan keberadaan Konsentrasi Radikal, dan kini kita harus mengulanginya lagi dan lagi, walaupun situasi yang kompleks akan terus-menerus mencegah pemantapan sebuah front persatuan yang stabil, sampai keberadaan Indonesia Soviet menjadikan front tersebut tak lagi diperlukan.”[7]
Alih-alih menuruti Komintern, PKI malah mengajukan protes. Mereka tak menuruti Komintern dan terus berjalan sendiri. Selain Komintern, Tan Malaka adalah pihak yang tak setuju dengan pilihan PKI tersebut. Di pelariannya, di Filipina, ia menolak rencana tersebut. Alimin yang menjadi delegasi PKI untuk menemuinya, juga tak berhasil mendapatkan persetujuan Tan Malaka. Ia menggugat, apakah pemberontakan tersebut sudah siap?
“Para anarkis ini yang terbiasa mengatakan bahwa kekuatan Barat yang terjalin dengan baik dapat dihancurkan dengan beberapa ‘ledakan telur’ tidak lebih pandai daripada seorang yang mencoba menghancurkan dinding batu dengan kepalanya sendiri.”[8]
Di Hindia Belanda, penolakan Tan Malaka memecah para elit PKI. Di Sumatera Barat, tempat asal Tan Malaka, PKI dipimpin oleh seorang pengikut Tan Malaka bernama Arif Fadilah. Sontak hal ini menimbulkan perpecahan internal PKI. Sementara itu, Musso dan Alimin pergi ke Soviet untuk meminta persetujuan Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI). Apa daya, Stalin jelas menolak rencana tersebut. Namun Alimin yang hendak kembali ke Hindia Belanda sudah terlambat.[9] Pemberontakan sudah direncanakan. Konferensi bulan Januari 1926 hanya mengukuhkan rencana pemberontakan tersebut, meski muncul pula suara keraguan dari elit seperti Sugono. Di beberapa daerah pemberontakan tak berhasil mencuat, namun di tiga lokasi, yaitu Batavia, Banten dan Sumatera Barat, pemberontakan tersebut muncul secara signifikan.
Berikutnya: Meletusnya Pemberontakan Kaum Merah
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
[1] Latif, Busjarie. 2014.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] McVey, Ruth. 2010
[5] Latif, Busjarie. 2014.
[6] McVey, Ruth. 2010
[7] Ibid
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[…] Bersambung ke bagian 5: Jalan Menuju ‘Revolusi’ […]