Rezim pemerintah kolonial berubah menjadi sangat keras terhadap pergerakan pribumi. Munculnya Haji Misbach menjadi tokoh komunis yang menonjol. Menggabungkan Islam dan komunisme.
Di Kongres SI tahun 1922, Tjokroaminoto menekankan perjuangan SI berdasarkan Islam dan menegaskan Islam-lah satu-satunya elemen yang dapat menyatukan masyarakat di Hindia Belanda. SI dan PKI menempuh jalan masing-masing. Tetapi situasi saat itu memang sudah berbeda. Gubernur Jenderal Dirk Fock yang konservatif, sejak 1921 berkuasa di Hindia Belanda, menggantikan Van Limburg Stirum. Fock, memulai pemerintahannya dengan keras. Alih-alih meneruskan Kantor Urusan Bumiputera, Fock malah memperkuat peran Algemeene Recherchedienst (Dinas Intelejen Umum). Dinas intelejen ini bukan saja sebagai penasehat tetapi juga sebagai pendeteksi setiap aksi pergerakan di Hindia Belanda. Demi memperkuat cengkramannya, Fock mempersulit hak untuk berserikat. Ia juga menerapkan pasal Penyebaran Kebencian (Haatzai Artikelen) yang membungkam kritik terhadap pemerintah kolonial.[1]
Kebijakan Fock juga menyentuh soal ekonomi. Penghematan besar-besaran dalam bidang ekonomi memicu PHK besar-besaran di rumah pegadaian. Aksi ini dibalas dengan aksi pemogokan oleh buruh pegadaian. Gelombang PHK ini diprotes oleh Boedi Oetomo, Muhammadiyah, CSI dan PKI. Untuk pertama kalinya sejak disiplin partai, PKI di bawah Tan Malaka bekerja sama kembali dengan CSI. PPPB di pimpin tokoh CSI, Abdoel Moeis turut serta menggalang aksi pemogokan. Namun dalam perjalanan tur propagandanya, Moeis ditahan pemerintah kolonial. Haji Agus Salim menyiapkan aksi pemogokan tanggal 20 Februari 1922. Namun perpecahan internal melanda PPPB. Gelombang PHK terhadap seribu orang buruh pegadaian menghantam PPPB.[2] Kemudian Tan Malaka yang sedang mempersiapkan aksi mogok dibuang dari Hindia Belanda ke Belanda menyusul Bergsma.[3]
Kehilangan Tan Malaka, PKI kembali di bawah kendali Semaoen yang baru kembali dari Soviet. Semaoen membawa PKI untuk menancapkan hegemoninya di cabang-cabang Sarekat Islam terutama SI Semarang. Di sisi lain, pasca bebas dari tahanan, Tjokroaminoto membawa SI semakin ideologis, sebagaimana yang ia tekankan di Kongres SI tahun 1922. Kongres SI bulan Februari 1922 itu memberi banyak arti kepada hubungan SI dan PKI. Kongres tersebut menetapkan dibentuknya Partai Sarekat Islam. Akibat penetapan ini, PKI diminta oleh kongres untuk memberikan pandangannya tentang agama. Sukendar, Ketua Perwakilan PKI menyebutkan komunis bukan berarti tidak percaya Tuhan, dan mereka mengakui gerakan mereka netral dalam urusan agama. Hal ini menghentak para peserta kongres. Hal ini bahkan diperburuk dengan tampilnya salah seorang wakil PKI, Sukirno yang mengkritik ‘pembobolan uang’ dan kemunafikan kelompok ulama. Sebuah pernyataan yang menimbulkan kericuhan, sehingga Sukirno terpaksa diturunkan dari podium. Pada akhir kongres, PKI menyatakan keluar selamanya dari Sarekat Islam.[4]
Keluarnya PKI dari Sarekat Islam membuat PKI berupaya terang-terangan untuk menarik massa dari Sarekat Islam. Pada kongresnya tahun 1923, PKI misalnya memutuskan untuk menolak peraturan pemerintah kolonial yang mengatur guru agama agar mendapat izin bupati. PKI menentang aturan ini karena menolak campur tangan negara dalam urusan agama.[5] Pada kongres PKI bulan Maret 1923 tersebut, tanpa dihadiri Tan Malaka dan Bergsma yang sedang dalam pengasingan. Kongres ini juga menandai kembalinya Haji Misbach. Dalam kongres tersebut Tjokroaminoto dikecam habis-habisan termasuk oleh Haji Misbach. Kecaman terhadap Tjokroaminoto ini, menariknya dikritik oleh Sukarno (kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia), salah seorang anak didik Tjokroaminoto. Haji Misbach kemudian meminta maaf atas kecamannya karena telah menyerang secara personal.[6]
Secara politis, yang terpenting, kongres ini memutuskan akan menantang setiap cabang SI. Di mana ada SI putih, komunis akan menghadapinya dengan membentuk SI Merah. Di mana terdapat cabang SI Merah, di sana harus didirikan PKI, dan SI Merah diubah dan digabungkan kepada Sarekat Rakyat.[7] Konferensi 1923 hanya menjadi kata pemutus bagi perseteruan terbuka PKI dengan Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Di satu sisi H. Fachrodin menjadi tokoh Muhammadiyah yang terbuka menolak komunisme. Di sisi lain, H. Misbach adalah tokoh PKI yang terang-terangan mengecam sikap Muhammadiyah, terutama kepada KH. Ahmad Dahlan, sang pendirinya. H. Misbach, dalam tulisannya berjudul Verslag, di Medan Moeslimin tahun 1922, mengatakan,
”Nah sekarang tuan-tuan pembaca bisa fikir sendiri, sudah terang sekali bahwa H. A. Dahlan dan sikap Muhammadiyah pada waktu sekarang ini perlu membuang IMAM kepada Al-Quran, bisa juga H.A. Dahlan menjalankan sikapnya kanjeng Nabi Muhammad, sebab kanjeng nabi tidak suka menjilat kepada orang musyrik di Mekkah, hingga sampai banyak menjadikan kesusahan anak-bini dan orang banyak, lantaran beliau lari dari Mekkah ke Madinah, begitulah barang kali pendapat H. A. Dahlan dan sekalian bestuur perserikatan Muhammadiyah, sikap H. A Dahlan yang sedemikian itu tetap tidak akan berubah pada waktu yang sekarang.”[8]
Di Surakarta pula, PKI/SR Surakarta di bawah Mas Marco mendapat dukungan besar dari ’kaum putihan ‘ (kaum agama) melalui gerakan Moe’alimin. Gerakan ini sebenarnya mendapat momentum pasca ditangkapnya H. Misbach. Berbeda dengan di Yogyakarta, dimana Muhammadiyah menjadi benteng dalam membendung pengaruh komunisme, di Surakarta ide Islam-komunisme yang didorong oleh H. Misbach terus meluas. Moe’alimin bukanlah organisasi di bawah PKI. Sebaliknya ia adalah gerakan kaum agama, baik guru-guru agama Madrasah Soennijah Mardi Boesana seperti Ahmad Dasoeki dan KH Mawardi. Gerakan ini adalah gerakan cair yang biasa melakukan tabligh, pengajian dan dakwah-dakwah. Mereka mengaji ayat-ayat Al Qur’an dan hadist lalu menerjemahkannya dengan konteks Hindia Belanda saat itu secara ’revolusioner‘ dengan ’ilmoe communist. ‘[9]
Ahmad Dasoeki, salah satu ’teoritikus‘ Moe’alimin menjelaskan yang ia maksud dengan ’Islam Revolusioner‘,
”Saoedara-saoedara kami sebagai orang Islam merasa wadjib membantoe ataoe toeroet menjamoerkan diri dilapang pergerakan Communsime sebab kami merasa djoega jang pergerakan itoe akan membantoe kepada igama kita. Dan djoega kami sebagai orang Islam wadjiblah dari djaoeh, memboeka topi boeat tanda memberi terima kasih kepada karl Marx c.s. jang mereka itoe mendjadi penoendjoek djalan sebagaimana kita orang akan melakoekan perintah Allah.“[10]
Seperti H. Misbach, penekanan komunisme lebih pada perlawananan terhadap kapitalisme,
”…kami bisa mengetahoei tentang rintangan igama jang terbesar, rintangan mana jang haroes kita melawanja dengan sekoeat-koeatnja, apabila masih dihalangi oleh rintangan itoe, jalah pertaoeran kapitalisme jang menghisap darah dan peloe kita ra’jat jang terbanjak.“
Moe’alimin dengan agitasi terhadap kapitalisme dan perlawanan terhadap pemerintah kafir mendapat dukungan dari kaum putihan Surakarta. Pertemuan-pertemuan mereka awalnya relatif aman dari tangan-tangan besi pemerintah kolonial. Di akhir 1925, hampir setiap hari Moe’alimin mengadakan pertemuan. Lambat laun pemerintah kolonial mulai mengawasi secara ketat pertemuan mereka. Topik-topik dengan kata ’revolusioner ‘, komunisme, atau membandingkan era H. Misbach berarti pembubaran pertemuan oleh aparat kolonial. Dalam sebuah pertemuan tanggal 26 Januari 1926 misalnya, dilaporkan bahwa pertemuan membahas pertentangan terhadap bangsa kafir,
”Saoedara-saoedara moedah-moedahan sama mendjalani igama Islam, sebab kalaoe tidak mendjalani moestinja tidak dapat redjeki banjak. Maka kebanjakan saoedara sama sengsara sebab tidak mengindahkan kitab ini. Maka adanja sengsara itoe sebab didesek oleh bangsa kapir, sebab moestinja saoedara-saoedara telah mengetahoei sendiri bahwa bangsa kapir itoe meosti enak hidoepnja, roemahnja lodji dan moesti ditakoeti orang…“
”Saoedara-saoedara moedah-moedahan lekas bisa menghilangkan bangsa kapir.“[11]
Pemerintah kolonial lama kelamaan bertindak makin keras terhadap Moe‘alimin. 2 Februari 1926, KH Mawardi dan beberapa pendakwah dari Moe’alimin ditangkap. Bahkan aparat kolonial menjadi semakin liar dengan mengawasi dan merecoki bukan saja pertemuan Moe’alimin tetapi segala pertemuan agama seperti tadarusan dan sholat berjama’ah di masjid-masjid. Hingga suatu ketika timbul puncak kekesalan umat terhadap intervensi dari aparat kolonial. 18 Februari 1926, tiga pendakwah dari Moe’alimin di tangkap. Beredar desas-desus akan terjadi demonstrasi.
Keesokan harinya, di hari Jumat, berkumpul umat Islam sebanyak 10 ribu orang di masjid Kauman. Mereka hendak melaksanakan sholat Jumat. Jumlah ini tiga kali lipat dari biasanya. Yang hadir bukan saja anggota Moe’alimin tetapi umat Islam dari berbagai kalangan termasuk mereka yang tak sholat. Aparat pemerintah kolonial berjaga ketat. Polisi dipersenjatai dengan pedang dan tongkat. Massa kemudian berjalan menuju ke kantor Asisten Residen namun dihalau aparat. Massa diperintahkan bubar, namun dibalas dengan cemoohan. Ketika mendekati kantor Asisten Residen, polisi bertindak menyerbu massa dengan kuda dan mobil. Mereka menembakkan senjata ke udara dan mengayunkan pedang. Demonstrasi tersebut dihancurkan. Menyusul kemudian gerakan Moe’alimin. Para pemimpiinnya termasuk Ahmad Dasoeki ditangkap. Demonstrasi ini tampaknya memang reaksi umat, ketimbang rekayasa PKI/SR Surakarta. Mas Marco bahkan tak tahu menahu rencana demonstrasi ini.[12]
Bersambung ke bagian 5: Jalan Menuju ‘Revolusi’
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
[1] Shiraishi, Takashi. 2005 dan Rambe, Safrizal. 2008.
[2] Rambe, Safrizal. 2008.
[3] Poeze, Harry A. 1988.
[4] McVey, Ruth. 2010
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] McVey, Ruth. 2010 dan Latif, Busjarie. 2014.
[8] H.M. Misbach.2016. Verslag dalam Haji Misbach Sang Propagandis; Aksi Propaganda di Surat Kabar Medan Moeslimin dan Islam Bergerak (1915-1926). Yogyakarta: Octopus
[9] Shiraishi, Takashi. 2005
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[…] Bersambung ke bagian 4: Akhir Kaum Merah di SI […]