Abstrak
Natsir dikenal sebagai tokoh gerakan Islam, baik politik maupun dakwah, yang sangat membela ideologi Islam. Ada yang menyangka pemikirannya dalam masalah kenegaraan sama seperti gerakan NII Kartosuwiryo yang anti-RI atau pemikiran yang ingin merevitalisasi khilafah secara revolusioner yang juga anti-RI.
Untuk itu, tulisan ini ingin mengungkap bagaimana sebetulnya gagasan politik Islam Natsir, khususnya dalam masalah ketatanegaraan, yang ideal diaplikasikan di Indonesia. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa Natsir tidak setuju dengan NII versi Kartosuwiryo, namun bukan karena Islam-nya, melainkan karena masalah politis, yaitu NII membuat negara di luar kesepakatan yang telah ditempuh umat Islam sebelumnya. Natsir sendiri berkesimpulan bahwa ketatanegaraan Republik Indonesia harus didasarkan kepada Islam. Ia dapat menerima rumusan Pancasila sebagai “gentlement agreement”, namun Pancasila tidak boleh dibenturkan dengan Islam. Pancasila justru harus menjadi landasan bahwa Islam memiliki hak yang luas untuk menjadi unsur pembentuk sistem ketatanegaraan dan sistem hukum lainnya di negeri ini.
Pendahuluan
Dalam beberapa riset dan buku tentang gerakan Islam yang dianggap radikal, seringkali gerakan-gerakan itu dikaitkan dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh Muhammad Natsir dan organisasi ini dituduh bersama tokohnya sebagai bertanggung jawab atas berbagai gerakan radikal, termasuk gerakan yang menginginkan menciptakan suatu model kekuasaan baru seperti model “khilafah” yang dikampanyekan Hizbut Tahrir atau yang dicita-citakan gerakan Tarbiyah (baca: Ikhwanul Muslimin). Dalam buku Ilusi Negara Islam (2009) yang cukup kontroversial dituliskan sebagai berikut.
Sejak dekade tahun 1970-an, ketika umat Islam Indonesia kesulitan keuangan untuk membiayai studi mahasiswa ke luar negeri, Wahabi menyediakan dana lumayan besar melalui DDII untuk membiayai mahasiswa belajar ke beberapa negara di Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Belakangan, kebanyakan alumni program ini menjadi agen penyebaran paham transnasional dari Timur Tengah ke Indonesia…(95)
Wahabi…punya andil besar dalam berbagai kekerasan yang selama ini terjadi di seluruh dunia, baik kekerasan doctrinal, cultural, maupun sosial. Namun demikian, kebanyakan umat Islam Indonesia tidak menyadari bahaya laten yang dibawa oleh gerakan-gerakan garis keras ini… (100)
Buku ini saat terbit tahun 2009 menjadi kontroversial karena berisi provokasi emosional terhadap kelompok-kelompok yang dituduh Wahabi dan yang berhubungan dengan sumber penyebarnya, yaitu DDII. Seolah-olah buku ini ingin mengatakan bahwa ideologi yang dibawa oleh DDII yang menjadi jembatan masuknya Wahabisme ke Indonesia secara masif hendak menghancurkan NKRI dengan berbagai ajarannya, apakah tentang khilafah, penegakan syariat, atau bahkan memperkuat berdirinya kembali Negara Islam Indonesia (NII) yang sebelumnya diperjuangkan oleh gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwiryo.
Kesan semacam itu terhadap DDII pun rupanya juga menjadi semacam rumus yang dipegang oleh beberapa peneliti yang “gagal” melihat posisi DDII secara proporsional. Julie Chernov Hwang, misalnya, dalam Umat Bergerak; Mobilisasi Damai Kaum Islamis di Indonesia, Malaysia, dan Turki (2011: 80) menyatakan sebagai berikut.
Beberapa modernis konservatif, seperti Mohammad Natsir, mantan ketua Masyumi, juga menempuh jalan masyarakat sipil dan membentuk organisasi dakwah seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam upaya meningkatkan kesalehan dan mempromosikan praktik-praktik Islam yang tepat….DDII mengkhotbahkan bahwa adalah tanggung jawab semua Muslim untuk mendukung Syariat, bersembahyang lima hari sekali, memakai bentuk-bentuk pakaian Islam, memisah menurut jenis kelamin dan memakai salam arab—wassalamualaikum—untuk menyalami sesama Muslim. Walaupun organisasi ini mempertahankan keyakinan Masyumi bahwa demokrasi itu superior dibandingkan otoritarianisme Sukarno dan Suharto, ia berbeda secara mendasar dari Masyumi. Sebagai akibat represi dan marginalisasi yang dialami modernis-modernis ini, perspektif mereka akan Islam menjadi lebih konservatif, sempit, dan lebih dekat teridentifikasi dengan Wahabisme. Tambahan pula, nada-nada publikasi-publikasinya menjadi makin paranoid, berpusat pada anggapan adanya ancaman-ancaman dari liberalisme Islam, aliran Syiah, konspirasi Kristen dan Yahudi untuk merongrong Islam.
Walaupun tidak tidak secara langsung kedua buku dan buku-buku sejenis yang cukup banyak menyebut bahwa tokoh seperti Natsir dan DDII yang didirikannya ingin mendirikan Negara Islam untuk mengganti NKRI, namun kesan untuk di bawa ke arah sana tidak dapat ditutup-tutupi. Karena tidak mungkin mencari jalan melalui keterkaitan sejarah Masyumi yang dipimpin M. Natsir sebelumnya, maka melalui DDII ini tuduhan kea rah sana mencari jalan keterkaitan melalui apa yang mereka sebut sebagai “Wahabisme” dan “gerakan transnasional”. Mengaitkan pemikiran “Wahabisme” Saudi Arabia dengan gerakan separatisme dan radikalisme pun sebetulnya masih sangat debatable, apalagi kemudian mengaitkan kedekatan DDII dengan Saudi Arabia sebagai indikasi bahwa gerakan ini membahayakan eksistensi NKRI. Apabila DDII dituduh “paranoid” seperti dikatakan Hwang di atas, justru malah kecurigaan berlebihan terhadap DDII dan Wahabisme lebih jelas memperlihatkan “paranoia” lain terhadap gerakan-gerakan Islam yang jelas para aktivisnya ikut berjuang mendirikan negara ini.
Tulisan ringan dan ringkas ini berusaha untuk menarik garis pemikiran gerakan-gerakan semacam DDII kepada pendirinya Mohammad Natsir, terutama berkait dengan pembahasan khusus mengenai pandangannya terhadap negara. Pemikiran Natsir mengenai politik dan masalah-masalah kenegaraan ini hingga masih tetap terlihat dominan memengaruhi kader-kadernya, baik yang masih di DDII maupun yang telah menyebar ke berbagai gerakan lain. Oleh sebab itu, menjadi agak berlebihan dan boleh jadi suatu sikap paranoid lain melihat DDII dan pemikiran-pemikiran Natsir di dalamnya sebagai bahaya dan ancaman bagi NKRI. Pemaparan pemikiran Natsir tentang Islam dan masalah-masalah kenegaraan dalam tulisan ini bersifat reflektif berdasarkan tulisan-tulisan Natsir sendiri mengenai berbagai masalah politik dan beberapa tindakan politiknya yang terekam dalam sejarah.
Natsir dan Karir Politiknya
Muhammad Natsir, pria murah senyum bergelar Datuk Sinaro Panjang ini lebih dikenal orang sebagai seorang pemimpin dan politisi kawakan yang jujur dan lurus. Lahir di sebuah kota kecil berhawa sejuk, Alahanpanjang, Solok, Sumatera Barat tanggal 17 Juli 1908. Karirnya sebagai politisi dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Ketika tahun 1950, dalam usia yang relatif muda (42 tahun) menjabat perdana menteri Indonesia Mosi Integral-nya yang terkenal itu berhasil mengembalikan Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus mengantarkanya duduk di kursi perdana menteri. Kala itu, bentuk negara serikat rentan diobok-obok oleh Belanda yang kelihatan masih sangat ingin menguasai Indonesia. Banyak negara bagian yang dihasut oleh Belanda untuk melakukan pembangkangan. Dengan Mosi Integral, akhirnya Natsir berhasil mengeliminasi kembalinya pihak asing mengkooptasi kedaulatan pemerintahan Republik Indonesia.
Setelah menjadi perdana menteri, karir politiknya banyak dihambat oleh Sukarno karena selalu berseberangan paham sampai akhirnya tahun 1960, kurang dari satu tahun setelah pembacaan Dekrit Presiden tahun 1959, partai yang pernah dipimpinnya, Masyumi, dipaksa membubarkan diri oleh Sukarno. Sejak saat itu, Natsir bersama politisi-politisi masyumi lain lebih banyak bergerak di belakang layar. Terlebih setelah Suharto naik, Natsir dan kawan-kawan yang dicap sebagai “ekstrim kanan” benar-benar disingkirkan dari panggung perpolitikan Indonesia dengan berbagai cara. Natsir pun akhirnya lebih memilih menekuni bidang dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang mengantarkannya menjadi Wakil Presiden Rabithah Alam Islami yang bermarkas di Karachi sampai akhir hayatnya tahun 1993.
Bila melihat secara ringkas karir politik Natsir di atas, tentu Natsir bukan hanya sosok politisi biasa. Ia adalah seorang politisi-ideolog yang saat ini jarang ditemui di negeri ini. Sebagai politisi-idoelog, Natsir pasti tidak berpolitik karena kepentingan pribadinya semata untuk mendapatkan keuntungan duiawi. Ia berpolitik karena suatu keyakinan yang membentuknya, yaitu Islam. Dari keyakinan ini pula, ia bertindak di dunia politik berdasarkan apa yang diyakininya sebagai bagian dari ajaran Islam yang dipegangnya. Pemikiran dan tindakan politiknya inilah yang menjadi bukti otentik tentang bagaimana sikapnya terhadap politik. Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan secara panjang lebar pemikiran politik Natsir, melainkan hanya akan mengulas sepintas mengenai tata negara Islam yang dianggap oleh Natsir sebagai bagian dari ajaran dan pemikiran Islam.
Natsir dan Gagasan Negara Islam Indonesia
Mengenai sikap politik Natsir yang sangat berpihak pada Islam sudah tidak perlu dijelaskan panjang lebar. Natsir boleh dikatakan sebagai wujud hidup politisi Muslim yang berpijak pada ideologi secara kokoh. Natsir tidak pernah mau menggadaikan ideologi dan keberpihakannya pada Islam dengan apapun, termasuk jabatan atau harta benda. Ia lebih rela masuk penjara daripada menggadaikan idealisme dan kepercayaannya. Itulah yang dihadapinya ketika harus berhadapan dengan Sukarno setelah pembubaran Masyumi tahun 1960. Sukarno tidak menoleransi siapa saja yang tidak setuju dengan gagasannya yang ingin menggabungkan kelompok nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Natsir berpendirian tegas sejak awal bahwa menggabungkan agama dengan komunisme adalah hal yang mustahil. Oleh sebab itu, ia memilih untuk dipenjara karena menolak gagasan Natsir dan bahkan ikut memprotesnya melalui gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Akan tetapi kekukuhan Natsir dalam memegang Islam sebagai ideologi politiknya tidak membuatnya bersikap hitam putih terhadap politik. Hitam putih di sini artinya bahwa yang disebut “politik Islam” adalah politik yang ada dalam satu “Negara Islam”, “Daulah Islam”, atau “Khilafah Islam”. Mereka yang mengartikan politik berlandas ideologi Islam seperti itu tidak mengerjakan hal lain selain berniat untuk mendirikannya. Pada saat yang sama sistem dan konstelasi politik yang ada dianggap sebagai politik kafir atau minimal politik yang mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bâthil yang harus dijauhi dan tidak bisa dijadikan alat politik untuk mendirikan negara Islam impian mereka. Satu-satunya jalan, bagi kelompok ini, untuk mendirikan negara Islam adalah melalui dakwah dan jihad. Dakwah bertujuan menyadarkan umat untuk menerima negara Islam atau Khilafah Islam, sementara jihad adalah gerakan militer (perang) untuk merebut dan mengambil-alih kekuasaan. Ada lagi yang menghindari jihad, melainkan berusaha meyakinkan kekuatan politik yang ada untuk mengubah negara dan kekuasaannya menjadi Islam.
Walaupun cara-cara di atas bisa saja dilakukan untuk mewujudkan negara Islam, namun Natsir bukan tipikal politisi-Islam seperti itu, terutama dalam konteks Indonesia. Terlebih dahulu Natsir meletakkan Indonesia ini sebagai negara yang telah diperjuangkan kelahirannya agar bebas dari kekuatan Penjajah Belanda. Perjuangan Natsir dan pejuang kemerdekaan lainnya bukan perjuangan dari titik nol. Ini adalah perjuangan yang telah berlangsung lebih dari satu abad sebelumnya ketika Belanda berhasil menjadikan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam, baik di Jawa maupun di pulau lainnya menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejarah mencatat nama-nama yang patut mendapat sanjungan sejarah karena kebernaian mereka menentang kezhaliman Belanda seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Antasari, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan nama lainnya.
Kalau dilihat dari genealogi perjuangan melawan Belanda, yang mula-mula mewariskan perjuangan ini adalah para pejuang dari bekas-bekas kerajaan Islam. Mereka memperjuangkan satu negeri yang sebelumnya telah diperintah atas nama Islam. Menjelang Belanda datang dan kemudian menguasai wilayah ini, tidak satu pun wilayah di kepulauan ini yang tidak dikuasai atas nama satu kerajaan Islam. Kalau dipersentase, mungkin kurang dari lima persen saja wilayah yang dikuasasi raja-raja tradisional. Barangkali yang paling masyhur hanya kerajaan Batak di Sumatera Utara yang diperintah oleh raja-raja Sisingamangaraja. Itupun tidak mungkin Kerajaan Batak mempunyai kekuatan besar tanpa membangun koalisi dengan Kerajaan Aceh Darussalam yang tersohor amat kuat hingga tidak mudah ditaklukkan Belanda. Oleh sebab itu, yang diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan adalah mengembalikan “kerajaan-kerajaan Islam” yang sempat hilang. Memerdekakan Indonesia bukan membuat “Indonesia baru” yang ahistoris dari para pewarisnya. Indonesia yang dimerdekakan kemudian adalah tanah yang sebelumnya dimiliki kejaraan-kerajaan Aceh, Deli, Melayu, Indragiri, Palembang, Banten, Cirebon, Mataram, Banjar, Kutai, Gowa, hingga raja-raja kecil Muslim di Jazirah Maluku.
Oleh karena tanah ini adalah tanah warisan kerajaan-kerajaan Islam, maka sudah pada tempatnya bila kemudian para pejuang Islam mendesak dalam rapat-rapat BPUPKI menjelang Kemerdekaan agar syariat Islam diakomodasi secara khusus dan istimewa di dalam sistem ketatanegaraan negara baru ini. Itulah kemudian yang disepakati saat ditandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Ketika terjadi manipulasi politik dengan digagalkannya Piagam Jakarta melalui kesepakatan semu 18 Agutus 1945, para pejuang Kemerdekaan dari kalangan Islam tidak patah arang sampi di situ. Perjuangan untuk memelihara warisan raja-raja Islam terus dilanjutkan. Kopromi politik tercapai dengan tetap mempertahankan negara ini tidak menjadi sekuler, walaupun dipimpin oleh Sukarno yang sangat pro terhadap gerakan Musthafa Kemal di Turki yang melakukan sekularisasi Turki seutuhnya. Sila Pertama Pancasila menjadi monumen tetap bertahannya Indonesia dalam kendali agama. Setelah itu, kompensasi politik berupa dibentuknya departeman agama tidak bisa ditolak oleh semua pihak. Dalam rumus negara sekuler manapun tidak mungkin agama masuk menjadi bagian dari urusan publik. Ia tetap merupakan urusan privat yang tidak perlu secara langsung diurusi oleh negara. Ketika ada kesempatan untuk merancang kembali konstitusi antara tahun 1956-1959, para pejuang Kemerdekaan dari kalangan Islam ini kembali mengusulkan sekuat tenaga agar Islam menjadi dasar negara bagi negara baru ini. Walaupun akhirnya mereka gagal karena Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun apa yang mereka perjuangkan memperlihatkan kesadaran penuh bahwa mereka tengah memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka sebagai pewaris raja-raja Muslim di seluruh tanah air, bukan sebagai pewaris Belanda yang kafir dan menularkan penyakit sekularisme ke dalam tubuh rakyat Indonesia.
Kesadaran seperti inilah yang terlebih dahulu dipegang oleh Natsir ketika meletakkan negara baru bernama Indonesia ada pada posisi apa. Bagi Natsir, negara ini sama sekali bukan negara kafir. Negara ini adalah pewaris kerajaan-kerajaan Islam yang secara de facto menjadi bagian dari wilayah geografis negara Indonesia yang secara nekat diproklamasikan 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, negara ini adalah negara Islam atau setidaknya negara milik umat Islam. Pancasila yang akhirnya menjadi dasar negara pun bukan cerminan kekafiran atau hanya sekadar kesekuleran. Justru Pancasila memperlihatkan bahwa Islam masih sangat kuat tertanam dalam ideologi bangsa ini. Disepakatinya Pancasila menjadi bukti paling otentik bahwa negara ini masih berada dalam pangkuan Islam. Tidak mengherankan bila dengan sangat meyakinkan Natsir menulis artikel berjudul “Pancasila Akan Layu Apabila Diserahkan Kepada PKI”. Artikel ini ditulisnya saat ia melihat kesewenang-wenangan Sukarno ingin memasukkan PKI dan ideologi komunisme yang anti-agama menjadi bagian dari negara ini melalui jargon Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom) yang digembar-gemborkannya selepas Dekrit 5 Juli 1959. Sebetulnya hal yang sama juga diyakini Natsir, yaitu apabila Pancasila diserahkan kepada orang-orang sekuler yang anti-agama atau apatis terhadap agama.
Natsir amat sadar bahwa saat negara ini merdeka, ada tantangan ideologi baru yang mengancam negara, yaitu sekularisme dan komunisme. Kedua ideologi ini hendak mengancam Pancasila yang jelas-jelas pro-agama. Sementara sekularisme dan komunisme adalah gerakan anti-agama. Sebagian pengusung kedua idoelogi asing ini ada juga yang berhasil masuk ke dalam kekuasaan; bahkan menduduki jabatan-jabatan tinggi dan strategis di negara baru ini. Akan tetapi, walaupun orang-orang sekuler ini berada dalam kekuasaan dan berusaha sekuat tenaga untuk mengubah wajah negara ini sesuai dengan ideologi mereka, namun tidak serta merta membuat status negara ini menjadi “negara kafir”. Negara ini tetap warisan kerajaan-kerajaan Islam, walaupun kini dihadapkan pada ancaman akan disekulerkan atau dikomuniskan. Inilah yang dihadapi para pejuang Islam selepas kemerdekaan: tetap mempertahankan Islam di negara warisan raja-raja Muslim ini.
Oleh sebab negara ini sejak semula merupakan negara Islam yang dihuni oleh mayoritas Muslim, maka Natsir berada pada pihak yang tidak setuju ketika Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) tahun 1949 di Garut. Ia menilai bahwa apa yang dilakukan Karto—terlepas dari haknya untuk melakukan ijtihad dan gerakan politik—tidak produktif untuk perjuangan Islam. Konon NII ini didirikan karena kekecewaan pada Perjanjian Renville yang menyerahkan sebagian besar wilayah RI ini kepada Belanda, termasuk Priangan Timur yang akhirnya diklaim oleh Kartosuwiryo untuk NII-nya itu. Natsir melalui juru rundingnya dari Masyumi, Mohammad Roem, membuktikan bahwa kekhawatiran itu berlebihan. Bahkan, Natsir melalui “Mosi Integral”-nya di Parlemen saat ia menjabat Ketua Umum Partai Masyumi berhasil mempersatukan wilayah yang tercerai-berai melalui RIS (Republik Indonesia Serikat) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1950. Atas pembuktian ini, seharusnya Karto mau berkompromi dengan Natsir dan Masyumi dan kembali sama-sama mempertahankan negara baru ini agar tetap ada dalam pangkuan Islam. Sayang sekali, Karto tidak bersedia untuk bernegosiasi dan memilih untuk melanjutkan perjuangannya mendirikan NII. Perang pun tidak dapat dihindari. Dua belas tahun sejak 1950 hingga 1962, Karto yang membangun Tentara Islam Indonesia (TII) harus berhadap-hadapan dengan saudara sendiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Musim politik sudah berganti bagi Natsir. Kini ia pun harus menjadi seteru politik Sukarno yang berada di kubu sekuler, sekalipun Sukarno tidak pernah mengakui posisi sekulernya itu. Natsir harus mengakui kepiawaian Sukarno berpolitik. Tahun 1960, partai Masyumi dibubarkan. Para aktivisnya, termasuk Natsir tidak boleh lagi berpolitik. Sebagian besar dipenjarakan karena dianggap “kontra-Revolusi”. Bahkan ketika Sukarno tumbang di tangan Suharto pun, kebebasan berpolitik Natsir dan kawan-kawan masih belum bisa pulih. Akhirnya, Natsir menempuh jalan lain untuk menuju kepada politik, yaitu melalui dakwah. “Dulu kita berdakwah melalui politik; sekarang kita berpolitik melalui dakwah,” begitu kira-kira pesan Natsir ketika menderikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. Dalam posisi itupun, seikap Natsir terhadap negara ini tidak berubah. Ia tetap menganggap negara ini sebagai warisan para raja Muslim; negara ini bukan negara kafir. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak berniat untuk mendirikan negara baru atau menggantikan negara ini dengan nomenklatur yang lain. Tidak juga terbersit dalam pikirannya untuk mendirikan Negara Islam (Daulah Islam) di Indonesia ini. Ia tetap menganggap negara ini sebagai bukan negara kafir! Walaupun kali ini, ia harus mengakui kekalahannya dalam politik praktis. Akan tetapi, ia masih sangat leluasa mempersiapkan generasi-generasi berikutnya untuk melanjutkan estafeta perjuangannya dalam memelihara negara ini tetap ada dalam pangkuan Islam; agama induk dari negara ini.
Pemikiran Natsir tentang Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Indonesia
Berdasarkan pengakuan bahwa Indonesia sebagai bukan negara kafir inilah Natsir memiliki pijakan kokoh untuk mendorong terlaksananya prinsip-prinsip ketatanegaraan Islam di bumi Indonesia warisan para Wali ini. Lalu bagaimana pemikirannya tentang ketatanegaraan Islam yang diinginkannya bagi Indonesia? Inilah pertanyaan berikut yang akan coba kita telusuri jawabannya dari beberapa tulisan dan kejadian sejarah yang dialami Natsir.
Pemikiran Natsir tentang ketatanegaraan lebih banyak dipraktikkan daripada dituliskan, karena dalam hal ini ia adalah seorang praktisi yang terjun langsung mewujudkan sistem ketatanegaraan Indonesia semenjak ia duduk menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) atau semacam DPR sekarang, tiga kali menjadi menteri penerangan, menjadi perdana menteri, hingga ikut dalam perdebatan-perdebatan Konstituante (1956-1959) sebagai wakil dari Masyumi. Walaupun begitu, apa yang dilakukan Natsir selama ia aktif di parlemen dan pemerintahan Republik Indonesia secara pemikiran memiliki pijakan yang kuat dari tradisi pemikiran Islam tentang politik dan pemerintahan. Pemikiran pokoknya tentang sistem kenegaraan dalam Islam tertuang dalam salah satu artikelnya berjudul “Mungkinkah Al-Quran Mengatur Negara.” Artikel ini kemudian diterbitkan ulang oleh Endang Saefudin Anshari dalam satu kumpulan tulisannya khusus tentang politik berjudul Agama dan Negara dalam Perspektif Islam (2001).
Dalam tulisannya ini, Natsir berkesimpulan bahwa mengenai masalah politik, Islam tidak mengatur sampai kepada masalah-masalah yang detail dalam sistem ketatanegaraan. Islam hanya mengatur masalah-masalah pokok dalam politik yang tidak boleh berubah sepanjang masa. Di antara masalah-masalah pokok tersebut adalah pertama, kriteria pemimpin. Di dalam Al-Quran maupun hadis banyak sekali dijelaskan tentang criteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang hendak memikul amanah umat. Seorang pemimpin haruslah orang yang beriman, jauh dari maksiat, berakhlak baik, dan memiliki kecakapan memadai untuk menjalankan tugas-tugasnya. Kriteria umum ini ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis untuk menjadi pegangan sepanjang masa bagi manusia. Kriteria teknisnya dapat dirumuskan sendiri oleh manusia. Hanya saja, kriteria umum di atas tidak boleh berubah untuk menjamin kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Pokok ajaran Islam yang kedua dalam hal politik adalah keharusan pengambilan keputusan melalui “musyawarah”. Perintah ini termaktub dalam Al-Quran, hadis Nabi, dan praktik kekuasaan Khulafaur-rasyidun. Musyawarah digunakan untuk mengambil keputusan yang belum secara tegas diatur di dalam Al-Quran maupun sunnah. Musyawarah dilakukan bersama dengan ahli-ahlinya. Adapun bagaimana teknis musyawarah itu dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada kreativitas kaum Muslim.
Ketiga, di dalam Islam ditetapkan hak dan kewajiban apa yang dipikul oleh pemimpin dan yang dipimpinnya sekaligus secara garis besar. Misalnya, pemimpin wajib menjalankan amanah sedangkan yang dipimpin wajib taat pada pemimpin selama memerintahkan hal yang tidak bertentangan dengan syariat. Pemimpin berhak mendapatkan fasilitas untuk memenuhi kebutuhannya selama bekerja atau keluarganya, sementara yang dipimpin berhak meluruskan pemimpin apabila berada di jalur yang salah sebagai bagian dari amar ma’ruf dan nahyi munkar. Berbagai hak dan kewajiban lain yang sifatnya mendasar ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis.
Keempat, Islam juga mengharuskan kekuatan politik Islam untuk menetapkan hukum dasar dalam bermasyarakat sesuai dengan yang ditetapkan Al-Quran dan sunnah. Dalam perkara hukum dan perundangan ini, Islam mengatur hukum yang tidak berubah mengikuti perubahan zaman seperti hukum yang berkaitan dengan kriminalitas antara lain: pembunuhan, perzinaan, dan pencurian. Terhadap masalah-masalah seperti ini terdapat aturan yang qoth’i di dalam Islam yang tidak boleh diubah-ubah pada zaman manapun sehingga negara harus pula menjadikannya sebagai hukum dasar. Aturan-aturan bermasayarakat lain yang juga qoth’i seperti zakat, wakaf, nikah, talak, cerai, rujuk, waris, wasiat, larangan riba, etika jual-beli, dan semisalnya yang tegas-tegas diatur dalam Al-Quran dan Sunnah juga harus diakomodasi oleh negara Islam.
Itulah aturan-aturan pokok dalam penyelenggaraan negara menurut Islam.Sisanya yang tidak diatur dalam Al-Quran dan Sunnah secara tegas diserahkan kepada manusia untuk menentukannya. Manusia dipersilakan untuk memusyawarahkannya berdasarkan prinsip kemaslahatan umat. Dalam konteks ini pula Natsir menyetujui istilah “demokrasi”. Ia sama sekali tidak setuju demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi sekuler yang boleh membuat aturan-aturan baru yang bertentangan dengan Al-Quran. Demokrasi hanya boleh membicarakan masalah-masalah yang tidak secara qoth’i diatur di dalam Al-Quran dan Sunnah. Ini berarti Natsir menolak filsafat dasar demokrasi yang meletakkan manusia (suara rakyat) sebagai penentu utama kekuasaan politik. Demokrasi semacam ini dinilainya sebagai demokrasi sekuler yang akan banyak bertentangan dengan aturan-aturan Islam.
Pemikiran pokok tentang politik ini hampir sama dengan semua pemikir Muslim lainnya saat itu seperti A. Hassan, H. Agus Salim, Prof. Kahar Mudzakkir, Hasbi Ash-Shiddiqy, dan sebagainya. Khusus mengenai pemikiran Natsir ini, saat ia menjabat sebagai ketua umum Masyumi antara tahun 1952 hingga 1960, ia sempat meminta kepada Prof. Ahmad Syalabi untuk menuliskan pokok-pokok pikiran tentang negara dan politik di dalam Islam secara lebih rinci dan sistematis. Ahmad Syalabi, intelektual Mesir yang saat itu tengah menjadi visiting professor di beberapa perguruan tinggi Islam di Jakarta dan Jogja atas permintaan departemen agama menyanggupinya. Ia kemudian menuliskan pemikiran politik yang inti pikirannya sejalan dengan Natsir dan politisi Islam lainnya dalam As-Siyâsah fî Al-Fikr Al-Islâmy. Para pembaca yang berminat silakan merujuk pada buku tersebut untuk mengetahui secara lebih detail pemikiran-pemikiran politik Islam yang dipegang oleh tokoh-tokoh Masyumi seperti Natsir.
Pemikiran-pemikiran Natsir tentang tata negara inilah yang kemudian ia praktikkan saat ia menjadi politisi. Akan tetapi, pada saat yang sama ia harus berhadapan dengan kelompok-kelompok sekuler yang juga ingin memaksakan ideologi mereka. Bagi kelompok sekuler pemikiran politik yang mereka usulkan semata-mata datang dari pemikiran dan falasafah Barat tentang masalah ini. Mereka mempromosikan demokrasi, namun bukan demokrasi terbatas seperti yang dipikirkan Natsir. Demokrasi yang dimaksud berdasarkan falsafah asalnya dari Yunani yang dalam konteks modern diasaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (human right) yang menjamin sepenuhnya kebebasan manusia. Demokrasi semacam ini adalah demokrasi liberal sebagaimana yang dikenal dan dipraktikkan di Barat.
Dalam politik Indonesia, itulah tantangan paling berat yang dihadapi Natsir. Ia tahu bahwa ini merupaka ancaman serius bagi politik Islam. Sebagian pemikiran politik sekuler ini ada yang berhasil disusupkan dalam sistem ketatanegaraan dan sistem perundangan di negara ini. Bertahannya KUHP model Belanda hingga saat ini menjadi salah satu contoh tantangan nyata bagi politik Islam yang menghendaki masalah-masalah pidana yang banyak aturanya dalam Al-Quran dan Sunnah dilandaskan pada Islam, bukan pikiran liberal Belanda. Jelas ini merupakan kekalahan politik Islam di Indonesia. Walaupun begitu, Natsir tidak serta merta bersetuju bahwa negara ini telah berubah menjadi negara “kafir” gara-gara kemenangan kelompok sekuler dalam beberapa hal. Sepanjang dasar negara ini Pancasila yang masing memperlihatkan keberpihaknnya pada Islam, negara ini masih belum bisa dikatakan negara kafir. Aturan yang sekuler hanyalah pertanda kekalahan gerakan politik Islam yang harus menjadi catatan umat Islam dan gerakan politik Islam sejati. Menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara radikal untuk diganti—misalnya—dengan Daulah Islam, Negara Islam Indonesia, atau label apa saja yang berbau “Islam” bisa jadi bukan merupakan solusi kemenangan politik Islam. Sebab, sejak Kemerdekaanya Indonesia telah diperjuangkan untuk menjadi negara berbasis Islam. Sebagian hasilnya sudah jelas terlihat. Hanya perlu waktu untuk menyempurnakan kemenangan Islam. Hanya perlu waktu untuk menguji kesungguhan dan kerja keras umat Islam dalam mewujudkan cita-citanya.
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar – Sejarawan & Pembina Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Daftar Bacaan
Bachtiar, Tiar Anwar (ed.). 2012. Risalah Politik A. Hassan. Jakarta: Pembela Islam
Bruinessen, Martin van (ed.). 2014. Contemporary Development in Indonesian Islam; Explaining the “Conservative Turn”. Singapura: ISEAS
Hwang, Julie Chernov. 2011. Umat Bergerak; Mobilisasi Damai Kaum Islamis di Indonesia, Malaysia,d an Turki. Jakarta: Freedom Institute
Madinier, Remy. 2013. Partai Masjumi; Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral. Bandung: Mizan Pustaka
Natsir, Mohammad. 2001. Agama dan Negara dalam Perpektif Islam. Jakarta: Media Dakwah.
_______________. 2003. Capita Selekta Jil. I-III. Jakarta: Media Dakwah
_______________. 2009. Politik Melalui Jalur Dakwah. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Noer, Deliar. 2000. Partai Islam di Pentas Nasional; Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Mizan Pustaka
Syalabi, Ahmad. 1983. As-Siyâsah fi Al-Fikr Al-Islâmy. Cairo: Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyyah.
Wahid, Abdurrahman (ed.). 2009. Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Maarif Institute dan Wahid Institute