Persatuan Islam (PERSIS) dan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan dua organisasi masyarakat Islam di Indonesia. NU dikenal sebagai ormas Islam paling besar pengikutnya di Indonesia – beberapa sumber menyebut terbesar di dunia. Sementara, PERSIS merupakan ormas yang jumlah pengikutnya jauh lebih sedikit, tetapi pengaruhnya cukup menggema khususnya dalam menyuarakan ide pemurnian Islam.
Apabila ditinjau secara kronologis, PERSIS lahir lebih dulu dari NU. Jarak usianya terpaut sekitar dua setengah tahun lebih tua. PERSIS didirikan di Bandung pada 12 September 1923. Sedangkan, NU lahir berselang tiga tahun setelahnya di sebuah kota pelabuhan sebelah timur Pulau Jawa yaitu Surabaya pada 31 Januari 1926.
Meski dua ormas Islam ini berdiri pada awal abad ke-20, keduanya memiliki perbedaan pandangan keagamaan yang mencolok. PERSIS menyatakan diri sebagai organisasi modern yang berkomitmen untuk membersihkan takhayul, bid’ah, dan khurafat dari ajaran Islam. Dalam pandangan organisasi ini, hal-hal tersebut menjadi salah satu penyebab kemunduran Islam. Karena itu, PERSIS sangat kritis terhadap tradisi atau ritus yang diklaim sebagai bagian dari ajaran Islam, namun dalilnya tidak dijumpai dalam Al-Quran maupun Sunnah.
Sementara itu, NU muncul untuk mempertahankan tradisi dan ritus keagamaan yang menjadi sasaran kritik organisasi Islam modern seperti PERSIS. Tradisi bermazhab yang telah mapan dibela oleh NU dengan asumsi bahwa setiap Muslim tidak bisa langsung merujuk pada Al-Quran dan Sunnah. Oleh sebab itu, umat Islam diwajibkan mengafiliasikan diri pada salah satu mazhab yang telah masyhur di dunia Islam yaitu Hanafi, Maliki, syafi’i dan Hambali.
Perbedaan pandangan keagamaan yang signifikan sempat membuat aktivis dari PERSIS maupun NU berselisih paham pada awal perkembangannya. Meski demikian, tak jarang pula dijumpai momen kedekatan para aktivis dari kedua ormas tersebut. Lantas bagaimana riwayat hubungan antara tokoh PERSIS dan NU?
Ketika Dua Ulama Berdebat
Debat ilmiah (munazharah) di Ciledug, Cirebon pada 24-25 Juli 1932 menjadi saksi pertemuan tokoh PERSIS dan NU dalam ajang polemik keagamaan. Catatan mengenai perdebatan ini terdokumentasikan cukup rapi dalam laporan berjudul Verslag Openbar Debat Talqien (1932) yang diterbitkan oleh PERSIS Bandung.
Perdebatan tersebut melibatkan sejumlah ulama tradisional dan ulama dari ormas Islam modern. Tuan Ahmad Hassan, sebagai guru utama PERSIS tampil sendirian menggugat praktik talqin. Ia menagih dalil berupa hadis sahih tentang pembacaan talqin kepada Haji Abdul Chair selaku pembicara dari ulama tradisional.
Haji Abdul Chair mengemukakan beberapa pendapat para ulama dan sebuah hadis tentang pembacaan talqin. Namun, menurut Tuan Hassan, hadis tersebut dianggap tidak berasal dari perintah langsung Nabi Muhammad Saw.
Ujung dari perdebatan ini Haji Abdul Chair keluar dari forum lantaran mendengar alasan Tuan Hassan yang menyatakan diri keluar dari mazhab. Ia merasa sia-sia jika harus terus beradu argumen dengan orang yang tidak bermazhab. Situasi menjadi gaduh tak terkendali, akibatnya perdebatan ini ditutup oleh panitia acara.[1]
Pada keesokan harinya, panitia acara kembali menggelar debat. Para ulama tradisional merasa lega karena ulama NU dari Surabaya yakni K.H. Abdul Wahab Chasbullah telah tiba di Ciledug. Sontak kini semua pandangan audiens tertuju pada kedua tokoh besar dari PERSIS dan NU, antara Tuan Hassan dan K.H. Wahab Chasbullah.
Tuan Hasaan dan K.H. Wahab Chasbullah saling melempar tanya dan pendapat seraya mengutip Al-Quran, hadis, dan kalam para ulama salaf. Dua ulama ini terlibat diskusi yang mendalam namun tetap menjaga adab, tidak menyerang masing-masing pribadi.
Sehubungan basis argumentasinya berlainan, panitia penyelenggara meminta supaya Tuan Hassan dan K.H. Wahab Chasbullah menuliskan pandangannya untuk disiarkan ke publik. Dua tokoh PERSIS dan NU ini menyetujuinya. Selepas itu, baik Tuan Hassan dan K.H. Wahab Chasbullah mengakhiri debat dengan menyampaikan nasihat kepada para audiens.
Persahabatan Tokoh Besar
Mohammad Natsir dan K.H. Wahid Hasyim merupakan figur Islam terkemuka di Indonesia pada awal kemerdekaan. Dua tokoh ini berjuang bersama walaupun dibesarkan dari tradisi dan ormas yang berbeda.
Natsir sendiri tercatat sebagai aktivis PERSIS yang dibina Tuan Hassan, sedangkan Wahid Hasyim merupakan kiai NU dan putra dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, ulama besar dari Jombang, Jawa Timur.
Kiprah Natsir dan Wahid Hasyim mulai mencuat ketika Tentara Pendudukan Jepang berkuasa di Indonesia. Sejak itu, keduanya terlibat interaksi yang cukup intens dalam usaha memperjuangkan nasib umat Islam di Indonesia.
Tatkala Partai Politik Islam Masyumi didirikan di Yogyakarta pada 7 November 1945, Natsir dan Wahid Hasyim berada di balik ide pendirian partai tersebut. Saat itu, Wahid Hasyim didaulat sebagai Ketua Muda I Majelis Syura Masyumi sedangkan Natsir menjadi anggota Pengurus Besar Masyumi.
Tamar Djaja memberikan keterangan terkait ide pembentukan Masyumi yang berasal dari dua tokoh Islam tersebut:
“Yang lebih menarik lagi, ketika saya mendengar bahwa ide hendak mendirikan Masyumi adalah timbul dari dua orang tokoh muda, yaitu M. Natsir dan Wahid Hasjim sejak zaman Jepang. Kedua orang inilah yang mula-mula mengadakan pertemuan di suatu tempat, mengumpulkan beberapa tokoh pemimpin Islam di Jakarta, untuk membentuk satu badan perjuangan Islam yang kuat.“[2]
Kedekatan dua tokoh PERSIS dan NU ini tampak saat Masyumi diberi kesempatan memimpin pemerintahan. Natsir memercayakan Wahid Hasyim dan Sjafruddin Prawiranegara untuk membantu dirinya saat diberi amanat sebagai formatur kabinet oleh Presiden Sukarno. Lewat usaha mereka, Kabinet Natsir mampu berlayar dengan format zaken kabinet.[3]
Hubungan antara Natsir dan Wahid Hasyim sempat diliputi ketegangan saat NU hendak keluar dari Masyumi. Wahid Hasyim yang masih berstatus sebagai pimpinan Masyumi menyurati Natsir selaku Ketua Umum Masyumi. Putra ulama besar NU ini meminta maaf kepada Natsir atas perbuatan pamannya yaitu K.H. Wahab Chasbullah yang gegabah.[4]
Walaupun pada akhirnya NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri, Wahid Hasyim sebagai Ketua Muda Partai NU tetap menjaga ukhuwah dengan kawan seperjuangan dari Masyumi. Meski berpisah jalan, orang-orang Masyumi masih menghormati pribadi Wahid Hasyim dengan penghargaan yang selayaknya.[5]
Tatkala Wahid Hasyim meninggal dunia akibat kecelakaan mobil, Natsir yang mendengar kabarnya meneteskan air mata sambil berkata, “telah hilang seorang temanku“.[6] Natsir kemudian bertakziah dan turut menyalatkan jenazah Wahid Hasyim.
Berceloteh di Mobil
Momen kedekatan tokoh NU dan PERSIS terekam dengan cukup detil melalui otobiografi K.H. Saifuddin Zuhri, berjudul Berangkat dari Pesantren (2013). Diceritakannya, bahwa suatu hari K.H. Isa Anshary yang menjadi Ketua Umum Pusat Pimpinan PERSIS “nebeng” pada mobilnya sepulang dari rapat DPR.
Isa Anshary tiba-tiba bertanya pada Saifuddin Zuhri. “Saudara akan lewat jalan mana?“[7]
“Ke Jalan Kramat Raya. Mengapa?“,[8] balas Saifuddin Zuhri.
“Saya ikut!“, kata Isa Anshary.[9] Ia meminta supaya diturunkan saja di Kantor PBNU, namun kiai NU yang menyetir mobil bersedia mengantarnya ke Kantor PERSIS di Jatinegara.
“Nanti turunkan saya di kantor PBNU. Biarlah saya naik becak menuju Jatinegara.” tetapi segera dibalas oleh Saifuddin Zuhri, “Biar aku antar, kemana tujuan saudara?“[10]
“Kantor Persis di Jalan Raya Jatinegara!” jawab Isa Anshary. Lantas, Saifuddin Zuhri berujar, “Akan ku antar hingga ke depan pintu kantor PERSIS!“[11]
Di tengah perjalanan, kedua tokoh Islam ini sempat membisu. Sebabnya, bagi Saifuddin Zuhri, ia merasa canggung karena saat itu Masyumi sedang menghadapi dilema akibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat yang di antaranya melibatkan tiga tokoh Masyumi; Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanoeddin Harahap.
Isa Anshary termasuk ke dalam kelompok internal Masyumi yang menentang keputusan tiga orang pimpinannya. Saifuddin Zuhri memberi kesaksian sebagai berikut:
“Agak lama kami masing-masing membisu. Peristiwa pemberontakan PRRI membuatku seperti ada jarak menghadapi kawan-kawan dari Masyumi. Ada semacam rasa kikuk. Meskipun tokoh-tokoh puncaknya yang secara langsung terlibat, tetapi tidak semua tokoh Masyumi setuju PRRI.” tulis Saifuddin.[12]
Kiai NU ini mengenang perkataan Isa Anshary di mobil kala itu. “Medan perjuangan itu di sini, di Jakarta bukan di hutan….!” tiba-tiba K.H. M. Isa Anshary memecah keheningan. Suaranya setengah berteriak. “Seorang pemimpin tidak pantas meninggalkan anak buahnya begitu saja!”, suaranya seperti menahan geram.“[13]
Saifuddin Zuhri melanjutkan, “Aku tak ada keberanian untuk menatap wajah K.H. M. Isa Anshary, juga tak ada keberanian untuk memberi komentar, demi persahabatan dan toleransi.”[14]
Isa Anshary memang masyhur sebagai Ketua Umum PERSIS dan pimpinan Masyumi yang sangat disegani. Dikenal banyak kawan dan lawannya sebagai singa podium yang jika berpidato selalu berapi-api. Isa Anshary giat beragitasi menentang ideologi yang diusung PKI dan PNI.
Lama kelamaan, Isa Anshary berbeda pandangan dengan sejumlah pimpinan Masyumi. Perbedaannya terletak pada strategi dan taktik membela Islam sebagai dasar negara. Natsir cenderung berkompromi dengan kelompok pengusung Pancasila, sedangkan Isa Anshary bersikeras membela Islam agar goals menjadi dasar negara.
“Tapi aku paham kepada siapa sindiran dalam nada amat marah itu ditujukan“, sambung Saifuddin. Kemudian, kiai NU ini mengenang sembari mengakui Isa Anshary sebagai sahabatnya, “ketika tiba di Kantor PERSIS sahabatku itu turun, tak lupa mengucapkan terima kasih sambil mengelus tanganku.“[15]
Hubungan yang terjalin antara tokoh PERSIS dan NU pada dasarnya berlangsung cair dan dinamis. Kisah di atas menunjukkan bahwa sekalipun para pendahulu PERSIS dan NU sempat berselisih paham, tetapi mereka bersepakat pada satu kepentingan yaitu memperjuangkan supaya Islam rahmatan lil alamin terwujud di Indonesia. Namun, belakangan, para pemimpin kedua ormas ini malah bersepakat pada satu kepentingan; menerima izin konsensi tambang dari pemerintah yang justru merusak kelestarian alam.
Oleh: Naufal Al-Zahra – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dan Penulis Buku Romantika Perjuangan Masyumi dan NU (RPMN)
[1] Verslag Openbar Debat Talqien. Bandung: PERSIS, 1932, hlm. 10
[2] Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim. Bandung: Mizan, 2013, hlm. 305-306.
[3] Lihat artikel pada kolom “Dari Dewan Pimpinan”. Suara Partai Masjumi, No. 2, Februari 1951.
[4] K.H. Wahab Chasbullah selaku ulama NU dan Ketua Majelis Syura Masyumi merupakan sosok yang paling vokal menyuarakan supaya NU keluar dari Masyumi. Lihat dalam Naufal A., Romantika Perjuangan Masyumi & NU. Yogyakarta: Pro-U Media, 2024, hlm. 200.
[5] Lihat artikel pada kolom “Untuk Kenang2an”. Suara Partai Masjumi, No. 4-5, April-Mei 1953.
[6] Aboebakar, Op cit, hlm. 312
[7] Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta: LKis, 2013, hlm. 570.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.