Sepenggal senja sekitar tahun 2011 atau 2012 – ketika saya masih menimba ilmu di Bandung- di antara Amphiteater dan Galeri Labtek IX B Gedung Arsitektur ITB, , ada pemandangan tak biasa.
Seorang tokoh nasional, pengasuh Pondok Tebu Ireng, KH Ir. Shalahuddin Wahid atau yang dikenal sebagai Gus Sholah tampak sedang menikmati suasana bersama beberapa orang lainnya.
Belakangan saya baru tahu mengapa beliau hadir di gedung kuliah kami, setelah saya membaca Direktori Alumni Arsitektur ITB di perpustakaan dan saya tanyakan langsung kepada Gus Sholah beberapa tahun kemudian, bahwa Gus Sholah adalah seorang Insinyur jebolan Arsitektur ITB.
“Gus, anda kan anak Kiai Besar dan sekarang Gus sendiri mengasuh Pesantren Tebu Ireng , mengapa dulu anda malah kuliah di ITB?” tanya saya – saat itu saya sudah menjadi wartawan–beberapa tahun kemudian pasca kehadirannya di Galeri Arsitektur ITB.
“Anda sendiri mengapa kuliah di sana?” kata Gus Sholah sambil tersenyum. Begitu lah Gus Sholah. Berbincang dengan Gus Sholah, kita harus siap ditanya kembali.
“Kalau menurut kamu bagaimana?”
“Menurut pandangan kamu baiknya memang seperti apa?”
“Coba tolong jelaskan seperti apa maksudnya?”
“Menurut saya sepertinya begini, kalau menurut anda sendiri seperti apa?”
Terpaut usia nyaris setengah abad, tidak membuat Gus Sholah merasa sungkan untuk meminta pendapat orang yang diajak bicaranya. Beliau selalu ingin mengajak orang lain ikut berdiskusi hangat.
Beliau tak pernah merasa sungkan untuk mendengarkan pendapat-pendapat bahkan dengan orang yang jauh muda sekalipun. Banyak dikisahkan bahwa ketika beliau menjadi Kiai, beliau sendiri duduk menyimak pengajian ustaz-ustaz di beberapa tempat.
Sepenggal tahun 2014, saya meminta waktu untuk mewawancarainya terkait tema Dari Pesantren untuk Indonesia dalam tabloid Alhikmah. Saya diminta datang ba’da zuhur di kediamannya yang di Jakarta, di daerah Mampang. Dalam pesannya, sampai beliau memberi patokan untuk bisa sampai rumahnya.
Di sana, beberapa tokoh lintas agama baru selesai mengadakan pertemuan. Sambil menyambut hangat beliau berkata,” Maaf, saya bereskan dulu ruangannya, baru selesai pertemuan dengan tokoh-tokoh lintas agama. Kami mengadakan pertemuan rutin,” kata Gus Sholah dengan sarung menggantung, sebagai ciri khasnya.
Tak hanya membincang pesantren, Gus Sholah juga banyak menceritakan tentang ayahnya, KH Wahid Hasyim dan kakaknya, Gus Dur. Juga tentang NU, Masyumi, keindonesiaan, Keislaman dan pandangan-pandangannya tentang pendidikan.
Bercerita tentang KH Wahid Hasyim misalnya, beliau memang mengakui bahwa tidak terlalu mendalam memiliki kisah dengan ayahnya, karena ketika KH Wahid Hasyim meninggal dalam kecelakaan, Gus Sholah masih berusia masih duduk di bangku kelas 3 SD pada usia 10 tahun.
Namun, ada kejadian yang masih diingat Gus Sholah tentang ayahnya. “Saya masih ingat, saat di Tebu Ireng, saya pernah memecahkan bohlam. Akhirnya saya dikurung Bapak di dalam gudang,” kenang Gus Sholah.
Namun, karena jengkel, di dalam gudang beras itu, Gus Sholah malah mengencingi beras di sana. “Ketika mengetahui perbuatan saya tadi, saya malah dijatuhi hukuman yang lebih berat oleh Bapak. Saya diikat di tiang di depan rumah dalam keajaan telanjang, dari pagi sampai sore,” kenag Gus Sholah sambil tertawa.
Belakangan baru setelah dewasa, dari kejadian itu, Gus Sholah belajar bahwa KH Wahid Hasyim mendidik anak-anaknya agar bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Tentang hal shalat dan al Qur’an misalnya, keluarga Kiai Wahid dan Nyai Solichah cukup ‘keras’ hingga tidak segan memukul anak-anaknya jika malas-malasan shalat.
“Ia sangat disiplin dalam menerapkan pendidikan kepada mereka, Tidak segan-segan ia memukul anak-anaknya dengan sisir ataupun penggaris jika mereka mengabaikan kewajiban menjalankan shalat,” kata Ali Yahya dalam buku Sama tapi Berbeda; Potret Keluarga Besar KH Wahid Hasyim ( Yayasan KH Wahid Hasyim: 2007).
Dalam urusan agama, menurut Gus Sholah, ayahnya sangatlah tegas. Namun, dalam keseharian, sangatlah ramah baik dalam perkataan, perbuatan hingga sering berkelakar.
“Walaupun beliau menteri, beliau bisa mengatur waktu sehingga di akhir pekan kami beberapa kali diajak berlibur seperti ke Puncak, dan tempat lainnya. Tempat paling sering dikunjungi adalah toko buku, bahkan kami biasa dihadiahi buku,” katanya.
Gus Sholah mendapat banyak cerita tentang Gus Wahid Hasyim justru dari mertuanya sendiri KH Saifuddin Zuhri, yang menjadi salah satu murid dan orang terdekat KH Wahid Hasyim. Sebagian kisahnya ditulis dalam buku Berangkat dari Pesantren (1987) dan Guruku Orang-orang Pesantren (1974).
“Ini menariknya tentang ayah. Jadi, mengapa saya bisa kuliah di ITB? Sebenarnya sih saya sempat mau pindah jurusan, tapi tidak diizinkan dosen pembimbing saya,” kata Gus Sholah berkelakar.
“Jadi, justru walaupun Bapak Kiai, pimpinan Tebu Ireng, bapak tidak memasukkan kami anak-anaknya ke Pesantren, pada akhirnya kami diberi kebebasan kemana pun kami belajar, tapi Bapak dan Ibu selalu menekankan akhlak, bukan gelar.” kenang Gus Sholah.
Dalam Sama tapi Berbeda; Potret Keluarga Besar KH Wahid Hasyim (2007: hal. 94) disebutkan bahwa anak-anak KH Wahid Hasyim: Gus Dur, Gus Sholah, Aisyah Hamid, Umar bersekolah di Sekolah Rakyat KRIS, dan pindah ke SD Perwari karena pindahnya kediaman keluarga Gus Wahid ke Jl. Taman Matraman Barat no 8.
“Kedua sekolah tersebut bukan sekolah yang dikelola organisasi Islam. Justru di sekolah tersebut saya bertemu anak tokoh-tokoh nasional beragam latar seperti putri Pak Sartono (Ketua DPR), putri Pak Wilopo. Saya menduga Bapak bermaksud ingin menanamkan rasa kebangsaan dalam diri putra putrinya,” kata Gus Sholah.
Bersekolah di sekolah umum yang bukan milik pemerintah, kata Gus Sholah, tidak lantas ia tidak belajar agama. “Justru ayah dan ibu langsung mengajarkan agama, mengajarkan al Quran, tentang akhlak, dan lainnya,” katanya.
KH Wahid Hasyim dan Nyai Solichah memang dikenal sebagai orang yang sangat dekat dengan al Qur’an. Saifuddin Zuhri mencatat dalam keadaan safar, KH Wahid Hasyim kerap kali mengulang hafalannya (murajaah). Dalam keadaan sangat sibuk ketika menjadi menteri, pimpinan Partai Masyumi, berkeliling daerah, KH Wahid selalu menyempatkan membaca al Qur’an.
“Itu selalu dilakukannya baik ketika menghadiri rapat kabinet, sedang berdiskusi sementara dengan pemimpin, atau sedang menyetir mobil sekalipun. Dengan demikian setiap hari selalu ada waktu yang disempatkan untuk meneruskan hafalan al Qur’annya.” (Lihat: Sama tapi Berbeda; Potret Keluarga Besar KH Wahid Hasyim (2007: hal. 35).
Selain menekankan tentang al Qur’an, KH Wahid Hasyim dan Nyai Solichah juga mendatangkan guru khusus untuk mengajarkan ilmu lainnya seperti bahasa arab (nahwu, sharaf, dll). “Saya ingat dulu setelah menamatkan Matan Al Jurumiyah, lanjut ke kitab Imriti,” kenang Gus Sholah.
Ia juga diminta mengaji ke KH Abdullah Syafii di Matraman. Terkadang, kakek Gus Sholah, KH Bisri Syansuri kalau sedang ke Jakarta yang langsung mengajar mereka baik saat kecil maupun remaja. Jika libur sekolah tiba, Gus Sholah diminta nyantri ke Pondok Denanyar.
“Begitulah kami dididik. Dalam memang agama, Bapak memang teguh pendiriannya, tapi menghargai pendapat orang lain dan siap dikritik,” kata Gus Sholah. Bahkan, pendirian tentang keindonesiaan dan keislaman ayahnya, sampai akhir hayatnya tidak berubah.
“Bapak dulu memperjuangkan negara berdasarkan syariat Islam. Upaya itu dilakukan melalui proses yang konstitusional. Menurut saya, itu hal yang sangat wajar, tidak ada yang aneh dan tidak ada yang mencurigakan. Kecuali, apabila beliau melakukannya dengan menggunakan senjata. Sampai wafatya pun saya kira beliau tetap demikian,” kenang Gus Sholah.
Tentang persatuan, Gus Sholah pun mengatakan bahwa ayahnya adalah sosok yang mudah bergaul dan menekankan kesatuan umat. Ketika NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi, KH Wahid Hasyim merupakan salah satu yang tidak sepakat dengan keluarnya NU dari masyumi.
“Kabarnya ayah sendiri yang bertemu Pak Natsir menyampaikan keputusan keluarnya NU tersebut. Namun hubungan mereka hingga ayah wafat tidak ada masalah. Malah salah satu kemampuan ayah adalah dalam menemukan kader potensial seperti Saifudin Zuhri, Prawoto Mangkusasmito dan mungkin Pak Natsir sendiri,” kata Gus Sholah.
Dalam konteks sekarang, Gus Sholah pun mengakui pernah berusaha mengumpulkan partai-partai Islam untuk bersama-sama berjuang. “Saya kira diskusi, silaturahim antar partai Islam sangat diperlukan, karena lebih banyak persamaanya dan ini pernah terjadi di masa silam,” katanya.
Inspirasi sang Ibu
“Walaupun Bapak memiliki prestasi yang spektakuler, tetap saja bagi kami sosok Ibu terasa lebih merasuk ke dalam jiwa kami. Banyak peristiwa yang, kami alami bersama Ibu yang tertanam di dalam ingatan kami dan kemudian menjadi sesuatu yang muncul dari bawah sadar ketika kami menghadapi tantangan dan kesulitan,” tulis Gus Sholah dalam tulisan Pandangan, Kesan dan Pengalaman Gus Sholah (2007).
Menurut Gus Sholah, pasca wafatnya sang ayah, sang Ibulah yang harus membesarkan anak-anaknya. Saat ayahnya wafat, Gus Sholah masih berusia kelas 3 SD, sedangkan kakaknya, Gus Dur dan Aisyah baru lulus dan kelas 5 sd masing-masing.
Praktis, sang Ibu yang harus membesarkan mereka semua yang masih kecil-kecil. Sang Kakek, KH Bisri Syansuri sempat membujuk putrinya, Nyai Solichah untuk kembali ke pondok dan membesarkan anaknya di sana.
“Usul kakek saya agar Ibu kembali ke Jombang justru mempertebal semangat dan keberanian Ibu, Beliau semakin mantap untuk tetap tinggal di Jakarta membesarkan putra-putrinya,” kata Gus Sholah dalam tulisan yang sama.
Apa yang dirintis dan dimulai oleh ayahnya, kemudian dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh Nyai Solichah dalam mendidik putra-putri beliau dan juga di dalam mengikuti kegiatan kemasyarakatan.
“Ibu yang semula hanya dikenal sebagai istri KH.A Wahid Hasyim akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang mempunya karakter tersendiri,” kenang Gus Sholah.
Namun, perjuangan sang Ibu membesarkan anaknya tidaklah mudah kata Gus Sholah. Sebagai Ibu Menteri, ia sampai harus menjual barang-barang pribadinya. Ia pun mencoba berbisnis.
“Ia sediakan kebutuhan beras para pegawai Departemen Agarma. Jual beli mobil pun dilakoninya. Selain itu, ia juga melakukan bisnis batu bangunan dan bambu di Tanjung Priok, Ini dimungkinkan karena waktu itu tidak banyak kalangan pribumi yang mau jadi pedagang, padahal syarat pribumi diharapkan untuk bisa mengikuti tender proyek. Saat berbisnis Ibu Wahid tidak menggunakan nama besar suaminya. Atau dengan istilah sekarang, ia tidak melakukan kolusi dan nepotisme,” tulis Ali Yahya (2007: hal.60)
Sambil berbisnis, Ibu Wahid tetap mendidik anak-anaknya akhlak, disiplin, menanamkan nilai-nilai kehidupan. Ia kerap menghukum anaknya yang tidak mau belajar al Qur’an. Di sela-sela makan malan, Nyai Solichah mendidik anak-anaknya dengan al Qur’an.
“Ibu menjadi inspirasi kami. Walaupun beliau hanya tamatan tsanawiyah, tapi beliau tidak minder, rendah diri dan tidak takut menghadapi tantangan kehidupan. Mungkin karena beliau sendiri sangat dekat dengan al Qur’an,” kata Gus Sholah.
Karenanya, setelah dewasa, menurut Gus Sholah, dirinya dan saudaranya diberikan kebebasan untuk melanjutkan pendidikannya sendiri. Saat itu, menurut Gus Sholah, profesi yang dikenal luas adalah Insinyur, ahli ekonomi hingga dokter, dan Gus Sholah sendiri memilih menjadi insinyur.
“Ibu memberi kesempatan dan mendorong putra putri beliau untuk belajar sampai tingkat setinggi mungkin untuk meraih keberhasilan dalam bidang yang disenangi. Ternyata panggilan jiwa putra-putri ibu lebih kepada menjadi abdi mayarakat sehingga tak ada satu pun yang berhasil menyelesaikan S3, bahkan banyak yang tak bergelar akademis,” kenang Gus Sholah dalam tulisan Pandangan, Kesan dan Pengalaman Gus Sholah.
Sama seperti KH Hasyim Asyari dan KH Wahid Hasyim, Nyai Solichah A Wahid Hasyim dikenal sebagai orang yang dekat dengan al Qur’an dan termasuk penghafal al Qur’an.
Ali Yahya (2007) mencatat bahwa Nyai Solichah terbiasa mengkhatamkan al Qur’an bisa mencapai tiga hari sekali. Ia sedari kecil didik oleh ayahya KH Bisri Syansuri sebagai penghafal al Qur’an.
“Di mobilnya selalu tersedia mushaf al Qur’an. Selain membacanya, ia pun sangat gemar mendengarkannya. Dari kamarnya selalu terdengar suara bacaan Al-Qur’anyang mengalun dari tape-nya. Sampai akhir hayatnya, Ibu Wahid Hasyim tercatat sebagai anggota Dewan Penyantun Institut Ilmu A-Qur’an (IIQ) Jakarta,” tulis Ali Yahya (Sama tapi Berbeda; Potret Keluarga Besar KH Wahid Hasyim : 2007).
Dari inspirasi ibunya, Gus Sholah sendiri mengaku mendapat banyak pelajaran agar selalu sederhana, berani, dekat dengan al Qur’an dan memegang teguh nilai-nilai kehidupan. Kesederhanaan beliau memang sudah sangat dikenal. Ia tak sungkan menyuguhkan sesuatu untuk tamunya.
Ia juga kerap mengambil sendiri sampah di jalanan. Ketika saya mengenalkan komunitas Jejak Islam Bangsa (JIB) dan situs ini , Jejakislam.net dalam perbincangan di kediamannya di Jakarta, Gus Sholah berkata,”Saya apresiasi gerakan ini. Nanti sekalian silakan untuk ke Tebu Ireng , dua pekan lagi saya insya Allah di sana, kita bertemu di sana, di sana ada buku-buku karya Mbah Hasyim juga buku lainnya tentang Pesantren”
Dua pekan kemudian, saya bersama dua orang jurnalis Alhikmah, berkesempatan berkunjung ke Tebu Ireng. Di sana, kami berencana beristirahat di ruangan tempat istirahat tamu karena Tebu Ireng selalu ramai karena banyaknya peziarah ke makam KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdurrahman Wahid.
Namun begitu tahu kedatangan kami, Gus Sholah sudah menyiapkan kamar khusus untuk kami dekat dengan Ndalem beliau, dekat dengan taman di belakang kediamannya. Saat bertemu, beliau pun menyambut kami dan kami meminta nasihat dari Kiai sederhana ini.
Di ujung pertemuan, beliau sendiri mengambil beberapa buku, dan memberikannya kepada kami. Beberapa buku, ia tandatangani langsung, salah satunya adalah buku yang jarang, Sama tapi Berbeda; Potret Keluarga Besar KH Wahid Hasyim yang menjadi sumber rujukan dalam tulisan ini, buku sejarah Tebu Ireng yang dari buku itu saya menulis ‘Sehari Bersama KH Hasyim Asy’ari’, juga buku – buku lainnya.
Beliau pun meminta pimpinan Pondok Tebu Ireng, Ustaz Ainurrafiq untuk menemani kami untuk berkeliling, juga melihat beberapa karya peninggalan para Kiai Tebu Ireng, seperti kitab-kitab KH Hasyim Asy’ari.
Reformasi Pesantren
Februari 2006, Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, KH Yusuf Hasyim (putera bungsu KH Hasyim Asy’ari) menelepon Gus Sholah, karena beliau berencana untuk mundur dan meminta Gus Sholah untuk menjadi pelanjut beliau sebagai Kiai pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng.
Padahal, dua bulan sebelumnya, Desember 2005, Gus Sholah diajak makan malam oleh seorang pejabat tinggi negara.Pada kesempatan itu pejabat bersangkutan menyampaikan tawaran kepada Gus Solah untuk menjadi Duta Besar di Mesir.
Gus Solah bertanya, “Mengapa harus saya dan mengapa di Mesir?”
Setelah dhjelaskan pertimbangan-pertimbangannya, Gus Sholah memahami dan menyatakan kesediaannya. Itu sebelum Kiai Yusuf Hasyim yang karib disapa Pak Ud meminta Gus Sholah mengurus Pesantren.
Beberapa waktu sebelumnya, ternyata Gus Sholah dikabarkan bahwa beliau diminta menjadi Duta Besar di Al Jazair. Pasca telepon Pak Ud, Gus Sholah berpikir bahwa dirinya lebih dapat mengabdi di Tebu Ireng. Ia pun menolak tawaran menjadi Duta Besar.
Salah satu pertimbangannya, ia merasa lebih senang bergaul dengan masyarakat. “Kalau di sana (di Aljazair), teman-teman saya siapa? NU saja belum ada,” selorohnya. (Sama tapi Berbeda; Potret Keluarga Besar KH Wahid Hasyim:2007).
“Bagi saya, menjadi pengasuh itu sebuah kehormatan, saya bersyukur untuk diri saya maupun Tebu Ireng. Di Tebu Ireng, saya bisa melakukan banyak hal, yang tidak mungkin saya lakukan kalau tidak di Tebu Ireng. Tentang terobosan dan kegiatan positif. Saya bisa mendirikan lembaga sosial, studio radio, penerbitan,majalah, klinik, pesantren sains, rumah mualaf, dan masih banyak sekali,” kata Gus Sholah dalam perbincangan hangat di kediamannya di Tebu Ireng.
Padahal, kata Gus Sholah, sudah lama sekali dirinya tidak bersentuhan dengan dunia pesantren, walaupun sejak tahun 1990an akhir dan awal tahun 2000, dia kembali beraktivitas di Nahdatul Ulama.
Kebanyakan aktivitas Gus Sholah sejak masuk ke jurusan Arsitektur ITB pada tahun 1962 adalah pada bidang konstruksi dan arsitektur, hingga ia pun telat lulus kuliah, dan tercatat baru lulus pada tahun 1977 alias lulus dalam waktu 15 tahun, karena sibuk berbisnis di berbagai perusahaan dan berorganisasi ( di Dewan Mahasiswa, Wanadri ,PMII, dan lainnya)
Baru pada tahun 1998, Gus Sholah mengaku meninggalkan aktivitas bisnis konsultannya dan memutuskan fokus menulis, walaupun sebelumnya dia pernah memimpin redaksi majalah Konsultan. “Saya kembali menulis dari awal, puluhan kali saya kirim tulisan ke media, dan ditolak,” katanya sambil tertawa.
Namun ia terus menulis. Walhasil, bahkan sampai beberapa hari sebelum wafatnya, Gus Sholah masih sempat menulis di media massa. Pasca mengasuh Tebu Ireng, seperti disampaikan, Gus Sholah melakukan reformasi terhadap pesantren.
“Dulu Bapak mendirikan Madrasah Nizhamiyah di Tebu Ireng, baru di zaman beliau, Tebu Ireng mulai menggabungkan pendidikan salaf dan pelajaran umum,” kata Gus Sholah.
Ia teringat kisah seorang ulama nusantara, Syaikh Muhammad Basyuni Imran dari Kalimantan yang mengirim surat kepada Al Amir Syakab Arsalan dengan perantara Syaikh Rasyid Ridha. Ulama tersebut menanyakan mengapa umat Islam kian tertinggal.
“Kenapa kita ketinggalan? Lalu jawabannya: ‘sakit’. Dan jawaban itu masih berlaku sampai sekarang. Kita maju tapi orang lain maju lebih cepat. Akhirnya kita merasanya ketinggalan, padahal sebenarnya kita juga maju,” kata Gus Sholah.
Dari sanalah, filosofi pemikiran tentang penggabungan antara ilmu agama dan sains dan ilmu pengetahuan bermula. Memadukan agama dan ilmu pengetahuan.
“Sebetulnya kan ilmu pengetahuan (sekular) buat kita tidak nyambung, dia kan tidak percaya penciptaan, sedangkan kita percaya penciptaan. Tuhan tidak ada dalam ilmu pengetahuan. Kita coba memertemukan itu,” kata Gus Sholah yang saat itu memulai program pesantren sains di Tebu Ireng.
“Pesantren sudah memberikan begitu banyak kepada Indonesia, kepada nusantara ini. Bahkan dalam pembentukan bangsa dan negara, banyak tokoh dari kalangan pesantren. Sebut saja, KH Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakkir, dan lainnya. Pesantren sudah mendarmabaktikan kepada bangsa ini selama berabad-abad,” tegas Gus Sholah.
Bagi Gus Sholah, pesantren merupakan warisan peradaban Islam di Nusantara yang sangat penting, yang telah melahirkan negara ini: Indonesia. “Dengan berkhidmat kepada pesantren, saya ingin merawat warisan itu, mewariskan kebaikan melalui pesantren,” katanya.
Beberapa hari yang lalu, kita mendengar kabar duka, Gus Sholah meninggalkan kita semua. Namun, warisan Gus Sholah tentang keteladanan, keislaman dan keindonesiaan, pemikiran pendidikan hingga pesantren terus hadir di tengah kita. Semoga Allah melapangkan kuburnya, merahmatinya, dan mengampuni segala dosanya. Aamin.
Oleh: Rizki Lesus – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)